Kloning Fragmen-Fragmen RAPD Penciri Spesies Colletotrichum sp Untuk Pengembangan Sistem Deteksi Dini Pathogen Penyebab Anthrachnosa Pada Pertanaman Cabai.

Kloning Fragmen-Fragmen RAPD Penciri Spesies Colletotrichum sp
Untuk Pengembangan Sistem Deteksi Dini Pathogen Penyebab
Anthrachnosa Pada Pertanaman Cabai
Cloning of Colletotrichum sp Specific RAPD Fragments For The
Development of Early Detection System of Anthrachnose-Causing
Pathogen in Chilli Cultivation.
Jamsari
Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman, Program Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan
Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang
Kampus Limau Manis Unand Padang, 25163 Sumatera Barat
Telp: 0751-72776
Email: ajamsari@yahoo.com

Abstrak
Konversi sistem marker RAPD menjadi sistem marker yang lebih spesifik seperti STS,
SCARs ataupun CAPS membutuhkan informasi sekuens fragmen yang dikehendaki.
Oleh karena sifat fragmen RAPD yang dihasilkan dari amplifikasi acak, maka sering
dijumpai bahwa fragmen tersebut bukan merupakan fragmen tunggal. Oleh karena itu,
maka langkah kloning sebelum melakukan kegiatan sekuensing fragmen RAPD
merupakan suatu tahap yang harus dilakukan. Ligasi dan transformasi yang telah
dilakukan terhadap 7 fragmen RAPD dari dua kelompok spesies spesifik (3 spesifik

pada C. gleosporides dan 4 spesifik pada C. capsici) telah dikloning menggunakan
sistem pGEM –T Easy dengan bantuan bakteri E. Coli strain DH5α. Sebanyak 47,6%
koloni diperkirakan memiliki plasmid yang mengandung fragmen RAPD. Analisis
preparasi mini plasmid DNA dan evaluasi berbasis PCR menggunakan primer T7SP6
berhasil memastikan keberadaan fragmen RAPD. Purifikasi lebih lanjut terhadap
fragmen T7SP6 terbukti berhasil menyiapkan produk PCR yang berkwalitas baik untuk
digunakan dalam kegiatan sekuensing fragmen-fragmen yang sudah diinsersikan.
Kata Kunci: C. capsici, C. gleosporides, fragmen RAPD, ligasi, transformasi
Abstract
Conversion of RAPD-based marker into other more specific marker system like STS,
SCARS and CAPS needs sequence informations. Due to unspecific nature of RAPDgenerated fragments, direct sequencing of isolated RAPD fragments can not be
performed. For that reason, cloning steps of targeted RAPD-fragments have to done. In
this paper, we performed ligation and transformation of 7 isolated RAPD fragments.
Three of them are specific to C. gleosporides and four of them are specific to C.
capsici. Cloning was performed according to the pGEM®-T Easy Vector System using
E. coli DH5α as host. An average of 47,6% transformation efficiency was achieved
using this method, proven by in-Vitro amplification with T7SP6 primer combination.
Further purification T7SP6 fragments showed clear and specific PCR product that
could be used for further sequencing.
Key Words: C. capsici, C. gleosporides, RAPD- fragment, Ligation, transformation


PENDAHULUAN

Perkembangan teknik PCR (polymerase chain reaction) membuka peluang
pengembangan deteksi dini keberadaan patogen-patogen meskipun mereka masih
dalam jumlah populasi yang sangat sedikit sekalipun. Penggunaan PCR sebagai
metode dini untuk mendiagnosis kehadiran suatu patogen telah banyak dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Kim dan Lee, 2002; Thomsen dan Jensen, 2002; Schmink et al.,
2001) demikian pula aplikasinya untuk identitas spesies telah banyak dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Mongkolporn dan Dokmaihom, 2004; Shaaban, et al., 2006; Das et
al., 2005).
Sistem penanda RAPD merupakan penanda molekuler berbasis informasi DNA
yang memanfaatkan keunggulan teknik PCR. Sejak diperkenalkan pertama sekali oleh
Williams et al, (1990) sistem penanda ini telah diaplikasikan secara luas untuk
berbagai aplikasi dari mulai dari karakterisasi varietas-variets barley, brassica, seledri,
bawang, kentang dan tomat (Dweikat, et al. 1993) sampai karakterisasi bakteri
Lactobacillus fermentum (Hayford, et al., 1999). Seiring dengan intensifnya
penggunaan sistem marker tersebut, berbagai laporan tentang kelemahan sistem
RAPD juga telah banyak dilaporkan (Meunier and Grimont, 1993; Rajput, et al., 2006).
Terutama menyangkut ketidakstabilan dan sensitifitasnya yang sangat mengganggu.

Ketidakstabilan produk RAPD sebenarnya memang telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti sebelumnya (Meunier and Grimont, 1993; Rajput, et al., 2006). Banyak faktor
seperti rasio templet DNA dan primer, konsentrasi ion Mg dan Taq-Polymerase yang
digunakan dan bahkan jenis mesin PCR yang dipakai (Yu dan Paul, 1992). Bahkan
Vos et al., (1995) dan MacPherson et al., (1993) menyatakan, meskipun RAPD tidak
sensitif terhadap konsentrasi templet yang digunakan, tetapi apabila templet DNA yang
digunakan terlalu banyak juga akan memberikan hasil yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, upaya konversi sistem berbasis RAPD kedalam sistem lain
seperti SCAR, STS telah banyak dilakukan (Xu, et al., 2004; Al-Haj, et al., 2008).
Konversi satu sistem marker kepada sistem marker yang lain pada prinsipnya adalah
reposisi dan restrukturisasi posisi primer yang digunakan. Jika pada sistem marker
RAPD, primer melekat secara acak pada genom templetnya, maka pada sistem
marker yang lebih spesifik posisi titik lekat primer (primer binding site) didefinisikan
secara pasti, sehingga ukuran fragmen yang akan dihasilkan dari proses amplifikasi
juga akan dapat diprediksi lebih pasti. Untuk itu, maka informasi sekuens merupakan
suatu prasyarat yang harus tersedia. Untuk maksud tersebut, maka kegiatan kloning
fragmen RAPD perlu dilakukan.

Dalam paper ini akan dideskripsikan kegiatan kloning fragmen-fragmen RAPD
yang diketahui bersifat spesifik terhadap dua spesies Colletotrichum, yakni C. capsici

dan C. gleosporides.

BAHAN DAN METODE
Ligasi dan transformasi Fragmen-Fragmen RAPD Spesifik
Ligasi dan transformasi dilakukan menggunakan protokol berbasis sistem kloning
pGEM®–T Easy Vector System (Promega-USA). Secara umum kegiatan kloning
dlakukan sesuai prosedur yang direkomendasikan oleh produsen. Secara ringkas
prosedur tersebut adalah sebagai berikut. Fragmen spesifik yang telah dipurifikasi
selanjutnya digunakan sebagai templet untuk proses reamplifikasi menggunakan
primer RAPD yang sama. Reamplifikasi dilakukan menggunakan volume 25 µl pada
sistem Go Taq Green master mix (Promega-USA). Cocktail campuran reamplifikasi
terdiri dari komposisi pada Tabel 1 menggunakan kondisi reaksi seperti pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi cocktail untuk reamplifikasi fragmen RAPD
ddH2O (PCR grade)
Template fragmen RAPD
Primer RAPD
Go Taq Green Master Mix
Jumlah volume


25,0 ng/µl
20,0 pmol/µl
2,0 x

6,5 µl
2,0 µl
4,0 µl
12,5 µl
25 µl

Program reamplifikasi menggunakan kondisi PCR sebagai berikut:
Produk PCR selanjutnya dikontrol menggunakan teknik elektrophoresis standar
(Manniatis, et al, 1979) untuk memastikan keberadaan produk hasil reamplifikasi.
Produk reamplifikasi kemudian digunakan untuk kegiatan ligasi fragmen RAPD dengan
plasmid pGEM®.

Ligasi fragmen dilakukan pada sisi kloning plasmid yang telah

dipotong menjadi linear. Struktur plasmid dan titik insersi dapat dilihat pada Gambar 1
dan 2.


Tabel 2. Kondisi PCR untuk reamplifikasi fragmen spesifik

Reaksi
Denaturasi awal
Denaturasi
Annealing
Ekstensi
Denaturasi
Annealing
Ekstensi
Ekstensi akhir

Suhu (°C)
95
94
42
72
94
42

72
72
4

Waktu (detik)
300
60
300
120
30
30
1
300


Jumlah siklus
1
30

Gambar 1. Peta plasmid pGem®-T Easy yang digunakan untuk mengklon fragmen

RAPD.

Gambar 2. Posisi kloning fragmen RAPD diselipkan ke dalam plasmid. Sisi kloning
(dalam box) mengandung satu ujung T yang diharapkan menyatu dengan
fragamen RAPD yang dihasilkan oleh kerja enzim Polimerase. Enzim
polimerase biasanya menghasilkan ujung A pada kedua titi terminalnya.

Ligasi dilakukan menggunakan prosedur seperti yang disarankan oleh petunjuk
pada sistem kloning pGEM® –T Easy Vector System (Promega-USA). Campuran ligasi
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Komposisi cocktail untuk reaksi ligasi
Rapid ligation buffer
Produk PCR
pGEM T-Easy Vector
T4-DNA Ligase
Jumlah volume

2,0 x
25,0 ng/µl

50,0 ng/µl
3,0 Weiss U/µl

5,0 µl
3,0 µl
1,0 µl
1,0 µl
10,0 µl

Campuran ligasi diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam, dalam beberapa
kegiatan dimasukkan dalam 4°C selama overnight. Campuran ligasi selanjutnya
digunakan untuk proses transformasi. Reaksi transformasi menggunakan inang (host)
E. coli strain DH5α (berasal dari PAU-Bioteknologi IPB) yang terlebih dahulu dibuat
menjadi kompeten untuk menerima plasmid yang telah disisipi fragmen RAPD.
Penyiapan sel kompeten dilakukan menggunakan prosedur prinsip CaCl2 dengan
melakukan modifikasi seperlunya. Secara ringkas penyiapan sel kompeten dilakukan
sebagai berikut. Koloni tunggal E. coli strain DH5α dikulturkan didalam LB-medium
cair yang terdiri dari (1% Triptone, 0,5% yeast extract dan 0,5% NaCl) selama
overnight. Keesokan harinya, kultur bakteri dipanen dan diinkubasikan kedalam freezer
selama 30 menit. Kultur disentrifus pada suhu 4°C selama 1 menit pada kecepatan

14.000 rpm. Pellet selanjutnya diberi 0,1M CaCl 2 dan diinkubasikan selama 15 menit di
dalam es. Selanjutnya disentrifus kembali pada suhu 4°C selama 1 menit pada
kecepatan 14.000 rpm. Supernatant dibuang dan pellet kembali diberi larutan 0,1 M
CaCl2 dan 15% Glycerol dengan aliquoti masing-masing 150 µl. Suspensi sel langsung
digunakan untuk kegiatan transformasi. Transformasi plasmid dilakukan secara kemis
sesuai petunjuk produsen (Promega-USA) yang secara ringkas dapat diuraikan
sebagai berikut. Sebanyak 5 µl larutan ligasi dicampurkan dengan aliquot kompeten
sel (150 µl). Campuran diinkubasi selama 20 menit di dalam es. Kemudian dilakukan

perlakuan heat-shock pada suhu 42°C selama 45-50 menit. Segera setelah itu
campuran diinkubasi kembali kedalam es selama 2 menit. Selanjutnya ditambahkan
kedalamnya 1,5 ml larutan LB-medium cair dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1,5
jam.
Analisis Rekombinan Koloni E. coli Melalui Plasmid Preparasi.
Evaluasi hasil transformasi dilakukan menggunakan LB-Medium agar yang telah
diberi kedalamnya ampicilin (100 mg/ml) IPTG dan Xgal (2%). Pada petri berukuran
90 mm disebarkan 75 µl suspensi transformasi dan selnajutnya ditumbuhkan pada
inkubator bersuhu 37°C selama semalam. Koloni rekombinan dan non rekombinan
dibedakan berdasarkan warna (blue-white selection).
Pengujian keberadaan dan sekaligus ukuran insersi dilakukan melalui isolasi mini

plasmid menggunakan metode lisis Quick-Dirty (Birnboim and Dolly, 1979). Kultur
tunggal dibiakkan kedalam LB-Medium cair yang diberi ampicilin (100 mg/ml) selama
semalam pada suhu 37°C. Pellet dipanen menggunakan sentrifus dan diresuspensi
menggunakan 250 µl larutan I ( 50 mM Glucose, 10 mM EDTA, 25 mM Tris-HCl, dan 3
mg/ml Lysozime yang ditambahkan sewaktu akan digunakan) secara sempurna
sampai homogen. Suspensi selanjutnya ditambah dengan 300 µl larutan II (0,1% SDS
dan 0,2 M NaOH). Kemudian dicampur secara hati-hati menggunakan inversi secara
bolak-balik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Kemudian
campuran ditambah 250 µl 3 M Kalium acetat, dicampur dan diinkubasi kedalam es
selama 15 menit. Campuran disentrifus pada suhu 4°C selama 10 menit dengan
kecepatan 14.000 rpm. Supernatan ditransfer kedalam tabung eppendorf baru dan
diberi 500 µl Phenol:Chloroform:Isoamylalkohol (25:24:1). Kemudian disentrifus
kembali pada suhu 4°C dengan kecepata 14.000 rpm selama 15 menit. Supernatan
yang berada pada fase atas dipindahkan kedalam tabung eppendorf 1,5 ml steril. DNA
dipresipitasi menggunakan ethanol absolut dingin sebanyak 750 µl. Pellet diperoleh
melalui sentrifugasi pada kecepatan 14.000 rpm, selama 20 menit pada suhu 4°C.
Pellet kemudian dicuci dengan 150 µl 70% ethanol suhu ruang dan disentrifus kembali
selama 10 menit pada suhu 4°C dengan kecepatan 14.000 rpm. Pellet selanjutnya
dikeringkan menggunakan heater block pada suhu 55°C selama 5-10 menit. Pellet
dilarutkan

kembali

menggunakan

1xTE.

Evaluasi

keberadaan

plasmid

dicek

menggunakan teknik elektrophoresis. Ukuran insersi diperkirakan menggunakan
prosedur amplifikasi menggunakan primer T7 dan SP6.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efisiensi Transformasi
Untuk mengevaluasi sejauh mana efisiensi transformasi yang dihasilkan dari
ligasi dan penyiapan sel kompeten maka dilakukan analisis terhadap klon-klon yang
diperoleh pada petri yang berisi media LB-selektif. Hasil penghitungan secara acak
terhadap petri yang digunakan rata-rata setiap petri menghasilkan 50 koloni, dengan
persentase rata-rata 30% koloni berwarna biru dan sekitar 70% koloni berwarna putih.
Secara teori sebenarnya koloni E. coli rekombinan seharusnya berwarna putih. Hal
tersebut disebabkan oleh karena gen Lac-Z yang semestinya berfungsi merubah
senyawa X-Gal menjadi berwarna biru, tidak lagi mampu melaksanakan tugas oleh
karena sudah diinterupsi oleh fragmen RAPD yang diselipkan. Akan tetapi setelah
dilakukan isolasi plasmid ternyata banyak diantara koloni berwarna putih tersebut tidak
terlihat mengandung plasmid. Dengan demikian banyak di antara mereka yang bersifat
false positif. Disamping itu juga terlihat indikasi adanya koloni-koloni bakteri
kontaminan yang kemungkinan bukan merupakan E. coli. Koloni-koloni tersebut
berwarna sedikit kecokelatan dan kelihatannya memiliki kemampuan resistensi
terhadap antibiotik ampicilin.
Pengujian selanjutnya terhadap beberapa koloni yang berwarna biru terang,
bahkan mengindikasikan secara jelas adanya plasmid yang dimiliki oleh koloni
tersebut. Hal ini bisa saja terjadi oleh karena kemungkinan fragmen yang diselipkan
tidak terlalu panjang (kurang dari 1 kb). Jika fragmen yang diselipkan kurang dari 1 kb,
maka efek fungsi gen Lac-Z masih akan berpengaruh. Dengan demikian, koloni
tersebut sebenarnya mengandung plasmid dan sekaligus insersi, akan tetapi
ukurannya kecil. Oleh karena itu, dalam analisis selanjutnya koloni-koloni berwarna
biru juga diikutkan dalam analisis insersi.
Dengan demikian, maka sebenarnya koloni rekombinan yang diperoleh cukup
memuaskan, yakni sekitar 46,3%. Angka ini diperoleh setelah dilakukan evaluasi
ukuran insersi menggunakan teknik PCR. Jika dihitung secara teoritis, maka jumlah
koloni yang mengandung insersi dari satu kali reaksi transformasi adalah (1500/75) x
46,3% x 50 = 463 koloni per kelompok spesies. Jumlah ini dianggap sangat mencukupi
untuk digunakan dalam mendapatkan kandidat fragmen RAPD yang independen.

Jumlah Koloni Mengandung Plasmid-Insersi.
Ukuran insert dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan proses ligasi
dan transformasi. Analisis insersi dilakukan dengan mengadakan preparasi mini DNA
plasmid (lihat Bahan dan Metode). Pengujian secara acak menggunakan teknik

elektrophoresis berhasil membedakan antara koloni yang mengandung plasmid dan
tidak mengandung plasmid (Gambar 3.)
Jika diperhatikan Gambar 3 terlihat bahwa ukuran plasmid yang diperlihatkan
oleh ketujuh sampel (sampel nomor 5-10 dan sampel nomor 12) memiliki ukuran yang
berbeda-beda. Ukuran mereka berkisar antara 3054 sampai 4072. Jika ukuran plasmid
yang digunakan adalah 3015 bp, maka sudah dapat dipastikan bahwa ketujuh koloni
tersebut mengandung fragmen RAPD. Meskipun melalui analisis ini belum bisa
diprediksi secara akurat berapa basa ukuran insersi fragmen RAPD yang berhasil
diselipkan sebenarnya.

Gambar 3. Hasil elektrophoresis preparasi mini DNA plasmid 12 koloni rekombinan
hasil transformasi fragmen RAPD spesifik Colletotrichum gleosporides.
Tujuh koloni (sampel 5-10 dan sampel 12 terlihat memiliki plasmid sedangkan sampel nomor 1-4 dan 11 tidak memiliki plasmid.
Ringkasan analisis jumlah koloni yang mengandung plasmid dan insert dapat
dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3. Jika dilihat dari Tabel 4 dan Gambar 3 terlihat
bahwa rata-rata kedua kelompok spesies menghasilkan koloni positif sekitar 46,3%,
yakni 45% pada C. capsici dan 47,6% pada C. gleosporides. Selisih 2,6% dianggap
tidak terlalu berati pada kedua kelompok spesies tersebut. Dengan demikian peluang
untuk mendapatkan fragmen yang berbeda pada kedua kelompok tersebut sangat
besar.

Tabel 4. Ringkasan analisis preparasi mini DNA plasmid koloni acak
Kelompok spesifik
C. gleosporides

C. capsici

Isolasi ke
I
II
III
IV
Jumlah
Persentase
I

Jumlah sampel
12
12
6
12
42
24

Ada plasmid
4
8
1
7
20
47,60%
8

Tidak ada Plasmid
8
4
5
5
22
52,40%
16

II
Jumlah
Persentase

16
40

10
18
45,00%

6
22
55,00%

Jika pada C. gleosporides diharapkan ada 3 fragmen RAPD (OPN-15), maka
dengan jumlah koloni positif sebanyak 463 koloni, nilai peluang untuk mendapatkannya
adalah 154 kali. Sedangkan untuk C. capsici dengan 4 fragmen RAPD (OPW-14),
maka peluang yang tersedia adalah sebesar 115 kali. Dengan demikian, koloni yang
tersedia memberikan peluang yang cukup besar untuk keberhasilan kegiatan
memperoleh sekuens fragmen RAPD independen yang berbeda-beda. Dengan
besarnya angka peluang tersebut, maka berarti besar pula variasi peluang primer yang
dapat didesain nantinya.

Gambar 3. Grafik analisis preparasi mini DNA plasmid acak dari kedua
kelompok spesies.

Identifikasi fragmen T7-SP6 untuk Penentuan Ukuran Insersi.
Untuk menentukan ukuran insersi yang berhasil diselipkan di dalam plasmid
pGEM-T Easy maka dilakukan analisis PCR dengan menggunakan pasangan primer
T7 dan SP6. Kedua primer tersebut didesain dari daerah internal pengapit MCS (Multi
Cloning Site) (lihat Gambar 1.). Untuk keperluan tahap kegiatan ini, maka templet
yang digunakan adalah DNA plasmid yang telah diisolasi sebelumnya. Salah satu hasil
amplifikasi DNA plasmid dengan menggunakan pasangan primer T7SP6 dapat dilihat
pada Gambar 4.

Gambar 4. Penampilan hasil PCR 10 plasmid DNA kelompok C. capsici yang dipilih
secara acak menggunakan pasangan primer T7-SP6. M = 1 kb ladder
(Invitrogen-USA). Nomor 1-10 DNA plasmid yang dipilih secara acak.

Dari Gambar 4 dapat dilihat, bahwa fragmen yang berhasil diselipkan kedalam
plasmid ternyata berbeda-beda ukurannya. Perbedaan ukuran tersebut tentu saja
merupakan pencerminan variasi fragmen asal yang diselipkan. Kaitan antara fragmen
asal dengan panjang fragmen yang diperoleh setelah amplifikasi dengan primer T7SP6 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa antara panjang RAPD dengan fragmen yang
diperoleh dari amplifikasi menggunakan primer T7-SP6 tidak selalu konsisten. Hasil
yang diperoleh ini sejalan dengan penemuan beberapa peneliti sebelumnya yang
menyatakan bahwa satu fragmen RAPD kemungkinan terdiri dari beberapa fragmen
yang berbeda. Ketidakstabilan produk RAPD sebenarnya memang telah dilaporkan
oleh beberapa peneliti sebelumnya (Meunier and Grimont, 1993; Rajput, et al., 2006;
Jamsari, 2008). Oleh karena itu tahap kloning merupakan tahapan yang mutlak harus
dilakukan dalam rangka pengembangan primer dari sistem RAPD kedalam sistem
marker lain yang lebih spesifik seperti STS, SCARs ataupun CAPs.
Ketidak spesifikan juga dapat dilihat pada hasil amplifikasi pada Gambar 5 di
atas. Disamping produk fragmen utama yang dihasilkan, juga masih terlihat adanya
fragmen tambahan dalam berbagai ukuran (ditunjukkan dengan tanda panah). Dengan
alasan tersebut, maka sebelum dilakukan sekuensing terhadap produk PCR fragmen
T7SP6 dilakukan terlebih dahulu purifikasi kembali fragmen T7SP6 tersebut. Purifikasi
produk dilakukan dengan prosedur seperti yang dilakukan pada purifikasi fragmen
RAPD.

Tabel 5. Hubungan konsistensi antara panjang fragmen RAPD asal dengan panjang
fragmen teramplifikasi dengan primer T7-SP6.
Kelompok
spesifik
C. capsici

Kode
Sampel
-1 BP
-2 BP
-6 BP
-7 BP
-8 BP
-9 BP
-10 BP
-14 BP
-15 BP
-16 BP
6 BP1
6 BP2
7 BP1
11 BP1
11BP2
20 BP1

C. gleosporides #2
#5
3A#3
2A#1
3A#1
1A#1
1D#1
2D#1
G6
G7
G8
G9
G10

Panjang fragmen
asal RAPD (bp)
344;800
344;800
344
344
344
220
220
220; 344
220;344
220;344
344
2500
506
400
2250
800

Panjang fragmen
teramplifikasi dengan T7SP6
800
800
506
396
506
506
506
506
506
506
396
396
600
400
400
800

900
750
750
900
750
1400
1400
900
750
750
750
1400
1400

800
800
800
800
800
1000
1000
800
500*
800*
500*
1018*
800*

Gambar 5. Hasil amplifikasi fragmen T7SP6 yang telah dipurifikasi dari kelompok
spesifik C. capsici (1-8) dan kelompok C. gleosporides (9-16). M=1 kb
ladder (Invitrogen-USA).
Hasil purifikasi fragmen T7SP6 tersebut selanjutnya diuji kembali dengan
menggunakan primer T7SP6.

Setelah dilakukan elektrophoresis ternyata rata-rata

fragmen yang dihasilkan memperlihatkan fragmen tunggal yang tergolong bersih dari
fragmen lain. Hanya beberapa sampel dari kelompok spesifik C. gleosporides (sampel
14-15 yang masih memperlihatkan adanya fragmen tambahan sebesar 519 bp selain
fragmen utama sebesar 800 dan 1000 bp.

Produk PCR yang dihasilkan tersebut

selanjutnya digunakan sebagai template untuk kegiatan sekuensing. Sampai saat
laporan ini disusun, kegiatan sekuensing masih sedang berlangsung.
Jika dilihat secara umum panjang fragmen yang dihasilkan dari amplifikasi
dengan primer T7-SP6 dengan menggunakan templet fragmen T7SP6 yang telah
dipurifikasi, kisaran ukuran yang produk PCR yang diperoleh adalah antara 396
sampai sekitar 1100 bp. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa produk PCR yang
diperoleh tersebut telah mengandung fragmen RAPD dengan panjang yang bervariasi.
Jika dihitung mulai dari nukleotid terluar kedua sekuens primer tersebut tanpa adanya
sekuens lain yang terselip di situs pengklonan maka panjang fragmen yang akan
dihasilkan hanyalah 160 basa. Secara logika jika ada fragmen yang berhasil menyelip
pada daerah pengklonan, maka fragmen yang akan diperoleh sudah pasti akan lebih
panjang dari fragmen tanpa adanya sekuens yang terselip. Panjang fragmen RAPD
yang terselip berarti kira-kira sekitar 236 sampai 940 basa. Ukuran tersebut
diperkirakan cukup nantinya untuk dapat digunakan dalam pendisainan primer dari
daerah internal sekuens DNA.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari kegiatan yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:

1. Efisiensi yang diperoleh dalam pengklonan fragmen RAPD rata-rata dari kedua
kelompok spesies spesifik adalah 46,3%, yang terdiri dari 47,6% pada
kelompok spesifik C. gleosporides dan 45% pada kelompok C. capsici.
2. Amplifikasi DNA plasmid dengan menggunakan primer T7SP6 berhasil
membuktikan, bahwa fragmen RAPD telah berhasil diselipkan kedalam plasmid
pGEM-T yang diprediksi dari adanya peningkatan ukuran fragmen T7SP6
semula.
3. Amplifikasi DNA plasmid langsung terbukti juga masih mengandung resiko
adanya fragmen ikutan yang dapat menjadi kontaminan pada tahap
sekuensing. Oleh karena itu, purifikasi untuk menghasilkan fragmen T7SP
sangat membantu pemurnian produk PCR yang akan dihasilkan.
4. Purifikasi kembali fragmen T7SP6 berhasil meningatkan kwalitas spesifitas
fragmen tersebut yang ditandai dengan absennya fragmen pendamping selain
fragmen utama yang jelas nyata terlihat. Dengan demikian produk amplifikasi
tersebut sudah siap untuk disekuens.

Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat dikemukakan dari kegiatan ini adalah:
1. Sekuensing fragmen RAPD untuk keperluan pendisainan primer spesifik sangat
mutlak membutuhkan tahapan kloning.
2. Untuk meyakinkan agar produk PCR yang diperoleh dari amplifikasi
menggunakan primer T7SP6 perlu dilakukan purifikasi lanjutan.

Ucapan Terimakasih.
Penelitian ini dibiayai oleh Dirjen Dikti (DP2M) melalui skim penelitian Hibah
Bersaing dengan nomor kontrak: 005/SP2H/PP/DP2M/III/2008. Ucapan terimakasih
yang tak terhingga juga disampaikan kepada Bapak Dr. Suharsono dari PAUBioteknologi Institut Pertanian Bogor yang telah membantu sediaan kultur E. coli strain
DH5α.

DAFTAR PUSTAKA
Adetula, O.A. 2006.
Genetic diversity of Capsicum using Random Amplified
Polymorphic DNAs. African Journal of Biotechnology 5: 120-122.

Botstein, D., White, R. L., Skolnick, M., Davies, R. W. 1980. Construction of a genetic
map in man using restriction fragment lenght polymorphisms. Am. J. Hum. Genet
32: 314-331.
Cano, J., Guarro,J. and Gene, J. 2004. Molecular and Morphological Identification of
Colletotrichum Species of Clinical Interest. Journal of Clinical Microbiology, 42:
2450–2454
Das, M., Bhattacharya, S. and Pal, A. 2005. Generation and Characterization of
SCARs by Cloning and Sequencing of RAPD Products: A Strategy for Speciesspecific Marker Development in Bamboo. Annals of Botany 95: 835–841
Dweikat I, Mackerzie S, Levy M, Ohm H (1993). Pedigree assessment using RAPDDGGE in cereal crop species. Theor. Appl. Gene. 85:497-505.
El-Mezawy, A. 2000. Fine mapping of the bolting gene from sugar beet (Beta vulgaris
L.) with molecular markers. Dissertation. Christian Albrechts Universität zu KielGermany.
Guerber, J.C, Liu, B., Correll. J.C. 2003. Characterization of diversity in Colletotrichum
acutatum sensu lato by sequence analysis of two gene introns, mtDNA and intron
RFLPs, and mating compatibility. Mycologia, 95: 872–895.
Hayford, A.E. Petersen, A., Vogensen, F., and Jakobsen, M. 1999. Use of Conserved
Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Fragments and RAPD Pattern for
characterization of Lactobacillus fermentum in Ghanaian Fermented Maize
Dough. Appl Environ Microbiol. 65: 3213–3221.
Jamsari, 2003. Construction of high-density genetic and physical maps around the sex
gene M of Asparagus officinalis L. Dissertation. Christian Albrechts Universität zu
Kiel. Germany.
Jamsari, 2008. Preparasi DNA Spesies Colletotrichum sp. dan Spesifitas Sistem
Fingerprinting RAPD. Jurnal Natur Indonesia 11: 31-39.
Jiang, C., Lewis, M. E., Sink, K. C. 1997. Combined RAPD and RFLP molecular
linkage map of asparagus. Genome 40: 69-76.
Kim, K.S., and Lee, Y.S. 2001. Selection of RAPD Markers for Phytophthora infestans
and PCR Detection of Phytophthora infestans from Potatoes. The Journal of
Microbiology: 126-132
MacPherson, J.M., Eckstein, P.E., Scoles, G.J., Gajadhar, A.A. 1993. Variability of the
random amplified polymorphic DNA assay among thermal cyclers, and effects of
primer and DNA concentration. Mol Cell Probes 7: 293–299 .
Meunier, J.R, Grimont, P.A. 1993. Factors affecting reproducibility of random amplified
polymorphic DNA fingerprinting. Res. Microbiol. 144: 373–379.
Mongkolporn, O., Dokmaihom, Y. 2004. Genetic purity test of F1 hybrid Capsicum
using molecular analysis.
The Journal of Horticultural Science and
Biotechnology, 79: 449-451
Noverta, A. 2007. Optimasi Isolasi DNA Tanaman Gambir (Uncaria gambir Roxb) dan
Seleksi Primer RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Skripsi Sarjana
Pertanian. Fakultas Pertanian Unand-Padang

Rajput, S.G., Wable, K.J., Sharma, K.M., Kubde, P.D. and Mulay, S.A. 2006.
Reproducibility testing of RAPD and SSR markers in Tomato. African Journal of
Biotechnology 5: 108-112.
Reamon-Büttner, S. M., Jung, C. 2000. AFLP-derived STS markers for the
identification of sex in Asparagus officinalis L. Theor Appl Genet 100: 432-438.
Roca, M.G. Davide, L.C., Wheals, A.E. 2003. Template Preparation for Rapid PCR in
Colletotrichum lindemuthianum. Brazillian Journal of Microbiology. 34: 8-12.
Saghai-Maroof, M.A.; Soliman, K.M.; Jorgensen, R.A.; Allard, R.W. 1984. Ribosomal
DNA spacer-length polymorphisms in Barley: Mendelian inheritance,
chromosomal location and population dynamics. Proc Natl Acad Sci USA 81:
8014-8018
Schmink, S., Reeves, M.W, Plikaytis, B., and Popovic. T. 2001. Random Amplified
Polymorphic DNA Assay as a Rapid Tool in Screening for Neisseria meningitidis
Serogroup C Isolates of Electrophoretic Type 24. Journal of Clinical Microbiology
39: 1622–1625
Shaaban, E.A., Abd-El-Aal, S.K.H., Zaied, N.S., and Rizkalla, A.A. 2006. Assessment
of Genetic Variability on Some Orange Accessions Using RAPD-DNA Markers.
Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 2: 564-570, 2006
Thomsen, L., and Jensen, A.B.. 2002. Application of nested-PCR technique to resting
spores from the Entomophthora muscae species complex: implications for
analyses of hostpathogen population interactions. Mycologia, 94: 794–802.
Vos, P., Hogers, R., Bleeker, M., Reijans, M., van de Lee, T., Hornes, M., Fritjters, A.,
Pot., J., Peleman, J., Kuiper, M., Zabeau, M. 1995. AFLP: A New Technique for
DNA Fingerprinting. Nucl Acids Res 23: 4407-4414
Williams, J.G.K., Kubelick, A.R., Livak, K.J., Rafalski, J.A., Tingey, S.V. 1990. DNA
Polymorphisms Amplified by Arbitrary Primers are Useful as Genetic Markers.
Nucleic acids Res. 18:6531-6535
Xu, W.J, Wang, B.W and Cui, K.M.. 2004. RAPD and SCAR markers linked to sex
determination in Eucommia ulmoides Oliv. Euphytica 136: 233–238.
Yu, K., K.P. Pauls. 1992. Optimization of the PCR program for RAPD analysis. Nucl.
Acids Res. 20: 2606.
Zahner, V., Rabinovitch, L, Suffys, P. and H. Momen.1999. Genotypic Diversity among
Brevibacillus laterosporus Strains. Applied and Environemtal Microbiology, 65:
5182–5185