Konstruksi Ideal Pembatasan Dana Kampanye Calon Legislatif Peserta Pemilu.

PEMBATASAN DANA KAMPANYE CALON LEGISLATIF PESERTA PEMILU
LEGISLATIF (DPRD) DI DAERAH
Oleh : Imade Dedy Priyanto
Abstract
Pemilu legislatif adalah pemilihan umum yang dilaksanakan dengan langsung, umum,
bebas, dan rahasia untuk memilih anggota legislatif yang nantinya duduk di Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu legislatif, yang
telah dilaksanakan pada tahun 2009 dengan sukses ternyata menyisakan kisah-kisah sedih dari
para calon legislatif yang gagal terpilih. Hal ini berdampak negative tidak hanya terhadap calon
legislatif, tetapi juga terhadap keluarga dan orang-orang terdekat. Untuk itulah diperlukan suatu
pembenahan system pemilu legislatif, dengan mengadakan pembatasan dana kampanye calon
legislatif peserta pemilu legislatif. Dengan mengadakan pengawasan ketat pada penyeleksian
calon legislatif, serta pengawasan terhadap data-data keuangan partai politik dan calon legislatif.
Kata kunci : pembatasan, dana kampanye.
Terjemahan Bahasa Indonesia ke Inggris
Legislative elections are elections held by direct, universal, free and confidential to
the legislature that will sit in the House of Representatives, Regional
Representatives Council, the Regional Representatives Council. Legislative elections,
which have been implemented successfully in 2009 with left turns sad stories of the
legislative candidates who failed to be elected. This negative impact not only on
legislative candidates, but also to the family and the people closest. For that we

need a legislative election system reform, campaign finance restrictions by holding
legislative candidate participants legislative elections. With the conduct strict
supervision on the selection of candidates for legislative, and oversight of the
financial data of political parties and candidates for the legislature.

Key word : retrictions, campaign finance.

A. Latar Belakang
Kilas balik pemilihan umum (pemilu) 2009, tentunya masih segar diingatan kita tentang
pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, saat itu diadakan pesta
demokrasi akbar diseluruh negeri ini, yaitu pemilu Legislatif. Pemilu Legeslatif dapat
didefinisakan sebagai pemilihan umum yang diselengarakan secara serempak untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, diantara meriahnya pesta demokrasi tersebut,
terkenang cerita memprihatinkan dari para calon legislatif peserta pemilu yang gagal/ tidak
berhasil mencapai tujuan, yaitu menjadi wakil rakyat.
Hampir diseluruh Indonesia kita menemukan kisah memprihatinkan, seperti di
palangkaraya, tepatnya di Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat (BKJM) Kalawa Atei Palangkaraya
menerima lima pasien gangguan mental, yakni, dua calon anggota legislator dan tiga simpatisan
partai politik.1 Di Pekan Baru, Caleg dari salah satu partai peserta pemilu yang

diduga stres nekad menabrak pintu pagar rumah Walikota Pekanbaru,
Herman Abdullah.2 Di Garut, diduga untuk pelampiasan rasa kecewa, salah
seorang calon anggota legislatif (caleg) mendatangi kantor KPU Kabupaten
1TEMPO
Interaktif,
“Dua
Caleg
Stres
Masuk
Rumah
Sakit”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/04/14/brk,20090414-170334,id.html, diakses
pada 17 februari 2011.

2 Detik.com, “Caleg Stres Tabrak Rumah Walikota”, http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajianfilsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yang-stres-pasca-pemilu/, diakses pada 17
februari 2011.
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajian-filsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yang-stres-pascapemilu/, diakses pada 17 februari 2011.

Garut, Jawa Barat (Jabar), kemudian langsung marah dan memaki Ketua KPU
Garut, Aja Rowikarim,M.Ag.3 Di Purbalingga, jumlah caleg stres akibat gagal

pemilu

semakin

Bungkanel,

bergelimpangan.

Kecamatan

Balai

Karanganyar,

Rehabilitasi

Purbalingga

Mental


(Jateng),

di

Desa

menerima

kembali lima caleg stress. Hingga saat ini sudah ada 14 caleg stres yang
dirawat.4 Sementara di Bali seorang caleg meninggal akibat serangan
jantung karena perolehan suara yang sedikit, sedangkan di Banjar, Jawa
Barat seorang caleg gantung diri karena minimnya perolehan suara.5
Hampir dua tahun berlalu, namun kisah-kisah memprihatinkan tersebut seyogyanya dapat
dijadikan “guru/pengalaman” agar tidak terjadi hal-hal serupa dipemilu mendatang. Penyebab
terjadinya stres yang dialami oleh para mantan caleg yang gagal dalam pemilu diantaranya
adalah faktor persaingan memperebutkan simpati rakyat, dalam hal ini persaingan dimulai
pertama kali justru dengan caleg lain yang berasal dari satu partai/rekan sendiri. Kemudian
muncul usaha-usaha untuk saling menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai cara. Untuk
meyakinkan dirinya terpilih, cara apapun dilaksanakannya, namun, ketika hasil diumumkan dan
ia dinyatakan gagal, maka dapat dipastikan caleg yang bersangkutan akan syok dan karena tidak

kuat, akhirnya banyak yang stres.
3 Ibid

4 www.hidayatullah.com, “Caleg Stres Semakin Bergelimpangan” diakses pada 17 februari 2011.

5 Rully, “Caleg Stres”, http://rully4.wordpress.com/2009/04/14/caleg-stres-posting-cerita-pasca-pemilulegislatif/, diakses pada 17 februari 2011.

Faktor lain yang ditemukan dimasyarakat adalah faktor mental. Caleg yang stres karena
gagal terpilih dalam pemilu merupakan orang yang bermental lemah (tidak siap kalah), bahkan
posisi DPR ataupun DPRD yang diperebutkan ibarat sebuah lowongan pekerjaan bagi mereka,
sehingga, layaknya seorang pencari kerja, mereka akan berupaya dengan segala cara untuk bisa
lolos seleksi/ terpilih sebagai anggota dewan meski harus mengeluarkan dana yang sangat besar.
Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan pemilihan itu sendiri, yaitu bertujuan untuk memilih
wakil rakyat yang mampu menyampaikan aspirasi rakyat, peduli dan siap mengabdi untuk
kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi yang nantinya dapat berujung korupsi, dengan
tujuan “balik modal”.
Untuk merebut simpati calon pemilih, caleg diwajibkan untuk sedekat mungkin dengan
calon pemilih. Hal ini memerlukan banyak modal/dana. Sekurang-kurangnya biaya untuk
transportasi, telekomunikasi dan akomodasi. Untuk itu diperlukan “dana politik”, namun pada
kenyataannya, dana politik yang telah dianggarkan dapat membesar berkali-kali lipat dari yang

diperkirakan sebelumnya, misalnya untuk transportasi, komunikasi dan akomodasi, sewa posko,
iklan (televisi, radio, media cetak, elektronik, dunia maya), honor team sukses, perizinan-pajak,
konsumsi, atribut pemilu (kaos, poster, dll), sumbangan-sumbangan dan sebagainya yang
memerlukan biaya ratusan juta atau bahkan mencapai milyaran rupiah. Semakin jenjang
pencalegan ke bawah, biaya politik juga menurun, namun biaya politik tetaplah mahal/
pengorbanan besar, bahkan untuk Caleg DPRD Kabupaten/Kota.
Makin besar dana yang dikeluarkan/dikorbankan, maka makin besar pula kekecewaan
yang ditanggung apabila gagal terpilih. Hal ini terjadi karena sistem suara terbanyak dalam
pemilu akan menciptakan pemikiran bahwa apabila memperoleh dukungan terbanyak, pasti

menang. Pemikiran tersebutlah yang pada akhirnya mendorong para caleg untuk berusaha
sekeras mungkin meraih simpati sebanyak-banyaknya, tentunya dengan sumber dana yang
sebanyak-banyaknya pula, bahkan dengan seluruh harta yang dimiliki. Hal ini berdampak
negatif, tidak hanya bagi si caleg tetapi juga berdampak negatif terhadap orang-orang terdekat,
yaitu keluarga (isteri dan anak-anak). Karena gagal “nyaleg” kebutuhan serta hak-hak dari
anggota keluarga lainnya menjadi ikut dikorbankan, khusunya anak-anak, terhambat
mendapatkan haknya di bidang pendidikan karena seluruh harta telah diusahakan untuk
“nyaleg”.
Selain dinilai sangat meresahkan karena “mencalonkan diri tetapi gagal” berakibat buruk
terhadap diri sendiri dan keluarga, pada perkembangan selanjutnya, muncul kekhawatiran

terjadinya “bias demokrasi” dimana dalam prakteknya seorang caleg (demi kepentingan dan
tujuan politiknya) menawarkan bantuan baik berupa uang maupun alat infrastuktur kepada
masyarakat sekitar/ calon pemilih untuk meraih simpati dan berharap agar dipilih dalam pemilu
legislatif, masyarakat yang ditawarkan uang ataupun peralatan infrastuktur tersebut tentunya
akan berjanji untuk memilih si pemberi/caleg, namun pada pengumuman perolehan suara,
ternyata sangat sedikit yang memilih caleg tersebut. Karena kecewa, caleg yang
bersangkutanpun menarik kembali bantuan yang dahulunya sudah disumbangkan. Hal ini
tentunya bertentangan dengan makna kedaulatan rakyat.
“Caleg stres” tidak hanya menambah beban keluarga/ orang-orang terdekat, pihak Rumah
Sakit, atau bahkan paranormal (penyembuhan alternatif), tetapi juga dapat menambah beban MK
dalam menangani gugatan mereka, karena Ruang lingkup dari sengketa perselisihan hasil
pemilihan umum yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan

mengadilinya, sesuai dengan pasal 24C UUD 1945, pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan pasal 236C Undang-undang Nomor
12 Tahun 2008 Tentang Perbahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, meliputi:
1. Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Legislatif);
2. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres); serta

3. Pemilihan Umum Kepala Daerah (PemiluKada).
Demikian besar dampak negatif yang ditimbulkan berkaitan dengan pencalonan legislatif
yang gagal terpilih ini haruslah dicarikan solusi yang tepat, agar tidak ada lagi istilah “caleg
stres” pada pemilu legislatif mendatang, khususnya didaerah, karena didaerah dinilai lebih
lambat dalam kemajuan Iptek, informasi-informasi serta sumber daya manusia di daerah yang
dinilai masih kalah jauh dengan pusat (ibu kota). Solusi yang ditawarkan penulis dalam hal ini
adalah perlu diadakan pembatasan dana kampanye yang dipergunakan oleh para caleg peserta
pemilu legislatif. Hal ini selain bertujuan agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam
pendanaan kampanye, misalnya dana kampanye yang tidak jelas dalam peruntukan maupun
sumbernya, juga untuk mengukur kemampuan dari caleg itu sendiri, sehingga nantinya dapat
memutuskan apakah tetap mencalonkan diri atau mundur sebagai caleg. Untuk itulah diperlukan
payung hukum, khususnya dari peraturan perundang-undangan agar pendanaan kampanye
pemilu legislatif dapat dibatasi jumlahnya.
B. Pembahasan

1. Pemilu legislatif
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UU No.10 Th.2008) menegaskan bahwa Pemilihan umum (pemilu) adalah “Sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” (pasal 1 angka 1 UU No.10 Th.2008). Pemilu
legislatif adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 angka 2 UU No.10 Th.2008). Pemilih
dalam Pemilu adalah “Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun
atau lebih atau sudah/pernah kawin” (pasal 1 angka 22 UU No.10 Th.2008 ).Anggota legislatif
yang terpilih, kemudian ditetapkan oleh KPU berdasarkan pasal 213 UU No.10 Th.2008.
Permasalahan timbul ketika pendaftar caleg membludak dengan jumlah kursi anggota
DPR yang ditetapkan hanya sebanyak 560, jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan 35 sampai
100, jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan 20 sampai 50 kursi, jumlah kursi anggota
DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4. Calon yang mendaftar pun relatif baru dan tidak semua
dari mereka memiliki pengalaman tentang dunia politik, seperti dari kalangan artis, pengusaha,
dll, serta dari kalangan yang tidak begitu dikenal oleh masyarakat.
Minimnya pengalaman, pengetahuan politik, yang disertai dengan kurangnya pemahaman
tentang jabatan yang akan diemban nanti apabila terpilih, membuat para caleg melakukan segala
cara untuk meraih simpati calon pemilih, terlebih lagi dengan dibatalkannya pasal 214 UU No.10

Th.2008, maka tidak ada cara lain selain “tarung bebas” atau berjuang dengan segenap kekuatan
dan daya upaya, karena menjadi nomor urut 1 dalam partai sudah dianggap tidak aman lagi.
Pasal 214 UU No.10 Th.2008 dibatalkan oleh MK karena dinilai bertentangan dengan makna

kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
UUD 1945 mengatur mengenai kedaulatan rakyat dalam beberapa pasal, diantaranya:


Pasal 1 ayat (2) yang menentukan bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, yang pada pelaksanaannya diwakilkan oleh



Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pasal 22E ayat (1) yang menentukan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,



umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Pasal 27 ayat (1) yang menentukan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu




dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28C ayat (2) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan



negaranya”.
Pasal 28D ayat (1) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.
Dengan demikian, maka pemilu yang merupakan hak asasi warga Negara, haruslah

dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia. Rakyatlah yang berhak menentukan
siapa-siapa yang akan menjadi “wakil rakyat” nantinya, dengan suaranya sendiri, bukan dengan
nomor urut yang diumumkan partai politik. semua hak-hak asasi tersebut haruslah dikembalikan
kepada rakyat6.
6 Moh. Kusnardi, S.h., Harmaily Ibrahim,S.H., “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V. Sinar Bakti, Jakarta, 1981, h. 329.

Putusan MK yang membatalkan pasal 214 UU No.10 Th.2008 tersebut juga telah
mengembalikan makna “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya. Karena demokrasi pancasila
yang dianut di Indonesia berlandaskan pada kepastian hukum yang dapat dirasakan seluruh
warga Negara, dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek
perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara
institusional7.
Kedaulatan rakya secara harafiah berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maksudnya dari rakyat bahwa mereka yang duduk sebagai
penyelenggara Negara atau pemerintah haruslah dari seluruh rakyat. Oleh rakyat maksudnya,
bahwa mereka yang menyelenggarakan pemerintahan dilakukan oleh rakyat atau atas nama
rakyat atau yang mewakili rakyat. Demi kesejahteraan untuk seluruh rakyat.8
Fenomena baru yang unik terjadi ditengah maraknya perkembangan demokrasi di
Indonesia, yaitu penarikan kembali semua bantuan baik berupa uang maupun alat infrasruktur
yang telah disumbangkan caleg pada saat mereka mengadakan kampanye. Berdasarkan data-data
yang ditemukan oleh www.maubaca.com hal ini terjadi di beberapa daerah, diantaranya:9


Caleg SK di Dapil I Kabupaten Sumbawa menarik kembali bantuan sebuah mesin
genset yang di sumbangkannya ke mesjid. Selain itu, ia juga menarik bantuan dana
sebesar Rp 1 juta yang disumbangkannya ke dua mushallah.

7 Dr. Mahfud MD, “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Gama Media Offset, Yogyakarta, 1999, h. 50.”
8 DR. Bagir Manan, S.H., MCL, “Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, h. 56.

9 Op.cit., Detik.com, “CAleg Stres Tabrak Pagar Rumah Walikota”.



Caleg AH di Dapil I Kabupaten Sumbawa, sebelumnya ia menyumbang 100 buah
kursi plastik dan 25 zak semen ke sebuah MTS di Kecamatan Labangka, Namun
karena kecewa tidak meraih suara yang diharapkan, AH menarik kembali kursi dan
semen tersebut.



Oknum caleg di Kota Sumbawa Besar yang tidak disebut nama dan parpolnya,
meminta kembali uang sebesar Rp 20 ribu per orang yang diberikan dengan target 50
hingga 60 suara. Namun di pemilu, perolehan yang ada hanya ada saksi dan keluarga
tim sukses.



Caleg dari Kota Bogor, melalui tim suksesnya berinisial SB, menarik kembali ratusan
buku tabungan masing-masing senilai Rp50.000 bertuliskan Karya Nyata Sejahtera
yang dibagikan saat kampanye di Kampung Muara, RW 11/14, Kelurahan
Pasirjaya,Kecamatan Bogor Barat.Namun saat hasil suara dihitung, dari jumlah DPT
yang jumlahnya sekitar 900 suara, namanya hanya memperoleh di bawah 10 suara di
RW 11 dan 14.



Caleg dari Daerah Pemilihan I Dumai Timur memalui tim suksesnya mencabut
kembali lima tiang listrik yang telah dipasang untuk menyalurkan listrik kewarga
setempat.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, salah satu fungsi dari norma hukum adalah
sebagai pemberi informasi tentang apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat
(melanggar hukum) subjek hukum dalam pergaulan hidup bermasyarakat, dalam hal ini norma
hukum seyogyanya sebagai pembina, penuntun masyarakat untuk membatasi pengaruh budaya
luar, serta membatasi dalam artian membina perkembangan kebiasaan-kebiasaan utamanya
dimasyarakat

agar tidak mengembangkan budaya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya demokrasi, kedaulatan rakyat, sehingga
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, seperti “tidak akan memilih dalam
pemilu apabila tidak diberi uang, atau diberi peralatan infrastruktur”, maupun pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh calon legislatif seperti “serangan fajar”, sumbangansumbangan yang berlebihan yang diberi dengan tidak ikhlas, yang kalau seandainya tidak terpilih
akan ditarik kembali, dapat dikurangi atau bahkan tidak akan ada lagi kebiasaan-kebiasaan itu di

negeri ini, dan tentunya apabila pendanaan serta tata cara terhadap kampanye diatur dengan tegas
dan jelas, maka diharapkan tidak akan ada istilah “caleg stres” di pemilu legislatif mendatang.
2. Peran Partai Politik
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir dengan paraanggota yang
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan
politik dan merebut keedudukan politik dengan cara konstitusional guna melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.10 Legislatif adalah jabatan politik yang merupakan
kepanjangan tangan partai politik, hal ini diatur dalam pasal 7 UU No.10 Th.2008, yang
menentukan bahwa “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota adalah partai politik”. Yang seharusnya dijadikan pedoman oleh partai politik
disini adalah, kemampuan/pengetahuan, kapasitas, kualitas, serta popularitas dari caleg yang
bersangkutan, bukan karena caleg tersebut ingin sekedar berpartisipasi mengubah nasib bangsa,
apalagi caleg yang hanya sekedar coba-coba, atau ingin menjabat hanya karena kekuasaan dan
materi. Karena sesungguhnya “Masih banyak bidang-bidang lain jika ingin mengabdikan diri
pada negara/ kesejahteraan bangsa” seperti membangun sekolah atau mendirikan lembaga
penelitian yang dapat memberikan masukan-masukan pada pemerintah berdasarkan hasil
penelitian/ fakta-fakta di masyarakat.
Partai politik seharusnya berperan tidak hanya pada saat seleksi caleg, tapi juga ikut
berperan aktif dalam penanganan caleg yang stres, karena bagaimanapun juga caleg-caleg
tersebut telah memberikan sumbangsihnya terhadap partai politik. Hal ini dapat dilakukan
10 Zainal Abidin Saleh, S.h., M.h., “Demokrasi dan Partai Politik”, dalam “Jurnal
Legislasi Indonesia Vol.5 No. 1-Maret 2008”, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008, h. 70.

misalnya dengan membuka teraphy tres dan emosi, memberikan fasilitas pelayanan kesehatan
pascapemilu, ikut andil dalam membesarkan hati caleg beserta keluarganya, serta dengan tetap
mendampingi mreka dalam stiap perawatan (menjenguk ke RS/ RSJ), pendekatan agama,
diharapkan dapat meminimalisasi beban psikologis caleg yang gagal.
Peran partai politik lainnya, seharusnya berkewajiban memberikan pendidikan politik
pada para calegnya sebelum mencalonkan diri atau setidak-tidaknya memperhatikan
pengalaman, pengetahuan politik caleg pada saat penyeleksian caleg, hal ini mutlak diperlukan
karena terkait dengan jabatannya nanti, terdapat beberapa fungsi yang harus diemban anggota
legislatif, diantaranya:


Fungsi legislasi, yaitu membuat peraturan perundang-undangan;



Fungsi kontrol/ pengawasan jalannya pemerintahan;



Fungsi budget atau anggaran; serta



Fungsi sebagai wakil rakyat, yaitu sebagai lembaga yang menyerap aspirasi masyarakat demi
terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat/ bangsa.

Untuk itu, seorang caleg haruslah memiliki pemikiran dan jiwa pengabdian kepada rakyat/bangsa
dan bukan menganggap legislasi sebagai sebuah pekerjaan/jabatan untuk mendapatkan
kekuasaan dan materi.
Pada dasarnya syarat caleg telah diatur dengan jelas dan tegas dalam UU No.10 Th.2008,
yaitu pada pasal 12, pasal 13 dan pasal 50 yang apabila diuraikan, bagi banyak orang/caleg
tidaklah sulit untuk dipenuhi. Faktanya, selain persyaratan yang ditentukan dalam UU No.10

Th.2008, seorang caleg haruslah memiliki hal-hal yang dapat menarik simpati masyarakat/ calon
pemilih, diantaranya :


Memiliki popularitas/ dikenal massa sebagai pribadi yang baik, berwibawa, serta dapat
dipercaya oleh masyarakat;



Memiliki kemampuan, pengalaman serta pengetahuan yang cukup dalam berpolitik, memiliki
kemampuan yang baik dalam melakukan komunikasi politik;



Memiliki mental dan fisik yang kuat (jasmani dan rohani yang kuat) untuk menerima
kekalahan: serta



Memiliki dana kampanye (uang dingin), yang seharusnya adalah dana yang diluar/bukan
kebutuhan hidup pribadi serta kebutuhan hidup anggota keluarga lainnya.
Pasal 8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Teknis Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum
Tahun 2009 menentukan bahwa :
(1) Dalam pengajuan bakal calon, partai politik melakukan seleksi bakal calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai
dengan mekanisme internal partai politik yang bersangkutan.
Kewenangan penuh yang dimiliki partai politik untuk melaksanakan seleksi caleg memang telah
sesuai dengan fungsi dari partai polik itu sendiri, namun apabila tidak diawasi dengan ketat oleh
suatu instansi pengawas yang independent, dikhawatirkan akan menjadi celah bagi partai politik
untuk menyeleksi para caleg tidak sesuai dengan kemampuan dari para caleg itu sendiri. Untuk

itulah penyeleksian caleg oleh partai politik perlu diawasi, serta diperketat dalam
pelaksanaannya.

3. Pembatasan dana kampanye pemilu legislatif
Ketentuan terkait dengan pembatasan dana kampanye caleg, diatur dalam Peraturan
Komisi Pemiluhan Umum (KPU) Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Peraturan KPU No. 19 Th. 2008), khususnya Bab VI
yang mengatur tentang dana kampanye yang dalam pasal Pasal 52 Peraturan KPU No. 19 Th.
2008 ditentukan bahwa :
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing-masing.
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersumber dari: partai
politik; calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai
politik yang bersangkutan; dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa uang,
barang, dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan
pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu pada bank.
Sumber dana kampanye merupakan tanggung jawab partai politik. Berkaitan dengan
pasal 52 ayat (2) Peraturan KPU No. 19 Th. 2008, maka sumber dana kampanye yang berasal
dari caleg yang bersangkutan inilah diperlukan adanya “Pembatasan oleh KPU”. Misalnya
dengan membuat “standarisasi keuangan para caleg”, dalam artian diperlukan data-data akurat
dan valid terhadap kekayaan/ harta pribadi caleg, untuk kemudian data-data tersebut
dihubungkan dengan “batas maksimal harta dingin/bebas pakai”, yaitu harta yang diluar
kebutuhan hidup caleg dan keluarga. Apabila hasil dari penghubungan tersebut merupakan hasil

yang telah ditentukan oleh KPU sebagai “batas harta bebas pakai”, misalnya harta dingin seorang
caleg ditentukan tidak boleh kurang dari 1Milliyard rupiah, maka apabila caleg tersebut memiliki
harta dingin/ bebas pakai 1 millyard rupiah, ia dapat dinyatakan lolos seleksi dari segi keuangan
saja (tentunya diperlukan seleksi-seleksi lain). Dan harta pribadi caleg yang digunakan untuk
kampanye haruslah tidak boleh melebihi dari jumlah harta bebas yang awalnya dihitung/
ditentukan, misalnya ia memiliki 1 millyard rupiah untuk pendanaan kampanye, maka apabila
1millyard itu habis, ia tidak boleh menambah harta pribadi lagi, tetapi masih dapat menggunakan
sumber dana lain yang diperbolehkan Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini dirasa sangat penting, mengingat banyaknya caleg-caleg yang bahkan tidak siap
dari segi pendanaan kampanye, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan “modal”
tanpa melihat resiko yang akan dialami apabila tidak terpilih sebagai “Anggota Dewan Legislatif
Yang Terhormat”. Menghalalkan segala cara, seperti misalnya: menjual rumah, mobil, serta harta
benda lain yang dimiliki, hanya untuk modal kampanye. Tentunya dengan resiko yang sangat
besar yang tidak hanya akan merugikan diri sendiri tetapi juga berdampak negatif terhadap
orang-orang sekitar. Satu hal yang harus diingatkan adalah bahwa pencalonan caleg bukanlah
perjuadian, bukan pula lowongan pekerjaan/ jabatan, tetapi adalah pencarian calon-calon wakil
rakyat yang mampu dan siap mengabdi demi bangsa dan Negara, dan masih banyak bidang lain
untuk mengabdikan diri pada bangsa dan Negara.
Sedangkan sumber pendanaan melalui sumbangan, diatur dalam pasal Pasal 54 Peraturan
KPU No. 19 Th. 2008, ditentukan bahwa :
(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain, kelompok, perusahan,
dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)
huruf c tidak boleh melebihi Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
mencantumkan identitas yang jelas.
Namun, belum ditentukannya sanksi terhadap aturan pembatasan dana kampanye ini,
menjadikan aturan ini sangat berpeluang untuk dilanggar. Seharusnya, pembatasan dana
kampanye legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU No. 19 Th. 2008 ini lebih mendetail,
menyentuh data-data keuangan pribadi caleg, peruntukan dana oleh caleg yang seharusnya
dilakukan pelaporan dan pembukuan secara berkelanjutan selama proses kampanye berlangsung.
Dalam prakteknya, laporan dana kampanye dinilai tak efektif apabila hanya mengacu pada aliran
dana parpol saja, karena masih sering terjadi caleg sendirilah yang membiayai kampanyenya.
Di Amerika Serikat (AS), kini terdapat banyak aturan yang terkait dengan pembatasan
dana kampanye. Aturan-aturan tersebut memiliki tiga bentuk dasar, yaitu: 11
1. Keterbukaan publik (public disclosure). untuk memberikan informasi kepada publik, baik
selama penyelenggaraan kampanye maupun setelah kampanye. Mengenai pengaruh uang
terhadap pejabat-pejabat terpilih dan untuk membantu mengurangi akses-akses dan tindakan
penyalahgunaan, dengan cara meningkatkan risiko-risiko politik yang harus ditanggung oleh
mereka yang melakukan praktik-praktik seperti itu (meningkatkan sanksi hukumnya);
2. Pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits). untuk mengatasi masalah-masalah
yang ditimbulkan oleh pembengkakan biaya, dan oleh adanya beberapa kandidat yang
mempunyai lebih banyak uang dari yang lainnya (pembatasan dana kampanye);

11
Alfian
M,
“Kekuasaan
dan
http://alfanalfian.multiply.com/journal/item/171/Kekuasaan_dan_Uang, , diakses pada 17 februari 2011.

Uang”,

3. Pembatasan-pembatasan pemberian sumbangan (contributions restrictions) untuk mengatasi
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya kandidat yang mengikatkan diri pada
kepentingan-kepentingan tertentu (agar caleg terpilih tidak mengabdikan dirinya pada
kepentingan donator, melainkan pada bangsa dan negara). (Alexander:2003).
Untuk itulah, KPU sudah sewajarnya mengkoordinasikan diri dengan instansi-instansi
lain dalam hal keterbukaan publik serta dalam hal pembatasan dana kampanye. Misalnya dengan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dalam fungsinya sebagai lembaga Negara, memang
memiliki hubungan yang sangat erat dengan DPR, maupun DPRD. BPK memeriksa keuangan
Negara, yang kemudian hasilnya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya. BPK berkedudukan di Ibu kota Negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.12 Hal ini haruslah dimanfaatkan oleh KPU untuk bekerjasama dalam audit data-data
keuangan caleg.
Rekomendasi ini diambil dari rekomendasi yang dibuat oleh IFES (International
Foundation for Election Systems) pada tahun 2000. Menurut mereka, terdapat beberapa hal yang
harus dimasukan dalam pengaturan dana parpol dan dana kampanye, diantaranya:13
1. Pengeluaran partai politik untuk tujuan kampanye pemilu harus diambil dari dana
kampanye partai yang sudah resmi di audit. Partai politik tidak boleh meminta,
memberi wewenang atau menyetujui pengeluaran dana lain, baik oleh pribadi maupun
badan hukum untuk tujuan kampanye pemilu. Pengeluaran seperti itu hanya dapat
12 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., “Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara”, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan: Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MKRI), Jakarta, 2005, h. 80-81.

13 VIVAnews, “Menanggulangi Politik Uang Dalam Pemilu : Beberapa Rekomendasi Untuk Pengaturan
Dana Kampanye Pemilu”, http://www.cetro.or.id/pustaka/moneypol.html, diakses pada 17 februari 2011.

dilakukan sebagai sumbangan bagi dana kampanye resmi partai dan dilaporkan dalam
laporan keuangan partai pada periode berikutnya.
2. Seluruh dana yang dikumpulkan atau dikeluarkan oleh seorang caleg untuk tujuan
kampanye harus melalui dana kampanye partai politik yang mencalonkan caleg tersebut
dan telah diaudit. Para caleg tidak boleh menggunakan dana-dana lain untuk tujuan
kampanye pemilu.
3. Sumbangan yang diterima partai politik dalam bentuk barang atau jasa, baik secara
langsung maupun tidak langsung, harus diperlakukan sama dengan sumbangan dalam
bentuk uang. Sumbangan tersebut dinilai menurut nilai pasar yang berlaku. Pemberian
barang atau jasa kepada, atau untuk mendukung, sebuah partai politik atau seorang
caleg tanpa disertai pembayaran, atau disertai pembayaran yang nilainya lebih rendah
dari pasar yang berlaku, dianggap sumbangan. Individu-individu secara sukarela
diperkenankan menyumbang waktu pribadinya untuk mendukung sebuah partai politik
atau caleg, dan waktu tersebut tidak dianggap sebagai sumbangan selama individuindividu itu tidak dibayar oleh individu atau kelompok lainnya.
4. Apabila sebuah partai politik menerima sumbangan yang dilarang atau melebihi batas
yang ditentukan hukum, maka sumbangan itu harus dikembalikan ke donaturnya secara
keseluruhan atau jumlah yang melebihi batas dalam waktu 48 jam. Partai Politik
penerima harus membuat catatan mengenai pengembalian sumbangan tersebut dalam
laporan auditnya.
5. Sumbangan kontan, tanpa nama, atau tanpa catatan yang melebihi batas (dalam rupiah)
dilarang. Yang termasuk dalam sumbangan tanpa nama adalah tidak disebutkannya
nama lengkap penyumbang.
6. Sumbangan melalui (secara palsu dibuat atas nama) individu atau kelompok lain
dilarang. Seorang individu tidak boleh menerima uang atau penggantian uang lewat
orang lain atau perusahaan lain jika dia tercatat sebagai penyumbang (donatur) partai
yang telah dicatat dalam laporan audit partai.
7. UU Pemilu dan UU Partai Politik harus secara jelas menyatakan larangan penggunaan
dana, tenaga, fasilitas, persediaan, peralatan, perlengkapan atau sumber daya lain milik
negara atau pemerintah untuk mendukung caleg atau partai politik tertentu kecuali
diperbolehkan oleh hukum.
8. UU Pemilu secara khusus harus mencantumkan pembatasan sumbangan untuk dana
kampanye partai politik, yang dibedakan dari sumbangan kepada partai-partai politik di
bawah UU Partai Politik. Baik UU Pemilu maupun UU Partai Politik harus
mencantumkan pembatasan sumbangan atau total pengeluaran harus ditentukan secara
layak dan cukup tinggi untuk mengijinkan partai-partai politik mengumpulkan dan
mengeluarkan dana kampanye yang memadai dan agar penerapan batasan dana tidak
dipermainkan dan aktivitas keuangan “yang tidak dicatat” dapat dihindari.

9. Partai-partai politik harus menunjuk seorang pengurus yang bertanggung jawab atas
keuangan parpol, termasuk mencatat penyimpanan keuangan dan pelaporan, dan juga
mempekerjakan akuntan profesional untuk mengawasi pencatatan dan dokumentasi
yang layak.
10. KPU harus menentukan standar yang konsisten dengan prinsip-prinsip akuntansi
profesional dalam hal pencatatan transaksi partai politik, dan harus menyediakan
pelatihan untuk petugas-petugas partai politik dan petugas pembukuan yang
berhubungan dengan peraturan dana politik.
11. Partai-partai politik harus diminta untuk mencatat semua transaksi yang melibatkan
dana kampanye mereka di kantor pusat partai dalam waktu sesingkat mungkin
(menyimpan laporan yang terkonsolidasi tentang penerimaan dan pengeluaran untuk
diaudit), dan memelihara dokumentasi pendukung seperti kwitansi dan lain-lain.
12. Perlu dipertimbangkan penyediaan komputer di kantor pusat dan di kantor-kantor
cabang partai politik untuk penyimpanan dan pelaporan catatan dana politik, dengan
menggunakan piranti lunak dan jaringan internet yang secara khusus dirancang
(mungkin dapat dilakukan dengan bantuan dari donatur internasional) untuk mencatat
keuangan.
13. KPU harus menyediakan jasa perpustakaan untuk memperjelas pengungkapan laporanlaporan audit partai. Jasa-jasa seperti itu sebaiknya menawarkan akses untuk laporan
dan dokumen pendukung bagi media, akademisi, masyarakat atau individu yang
berminat.
14. Sebuah sistim denda uang yang bertingkat, sanksi administratif, dan sanksi pidana
harus dibuat sesuai dengan tingkat keseriusan pelanggaran-pelanggaran atas UU dan
peraturan dana politik, termasuk persyaratan untuk laporan penerimaan dan
pengeluaran partai politik secara lengkap dan akurat. Keseluruhan sistem peraturan
dana politik tidak berguna tanpa adanya penegakan pembatasan dan persyaratan yang
efektif dan adil.

4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penulisan ini : Putusan MK yang membatalkan pasal 214 UU No.10
Th.2008 telah mengembalikan demokrasi, kedaulatan rakyat pada makna yang sebenarnya, yaitu
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pembatasan dana kampanye yang harus dibenahi oleh
KPU tidak hanya terkait dengan laporan dana kampanye oleh partai politik, akan tetapi

diperlukan pengawasan menyeluruh terkait dengan sumber dana, serta peruntukan dana baik
sebelum, saat kampanye, serta setelah kampanye berlangsung.
Adapun beberapa saran yang dapat penulis sampaikan terkait permasalahan ini adalah
sebagai berikut :


Perlu diadakan pembatasan dana kampanye dalam peraturan pemilu legislatif, agar tidak
terjadi hal-hal yang pada akhirnya merugikan caleg itu sendiri serta merugikan anggota
keluarga dan orang dekat. Pembatasan dana kampanye ini sebaiknya diamati dan diawasi
dengan sangat ketat oleh KPU melalui laporan pendanaan kampanye caleg. KPU dapat
bekerjasama dengan instansi lain, seperti BPK. Dan diadakan sanksi yang tegas terhadap
pelanggaran pendanaan kampanye.



Perlunya aturan yang lebih tegas dalam memperketat seleksi calon legislatif. Hal ini selain
untuk mengukur kemampuan caleg, juga agar caleg-caleg yang terpiih benar-benar caleg
yang berkualitas. Peran partai politik perlu ditingkatkan dalam hal pemberian pendidikan
politik, informasi-informasi yang terbuka, jelas kepada para calegnya. Partai politik juga
berkewajiban dalam penanganan para caleg yang gagal terpilih.



Pembinaan melalui norma hukum baik kepada masyarakat, partai politik, maupun kepada
caleg perlu direalisasikan secara menyeluruh, dan berkelanjutan, agar tidak terjadi bias
demokrasi dalam pemilu di Indonesia.



Penerapan aturan perundang-undangan, mutlak memerlukan peran serta masyarakat secara
luas, sehingga dalam hal ini peran serta masyarakat sangatlah diperlukan dalam hal
melaporkan adanya pelanggaran-pelanggaran pada pelaksanaan kampanye serta pemilu.

Untuk itulah diperlukan peran aparat penegak hukum agar menjamin penuh keselamatan para
pelapor melalui perlindungan saksi yang harus terus disosialisasikan oleh aparat, sehingga
nantinya diharapkan masyarakat awam tidak takut dalam melaporkan pelanggaranpelanggaran. Tentunya hal ini memerlukan pula aparat-aparat penegak hukum yang bersih,
jujur, serta mengemban tugas-tugasnya sebagai aparatur penegak hukum sesuai dengan kode
etik profesi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abidin Saleh, Zainal S.h., M.h., “Demokrasi dan Partai Politik”, dalam “Jurnal
Legislasi Indonesia Vol.5 No. 1-Maret 2008”, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008, h. 70.
Bagir Manan, D.r., S.H., MCL, “Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, h. 56.
Jimly Asshiddiqie, Prof. Dr., S.H., “Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara”, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Jakarta, 2005, h. 80-81.
Kusnardi, Moh., S.h., Harmaily Ibrahim,S.H., “Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia”, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V.
Sinar Bakti, Jakarta, 1981, h. 329.
Mahfud MD, Dr., “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Gama Media Offset,
Yogyakarta, 1999, h. 50.”
Artikel Internet
Alfian
M,
“Kekuasaan
dan
http://alfanalfian.multiply.com/journal/item/171/Kekuasaan_dan_Uang, , diakses
februari 2011.

Uang”,
pada 17

Detik.com, “Caleg Stres Tabrak Rumah Walikota”, ”,
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajian-filsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yang-strespasca-pemilu/, diakses pada 17 februari 2011.
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/06/kajian-filsafat-dan-psikologi-mengenai-caleg-yangstres-pasca-pemilu/, diakses pada 17 februari 2011.
Rully, “Caleg Stres”, http://rully4.wordpress.com/2009/04/14/caleg-stres-posting-ceritapasca-pemilu-legislatif/, diakses pada 17 februari 2011.
TEMPO
Interaktif,
“Dua
Caleg
Stres
Masuk
Rumah
Sakit”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/04/14/brk,20090414170334,id.html, diakses pada 17 februari 2011.
VIVAnews, “Menanggulangi Politik Uang Dalam Pemilu : Beberapa Rekomendasi Untuk
Pengaturan Dana Kampanye Pemilu”, http://www.cetro.or.id/pustaka/moneypol.html, diakses
pada 17 februari 2011.

www.hidayatullah.com, “Caleg Stres Semakin Bergelimpangan” diakses pada 17 februari
2011.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perbahan Kedua Atas Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UU No.10 Th.2008).
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis
Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Tahun 2009.
Peraturan Komisi Pemiluhan Umum (KPU) Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Peraturan KPU No. 19 Th. 2008).