Coping Stres Calon Anggota Legislatif Tidak Terpilih dalam Pemilu Legislatif 2009

(1)

COPING STRESS CALON ANGGOTA LEGISLATIF

TIDAK TERPILIH PADA PEMILU

LEGISLATIF 2009

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

ZULVIA AZTRADIANA

051301092

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010


(2)

SKRIPSI

COPING STRESS CALON ANGGOTA LEGISLATIF

TIDAK TERPILIH PADA PEMILU

LEGISLATIF 2009

Dipersiapkan dan disusun oleh :

ZULVIA AZTRADIANA 051301092

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 22 Desember 2009

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel Sp. A(K) NIP. 140 080 762

Tim Penguji

1. Ari Widiyanta, M. Si, Psikolog Penguji I/Pembimbing NIP. 197410282000121001

2. Ridhoi Meilona Purba, M. Si Penguji II 3. Juliana Irmayanti S., M. Psi Penguji III


(3)

Coping Stres Calon Anggota Legislatif Tidak Terpilih dalam Pemilu Legislatif 2009

Zulvia Aztradiana dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Indonesia pada tahun 2009 mengadakan dua pemilihan umum, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada pemilihan legislatif, banyak sekali partai-partai baru yang bermunculan, dan juga keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pemilihan sistem suara terbanyak membuat banyak orang dalam seketika menjadi calon anggota legislatif (caleg). Setiap caleg berpikir akan memiliki peluang untuk dapat menjadi anggota legislatif. Masing-masing caleg memiliki keinginan dan cita-cita tersendiri, sehingga untuk mencapai cita-cita tersebut, banyak caleg yang akan melakukan berbagai cara untuk mewujudkannya. Dan layaknya dalam suatu kompetisi, maka ada yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan merupakan suatu peristiwa yang tidak menyenangkan dan dapat menimbulkan stres. Agar dapat mengatasi stres tersebut, maka caleg membutuhkan fungsi coping.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran coping stres calon anggota legislatif (caleg) tidak terpilih dalam pemilu legislatif 2009. Teori stres, appraisal, dan strategi coping stres yang terdiri dari problem focused coping dan emotion focused coping oleh Lazarus dan Folkman digunakan untuk menggambarkan situasi stres yang dialami caleg tidak terpilih.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing gagal dalam pemilu legislatif 2009. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan fokus pada intensitas. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam dan observasi selama wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres ketiga responden berasal dari masyarakat dan finansial. Masing-masing responden melakukan coping stres yang berbeda-beda, dimana coping tersebut dapat berupa emotion focused coping dan problem focused coping. Problem focused coping digunakan ketika responden langsung bisa mendefinisikan masalah, memilih alternatif pemecahan masalah, dan langsung melakukan tindakan. Sedangkan emotion focused coping digunakan ketika responden mengetahui hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk merubah situasi stres.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, peneliti dapat merampungkan skripsi bidang psikologi sosial dengan judul : Coping Stress Calon Anggota Legislatif yang Tidak Terpilih dalam Pemilihan Umum Legislatif 2009. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam kerja-kerja selanjutnya.

Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulusnya kepada :

1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K). Selaku Dekan Fakultas Psikologi

2. Bapak Ari Widyanta, M. Si, sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima Kasih atas masukan, nasehat, dan ide-ide kreatif yang bapak berikan selama ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan bapak selama ini dengan jannahNya.

3. Kak Ridhoi Meilona Purba, M. Si., sebagai dosen penguji II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran dan ilmunya yang sangat berarti bagi peneliti. Semoga Allah selalu melimpahkan kasih sayang-Nya yang tak berbalas kepada kakak.

4. Kak Juliana Irmayanti, M. Psi., selaku dosen penguji III yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran dan ilmunya pada peneliti. Semoga bisa menjadi bekal peneliti dikemudian hari dan menjadi amal jariyah bagi ibu nantinya, Amin


(5)

5. Orang tua tercinta, Mardiana Hasda & Azri Mustafa, terima kasih atas segala cinta dan pengorbanannya untuk ananda. Semoga Allah membalas segalanya dengan jannah-Nya. Adek-adekku tersayang, Zulvo Martinaz & Zulichsan Azdian, terima kasih atas segala celotehan yang telah menghibur kakak ketika dalam

6. Sahabat terbaikku, Devi Chairani Hasibuan, S. Kep., yang selalu memberikan motivasi ketika diri ini lelah dalam berjuang.

7. Kepada teman-teman seperjuangan, Retno Keumalasari, Dian Mardiah, S. Psi., Rena Kinnara, Adrianti Tanjung dan semua teman-teman stambuk 2005 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas masukan, dan semangatnya.

8. Terima kasih juga peneliti ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu peneliti mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya kepada Allah peneliti berserah diri, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amiin.

Medan, Desember 2009


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 17

A. Stres ... 17

1. Definisi Stres ... 17

2. Sumber Stres/Stressor ... 19

3. Penilaian Terhadap Stres ... 20

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Terhadap Stres ... 21

B. Coping Stres... 23

1. Definisi Coping Stres ... 23

2. Proses Coping Stres ... 24

3. Strategi Coping Stres ... 25

C. Calon Anggota Legislatif ... 27

1. Definisi Calon Anggota Legislatif ... 27

2. Syarat Menjadi Anggota Legislatif ... 28


(7)

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Kualitatif ... 32

B. Responden Penelitian ... 33

1. Karakteristik Responden ... 33

2. Jumlah Responden ... 33

3. Teknik Pengambilan Responden ... 34

4. Lokasi Penelitian ... 35

C. Metode Pengambilan Data... 35

D. Alat Bantu Pengambilan Data ... 36

E. Prosedur Penelitian ... 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 38

3. Tahap Pencatatan Data ... 39

F. Kredibilitas Penelitian ... 40

G. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data ... 41

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 43

A. Deskripsi Data ... 43

B. Analisa Data... 44

1. Responden I ... 44

a. Latar Belakang Responden ... 44

b. Data Hasil Wawancara ... 46

2. Responden II ... 58

a. Latar Belakang Responden ... 58


(8)

3. Responden III ... 62

a. Latar Belakang Responden ... 62

b. Data Hasil Wawancara ... 63

C. Interpretasi Data ... 74

1. Responden I ... 74

a. Stres ... 74

b. Strategi Coping Stres ... 75

c. Sumber Daya Eksternal ... 76

2. Responden II ... 78

a. Stres ... 78

b. Strategi Coping Stres ... 79

c. Sumber Daya Eksternal ... 80

3. Responden III ... 81

a. Stres ... 81

b. Strategi Coping Stres ... 82

c. Sumber Daya Eksternal ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 85

1. Saran Praktis ... 85

2. Saran Penelitian Selanjutnya... 86


(9)

Coping Stres Calon Anggota Legislatif Tidak Terpilih dalam Pemilu Legislatif 2009

Zulvia Aztradiana dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Indonesia pada tahun 2009 mengadakan dua pemilihan umum, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada pemilihan legislatif, banyak sekali partai-partai baru yang bermunculan, dan juga keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pemilihan sistem suara terbanyak membuat banyak orang dalam seketika menjadi calon anggota legislatif (caleg). Setiap caleg berpikir akan memiliki peluang untuk dapat menjadi anggota legislatif. Masing-masing caleg memiliki keinginan dan cita-cita tersendiri, sehingga untuk mencapai cita-cita tersebut, banyak caleg yang akan melakukan berbagai cara untuk mewujudkannya. Dan layaknya dalam suatu kompetisi, maka ada yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan merupakan suatu peristiwa yang tidak menyenangkan dan dapat menimbulkan stres. Agar dapat mengatasi stres tersebut, maka caleg membutuhkan fungsi coping.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran coping stres calon anggota legislatif (caleg) tidak terpilih dalam pemilu legislatif 2009. Teori stres, appraisal, dan strategi coping stres yang terdiri dari problem focused coping dan emotion focused coping oleh Lazarus dan Folkman digunakan untuk menggambarkan situasi stres yang dialami caleg tidak terpilih.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing gagal dalam pemilu legislatif 2009. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan fokus pada intensitas. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam dan observasi selama wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres ketiga responden berasal dari masyarakat dan finansial. Masing-masing responden melakukan coping stres yang berbeda-beda, dimana coping tersebut dapat berupa emotion focused coping dan problem focused coping. Problem focused coping digunakan ketika responden langsung bisa mendefinisikan masalah, memilih alternatif pemecahan masalah, dan langsung melakukan tindakan. Sedangkan emotion focused coping digunakan ketika responden mengetahui hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk merubah situasi stres.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (KPU, 2009). Pemilu secara langsung ini memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih secara langsung pilihannya baik dalam pemilu presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif.

Babak baru pemilu langsung di Indonesia dimulai pada pemilu legislatif 2009. Jika di pemilu sebelumnya rakyat hanya bisa memilih partai politik, di pemilu kali ini rakyat bisa langsung memilih anggota legislatif yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (Zheng, 2009). Pemilu 2009 diikuti sebanyak 44 partai yang terdiri dari partai nasional dan partai lokal. Dengan sistem pemilu langsung dan jumlah partai yang besar maka pemilu legislatif memberikan peluang yang besar pula bagi rakyat Indonesia untuk berkompetisi menaikkan diri menjadi anggota legislatif baik melalui partai (untuk DPR, DPRD tingkat I, & DPRD tingkat II) maupun independen (untuk DPD).

Berdasarkan data yang didapat dari media center KPU (Komisi Pemilihan Umum), pada pemilu legislatif 2009 terdapat 44.598 caleg dari 44 partai yang memperebutkan puluhan ribu kursi anggota dewan (tidak termasuk DPD/Dewan


(11)

Perwakilan Daerah), dengan total jumlah kursi anggota dewan yang tersedia hanya sekitar 854 untuk seluruh Indonesia (Media Center KPU, 2009).

Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih adalah caleg yang mendapatkan suara terbanyak, sehingga nomor urut caleg menjadi tidak terlalu berpengaruh. Hal ini berarti bahwa caleg dengan nomor urut bawah akan tetap terpilih jika caleg dapat meraih suara lebih banyak daripada caleg yang memiliki urutan teratas tapi memperoleh suara lebih sedikit. Sistem suara terbanyak ini menuntut caleg secara individual untuk lebih banyak proaktif berkampanye daripada mengandalkan kampanye partai (Surya, 2009).

Ketetapan MK tersebut membuat banyak caleg berlomba-lomba mempublikasikan dirinya agar kelak banyak yang memilihnya saat pemungutan suara. Hal ini tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Caleg yang berasal dari status ekonomi menengah ke bawah akan mengupayakan dana dari manapun agar wajahnya dapat dikenali oleh orang banyak. Mereka melakukan berbagai macam cara diantaranya menjual mobil, rumah, dan menggadaikan barang-barang berharga seperti tanah, sepeda motor, dan perhiasan (Sunardi dalam Sumut Pos, 2009).

Sunardi (dalam Sumut Pos, 2009) menyatakan nilai transaksi yang diperoleh pegadaian meningkat 41 % atau Rp. 7,5 miliar selama masa pesta demokrasi dibanding periode 2008 dan tidak menutup kemungkinan faktor kenaikan tersebut diakibatkan suasana kampanye menjelang pemilu yang ditandai dengan adanya beberapa caleg yang mendatangi pegadaian untuk menggadaikan


(12)

benda berharga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pimpinan pegadaian cabang Medan berikut:

“Rata-rata barang berharga yang digadaikan adalah emas. Beberapa kali para nasabah dan pegawai di sini melihat ada caleg yang datang dan menggadaikan emasnya. Mungkin mereka kenal para caleg tersebut dari poster para caleg yang banyak terpampang di jalan.”

(Sunardi dalam Sumut Pos, 2009) Pegadaian tidak hanya ramai sebelum pemilu legislatif terjadi, pasca pemilu pun banyak caleg yang mendatangi pegadaian untuk menggadaikan barang berharga mereka. Begitu juga dengan showroom, yang sebelumnya didatangi para caleg dengan tujuan membeli mobil untuk mendukung kegiatan kampanyenya, usai pemilu legislatif banyak caleg yang mengembalikan mobilnya ke showroom. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah seorang pengusaha showroom mobil di jalan Karya Jasa berikut :

“Kemarin ada caleg dari Siantar yang hendak menjual mobil Avanza tahun 2006 dengan harga murah, tapi saya menolaknya karena saat itu saya lagi tidak memiliki uang .”

(Idris dalam Sumut Pos, 2009) Pemilu legislatif 2009 menjadi sebuah ajang kompetisi bagi para caleg dalam memperebutkan kursi dewan, dan layaknya dalam suatu kompetisi, ada yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan dalam pemilu legislatif dapat memberikan kontribusi bagi para caleg untuk mengalami stres. Stres merupakan sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi (Lazarus dalam Musbikin, 2005). Kegagalan dalam pemilu legislatif dapat dikatakan sebagai peristiwa yang penuh dengan stres (stresful), jika peristiwa tersebut dipersepsikan oleh individu sebagai suatu peristiwa yang dapat menimbulkan stres (Lazarus dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009).


(13)

Menurut Taylor, dkk (2009), ada beberapa tipe dari suatu peristiwa yang dapat dinilai sebagai suatu peristiwa yang dapat menimbulkan stres diantaranya adalah peristiwa yang tidak menyenangkan, tidak dapat dikontrol ataupun diprediksi, peristiwa yang ambigu, dan kejadian yang tidak dapat diselesaikan masalahnya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peristiwa yang dapat menimbulkan stres bagi para caleg adalah peristiwa yang menimbulkan perasaan negatif atau peristiwa yang tidak menyenangkan dan peristiwa yang tidak dapat diprediksi atau dikontrol.

Beberapa data yang didapat dari wawancara awal dan harian Sumut Pos (2009), menunjukkan ada beberapa caleg yang tidak menyangka dengan suara yang diperolehnya dalam pemilu legislatif 2009. Hal ini dapat dilihat dari komentar seorang caleg gagal yang berasal dari Tebing Tinggi :

”Secara keseluruhan saya hanya mendapatkan 100-an suara. Sementara di TPS daerah rumah saya, saya hanya mendapatkan 17 suara. Ini kan berarti hanya 17 orang tetangga saya yang percaya dengan saya. Yang saya tidak dapat percaya lagi, para preman yang banyak dapat suara. Sementara saya yang kerjanya memang mengabdi untuk masyarakat hanya mendapatkan 17 suara di sini.”

(Sani, komunikasi personal, 9 Mei 2009) Hal serupa juga terjadi pada Toni (bukan nama sebenarnya), ia mengaku tak habis pikir dengan hasil perhitungan suara. Prediksi raihan suara di daerah pemilihannya melenceng dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Toni mengaku sudah menghabiskan dana lebih dari seratus juta rupiah untuk mengupayakan duduk di kursi dewan. Kini ia lebih banyak uring-uringan dan berteriak menyalahi masyarakat yang dia anggap telah membodohi dia (dalam Sumut Pos, 2009). Dari kedua pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegagalan meraih suara dalam pemilu legislatif 2009 merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan


(14)

perasaan negatif karena kegagalan atau kekalahan tersebut merupakan peristiwa yang tidak dapat diprediksi ataupun dikontrol.

Dana dan tenaga yang dikerahkan untuk kampanye juga berpengaruh dalam tingkat stres bagi para caleg. Semakin banyak dana dan tenaga yang dikeluarkan caleg maka secara umum semakin tinggi tingkat stres jika tidak terpilih. Sebaliknya, semakin sedikit dana dan pikiran yang dicurahkan seorang caleg untuk merebut kursi dewan, tingkat stresnya cenderung rendah (Riyanto, dalam Surya, 2009).

Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang terjadi pada Zul (bukan nama sebenarnya). Selepas perhitungan suara Zul terlihat lebih banyak bolak-balik keluar masuk rumah, yang diikuti dengan bahasa tubuh memegang kepala dan berkacak pinggang, serta lebih sering terlihat di warung tuak. Zul mengaku telah menghabiskan dana lebih dari delapan ratus juta rupiah, namun hanya memperoleh 5 suara. Zul menganggap warga telah menipu dan memanfaatkan dia tapi tidak memilih dia dalam pemilu (dalam Sumut Pos, 2009).

Warjio (dalam Sumut Pos, 2009) menyatakan bahwa banyak caleg yang terlanjur mimpi indah menjadi seorang anggota legislatif. Mimpi-mimpi tersebut telah membuai mereka sehingga hal ini yang mungkin menjadi salah satu dorongan bagi caleg untuk berani mengeluarkan sejumlah dana yang besar agar mimpinya terwujud. Namun mimpi tidak selamanya dapat terwujud sesuai dengan keinginan. Keinginan-keinginan yang tidak dapat diwujudkan akan menimbulkan perasaan negatif yang nantinya berpotensi menimbulkan stres pada diri individu. Hal ini diperkuat dengan pendapat Lahey (2007) yang menyatakan bahwa ketika individu tidak mampu untuk mencapai motifnya, maka individu tersebut akan


(15)

menjadi frustrasi, dimana frustrasi merupakan salah satu faktor yang membuat individu menjadi stres. Berikut dapat dilihat komentar Warjio mengenai caleg gagal (dalam Sumut Pos, 2009) di bawah ini :

“Disini terlihat banyak caleg asal comot. Padahal secara mental para caleg belum siap. Wajar saja kita lihat banyak caleg yang berjatuhan. Mulai bunuh diri, stres berat, stroke, dan gegabahnya caleg menarik kembali bantuan materinya dari masyarakat.”

Selanjutnya Warjio (dalam Sumut Pos, 2009) menambahkan bahwa mimpi-mimpi tersebut juga membuat para caleg menganggap diri mereka sudah siap, padahal tidak secara ekonomi, mental, psikologi, dan politik. Ketidaksiapan para caleg tersebut dapat dilihat dari komentar ketua seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Tebing Tinggi yang juga merupakan seorang caleg gagal berikut:

“Sewaktu masa kampanye, lurah daerah sini mengundang semua caleg dapil (daerah pemilihan, peneliti) sini untuk menyampaikan visi dan misinya. Tapi yang ada malah membuat saya miris. Semua caleg tolak-tolakan untuk menyampaikan visi dan misinya. Pada nggak berani. Gimana nanti mau menyampaikan aspirasi rakyat kalau dia jadi anggota dewan, ya kan?”

(Sani, komunikasi personal, 9 Mei 2009) Calon anggota legislatif tidak hanya harus cerdas menerima kemenangan dalam pemilihan legislatif, tetapi yang terpenting lagi adalah bagaimana caleg juga harus memiliki kecerdasan untuk mau menerima kekalahan dalam pemilu legislatif. Kecerdasan menerima kekalahan ini sangat perlu dimiliki oleh setiap caleg, sebab yang selama ini timbul adalah ketika petarung kalah dalam pertarungan politik, yang bersangkutan tak mau mengakui kemenangan lawan, namun justru sebaliknya, berbalik mengugat kemenangan lawannya (Peribadi, 2009). Dapat dilihat dari pernyataan salah seorang caleg gagal di bawah ini :


(16)

“Preman-preman itu menang karena mereka main duit. Sampai-sampai masyarakat pada bingung mereka harus milih yang mana, karena banyak yang ngasih mereka duit. Bisa saya pastikan, sebagian besar caleg yang naik itu semuanya pake duit.”

(Sani, komunikasi personal, 9 Mei 2009) Setelah individu mengalami kejadian yang membuat stres, individu biasanya berusaha untuk mengatasinya (Sears, 2009). Menurut Lazarus (dalam Sears, 2009), cara untuk mengatasi kondisi stres adalah dengan melakukan coping. Selanjutnya, Lazarus (dalam Sears, 2009) mengatakan bahwa coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dalam penelitian ini, coping stres mengacu pada suatu upaya yang dilakukan individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stres yang ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu.

Menurut Aspinwall (dalam Taylor, dkk., 2009) coping terhadap kejadian yang menekan adalah proses yang dinamis. Proses coping tersebut dimulai dengan penilaian terhadap situasi yang harus individu atasi. Penilaian ini penting bagi usaha untuk mengelola situasi yang menekan. Menilai kejadian sebagai tantangan dapat menghasilkan upaya coping yang penuh percaya diri dan emosi positif, sedangkan menganggap kejadian stressor sebagai ancaman dapat menurunkan kepercayaan diri dan menimbulkan emosi negatif (Skinner, dalam Taylor, dkk., 2009). Kedua penilaian ini disebut sebagai penilaian primer (primary appraisal).

Selanjutnya langkah penilaian yang kedua adalah penilaian sekunder (secondary appraisal). Pada tahap ini, individu mengevaluasi potensi atau kemampuannya dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian (Lazarus, dalam Santrock,


(17)

2003). Penilaian sekunder ini merupakan suatu proses yang terlibat dalam memilih strategi coping yang digunakan untuk merespon situasi stres (Lazarus, dalam Baron & Graziano, 1991).

Ada dua strategi coping yang digunakan untuk merespon situasi stres yaitu usaha pemecahan masalah (problem focused coping) dan pengaturan emosi (emotion focused coping) (Lazarus dalam Taylor, dkk., 2009). Stanton (dalam Taylor, dkk., 2009) menyatakan bahwa problem focused coping adalah usaha untuk melakukan sesuatu yang konstruktif guna mengubah situasi stress. Salah satu strategi coping yang dilakukan oleh salah seorang caleg gagal dapat dilihat dari pernyataan di bawah ini :

“Tujuan saya menjadi anggota dewan adalah untuk mengabdi pada masyarakat, jadi walaupun sekarang saya tidak terpilih menjadi anggota dewan, saya akan tetap mengabdi pada masyarakat dengan cara yang lain seperti yang sudah saya lakukan selama ini sebagai seorang ustadz.”

(Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei 2009) Selanjutnya emotion focused coping adalah suatu usaha untuk menata reaksi emosi terhadap kejadian stressor (Stanton, dalam Taylor, dkk., 2009). Coping yang berpusat pada emosi merupakan cara yang cukup baik, dimana individu mencoba merasakan perasaan-perasaan yang positif, menyenangkan, dan dengan berpikir optimis atas peristiwa-peristiwa yang buruk (Chang dalam Baron & Byrne, 2005). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah satu caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009 di bawah ini :

“Yah, saya pikir ini semua ada hikmahnya. Teman-teman saya juga pada menghibur saya, mereka bilang untung saya nggak jadi naik, kalau nggak saya mungkin ikut-ikutan jadi anggota dewan yang tidak baik. Karena kan kita lihat di Tebing Tinggi ini, caleg yang naik rata-rata preman-preman gitu. Saya pikir pun, jadi anggota dewan malah nambah kerjaan saya.”


(18)

Lebih lanjut Lazarus (dalam Taylor, dkk., 2009) menyatakan bahwa usaha coping umumnya dianggap lebih sukses jika bisa mereduksi kegelisahan psikologis dan indikatornya, seperti detak jantung, denyut nadi, atau gejala lainnya. Kriteria kedua dari coping yang sukses adalah seberapa cepat orang dapat kembali ke aktifitas normalnya. Banyak kejadian yang menekan bisa mengganggu aktifitas normal sehari-hari, mengganggu pekerjaan, dan mengganggu waktu senggang.

Hal ini dapat dilihat dalam harian surat kabar Sumut Pos (17 April 2009) yang memberitakan mengenai Yadi (salah satu anggota dewan di Medan) yang pasca pelaksanaan pemilu legislatif 2009 enggan masuk kantor selama beberapa minggu karena tidak percaya dengan hasil suara yang diperolehnya, sehingga beberapa minggu waktu kerjanya dihabiskan untuk memeriksa suaranya di KPU.

Hal serupa diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang caleg gagal bernama Sani (bukan nama sebenarnya) mengenai Wawan (bukan nama sebenarnya), yang juga salah satu caleg gagal yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan pemuka agama di daerahnya. Karena suara yang diperoleh tidak dapat mengantarkannya menuju kursi dewan, membuat ia memutuskan untuk tidak lagi terlibat aktif dalam mengisi pengajian di daerahnya. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada salah satu teman Wawan yang juga merupakan caleg gagal :

“Terus terang saya kecewa dengan sikap Wawan. Wawan tidak lagi mau mengisi pengajian karena ia kecewa dengan masyarakat yang tidak mau memilih ia. Padahal ini kan sudah ketentuan Allah. Seharusnya ia bisa mengambil hikmah dari semua ini.”


(19)

Apabila coping bisa mengembalikan ke situasi semula, maka dapat dikatakan coping itu sukses. Terakhir, dan yang paling umum, coping dinilai berdasarkan efektifitasnya dalam mengurangi tekanan psikologis, seperti kecemasan dan depresi (Lazarus dalam Taylor, dkk., 2009).

Efektifitas dari proses coping dipengaruhi oleh beberapa sumber daya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Taylor (2009) yang menyatakan bahwa coping melibatkan dua sumber daya coping, yaitu sumber daya internal dan sumber daya eksternal. Sumber daya internal adalah gaya coping dan atribut personal. Sedangkan sumber daya eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, dan kejadian lain yang mungkin terjadi pada saat yang sama. Semua faktor ini saling berinteraksi dalam mempengaruhi proses coping.

Dalam hal mengurangi tekanan psikologis, kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain (Baron & Byrne, 2005) adalah hal yang bermanfaat tatkala individu mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Frazier dalam Baron & Byrne, 2005). Hal ini adalah karena berhubungan dengan orang lain merupakan sumber dari rasa nyaman ketika individu merasa tertekan. Kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain disebut dengan dukungan sosial. Kebutuhan untuk mendapatkan dukungan sosial agar mengurangi rasa tertekan tersebut dapat dilihat dari pernyataan salah satu caleg berikut ini :

“Sudahlah saya sedih karena pemilu kemaren, anak dan cucu saya pulang pula ke Aceh dan Jakarta. Semakin sedih lah saya.”


(20)

Menurut Setiawan (2009), anggota keluarga memiliki peran dengan menghibur dan menasihati caleg yang gagal terpilih pada pemilu 9 April 2009, sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang bersangkutan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan istri dari seorang caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009 :

“Munafik lah kalau saya bilang saya nggak kecewa. Tapi saya tidak mau menunjukkan kekecewaan saya yang terlalu berlebihan, karena kalau kayak gitu nanti suami saya malah semakin down dan stres.”

(Komunikasi Personal, 9 Mei 2009) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial baik dari keluarga maupun teman sejawat dapat membantu caleg yang mengalami stres untuk melewati masa stresnya bahkan dapat mengatasi stres tersebut. Hal inilah yang membuat individu yang mengalami peristiwa yang dipersepsikan negatif atau stres harus melakukan coping agar dapat menjalani aktifitas harian seperti biasanya.

Selanjutnya faktor lain yang dapat mempengaruhi coping individu dalam menangani peristiwa yang stressful adalah adanya stressor lain seperti gangguan sehari-hari dan persepsi masyarakat. Dalam penelitian ini, persepsi masyarakat dapat dikatakan sebagai stressor karena pengetahuan para caleg mengenai persepsi masyarakat terhadap kegagalannya dapat mempengaruhi kepercayaan diri caleg dalam usaha copingnya.


(21)

Beberapa persepsi atau penilaian masyarakat terhadap kegagalan yang dialami oleh para caleg dapat dilihat di bawah ini:

”Mereka sih terlalu berambisi kali jadi anggota dewan. Muluk-muluk waktu kampanye. Jadinya kalau kalah ya gitulah, kalang kabut mikirin utang yang dah numpuk. Tuh ada caleg yang jual rumah gara-gara mau bayar hutang. Kasian jadi ngelihat anak dan istrinya.”

(mahasiswa, 10 Juni 2009) ”Seharusnya para caleg yang sudah kalah, ya sudahlah ikhlas saja menerima kekalahannya. Toh dengan mereka minta kembali dana dan barang yang sudah mereka berikan kepada masyarakat malah membuat harga diri mereka jatuh di depan masyarakat.”

(Karyawan, 10 Juni 2009) Beberapa caleg yang mengalami perasaan tertekan dan malu terhadap keluarga besar, tetangga, maupun masyarakat sekitar membuat beberapa caleg gagal sering mengurung diri di kamar dan memutuskan untuk tidak terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari data yang dikumpulkan oleh Bahari (2009) berikut ini:

”Seorang caleg di Cirebon, Jawa Barat, kini sering melamun dan mengurung diri. Nasib ini menimpa Iwan Setiawan, caleg Partai Patriot asal Kabupaten Kuningan. Apa yang dialami Iwan ini bisa jadi hanya satu dari banyak kasus yang bakal terjadi. Setelah mengetahui hasil penghitungan suara tidak sesuai harapan, pria berusia 29 tahun ini mendadak menjadi pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Keluarganya menduga, perilaku Iwan Setiawan terjadi karena kekalahannya dalam pemilu 9 April lalu. Iwan Setiawan memang telah menghabiskan uang yang banyak untuk kampanye. Setidaknya Rp 300 juta ludes dibuyurkan.”

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa banyak hal yang sangat mungkin terjadi pada caleg setelah gagal dalam pemilu legislatif 2009. Hal inilah yang membuat peneliti ingin menggali lebih dalam dan komprehensif mengenai bagaimana stres yang dialami caleg gagal dan bagaimana strategi coping yang dilakukan dalam menghadapi kegagalannya dengan melihat


(22)

peranan dukungan sosial dan sumber daya uang dan waktu berdasarkan teori proses coping yang dikemukakan oleh Taylor (2009).

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu :

1. Bagaimana stres yang dialami oleh caleg gagal?

2. Bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh caleg gagal? 3. Mengapa mereka menggunakan strategi coping tersebut?

4. Bagaimana peranan dukungan sosial dalam proses coping yang dilakukan caleg gagal?

5. Bagaimana peranan dari ketersediaan sumber daya uang dan waktu dalam proses coping caleg gagal?

6. Bagaimana pengaruh dari persepsi masyarakat terhadap proses coping caleg gagal?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009.


(23)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang psikologi khususnya psikologi sosial, terutama yang berkaitan dengan coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

a. Menjadi informasi bagi masyarakat ataupun caleg-caleg selanjutnya mengenai strategi coping stres.

b. Memberikan informasi pada masyarakat, khususnya bagi caleg-caleg selanjutnya, mengenai peranan dukungan sosial dalam proses coping c. Menjadi informasi bagi keluarga atau lingkungan sekitar caleg gagal agar

dapat lebih memahami caleg bersangkutan.

d. Dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut :


(24)

BAB I : Pendahuluan

Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi stres, sumber-sumber stres, penilaian terhadap stres, faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap stres, definisi coping stres, proses coping, strategi coping, definisi calon legislatif, definisi pemilu legislatif, dan paradigma penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Bab III membahas mengenai metode penelitian kualitatif yang digunakan, termasuk di dalamnya membahas mengenai metode pengumpulan data, lokasi penelitian, responden penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Hasil Analisa Data

Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.


(25)

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES 1. Definisi Stres

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi fisik dan lingkungan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stress disebut stressor. Hal ini sesuai dengan pendapat Berry (dalam Daulay, 2004) yang menyatakan bahwa situasi, kejadian, atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis dinamakan dengan stressor.

Berdasarkan pendapat kedua tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa stressor merupakan sumber atau penyebab dari kondisi stres. Sedangkan stress diartikan sebagai reaksi emosional, fisiologis, dan perilaku individu ketika menghadapi ancaman fisik dan psikologis (Grunberg dalam Baron & Graziano, 1991). Pendapat ini diperkuat oleh Hans Selye (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menyatakan bahwa stress sebenarnya adalah kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya atau adanya stimulus yang berbahaya.

Baum (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) mengartikan stress sebagai pengalaman emosional negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis, biokimia, dan perilaku yang dirancang untuk mereduksi atau menyesuaikan diri terhadap stressor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah stressor atau dengan mengakomodasi efeknya.


(27)

Menurut Atkinson (2000), stress mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan individu terhadap situasi respon stress, saat itu individu dihadapkan pada situasi stress, maka individu akan bereaksi baik secara fisiologis maupun psikologis. Selanjutnya Evans (dalam Thalib dan Diponegoro, 2001) mengartikan stress sebagai suatu situasi yang memiliki karakteristik adanya tuntutan lingkungan yang melebihi kemampuan individu untuk merespon lingkungan, dalam pengertian ini tidak hanya meliputi lingkungan fisik saja, tetapi juga lingkungan sosial.

Stress adalah suatu keadaan psikologik yang tidak menyenangkan yang disebabkan adanya interpretasi kognitif dan penilaian (appraisal) adanya ancaman, karena ketidakseimbangan antara tantangan dan kemampuan diri individu dalam menghadapi tuntutan tersebut (Thalib dan Diponegoro, 2001). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Lazarus (dalam Musbikin, 2005) yang menganggap stress sebagai sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi.

Lazarus (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa stress adalah peristiwa-peristiwa fisik maupun psikologis yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap gangguan fisik maupun distres secara emosional, singkatnya stress adalah suatu peristiwa atau keadaan yang melampaui kemampuan individu untuk mengatasinya (dalam Lahey, 2007).

Selanjutnya menurut Folkman (dalam Sarafino, 2006) stress adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu


(28)

mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu.

Berdasarkan berbagai pendapat tokoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stress adalah suatu keadaan yang timbul akibat adanya kesenjangan atau ketidaksesuaian antara tuntutan internal individu dengan realita yang terjadi yang dapat menimbulkan perasaan emosional negatif yang diiringi dengan perubahan perilaku dan fisiologis.

2. Sumber Stres/Stressor

Sumber-sumber stress dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stress dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stress disebut dengan stressor. Stressor adalah bentuk yang spesifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stress (Passer & Smith, 2007).

Beberapa peristiwa lebih cenderung menimbulkan stres. Setiap kejadian yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri, membuat perubahan atau mengeluarkan sumber daya, berpotensi menimbulkan stres. Selain itu kejadian yang menekan akan menimbulkan stres jika dianggap sebagai kejadian yang menimbulkan stres, bukan sebagai yang lainnya (Taylor, dkk., 2009).

Kejadian yang tak dapat dikontrol atau tak terduga biasanya lebih membuat stres ketimbang kejadian yang dapat diprediksi. Kejadian yang tak dapat dikontrol


(29)

dan tak dapat diprediksi tidak memungkinkan orang untuk menyusun rencana guna mengatasi masalah yang timbul (Bandura dalam Taylor, dkk., 2009).

Kejadian yang ambigu sering dianggap lebih membuat stres ketimbang kejadian yang jelas. Stressor yang jelas akan memampukan seseorang untuk mencari solusi (Billings dalam Taylor, dkk., 2009). Masalah dari suatu peristiwa yang tidak bisa dipecahkan akan lebih membuat stres. Hubungan antara pengalaman stres dengan respon psikologis yang buruk, seperti stres, perubahan fisiologis, dan bahkan penyakit, mungkin berkaitan dengan problem atau kejadian yang menekan yang tidak bisa dipecahkan oleh individu (Holman dalam Taylor, dkk., 2009).

3. Penilaian Terhadap Stress

Lazarus dan Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa secara umum stress memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal. Cognitive appraisal adalah proses mental dimana individu menilai 2 aspek, apakah tuntutan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya? Dan apakah individu memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tuntutan tersebut? Kedua aspek ini membedakan 2 tipe penilaian, yaitu :

a. penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, yang disebut primary appraisal. Primary appraisal dapat menghasilkan 3 keputusan, apakah situasi yang dihadapi individu tersebut irrelevant, good ataupun stressfull.

b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang


(30)

dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian.

Menurut Skinner (dalam Taylor, dkk., 2009) penilaian ini penting bagi usaha untuk mengelola situasi yang menekan. Menilai kejadian sebagai tantangan bisa menghasilkan upaya coping yang penuh percaya diri dan emosi positif, sedangkan menganggap kejadian stressor sebagai ancaman dapat menurunkan kepercayaan diri dalam melakukan coping dan menimbulkan emosi negatif.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Terhadap Stres

Menurut Lahey (2007) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap stres, yaitu :

a. Pengalaman terdahulu dengan stres. Reaksi terhadap stres akan berkurang jika individu telah memliki pengalaman sebelumnya dengan stres tersebut. b. Faktor perkembangan. Efek dari stres tergantung pada level perkembangan

dari individu yang stres.

c. Dapat diprediksi dan dikontrol. Kejadian yang dapat diprediksi dan dikontrol lebih dapat ditolerir tingkat stresnya daripada kejadian yang tidak dapat diprediksi maupun dikontrol (Folkman dalam Lahey, 2007).

d. Dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain (Sarason dalam Baron & Byrne, 2005). Dukungan sosial merupakan hal yang bermanfaat tatkala individu


(31)

mengalami stres (Frazier dalam Baron & Byrne, 2005). Sebagian alasannya adalah karena berhubungan dengan orang lain adalah sumber dari rasa nyaman ketika individu merasa tertekan (Morgan dalam Baron & Byrne, 2005).

Dukungan sosial dapat diberikan melalui beberapa cara. Pertama, perhatian emosional yang diekspresikan melalui rasa suka, cinta, atau empati. Kedua, bantuan instrumental, seperti penyediaan jasa atau barang selama masa stres. Ketiga, memberikan informasi tentang situasi yang menekan. Terakhir, informasi mungkin sangat membantu jika ia relevan dengan penilaian diri. Buunk (dalam Taylor, dkk., 2009) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari pasangan atau partner, anggota keluarga, kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jamaah gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan di tempat kerja.

Dukungan sosial mungkin paling efektif apabila ia ‘tidak kelihatan’. Ketika individu mengetahui bahwa ada orang lain yang membantu, individu tersebut merasa ada beban emosional, yang mengurangi efektifitas dukungan sosial yang ia terima. Tetapi ketika dukungan sosial itu diberikan secara diam-diam, maka ia dapat mereduksi stres dan meningkatkan kesehatan (Bolger dalam Taylor, dkk., 2009).

e. Kognitif dan kepribadian. Sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Pandangan ini telah dikemukan oleh peneliti bernama Lazarus (dalam Lahey, 2007). Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu


(32)

terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif.

Faktor-Faktor Kepribadian – Pola Tingkah Laku Tipe A (type A Behavior Pattern) adalah sekelompok karakteristik – rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan sikap bermusuhan – yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung.

f. Gender dan etnis. Banyak wanita yang kuat dalam menghadapi stres dari pengalaman trauma, dan banyak pria yang dibayang-bayangi secara serius oleh pengalaman traumatis yang pernah mereka alami.

B. COPING STRESS 1. Definisi Coping Stress

Lazarus (dalam Taylor, dkk., 2009), coping adalah suatu proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya individu. Sedangkan coping menurut Lahey (2007) adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sumber stres dan/atau mengontrol reaksi individu terhadap sumber stres tersebut.

Coping disini mengacu pada usaha untuk mengontrol, mengurangi atau belajar mentoleransi suatu ancaman yang bisa membawa seseorang kepada stress (Baum dalam Baron & Graziano, 1991). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Taylor (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menganggap coping sebagai cara


(33)

individu untuk mengatasi atau menghadapi ancaman-ancaman dan konsekuensi emosional dari ancaman-ancaman tersebut.

Menurut Stone dan Neale (dalam Daulay, 2004) coping meliputi segala usaha yang disadari untuk menghadapi tuntutan yang penuh tekanan. Lazarus dan Launiers (dalam Daulay, 2004) coping terdiri dari usaha-usaha, baik yang berorientasi pada tindakan dan intrapsikis untuk mengatur (menguasai, menghadapi, mengurangi atau meminimalkan) tuntutan lingkungan dan internal serta konflik diantara keduanya.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa coping stres adalah suatu upaya yang dilakukan individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stress yang ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu.

2. Proses Coping Stres

Menurut Taylor (2009), proses coping melibatkan dua sumber daya coping, yaitu sumber daya internal dan sumber daya eksternal. Sumber daya internal adalah gaya coping dan atribut personal. Sedangkan sumber daya eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, dan kejadian lain yang mungkin terjadi pada saat yang sama.

Semua faktor ini saling berinteraksi dalam mempengaruhi proses coping (Taylor, 2009). Di bawah ini dapat dilihat proses coping yang diungkapkan oleh Taylor (2009).


(34)

Sumber Daya Eksternal

Sumber Daya Internal

3. Strategi Coping Stress

Lazarus (dalam Santrock, 2003) membedakan dua strategi coping, yaitu : a. Menghilangkan stres dengan mekanisme pertahanan, dan penanganan yang

berfokus pada masalah, yaitu :

1). Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Contoh :

Sumber daya yang nyata, seperti uang & waktu Dukungan sosial Stressor lain seperti gangguan sehari-hari Kejadian yang membuat stress, keadaannya, dan kemungkinan antisipasinya di masa depan Penilaian dan interpretasi atas kejadian yang menekan Respons coping & strategi untuk memecahkan masalah & pengaturan emosi. Hasil coping-fungsi fisiologis, pemulihan aktifitas semula, tekanan psikologis. Faktor personalitas lain yang mempengaruhi pemilihan respons dan strategi coping Gaya coping biasa


(35)

a) Membuat individu yang bersangkutan menerima tanggungjawab untuk menyelesaikan atau mengontrol masalah yang menimbulkan stress. Dengan merubah situasi dari masalah yang bersangkutan, diharapkan efek stressnya juga akan menghilang.

b) Menyiapkan semacam rencana untuk menyelesaikan masalah penyebab stress, dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut

2). Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) adalah untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif. Dalam emotion focus coping ini seseorang menghadapi stress dengan fokus kepada bagaimana menata dirinya secara emosional sehingga siap menghadapi stress itu sendiri. Beberapa contoh penerapan teknik emotion-focused coping antara lain: a) Menerima simpati dan pengertian dari seseorang (teman, saudara

atau support group lainnya)

b) Mencoba untuk melihat sesuatu dari sisi lain (yang lebih positif)

b. Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar

1). Strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung


(36)

2). Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres.

C. CALON ANGGOTA LEGISLATIF 1. Definisi Calon Anggota Legislatif

Dalam Wikipedia (2009) disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. DPR memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dengan fungsinya sebagai legislatif maka anggota DPR juga dikenal sebagai anggota legislatif.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia


(37)

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (KPU, 2009).

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (KPU, 2009).

Mengingat bahwa anggota DPR dikenal juga dengan sebutan anggota legislatif, maka dalam hal pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat disebut dengan pemilu legislatif.

2. Syarat Menjadi Calon Legislatif

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon legislatif yaitu :

a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;


(38)

e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu;

k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR,


(39)

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;

o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.


(40)

D. PARADIGMA PENELITIAN

Pemilu Legislatif 2009

Calon Legislatif (Caleg)

Caleg Sukses Caleg Gagal

Respon coping & strategi untuk memecahkan

masalah Penilaian dan interpretasi thd

stressor

Hasil dari Coping Stres Kegagalan dipersepsikan sebagai stressor; kejadian

yang membuat stres Sumber daya

yang nyata, seperti uang & waktu

Dukungan sosial

Stressor lain seperti gangguan

sehari-hari dan persepsi masyarakat Sumber daya


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan gambaran coping stres pada calon legislatif (caleg) yang gagal dalam pemilu legislatif 2009. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Selanjutnya Taylor dan Bogdan (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa penelitian kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk dapat memahami cara responden menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara pola dan cara berpikir mereka. Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran mengenai apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi coping stres responden dan dapat pula mengetahui bagaimana


(42)

coping stres yang dilakukan responden dalam menyikapi kegagalan yang dialaminya pada pemilu legislatif 2009.

Doley (dalam Irmawati, 2002) mengemukakan bahwa dalam pendekatan kualitatif, teori tidak dipaksakan untuk mencari hubungan yang pasti antar variabel, melainkan lebih ditujukan untuk mencari dinamika masalah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009, sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas mengenai hal tersebut.

B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa karakteristik tertentu, antara lain:

a. Calon legislatif pada pemilu legislatif 2009. b. Tidak terpilih dalam pemilu legislatif 2009

2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang


(43)

harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah sampel dalam penelitian ini direncanakan sejumlah empat orang. Alasan utama pengambilan jumlah sampel tersebut dengan pertimbangan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

3. Teknik Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel berfokus pada intensitas. Logika yang dipakai disini sama dengan pengambilan kasus ekstrim, yakni untuk memperoleh data yang kaya mengenai suatu fenomena tertentu. Yang berbeda adalah, sampel bukanlah kasus-kasus ekstrim, melainkan kasus-kasus yang diperkirakan mewakili (penghayatan terhadap) fenomena secara intens. Penelitian heuristik seringkali menggunakan pendekatan ini (Poerwandari, 2001)

Berdasarkan pemaparan di atas prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini termasuk dalam pengambilan sampel berfokus pada intensitas, hal ini dikarenakan kekalahan dalam pemilu legislatif merupakan suatu fenomena yang terjadi pada tahun 2009, sehingga peneliti berniat untuk menggali informasi dan data yang luas serta mendalam mengenai bagaimana caleg tidak terpilih menghadapi kegagalannya.


(44)

4. Lokasi Penelitian

Peneliti melakukan penelitian di kota Tebing Tinggi, karena peneliti mengenal banyak pihak yang memiliki kenalan calon legislatif pemilu 2009, sehingga hal ini akan dapat memudahkan peneliti.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara yang merupakan teknik utama dalam pengambilan data.

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai


(45)

aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (cheklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara adalah wawancara mendalam (in depth-Interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

Metode ini peneliti gunakan karena ingin mengetahui secara mendalam mengenai coping stres yang digunakan caleg gagal dalam menghadapi kegagalannya. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi pada saat wawancara berlangsung untuk melihat ekspresi dari partisipan pada saat wawancara.

D. ALAT BANTU PENGAMBILAN DATA

Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Perekam (recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan.

Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu alat perekam dapat merekam nuansa bunyi dan aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, dan sebagainya.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist)


(46)

apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.

E. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian adalah : a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan coping stres caleg tidak

terpilih.

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan coping stres, khususnya yang berkaitan dengan caleg tidak terpilih. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan fenomena-fenomena yang didapat melalui komunikasi personal dengan caleg tidak terpilih.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk


(47)

menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti meminta responden untuk bertemu dan membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian mengatur dan menentukan waktu yang sesuai untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani Lembar Persetujuan Wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia


(48)

dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden. c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip

verbatim.

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2001).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai, kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah


(49)

salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

F. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif:variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeksripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Upaya yang dilakukan peneliti dalam menjaga kredibilitas dan keobjektifan penelitian ini, antara lain dengan :

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah caleg tidak terpilih pada pemilu legislative 2009.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori coping stres yang merupakan suatu proses yang diawali dengan sumber stres, penilaian (apraisal), dan pada akhirnya bagaimana coping stres yang dilakukan caleg tidak terpilih.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.


(50)

4. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang responden penelitian.

5. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan agar keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara setelahnya.

G. TEKNIK DAN PROSEDUR PENGOLAHAN DATA

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu kita perlu melakukan analisis data. Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005). Untuk melakukan analisis berdasarkan data tersebut dibutuhkan kehati-hatian agar tidak menyimpang dari tujuan data penelitian. Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut:

a. Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang


(51)

dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

b. Koding dan analisa, dilakukan dengan menyusun transkip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode stertentu.

c. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari kejelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang tidak disadari.

d. Strategi analisa, proses analisa dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang di analisa. e. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan

mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasikan data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkip wawancara).


(52)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami stress dan coping stress para responden maka data akan dijabarkan dan dianalisa per responden.

A. Deskripsi Data

Tabel IV. A

Gambaran Umum Responden Penelitian

Dimensi Responden 1 Responden II Responden III

Nama samaran Sani Iwan Dana

Usia 59 tahun 33 tahun 57 tahun

Jenis Kelamin Pria Pria Pria

Caleg dari Partai PAN PPP Golkar

Nomor Urut 1 6 5

Pekerjaan Pensiunan

Pengadilan Negeri Pedagang Koran

Pensiunan Pemkot Tebing Tinggi

Pendidikan S1 Hukum SMA SMA

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Batak Mandailing Sunda

1. Responden I

a. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut:

1) Hari Sabtu, 01 November 2009; Pukul 13.50 – 14.40 WIB. 2) Hari Minggu, 08 November 2009; Pukul 09.10 – 10.01 WIB.


(53)

3) Hari Rabu, 25 November 2009; Pukul 07.50 – 08.48 WIB.

2. Responden II

a. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di warung makan, tempat responden sering berkumpul dengan teman-temannya, sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut:

1)Hari Selasa, 08 September 2009; Pukul 16.12 – 17.02 WIB. 2)Hari Kamis, 15 Oktober 2009; Pukul 15.10 – 15.50 WIB. 3)Hari Jumat, 20 November 2009; Pukul 14.40 – 15.38 WIB.

3. Responden III

a. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut:

1)Hari Rabu, 25 November 2009; Pukul 09.10 – 09.52 WIB. 2)Hari Jumat, 27 November 2009; Pukul 20.00 – 20.36 WIB. 3)Hari Sabtu, 28 November 2009; Pukul 08.30 – 09.12 WIB.

B. Analisa Data 1. Responden I

a. Latar Belakang Responden

Responden bernama Sani (bukan nama sebenarnya). Responden lahir 59 tahun yang lalu di keluarga yang bersuku Batak. Responden memiliki seorang


(54)

isteri dan empat orang anak. Anak pertama dan anak ketiga responden sudah menikah dan masing-masing sudah memiliki satu anak. Sedangkan kedua anak yang lainnya sudah bekerja di Tebing Tinggi dan Aek Kanopan.

Responden menamatkan pendidikan sarjananya di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan mengambil jurusan Hukum. Responden sudah pensiun dari Pengadilan Negeri kota Tebing Tinggi pada tahun 2006, dan saat ini responden mengisi kesehariannya dengan aktif di organisasi Muhammadiyah serta sering mengisi pengajian baik di sekitar tempat tinggalnya maupun di luar daerah tempat tinggalnya. Keseharian responden yang banyak berinteraksi dan aktif dengan masyarakat ini membuat banyak teman menganjurkan responden untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif tahun 2009. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, banyak dukungan, dan juga karena cita-citanya yang sedari dulu ingin berbuat untuk masyarakat, membuat responden memutuskan menjadi caleg 2009.

Peneliti mengenal responden dari seorang teman yang kebetulan adalah tetangga responden. Peneliti bersama dengan teman peneliti menemui responden di rumahnya untuk berkenalan dan melakukan pendekatan dengan responden serta sedikit memberi penjelasan tentang prosedur penelitian nantinya. Setelah mendapat kesediaan langsung dari responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti kemudian menentukan jadwal pertemuan berikutnya dengan responden untuk selanjutnya melakukan wawancara.


(55)

b. Data Hasil Wawancara

1) Sebelum Pemilu Legislatif 2009

Responden seorang tokoh masyarakat yang juga dikenal sebagai figur yang sering mengisi pengajian baik di daerah tempat tinggalnya maupun di luar daerah tempat tinggalnya. Selain itu responden juga aktif di organisasi Muhammadiyah dan memiliki peran sebagai pengurus harian di organisasi Muhammadiyah tersebut. Keaktifan responden dalam masyarakat membuat para temannya menyarankan beliau untuk terjun dalam dunia politik yang dalam hal ini menyarankan untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg), namun karena saat itu, yaitu pada tahun 1999, beliau masih berstatus sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) maka beliau menolak ajakan teman-temannya tersebut.

“Jadi pada tahun 1999 yang lalu, sehabis reformasi, saya pun sudah bolak-balik diajak untuk menjadi caleg, tapi karena saya masih jadi pegawai negeri kan nggak bisa...”

Pada tahun 2006 responden pensiun dari Pengadilan Negeri di kota Tebing Tinggi. Perbincangan mengenai menjadi caleg terus berlanjut dan cita-cita responden yang ingin berbuat untuk masyarakat membuat tahun 2009 menjadi awal bagi responden untuk terjun di dunia politik. Awal langkah itu ia lakukan dengan memilih Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai yang akan dia tunggangi menuju pemilu legislatif 2009. Responden memilih PAN karena ia menganggap bahwa PAN merupakan sebuah partai yang basic atau landasan berpikirnya sama dengan organisasi Muhammadiyah yang selama ini ia terlibat di dalamnya.

”Kemaren ini, karena saya sudah pensiun, teman-teman dari beberapa partai mengajak saya untuk terjun ke dunia politik, karena sudah pensiun, kan sudah tidak ada kendala lagi, kan gitu?”


(56)

”Dan setelah saya pikir-pikir pun setelah berbincang-bincang dengan mereka, ya saya pun jadi tertarik juga, tertarik untuk yah..aktif di politik lah. Langkah pertama waktu itu pas pula sewaktu mau pemilu, inilah langkah pertama, jadi caleg lah..itulah kenapa saya jadi caleg pada pemilu 2009 yang lalu.”

”Karena saya kebetulan dari dulu aktif di Muhammadiyah dan saya juga di Tebing ini terakhirnya pimpinan Muhammadiyah, dan selama ini partai politik yang hubungannya dekat dengan Muhammadiyah adalah Partai Amanat Nasional...”

Keinginan untuk menjadi caleg itu didasari oleh keinginan responden berbuat untuk masyarakat. Dia mengharapkan dengan terpilihnya ia sebagai anggota legislatif maka ia akan dapat berbuat lebih banyak untuk masyarakat. Harapan itu diperkuat oleh PAN dengan menetapkan responden sebagai caleg dari PAN di daerah pemilihan (Dapem) Padang Hilir dengan nomor urut 1, dengan pertimbangan bahwa Responden sudah memiliki citra atau figur kuat di masyarakat sebagai orang yang aktif berbuat untuk masyarakat. Responden mengakui bahwa dirinya sangat diandalkan PAN untuk dapat memperoleh suara terbanyak di dapem Padang Hilir tersebut.

”Itulah motivasinya, motivasinya ingin berbuat untuk masyarakat.”

”Harapan sih memang, kalau bisa berkiprah disanalah gitu. Barangkali apa-apa yang selama ini dilakukan dengan masyarakat itu, mungkin kalau sudah menjadi anggota legislatif, lebih banyak lagi yang bisa dilakukan, kan gitu..”

”Iya, iya partai memang mengharapkan, karena partai melihat bahwa saya sudah banyak aktifitas di masyarakat, maka dikasih kesempatan untuk menjadi caleg nomor satu.”

”Tapi kita menganggap kan kalau kita menjadi anggota legislatif lagi, bertambahlah yang bisa kita lakukan apa namanya pemberdayaan masyarakat ini, itulah kenapa kita mencalonkan diri jadi anggota legislatif.”


(57)

Keputusan responden menjadi caleg tidak sepenuhnya berdasarkan keinginan diri sendiri, tetapi juga karena dukungan keluarga dan juga dorongan serta sugesti dari teman-temannya sehingga responden yakin bahwa ia memiliki peluang untuk menjadi anggota dewan. Selain itu, Responden juga merasa yakin bahwa dia akan terpilih karena selama ini ia aktif di masyarakat, sering berinteraksi, aktif dalam kegiatan sosial, dan juga sebagai tokoh yang sering dimintai nasehatnya.

”Ya keluarga terutama mendukung la, terutama istri dan anak saya.”

“Kawan-kawan pun banyak yang mendukung, banyak yang menyarankan supaya ikut menjadi caleg.”

“Iya..perbincangan itu pulak, mereka kan barangkali, mereka melihat potensi, ”ah kalau bapak cocok lah disana, bapak kan begini begini.” Maksud mereka itu sudah berpengalaman lah di masyarakat, di pemerintahan pun sudah, kemudian latar belakang pendidikannya pun kebetulan hukum, ya kan?”

“Kita optimis sebenarnya dengan latar belakang kita selama ini di tengah-tengah masyarakat.”

Tiba masa kampanye, tidak seperti caleg-caleg yang lain, Responden hanya 1 (satu) kali mengumpulkan orang-orang di sekitar tempat beliau di rumahnya untuk mensosialisasikan bahwa beliau adalah caleg dengan nomor urut 1 dari PAN di dapem Padang Hilir. Media yang ia gunakan untuk kampanye pun seadanya saja dan dalam jumlah sedikit seperti baliho, poster 10 buah, dan kartu nama. Sehingga tidak heran bila ia hanya menghabiskan dana kurang dari 1 (satu) juta rupiah untuk kampanye tersebut. Responden mengakui bahwa ia tidak mau menghabiskan banyak dana untuk kampanye tersebut, selain dikarenakan keterbatasan dana, dia juga yakin bahwa ia sudah cukup yakin dengan masyarakat yang akan memilih dia.


(58)

“Dan terus terang saya, walaupun saya caleg, tapi yang namanya kampanye, ya sekedarnya saja lah, hanya mengenalkan kepada masyarakat bahwa saya calon legislatif, istilahnya tidak melakukan langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, sosialisasinya hanya sekedar begitu saja.”

”Ada ada. Saya buat sepuluh biji. 10 biji itu untuk satu kecamatan ini lah. Satu untuk satu kelurahan lah”

“Nggak, saya nggak punya...ya di samping saya tidak punya uang untuk dibagi kesana kemari dan saya menganggap terlalu mubazir lah untuk kebutuhan seperti...”

“Dana saya yang keluar? Barangkali sekitar...nggak sampe sejuta lah.”

Sewaktu masa kampanye, Responden banyak dibantu dalam hal pengadaan atribut kampanye oleh caleg lain seperti baliho dan kartu nama. Selain itu Responden juga dibantu oleh anak dan teman-temannya dalam hal memasang baliho dan penyebaran kartu nama. Dalam hal sosialisasi, sebenarnya Responden diminta oleh para tetangga untuk mengadakan acara sosialisasi di rumahnya, dan karena itu permintaan dari tetangga, maka Responden dan isterinya pun mengadakan sosialisasi di rumahnya dengan sederhana. Acara sosialisasi tersebut dihadiri oleh banyak tetangga sekitar sehingga hal ini membuat Responden dan isterinya merasa yakin bahwa beliau akan terpilih dalam pemilu legislatif 2009. Pengakuan bahwa sosialisasi tersebut diadakan karena permintaan dari para tetangga itu didapatkan dalam wawancara ketiga, dan pengakuan ini pun muncul dari isteri responden yang ikut serta dalam proses wawancara.

”Bersosialisasi lah, silaturahmi, buat acara di rumah...” ”Iya orang itu yang ngajak, bukan saya..”

”Bukan, bukan...orang ini!awak yang diperli orang ini, ”bu, masa’ orang lain ngajakin kami bersosialisasi, masa’ tetangga nggak ngajak, jadi kami dianggap apa?” ini kan suatu..lima puluh persen adalah harapan ya kan?”


(59)

Selama masa kampanye, Responden sering mendengar dari teman-teman yang membantu sosialisasi dirinya bahwa masyarakat banyak yang ingin diberi uang dari para caleg. Itu sebabnya sewaktu beberapa hari sebelum pencontrengan, Responden merasa cemas dengan kondisi tersebut namun tetap yakin bahwa masyarakat akan memilih individu yang layak untuk menjadi anggota dewan. Satu hari sebelum pemilu, Responden tetap melakukan aktifitas seperti biasanya.

”Di samping memang rumor-rumor yang kita dapatkan dari luaran, bahwa memang mereka mengaku kalau mereka nggak dikasih uang, ya macam mana ya?”

“Kita kan optimis bahwa masyarakat itu..masa’ mereka tidak bisa membedakan mana yang pantas dipilih mana yang tidak.”

“Ya biasa aja, nggak ada masalah! Biasa aja, saya kan nggak pernah di rumah terus. Kegiatannya kegiatan harian tetap, nggak pala ada yang istimewa lah menunggu hari H itu.”

2) Setelah Pemilu Legislatif

Dengan langkah optimis, Responden bersama keluarga mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk proses pencontrengan. Saat itu TPS masih sepi karena memang Responden dan keluarga mendatangi TPS dengan cukup pagi. Responden dan keluarga menghabiskan waktu selama tiga puluh menit di TPS. Selama di TPS, Responden melihat orang-orang dan menebak-nebak siapa yang akan memilih dia dan siapa yang tidak.

“Ini orang ini milih siapa, tapi kan apa namanya itu, tengok-tengok mukanya, ah kalau ini tak diharapkan lah ini, begitu juga, udah ada feeling. Ada feeling, ah kalau ini tak iya ini...nggak, nggak..kan nampak itu kita kesehariannya ya kan? Alah nggak ini, ah kalau ini paling ini nanti, kan gitu kan? Gitu juga!”

Selesai mencontreng, Responden berkeliling dan singgah ke TPS-TPS di dapem Padang Hilir untuk melihat proses perhitungan suara, tapi Responden tidak mengikuti proses perhitungan suara di setiap TPS hingga akhir. Responden


(1)

3) Stressor Lain

Setelah pemilu, ada beberapa hal yang membuat responden menjadi down dan trauma, yaitu adanya tanggapan masyarakat yang menyatakan bahwa mereka tidak peduli siapapun yang naik asalkan mereka sewaktu kampanye kemaren mendapatkan uang. Selain itu responden merasa down karena banyak masyarakat yang mengira bahwa ia terpilih menjadi anggota dewan. Namun ada satu hal yang membuat responden menjadi kuat, yaitu kenyataan bahwa responden mendapatkan suara terbanyak di TPS tempat ia memilih atau TPS yang berada di dekat rumahnya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Gambaran stress yang dialami responden adalah kegagalan mereka dalam pemilu legislatif 2009 untuk menjadi anggota dewan yang bersumber dari ketidakcerdasan masyarakat dalam memilih dan kondisi finansial yang terbatas.

2. Para responden banyak yang menggunakan strategi coping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping), yaitu dengan berserah diri kepada Allah dan menganggapnya sebagai takdir, serta berusaha untuk menganggapnya sebagai suatu hal yang positif.

3. Strategi coping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping) responden yang sumber stressnya ada pada masyarakat berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dalam hal berpolitik dan menjadikannya sebagai bahan materi dalam pengajian.

4. Dukungan sosial para responden ada pada keluarga, teman, dan tetangga.

B. Saran

1. Saran Praktis

a. Agar para caleg mempersiapkan diri dari segala kemungkinan kegagalan yang terjadi.


(3)

b. Agar partai memiliki proses seleksi yang baik dalam menerima caleg, memberikan bekal mengenai strategi kampanye yang baik dan memberikan pemahaman mengenai strategi coping stress.

c. Agar partai tidak meninggalkan begitu saja caleg-calegnya pasca pemilu dan memberikan dukungan dan semangat bagi caleg gagal.

d. Agar keluarga dan teman-teman senantiasa mendukung caleg baik sebelum maupun sesudah pemilu.

2. Saran Penelitian Selanjutnya

a. Peneliti selanjutnya disaranakan untuk lebih memperhatikan kondisi dan lingkungan saat proses wawancara.

b. Penambahan jumlah sampel untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik sehingga didapat dinamika yang lebih luas tentang coping stress pada caleg tidak terpilih.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Banister, Peter, dkk. (1994). Qualitative Methods in Psychology; a Research Guide. Buckingham : Open University Press.

Baron, Reuben M., & Graziano, William G. (1991). Social Psychology. United States of America : Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Baron, Robert A., & Byrne, Donn. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga.

Caleg Gagal Ditunggu Showroom (17 April 2009). Sumut Pos, hal 20.

Caleg ‘Menang’ juga Ikut Menggadai ; Transaksi Pegadaian Naik Rp. 75 Miliar (17 April 2009). Sumut Pos, hal, 20.

Creswell, J.W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative. Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada.

Habis Ratusan Juta, Caleg Incumbent Mulai Berteriak-Teriak ; Kini Jamannya Caleg Dibodohi Rakyat (17 April 2009). Sumut Pos, hal, 20.

KPU. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. 2 Mei 2009.

KPU. (2009). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tanggal Akses: 2 Mei 2009.

Lahey, Benjamin B. (2007). Psychology an Introduction. New York : Mc Graw Hill.

Media Center KPU. (2009). Indonesia dalam Angka. Tanggal Akses: 2 Mei 2009.


(5)

Moleong, L.J., (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke duapuluh satu. Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset.

Morgan, C. T., King, R. A., Weisz, J. R., & Schopler, J. (1986). Introduction to Psychology, 7th ed. New York : McGraw Hill Company.

Musbikin, Imam. 2005. Kita-kiat Sukses Melawan Stress. Surabaya: Jawara

Passer, M.W,. Smith, R.E. 2007. Psychology, The Science of Mind and Behavior. New York: Mc Graw Hill

Peribadi. (2009). Caleg Harus Cerdas Menerima Kekalahan. April 2009.

Poerwandari, K., (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia

Santrock, John W., & Mitterer, John O. (2003). Psychology 2. New York : McGraw Hill

Sarafino, Edward. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. USA: John Wiley & Sons

Setiawan, G. Pandu. (2009). Keluarga Berperan Cegah Caleg Stres. Akses : 28 April 2009.

Surya. (2009). RSJ Menur Siapkan Kamar VIP bagi Caleg yang Gila Ilustrasi. (www. Indonesiamemilih.com/IncNewsDetail.asp.htm). Tanggal Akses : 28 April 2009.

Tak Siap Mental (17 April 2009). Sumut Pos, hal, 20.

Taylor, Shelley E., Peplau, L. A., & Sears, David O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.


(6)

Wangsadjaja, Reina. Stress.

Wikipedia. 2009. Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Zheng, Oscar. (2009). Pemilu Anggota Legislatif di Indonesia dengan Format Baru 2009.