Reinterpretasi Enam Motif Batik Klasik Surakarta sebagai Sumber Ide Penciptaan Desain Batik Motif Baru dalam mendukung Pengembangan Industri Kreatif.

(B. Seni)
Reinterpretasi Enam Motif Batik Klasik Surakarta sebagai Sumber
Ide Penciptaan Desain Batik Motif Baru dalam mendukung
Pengembangan Industri Kreatif
Budi, Setyo; Santoso, Ratna Endah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Penelitian, BOPTN UNS, Hibah Bersaing, 2012
Pengakuan UNESCO bahwa batik adalah Masterpiece of the Oral and Intangible
cultural heritage adalah suatu pencapaian prestasi budaya Bangsa. Eforia
keberhasilan ini satu sisi memang menimbulkan kebanggaan yang luar biasa, tetapi
di sisi lain mulai memunculkan negative symptom. Kota Surakarta (Solo) yang
terkenal dengan pusat perdagangan pengembangan batik, justru dijumpai gejala
pendangkalan nilai-nilai batik itu sendiri. Motif-motif batik (klasik) serampangan
diimplementasikan pada sembarang benda peralatan hidup di luar sandang dan
busana ritual. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman akan makna-makna
simbolik dan nilai-nilai adiluhung terutama pada motif-motif batik klasik.
Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1). Bagaimana bentuk
rupa, makna, simbol, dan nilai-nilai dari enam motif batik klasik gaya Surakarta
yaitu Sidoasih, Sidodadi, Sidomukti, Sidoderajad, Sidomulyo, dan Sidoluhur?. (2).
Bagaimana reinterpretasi ke enam motif tersebut dalam bentuk nilai dan
pemaknaan baru? (3). Bagaimana visualisasi desain motif batik baru yang
mengambil sumber ide dari enam motif batik klasik tersebut?. Permasalahan yang

dikaji adalah sebuah fenomena kultural maka metode yang digunakan adalah
“Metode Penelitian Kualitatif Eksploratif”, dengan pendekatan “Teori Ikonografi dan
Ikonologi” (Erwin Panofsky) dalam Kajian Hermeneutika.
Batik adalah salah satu produk seni tradisi masyarakat Jawa (khususnya) yang
masih memiliki syarat budaya (artefak, sosifak, mentifak) secara lengkap. Hal inilah
yang menjadikannya mampu bertahan dalam segala jaman. Meskipun berdasar
konteks jamannya sering kali menjadikan posisi ketiga bagian syarat budaya dalam
batik tersebut memiliki porsi besaran yang kurang seimbang.
Surakarta sebagai masyarakat pewaris batik klasik terutama motif Sidoasih,
Sidodadi, Sidomukti, Sidoderajad, Sidomulyo, dan Sidoluhur, sebagian besar hanya
mengenal sebatas pada ciri-ciri motif, warna, dan pola geometrisnya. Pada
dasarnya motif batik klasik bukanlah sekedar stilasi atau abstraksi dari beberapa
benda dari alam dan lingkungan sekitar yang divisualisasikan pada selembar kain
untuk kepentingan ornamentik dalam estetika sebuah sandang (busana); melainkan
sebuah struktur berbahasa yang tervisualisasikan ke dalam bentuk rupa. Dengan
demikian segala apa yang tersurat dalam lembaran kain batik klasik, baik warna,
bentuk, ukuran, arah, posisi, motif, hingga pola kesemuanya tidak ada yang
kebetulan, tetapi menjadi satu-kesatuan dari dalam sistematika gramatikal (bahasa
rupa) dalam rangka mengusung sebuah makna lewat mekanisme simbolik. Hasil
analisis dari enam Motif Batik Klasik Surakarta menunjukkan bahwa masing-masing

motif tersebut menyimpan konsepsi hidup (bersosial) yang tertata dan terkonsep
demikian “runtut dan selesai”. Hampir-hampir saja motif-motif tersebut adalah
“kitab petunjuk” atau tuntunan bagi Manusia Jawa bagaimana berperilaku dan
bersosial. Memang sekilas tampak tersamar dan sulit untuk difahami secara

gamblang, tetapi justru lewat simbol-simbol multitafsir tersebutlah deretan kalimatkalimat bijak dapat terselamatkan dan cukup adaptif terhadap berbagai karakter
jaman.
Pada akhirnya harus difahamkan bahwa ke enam motif batik klasik Surakarta adalah
ajaran hidup bersosial bagi Manusia Jawa yang divisualisasikan dalam “bahasa
rupa”. Dengan demikian harus pula diluruskan wacanannya bahwa motif-motif batik
klasik tersebut diagungkan bukan karena memiliki aura magis, melainkan nilai-nilai
yang dikandungnya justru berfokus pada tuntunan hidup bersosial; mulai dari
konsepsi tentang cinta, eksistensi, potensi, prestasi, kemuliaan, dan keluhuran
dalam konteks sebagai Manusia Jawa yang “utuh” secara sosiologis.