makalah studi kebijakan pai\http

PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL:
TINJAUAN TERHADAP PEJALANAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
1. A. Pendidikan Islam

Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada
kata Arab karena ajaran Islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata pendidikan yang
umumnya kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja
“rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”.
Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”, sedangkan pendidikan
Islam dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”. (Zakiah Daradjat, 2004: 25)
Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw seperti terlihat
dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an kata ini digunakan dalam susunan
sebagai berikut:
ÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA—%!$# z`ÏB ÏpyJôm§—9$# @è%ur Éb>§— $yJßg÷Hxqö—$#
$yJx. ’ÎT$u’/u’ #Z Ž—Éó|¹ ÇËÍÈ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
“Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku
waktu kecil”.
Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk
menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta
mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan

kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insaninsan kamil setelah proses pendidikan berakhir.(Armai Arief, 2002: 16)
1. B. Pendidikan Nasional

Berdasarkan pada Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman.(Penerbit Asa Mandiri, 2007: 50)
Adapun rumusan pengertian tentang Pendidikan Nasional dapat penulis kemukakan pendapat Ki.
Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Nasional di Indonesia serta yang diangkat oleh
Pemerintah sebagai Bapak Pendidikan, menyatakan sebagai berikut:
“Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan
ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan

rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemulian segenap
manusia di seluruh dunia”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 190)
Dengan demikian nampak erat sekali hubungan antara seorang nasionalisme dengan keyakinan
hidup kebangsaan. Hal ini akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup
bangsanya dan merasa terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan
bangsanya.

S. Mangunsarkoro menyatakan: “Baru jika si pendidik itu sendiri seorang nasionalis, barulah ia
bisa menyiarkan keyakinan kebangsaan itu pada tiap-tiap hal yang diajarkannya kepada murid.
Dan karena si pendidik itu seorang nasionalis, maka dengan sendirinya ia dapat melihat
pekerjaannya sebagai guru itu dalam lingkungan dan susunan pekerjaan kebangsaan yang
luas”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 191)
C. Relevansi Kebijakan Terhadap Eksistensi Pendidikan Islam
Relevansi dari kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam dapat dilihat dari dikeluarkannya
Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom
dibawah pengawasan Menteri Agama selain itu dalam Tap MPRS No. 27 Tahun 1966 dinyatakan
bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.
Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah
tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan (Nawawi, 1983). Dengan
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang tanggungjawab Fungsional Pendidikan dan
Latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal, yaitu:
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan.
2. Menteri Tenaga Kerja bertanggungjawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan
tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.

Kemudian dikeluarkan Inpres No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan
kejuruan menjadi sepenuhnya berada dibawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan
pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari pernyataan diatas Drs. Akmal Hawi, M.Ag menyimpulkan, bahwa kebijakan Keputusan
Presiden No. 34 tahun 1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres No. 15 tahun 1974
menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan
dengan pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata lain,
Kepres dan Inpres di atas dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai suatu manuver untuk

mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (Akmal
Hawi, 2005: 120).
Hal ini menimbulkan reaksi dikalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintahan tersebut
yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam, kemudian reaksi umat Islam ini
mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran
Agama. Lembaga ini memandang bahwa madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam,
oleh sebab itu yang tepat untuk menyelenggarakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri
Agama yang lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan agama bukan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Wirosyukarto, 1996: 88).

Dengan memperhatikan aspirasi umat Islam diatas, maka dengan ini pemerintah mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Ketiga menteri itu adalah menteri pendidikan, menteri dalam negeri, dan menteri agama.
Tujuan lahirnya SKB Tiga Menteri adalah untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan
dihapuskannya sistem pendidikan madrasah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada sidang
Kabinet pada tanggal 26 Nopember 1974.
Adapun isi dari SKB Tiga Menteri mengandung beberapa diktum seperti dalam Bab I, pasal 1
dan 2 misalnya menyatakan madrasah itu meliputi tiga tingkatan, yaitu:
a. Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar (SD)
b. Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
c. Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Selanjutnya dalam Bab II, pasal 2 disebutkan bahwa:
a. Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum.
b. Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum.
c. Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum (Martunus, 1979).
Mengenai pengelolaan dan pembinaan terdapat dalam Bab IV, pasal 4, yaitu:
a. Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b. Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c. Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri (Aziz Martunus, 1979).


Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang
lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk
menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Dalam hal ini,
madrasah tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga
penyelenggara kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan
mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar (Hasbullah, 1995).
Dengan demikian UU No.2 tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya sistem
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meskipun secara eksplisit tidak mengatur
secara khusus tentang pendidikan Islam tetapi dalam prakteknya memberikan ketentuanketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam, khususnya pendidikan
madrasah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi Pendidikan Islam dalam sistem Pendidikan
Nasional tahun 1989 tercermin dalam beberapa aspek, yaitu:
a. Sistem pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib
dalam semua jalur dan jenis pendidikan.
b. Dalam sistem pendidikan nasional, madrasah dimasukkan ke dalam kategori pendidikan jalur
sekolah. Kebijakan ini dapat dikatakan bahwa madrasah pada hakekatnya adalah sekolah.
c. Meskipun madrasah diberi status pendidikan jalur sekolah tetapi sesuai dengan jenis
keagamaan dan sistem pendidikan nasional. Maka madrasah memiliki jurusan khusus yaitu ilmuilmu agama dan ilmu umum (Maksum, 1999).
Jadi, kesimpulannya adalah integritas madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional bukan

merupakan integritas dalam artian penyelenggaraan dan pengelolaan, tetapi lebih pada
pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari Sistem Pendidikan Nasional
walaupun pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Penerbit Asa Mandiri. 2007. Undang-undang Guru dan Dosen & Undang-undang
Sisdiknas. Jakarta: Penerbit Asa Mandiri.
Ahmadi & Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hawi, Akmal. 2005. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.