Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju T2 752014010 BAB II

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pemahaman Max Weber tentang Otoritas
Analisis Max Weber atas struktur-struktur otoritas dimulai dalam suatu cara yang
konsisten dengan asumsi-asumsinya tentang hakikat tindakan. Ia kemudian mendefinisikan
dominasi sebagai propabilitas bahwa semua perintah akan dipatuhi oleh sekelompok orang
tertentu.1 Dominasi ini kemudian disebut dengan otoritas, dan yang melandasi otoritas bagi
para pengikutnya yaitu rasional, tradisional, dan kharismatik.2 Terdapat tiga jenis otoritas
murni yang mendasar yakni pertama, kepercayaan dalam sebuah standar legalitas dari polapola aturan normatif dan hak kepada kuasa di bawah aturan tersebut untuk mengeluarkan
perintah-perintah hukum atau kuasa, jenis ini dinamakan otoritas rasional. Kedua, sebuah
alasan keimanan dalam sebuah kesucian tradisi dahulu dan keabsahannya dari para
pengikutnya, jenis ini adalah otoritas tradisional. Ketiga adalah otoritas kharismatik, yang
meletakkan ketaatan dalam sebuah kasus tertentu atau keilhaman seseorang.3
1. Otoritas Tradisional
Otoritas tradisional dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Dalam otoritas ini, tatanan
sosial saat ini dipandang sebagai suci, abadi, dan tidak bisa dilanggar. Orang atau kelompok
dominan, biasanya didefinisikan oleh warisan, dianggap telah ditetapkan sebelumnya untuk
1

George Ritzer, Sociological Theory, (New York: MC Graw Hill, 2008), 219.
George Ritzer, 2008: 220.

3
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization , (New York: The Falcon’s Wings Press,
1947), 342.
2

14

memerintah yang lain. Rakyat terikat dengan penguasa oleh ketergantungan personal dan
tradisi kesetiaan, dan ketaatan mereka kepada dia makin diperkuat oleh keyakinan-keyakinan
kultural seperti hak-hak ilahi para raja. Otoritas tradisional didasarkan pada klaim oleh para
pemimpin, dan keyakinan pada bagian dari pengikut, bahwa ada kebajikan dalam kesucian
aturan kuno dan kekuasaan.4 Semua sistem pemerintahan sebelum berkembangnya negara
modern merupakan contoh otoritas tradisional. Meskipun kekuasaan penguasa dibatasi oleh
tradisi yang melegitimasikannya, pembatasan ini tidak ketat, karena pihak penguasa secara
tradisional dianggap tetap memiliki kesewenang-wenangan. Umumnya, otoritas tradisional
cenderung mengabadikan status quo dan tidak cocok bagi perubahan sosial.5
Dalam sebuah wibawa kepala dari tipe kekuasaan tradisional ini pemilihan tidak
terdapat dalam aturan, namun harus memenuhi kualifikasi dari kepala terdahulu yaitu dengan
merekrut orang-orang yang sudah terkait dengan kepala atau pimpinan oleh ikatan kesetiaan.
Hal ini disebut dengan ‘patrimonial rekrutment.’ Orang-orang tersebut bisa saja sanak

saudaranya, hamba, kepala keluarga, sahabat, atau bahkan orang kepercayaan. Selain itu,
seseorang direkrut dari sumber lainnya yakni ‘exrta-patrimonial,’ di mana kategori ini
berhubungan dengan orang-orang yang memiliki hubungan kesetiaan yang murni secara
pribadi dan akhirnya mereka bebas masuk ke dalam hubungan dengan kepala dalam sebuah
hubungan kesetiaan sebagai pejabat dalam kepemerintahan.6

4

George Ritzer, 2008: 132.
Dennis Wrong, Max Weber: Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: IKON TERALITERA, 2003), 233-234.
6
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Falcon’s Wings
Press, 1947), 356.
5

15

2. Otoritas Legal
Otoritas Legal ini merupakan organisasi yang terus menerus dari fungsi-fungsi resmi
terikat oleh aturan. Kompetensi yang ditetapkan melibatkan bidang yang menjadi kewajiban

yang menjalankan fungsi yang telah ditandai sebagai bagian dari pembagian kerja yang
sistemtis, penyediaan incumbent dengan kuasa yang diperlukan untuk melaksanakan fungsifungsi ini, dan unit ini melaksanakan kekuasaan yang teroganisir

yang disebut dengan

organisasi administrasi.7 Tipe ini dilegitimasikan oleh keyakinan formalistik pada supremasi
hukum, apa pun isi spesifiknya.
Asumsinya ialah bahwa aturan-aturan legal sengaja dibuat untuk memajukan
pencapaian rasional atas tujuan-tujuan kolektif. Dalam sistem semacam itu, kepatuhan tidak
disebabkan oleh orang, apakah ketua tradisional atau pemimpin kharismatik, melainkan oleh
seperangkat prinsip impersonal. Prototipenya adalah pemerintahan modern yang memiliki
monopoli atas penggunaan paksaan fisik secara sah, dan prinsip-prinsip yang sama tercermin
dalam berbagai badan eksekutifnya, seperti militer, dan juga di perusahaan-perusahaan swasta,
seperti pabrik. Sementara atasan memiliki otoritas atas bawahan, yang disebut pertama
maupun disebut terakhir tunduk pada otoritas badan resmi yakni regulasi impersonal. Otoritas
legal dapat dilambangkan dalam frase, "Pemerintahan hukum, bukan orang."8

7
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization , (New York: The Falcon’s Wings
Press, 1947), 346.

8
Dennis Wrong, 2003: 234-235.

16

3. Otoritas Kharismatis
Istilah kharisma oleh Max Weber merujuk kepada sebuah kualitas individual tertentu.9
Otoritas yang disahkan oleh kharisma, bersandar pada kesetiaan para pengikutnya. Kesucian
luar biasa, teladan, heroisme, atau kemampuan istimewa.10 Tipe ini mendefinisikan seorang
pemimpin sebagai yang diilhami oleh Tuhan atau kekuatan supernatural. Ada perasaan
'dipanggil' untuk menyebarkan panggilannya. Ketaatan pada pemimpin dan keyakinan bahwa
keputusannya meliputi semangat dan cita-cita gerakan adalah sumber kataatan kelompok pada
perintah-perintahnya. Pemimpin kharismatis mungkin muncul dalam hampir semua bidang
kehidupan sosial, seperti nabi-nabi, penghasut politik, atau pahlawan-pahlawan militer.
Memang, unsur kharisma terlibat kapanpun orang mengilhami orang lain untuk mengikuti
jejaknya.11 Otoritas kharismatik biasanya bertindak sebagai kekuatan revolusioner, karena
melibatkan penolakan nilai-nilai tradisional dan pemberontakan menentang tatanan yang
sudah mapan, sering sebagai reaksi terhadap krisis. Istilah kharisma yang dipakai Weber
adalah pinjaman dari tradisi Kristen dalam Perjanjian lama.12
Carl Joachim Friedrich telah mencatat penafsiran yang akan muncul dalam

pembahasan mengenai kharisma. Menurutnya dalam otoritas, sangat sering terlihat dalam
perspektif 'penumbra psikologis’. Fakta bahwa orang dalam posisi otoritas sering didasari
dengan harga diri, rasa hormat dan kekaguman dari hasil di atribut yang diidentifikasi dalam
otoritas..13 Orang yang berkharisma menurut Weber, seperti dalam masyarakat religius kuno

9
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Falcon’s Wings
Press, 1947), 358.
10
George Ritzer, Sociological Theory, (New York: MC Graw Hill, 2008), 220.
11
Dennis Wrong, Max Weber: Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: IKON TERALITERA, 2003), 236.
12
Ayub Ranoh, Pemimpin Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis
Sukarno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 52.
13
Michael Hill, A Sociology of Religion , (London: Heinemann Educational Books, 1979),142.

17


dalam Alkitab adalah para nabi, orang berhikmat, pahlawan perang, raja-raja yang diurapi,
para hakim. Yesus dan para rasul juga tergolong orang yang dianggap berkharisma.
Berdasarkan pengertian otoritas dan kharisma, Weber memahami otoritas kharismatis sebagai
tipe yang keabsahannya berdasarkan pengakuan terhadap kualitas istimewa misalnya
pahlawan, dan kesetiaan kepada individu tertentu serta komunikasi bentukannya. Orang taat,
bukan karena legalitas atau tradisi, melainkan karena kharisma individu pemberi perintah itu.14
Otoritas kharismatis dan orang berkharisma cenderung menolak perilaku ekonomi rasional dan
tidak mengutamakan uang karena lebih menekankan misi dan panggilan.
Dari pengertian otoritas, kharisma dan otoritas kharismatis, Weber mengemukakan ciri
otoritas kharismatis itu.15 Beberapa hal yang perlu dicatat dari ciri-ciri ini. Pertama, Weber
tidak membedakan ciri komunitas kharismatis religius dan politis. Sepertinya, secara eksplisit
hendak ditekankan bahwa walaupun kedua jenis komunitas religius maupun politis berbeda,
tetapi gejala kharisma adalah sama. Ciri-ciri otoritas kharisma ialah:16
a. Pemimpin dengan otoritas kharismatis memiliki kesadaran misi dan panggilan yang
terwujud dalam ide dan memanggil orang untuk ikut serta dalam misinya.
b. Pengakuan pengikut terhadap kharisma pemimpin mendorong mereka mengikuti,
mentaati, dan setia terlibat dalam misi itu.
c. Keikutsertaan pendukung, selain mengakui kharisma pemimpin, juga karena
kekecewaan mereka terhadap situasi krisis yang mereka alami. Bila pemimpin itu bisa
menjawab harapan mereka dan mengatasi situasi krisis, maka kesetiaan dan antusiasme

pengikut bertahan; bila tidak, maka secara berangsur pemimpin itu akan ditinggalkan.
14
Ayub Ranoh, Pemimpin Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis
Sukarno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 53.
15
Ayub Ranoh, 2011: 53.
16
Ayub Ranoh, 2011: 53-54.

18

d. Otoritas kharismatis dijalankan bersama pengikut setia. Mereka dipilih karena kualitas
kharismatik pribadi. Tidak ada hirarki dan control, yang berlaku hanya panggilan
berdasarkan kharisma anggota.
e. Kharisma itu bersifat extra-legal, mengabaikan struktur dan aturan formal. Pemimpin
kharismatik hanya mengenal inner determination dan iner restraint. Pengikut
menyesuaikan diri dengan inspirasi dan kehendak pemimpin.
f. Relasi dalam komunitas bersifat personal. Karena pemimpin muncul dalam situasi
krisis, otoritas ini tidak stabil. Ia bisa berakhir dan mengalami transformasi ke arah
otoritas tradisional dan legal.

g. Karena menonjol dalam situasi kritis dan tidak stabil, maka otoritas kharismatis adalah
kekuatan revolusioner, cenderung menerobos tatanan dan nilai yang sudah mapan, dan
merintis nilai dan tatanan baru.
Menarik adalah penekanan Weber pada segi pengakuan pengikut terhadap kualitas istimewa
itu. Jadi, kualitas istimewa yang berasal dari yang Ilahi itu adalah soal pengakuan pengikut,
lepas dari apakah kualitas itu ada secara objektif atau tidak.

B. Pemimpin yang Memiliki Kharisma
1. Pemimpin Kharismatis
Kharisma berasal dari Bahasa Yunani yang artinya adalah ‘anugerah istimewa’ atau
‘karunia dari Ilahi,’ seperti kemampuan melakukan suatu keajaiban atau memprediksi masa
depan. Istilah kharisma menunjukkan suatu kualitas tertentu dari seseorang yang karena itu ia
dikecualikan dari orang-orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang memiliki kekuatan
19

atau sifat-sifat yang supranatural atau setidak-tidaknya sifat atau kekuatan khusus. Sifat-sifat
tersebut seolah-olah merupakan pengeculian yang ia terima karena anugerah Tuhan dan atas
dasar tersebut ia deperlakukan sebagai seorang pemimpin. Hubungan antara pengikut dan
pemimpin kharismatik bersumber pada pengabdian terhadap kesucian khusus, kepahlawanan,
dan watak keteladanan seseorang, serta pola-pola tatanan normatif yang mereka buat dan

perlakukan terhadap pengikutnya. Karena itu, pemimpin kharismatik bersumber kepada
kepercayaan pribadi terhadap seseorang yang mempunyai kualifikasi tersebut.17 Analisa Max
Weber dalam menggambarkan kharisma terdapat tiga ciri pokok yaitu, kharisma adalah
sesuatu yang luar biasa dan sangat berbeda dari dunia sehari-hari, bersifat spontan dan berbeda
dengan bentuk-bentuk sosial yang stabil, dan merupakan suatu sumber dari bentuk serta
gerakan baru sehingga dalam artian sosiologis bersifat kreatif.18
Istilah dan konsep Kharisma dicetuskan Max Weber untuk mengkarakterisasi
pemimpin yang mengangkat diri sendiri dan diikuti oleh mereka yang mengalami kesulitan
berat dan membutuhkan mengikuti pemimpin karena mereka mempercayainya sebagai
memiliki kemampuan luar biasa. Konsep kharisma yang dicetuskan Weber ini tidak
menyangkut adanya para pemimpin yang secara personal memiliki ciri yang menonjol yaitu
anugerah istimewa, tetapi konsep pemimpin kharismatik itu baginya ‘lebih tergantung pada
kelompok pengikut dan bagaimana mereka mendefinisikan pemimpin kharismatik.’ Menurut
Weber, jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai seseorang yang
berkharisma, maka ia cenderung sebagai pemimpin kharismatik terlepas dari benar-tidaknya ia
memiliki ciri yang menonjol, yang krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin

17
18


Jarmanto, Kepemimpinan sebagai Ilmu dan Seni, (Jogyakarta: Liberty, 1983), 122.
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: CV. Rajawali, 198743.

20

dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan atau kualitas
supranatural, supermanusia atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak lazim yang tidak dimiliki
oleh orang biasa. Kepemimpinan kharismatis ini tidak terikat oleh struktur masyarakat dalam
bentuk community atau social. Namun kepemimpinan ini diberikan kepada pribadi dan tidak
didukung oleh kekuasaan seperti kepemerintahan yang berada di masyarakat.19
Dalam kepemimpinan kharismatik, peranannya tidak didasarkan atas pengakuan dari
pengikutnya, akan tetapi atas rasa ‘terpanggil’ oleh ‘kewajiban’ yang dibebankan pada dirinya
sebagai karunia Tuhan yang harus ia terima. Karena sifatnya yang khusus, masyarakat
pengikutnya menjadi taat dan patuh dengan penuh semangat. Lazimnya, pemimpin
kharismatik muncul pada saat-saat kritis yang memerlukan pemecahan masalah yang cepat.20
Analisa Max Weber tentang kharisma berhubungan erat dengan fenomena yang kudus dan
yang suci dalam teorinya Emile Durkheim. Kharisma memiliki suatu titik kritis yang ada
dalam dunia ‘sehari-hari’, yang berhubungan dengan seseorang yang luar biasa dan
mendatangkan kewajiban. Sehingga Weber membatasi kharisma dengan beranggapan bahwa,
suatu kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang di mana ia dibedakan dari orang biasa dan

diperlakukan sebagai seseorang yang memperoleh anugerah kekuasaan adikodrati,
adimanusiawi, atau setidak-tidaknya kekuatan atau kualitas yang sangat luar biasa. Kekuatan
seperti ini tidak bisa dijangkau oleh orang biasa, tetapi dianggap berasal dari kayangan dan
atas dasar itu ia diperlakukan sebagai seorang pemimpin.21
Kemampuan khusus (wahyu) yang ada pada diri seseorang dapat dikatakan sebagai
wewenang kharismatis. Orang-orang di sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan
19

Rodney R. Hutton, Charisma and Authority in Israelite Society, (Minneapolis: Fortress Press), 4.
Jarmanto, Kepemimpinan sebagai Ilmu dan Seni, (Jogyakarta: Liberty, 1983), 123.
21
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal , (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), 41.
20

21

tersebut atas dasar kepercayaan dan pemujaan karena mereka menganggap bahwa sumber
kemampuan tersebut merupakan sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan
manusia. Manfaat serta kegunaan sumber kepercayaan dan pemujaan ini karena kemampuan
khusus itu terbukti bagi masyarakat. Wewenang kharismatis ini akan tetap bertahan selama
dapat dibuktikan.22 Dasar wewenang kharismatis bukan terletak pada suatu peraturan, tetapi
bersumber pada diri pribadi individu yang bersangkutan. Kharisma semakin meningkat sesuai
dengan kesanggupan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat. Wewenang
kharismatis dapat berkurang jika ia berbuat kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat,
sehingga kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Lebih jauh lagi, wewenang kharismatis
dapat hilang karena masyarakat sendiri yang berubah dan mempunyai paham yang berbeda.
Perubahan-perubahan tersebut sering kali tidak dapat diikuti oleh orang yang mempunyai
wewenang kharismatis, sehingga ia tertinggal oleh kemajuan dan perkembangan dalam
masyarakat.23
Bagi Weber, kharisma memainkan dua peranan penting dalam kehidupan. Pertama,
sebagai sebuah hal yang luar biasa kharisma merupakan sumber goncangan dan pembaharuan.
Oleh karena itu, hal ini menjadi unsur strategis dalam perubahan sosial. Dalam memperoleh
para pengikutnya dan dalam menimbulkan rasa hormat, sumber dalam wewenang itulah yang
kemudian membuat ia dihormati, diterima, dan diakui. Kedua, kharisma melahirkan panggilan
dan menanggapinya sebagai sebuah keyakinan. Seseorang merasa bahwa sebuah kewajiban
ketika mereka terpanggil pada suatu misi kharismatik untuk mengetahui kualitasnya dan
bertindak sesuai dengan kharisma itu. Sehingga, dalam kepemimpinan kharismatik dianggap
22
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi: Suatu Pengantar , (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), 241.
23
Soerjono Soekanto, 2014: 242.

22

berada di luar suasana profan dan dunia sehari-hari. Hal ini merupakan dunia yang luar biasa
dan yang suci.24

Menyangkut yang sakral dan profan, Heru Nugroho menyatakan bahwa

sejarah adalah perjuangan antara kharisma dan rutinitas. Ada dua tingkatan yang terpisah
dalam dua hal ini; Pertama, pembawa otoritas yang memiliki kharisma, konsep ini digunakan
dalam menemukan sifat otoritas dalam figure kharismatik. Rutinitas dari pembawa otoritas ini
terjadi jika ditransfer melalui pewarisan kepada kelompok-kelompok lain yang kemudian
dilembagakan menjadi aturan dan intuisi. Kedua, perubahan budaya, perubahan ini terjadi jika
kharisma itu terlalu kuat untuk mempengaruhi rutinitas.25 Lebih jauh, perjuangan ini diuraikan
dalam referensi studi Max Weber tentang Ancient Judaisme (1952).26
2. Rutinitas Kharisma
Schoeder kemudian menguraikan secara singkat mengenai referensi Max Weber dalam
jenjang antara kharisma dan rutinitas. Pada jenjang pertama, konsepsi dari Tuhan yang
tunggal, transenden, dan sangat kuat memberikan asal mulanya otoritas kharismatik dari nabinabi Yahudi awal, menjadi sebuah rutinitas dan kemudian otoritas ini seperti ditransfer dari
nabi-nabi awal kepada starta pendeta. Jenjang kedua merupakan sistem keyakinan baru
kemudian menantang norma-norma tradisional dan menuntut sebuah tatanan sosial yang
baru.27 Schoeder menambahkan tiga penjelasan yang berbeda dari dua jenjang perjuangan
antara kharisma dan rutinitas ini.

24
25

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal , (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), 42.
Ralp Schroeder, Max Weber: tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, (Yogyakarta: KANISIUS,

2002), xi.
26
27

Ralp Schroeder, 2002: 22.
Ralp Schroeder, 2002: 23.

23

Bagi Schoeder, hal pertama dalam penjelasan Weber menyangkut sumber akhir dari
sistem keyakinan degan menempatkannya secara konkret dalam otoritas seorang nabi individu
daripada mewakili sebuah agama. Kedua, perbedaan bisa muncul karena Weber mengamati
perbedaan fundamental antara konsep kharisma digunakan pada tahap magis dan agama. Pada
tahap magis, kharisma memang secara langsung berada dalam diri ahli magis, sedangkan
pengaruhnya tetap dihubungkan dengan sumber yang nyata. Dalam tahap agama, tidak hanya
otoritas nabi dan pengikutnya yang berasal dari sumber transenden, tetapi pengaruh terhadap
para penganut agama dan kehidupan sosial sering menjadi akibat dari sistem kepercayaan itu
dan tidak secara langsung tergantung pada otoritas pendukungnya. Ketiga, Weber mengambil
istilah kharisma dan rutinitas

dalam sosiologi umum yang kemudian digunakan dalam

sosiologi agama tanpa memperkirakan pergeseran makna. Dalam hal ini Schoeder
menganggap Weber mengaburkan perbedaan antara otoritas dari ahli-ahli agama dan
perubahan pengaruh dari sistem kepercayaan.28
Kepemimpinan kharismatik bergantung pada keyakinan luas pada eksistensi
kemampuan-kemampuan luar biasa atau supernatural, tetapi keyakinan seperti itu tidak
diperhitungkan dalam konteks sekuler. Menurut Karl Loewenstein, kharisma ditemukan di
wilayah-wilayah dunia di mana suatu keyakinan rakyat pada kekuatan supernatural masih
meluas, seperti di beberapa bagian Afrika dan Asia. Hal ini berbeda dengan Shils, yang
melihat unsur kharismatik dalam semua masyarakat. Seperti ditunjukkan oleh Shils, Weber
sendiri tidak membatasi pemakaiannya atas istilah itu pada keyakinan magis atau religius, dan
dia menganalisi institusionalisasi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan istitusi.

28

Ralp Schroeder, 2002: 24-25.

24

Intinya adalah bahwa kharisma melekat pada individu atau institusi yang bisa memenuhi
kebutuhan itu atau berjanji akan memenuhinya.29
Weber mendefinisikan kharisma sebagai kualitas tertentu dari seorang individu yang
karenanya ia berbeda jauh dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat
supernatural, manusia-super, atau setidaknya luar biasa. Kualitas ini dianggap tidak bisa
dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu individu
yang bersangkutan diperlukan sebagai pemimpin. Weber pertama-tama mencatat bahwa
kharisma mungkin merupakan kekuatan revolusioner terbesar dalam periode-periode tradisi
yang mapan, dan kedua bahwa ia secara tipikal mengabaikan pertimbangan tentang efisiensi
dan rasionalitas ekonomi. Ketiga, dia menekankan bahwa pemimpin kharismatik dan
pengikutnya merupakan jemaat kongregasi (Gemeinde). Namun, otoritas kharismatiknya akan
lenyap jika bukti kualifikasi kharismatik hilang dari dirinya untuk jangka waktu yang terlalu
lama.30
Banyak contoh-contoh historis tentang seorang pemimpin yang merasa terpanggil
namun tidak dapat menemukan seorang pemimpin yang akan memenuhi kerinduan mereka
akan keajaiban. Dengan demikian, kharisma tampaknya sering terjadi karena pencarian atas
kharisma berlanjut. Tetapi kharisma yang asli merupakan peristiwa yang langka, yang lahir
dari kenyakinan pada anugerah misterius seseorang dan keyakinan semacam itu sama-sama
dimiliki oleh pemilik kharisma maupun mereka mengikuti dia.31

29

Dennis Wrong, Max Weber: Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: IKON TERALITERA, 2003), 257-259.
Dennis Wrong, 2003: 261-263.
31
Dennis Wrong, 2003: 279.
30

25

3. Pemahaman Kharisma dalam Masyarakat
Walaupun teori kharisma dan otoritas kharisma muncul dari kajian sosio politis di
Barat, gejala yang agak mirip bisa ditemui dalam kajian sejarah dan sosio antropologis di
Indonesia. Menurut Soemarsaid Moertono, ide pulung, andaru, teja yakni sinar yang menimpa
seseorang adalah pratanda bagi pendiri dinasti baru. Pulung atau andaru lalu diartikan sebagai
wahyu dan dalam konteks kultural Jawa dipahami sebagai karunia bagi raja, satu cara
pengesahan kedudukan raja ada persetujuan Ilahi, dan dengan sendirinya diakui rakyat. 32
Penguasa yang demikian memiliki daya ilahi, daya yang menurut Soemarsaid
merupakan unsur utama bagi seorang penguasa yang disegani dalam satu masyarakat yang
mengharapkan satu kepemimpinan yang kharismatik. Ide yang sama diajukan Sartono
Kartodirjo. Kharisma adalah gejala dalam sejarah dan budaya Indonesia. kharisma sama
dengan pulung dalam pengertian Jawa. Kharisma murni adalah kualitas yang diperoleh karena
usaha puasa dan bertapa, berbeda dari kharisma turunan atau jabatan yang diperoleh karena
pengalihan. Orang memiliki kharisma menjadi sakti, dan mampu memancarkan cahaya serta
daya adikodrati.
Sartono mengajukan tiga fase gejala kharisma dalam tradisi historis kultural di
Indonesia. Pertama, gejala kharismatis masa kritis yang memunculkan pemimpin dengan ilhan
dan pesan, yang mampu mengubah masyarakat dan membentuk dinasti baru. Kedua, siklus
kharisma dijumpai bila pemimpin tradisional berhadapan dengan pemimpin kharismatis yang
memimpin gerakan ke arah tatanan baru. Ketiga, bila tatanan baru bisa dibentuk, akan terjadi

32

Ayub Ranoh, Pemimpin Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis
Sukarno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 66.

26

rutinisasi kharisma menjadi institusi dan jabatan, dengan otoritas baik tradisional atau legal
rasional.33 Di samping itu, seorang antropolog Indonesia, Koentjaraningrat mengatakan:34
Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan
satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jwa mengenai
kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu: konsepsi masa kini sedang
berkembang dari konsepsi tradisional ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini.

Ia lalu mengembangkan skema komponen kekuasaan dalam masyarakat sederhana,
tradisional dan masa kini. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam setiap jenis
masyarakat: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Dengan skema:
Masyarakat Sederhana

Masyarakat Tradisional

Masyarakat Masa Kini

Wibawa

Kharisma

Wibawa

Wewenang

Wewenang

Wewenang

Kharisma

Wibawa

Kharisma

Kemampuan Khusus

Kemampuan Khusus

Kemampuan Khusus

Ada dua hal yang menarik, khususnya dalam kaitan dengan komponen kharisma.
Pertama, pengertian berbeda yang ia berikan pada kharisma. Dalam masyarakat sederhana,
kharisma diartikan sebagai kemampuan pemimpin dalam ilmu gaib untuk memperbesar
pengaruh. Jadi, kharisma bermakna kesaktian. Dalam masyarakat tradisional, kharisma
diartikan sebagai sifat keramat dan pemilikan wahyu. Karena itu untuk menjaga kekeramatan,
pemimpin mengambil jarak dengan rakyat. Dalam masyarakat masa kini, kharisma dalam
33
34

Ayub Ranoh, 2011: 66.
Ayub Ranoh, 2011: 70.

27

kepemilikan sejumlah kualitas spiritual untuk menunjang kekuasaan dan dengan itu pemimpin
disegani. Kedua, adalah cara menempatkan kharisma untuk setiap jenis masyarakat seperti
dalam skema. Untuk masyarakat sederhana dan masa kini kharisma ditempatkan sebagai
komponen ketiga. Sedangkan masyarakat tradisional, kharisma adalah komponen pertama.
Koentjaraningrat memberikan wawasan yang menarik bahwa kharisma adalah suatu
komponen kepemimpinan, baik untuk masyarakat kuno maupun modern. Kharisma bukan
konsep yang hanya relevan untuk dunia Timur, melainkan untuk semua masyarakat.35

35

Ayub Ranoh, 2011: 70-71.

28

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju T2 752010016 BAB I

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju T2 752010016 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju T2 752010016 BAB IV

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju T2 752010016 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju T2 752014010 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju T2 752014010 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju T2 752014010 BAB I

0 0 13