Pertumbuhan Setek Tanaman Buah Naga (Hylocereus costaricensis (Web.) Britton & Rose) dengan Pemberian Kombinasi IBA dan NAA

5

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Klasifikasi

tanaman

buah

naga

adalah

sebagai

berikut

;

Divisi: Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledonae,

Ordo:
Spesies:

Caryophyllales,

Famili:

Hylocereus

costaricensis

Cactaceae,

Genus:

Hylocereus,

(Web.)

Britton


&

Rose

(Britton and Rose, 1963).
Perakaran tanaman buah naga umumnya dangkal, berkisar 20-30 cm.
Namun, menjelang produksi buah, biasanya perakaran bisa mencapai kedalaman
50-60 cm, mengikuti perpanjangan batang berwarna cokelat yang tertanam di
dalam tanah. Perakaran tanaman buah naga bersifat epifit, yaitu merambat dan
menempel pada batang tanaman lain (Warisno dan Dahana, 2010).
Batang tanaman buah naga berwarna hijau kebiru-biruan atau kehitaman.
Batang berbentuk segitiga dan sukulen (banyak mengandung lendir). Dari batang
tersebut akan tumbuh cabang yang bentuk dan warnanya sama dengan batang.
Cabang tersebut berfungsi sebagai “daun” untuk proses fotosintesis. Pada batang
dan cabang tanaman, tumbuh duri-duri yang pendek dan keras. Duri terletak pada
tepi sudut batang maupun cabang dan terdiri 4-5 buah duri pada setiap titik
tumbuh (Gunasena et al., 2006).
Bunga tanaman buah naga berbentuk seperti terompet, mahkota bunga
bagian luar berwarna krem dan mahkota bunga bagian dalam berwarna putih

bersih sehingga pada saat bunga mekar tampak mahkota bunga berwarna krem
bercampur putih. Bunga memiliki sejumlah benang sari (sel kelamin jantan) yang
berwarna kuning. Bunga buah naga tergolong bunga hermaprodit, yaitu dalam

Universitas Sumatera Utara

6

satu bunga terdapat benangsari (sel kelamin jantan) dan putik (sel kelamin betina).
Bunga muncul atau tumbuh di sepanjang batang di bagian punggung sirip yang
berduri. Sehingga dengan demikian, pada satu ruas batang tumbuh bunga yang
berjumlah banyak dan tangkai bunga yang sangat pendek (Renasari, 2010).
Bentuk buah ada yang bulat dan bulat panjang. Umumnya buah berada di
dekat ujung cabang atau pertengahan cabang. Buah bisa tumbuh lebih dari satu
pada setiap cabang sehingga terkadang posisi buah saling berdekatan. Kulit buah
berwarna merah menyala saat buah matang dengan sirip berwarna hijau,
berukuran 2 cm. ketebalan kulit buah sekitar 1-4 mm. Rata-rata bobot buah
umumnya berkisar 400-800 g/buah (Hardjadinata, 2008).
Daging buah berserat sangat halus dan di dalam daging buah bertebaran bijibiji hitam yang sangat banyak dan berukuran sangat kecil. Daging buah ada yang
berwarna merah, putih, dan hitam, tergantung dari jenisnya. Daging buah

bertekstur lunak dan rasanya manis sedikit masam (Renasari, 2010).
Biji buah naga sangat banyak dan tersebar di dalam daging buah. Bijinya
kecil-kecil seperti biji selasih. Biji buah naga dapat langsung dimakan tanpa
mengganggu kesehatan. Biji buah naga dapat dikecambahkan untuk dijadikan
bibit (Winarsih, 2007).
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman buah naga merupakan tanaman tropis dan sangat mudah
beradaptasi terhadap lingkungan tumbuh dan perubahan cuaca seperti sinar
matahari, angin, dan curah hujan. Curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan
tanaman ini adalah sekitar 60 mm/bulan atau 720 mm/tahun. Suhu udara yang

Universitas Sumatera Utara

7

ideal

bagi


tanaman

ini

antara

26oC-36oC

dan

kelembaban

70-90%

(Hardjadinata, 2008).
Tanaman buah naga merah dan putih dapat tumbuh dengan baik dan
berbuah lebat serta rasanya manis memerlukan penyinaran matahari langsung
sepanjang hari (minimal 8 jam sehari). Berkurangnya intensitas penyinaran
matahari yang diterima akibat ternaungi gedung/bangunan atau tanaman lain maka
pertumbuhan tanaman dan produksinya tidak maksimal (Renasari, 2010).

Ketinggian tempat untuk pembudidayaan buah naga merah dan putih yaitu
dataran rendah sampai medium yang berkisar 0 m – 500 m dari permukaan laut,
yang ideal adalah kurang dari 400 m dpl. Di daerah pada ketinggian di atas 500 m
dpl, buah naga merah dan putih masih dapat tumbuh dengan baik dan berbuah,
namun buahnya tidak lebat dan rasa buah kurang manis. Untuk buah naga kuning,
ketinggian tempat yang cocok untuk pertumbuhan dan berproduksinya adalah di
atas 800 m dpl (dataran tinggi atau pegunungan) (Hardjadinata, 2008).
Tanah
Tanahnya harus beraerasi baik. Sementara derajat keasaman (pH) tanah
yang disukainya bersifat sedikit alkalis 6,5-7. Agar tanaman tumbuh baik dan
dapat memberikan hasil maksimal maka media tumbuhnya harus subur, gembur,
dan mengandung bahan organik tinggi dengan kandungan kalsiumnya harus
tinggi. Media tersebut tidak boleh mengandung garam (Gunasena et al, 2006).
Struktur tanah yang gembur juga meningkatkan drainase tanah sehingga
dapat mencegah genangan air. Jika drainase tanah baik, maka seluruh kehidupan
yang berada di dalam tanah berjalan dengan baik dan tanaman dapat tumbuh
dengan subur dan berproduksi baik. Tanaman buah naga tidak tahan terhadap air

Universitas Sumatera Utara


8

yang menggenang lama karena dapat menyebabkan perakaran dan batang
membusuk. Di samping itu, bila tanaman sedang berbunga atau berbuah, maka
keadaaan air yang menggenang dan berlebihan dapat menyebabkan rontoknya
semua bunga dan buah (Renasari, 2010).
Bahan organik yang digunakan harus benar-benar matang. Bahan organik
ini berfungsi untuk menjaga kelembapan, menyangga kation dan aktivitas
mikroorganisme, serta menyediakan hara. Beberapa bahan organik yang dapat
digunakan antara lain kompos, pupuk kandang, dan sekam. Selain bahan organik,
media pun perlu dicampur dengan bahan anorganik untuk memperlancar aerasi
dan drainase serta mempertahankan dan mengubah sifat fisik media. Contoh
bahan

anorganik

antara

lain


pasir

dan

bubuk

batu

bata

merah

(Warisno dan Dahana, 2010).
Setek Tanaman
Setek adalah salah satu cara pembiakan vegetatif yang paling umum
digunakan. Penyetekan didefinisikan sebagai suatu perlakuan pemisahan atau
pelepasan dengan cara memotong bagian-bagian tanaman seperti akar, batang,
daun, dan tunas dengan maksud agar bagian-bagian tersebut membentuk akar
(Kusuma, 2003).
Setek batang sebagai material sangat menguntungkan, sebab batang

mempunyai persediaan makanan yang cukup terhadap tunas-tunas batang dan akar
dan juga dapat dihasilkan dalam jumlah besar (Huik, 2004).
Perkembangbiakan dengan cara setek diharapkan dapat menjamin sifat-sifat
yang sama dengan induknya, dan waktu berbuah relatif lebih pendek.
Perbanyakan dengan cara setek dapat memperoleh sifat seperti induknya. Sifat ini

Universitas Sumatera Utara

9

meliputi ketahanan terhadap serangan penyakit, rasa buah, dan sebagainya
(Shofiana et al., 2013).
Petani buah naga lebih sering menggunakan setek batang karena ingin
mendapatkan rasa buah yang sama dengan induknya, namun perbanyakan dengan
cara setek batang memiliki kendala yaitu batang yang akan dijadikan setek harus
berkualitas baik. Calon batang atau cabang yang digunakan untuk bibit harus
dalam kondisi sehat dan sudah pernah berbuah minimal 3-4 kali, karena batang
yang sudah berbuah pertumbuhannya akan pesat, kokoh dan cepat betunas
(Trisnawati et al., 2013).
Budidaya tanaman buah naga dapat dilakukan dengan cara setek batang

30- 40 cm yang ditanam ditanah dan akan segera tumbuh akar dan tunas cabang.
Yang paling penting harus ekspos langsung ke matahari dan disiram secara teratur
agar batangnya tidak kempes karena kekurangan air selain itu buah naga juga
tidak dapat tumbuh dengan baik jika kelebihan air (Renasari, 2010).
Pertumbuhan setek dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan faktor
lingkungan (Hartmann et al, 1990). Faktor genetik meliputi kandungan cadangan
makanan dalam jaringan setek, dan jenis tanaman. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberhasilan penyetekan antara lain media perakaran, kelembaban,
suhu, intensitas cahaya dan teknik penyetekan (Danu et al, 2011).
Batang yang digunakan untuk setek batang atau cabang harus dalam
keadaaan sehat, keras, tua, sudah pernah berbuah 3-4 kali dan batang atau cabang
berwarna hijau tua. Ukuran setek pada tanaman buah naga yang ideal yaitu antara
20-30 cm, tetapi juga ada yang membuat bibit dengan panjang 40 cm. Digunakan
setek dengan ukuran tersebut karena batang harus mempunyai banyak mata tunas

Universitas Sumatera Utara

10

sehingga dapat membentuk tunas baru dan tunas yang tumbuh akan cepat

membesar. Bibit yang baik yaitu bibit yang mempunyai minimal empat mata
tunas atau lebih supaya tanaman cepat menghasilkan cabang-cabang yang
produktif (Renasari, 2010).
Pada umumnya, panjang setek ialah 15-20 cm dan mempunyai 3-5 mata
tunas. Pemotongan yang rendah diberikan cara miring dibawah mata tunas untuk
meningkatkan penyerapan unsur hara. Pemotongan yang tinggi diberikan sudut
yang benar untuk mengurangi pelukaan dan sejauh ini pemotongan diatas mata
tunas mungkin untuk menghindari pengeringan. Sesudah bahan setek disiapkan
dibiarkan mengering (Bal, 2001).
Pembentukan Akar Setek
Dalam upaya pembiakan secara vegetatif dengan tujuan untuk memperoleh
persen tumbuh tanaman yang tinggi, adanya peningkatan sistim pertumbuhan
perakaran, serta bibit tanaman yang ditanam lebih mampu dan cepat beradaptasi
dengan lingkungan yang baru perlu dilibatkan pula penggunaan hormon tumbuh
akar melalui berbagi uji coba untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat dalam
penggunaannya sehingga diperoleh hasil yang lebih baik bagi pengaturan dan
pertumbuhan tanaman (Huik, 2004).
Pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari auksin,
karbohidrat dan rooting cofactor (zat-zat yang berinteraksi dengan auksin yang
mengakibatkan perakaran) baik dari tunas maupun dari daun. Zat-zat ini akan
mengumpul yang selanjutnya akan menstimulir pembentukan akar setek tersebut.
Akar adventif dapat timbul dari dua macam sumber, yaitu : (1) dari jaringan kalus,
dan (2) dari akar morfologi atau akar primordial (Kusuma, 2003).

Universitas Sumatera Utara

11

Faktor penting dalam pembentukan perakaran setek, yaitu : menyediakan air
yang cukup untuk seluruh setek dan mengurangi penguapan dari bagian atas
seperti daun, persedian udara yang cukup di bagian bawah setek, perkembangan
dan pertumbuhan akar dapat terhenti jika kekurangan oksigen, dan cahaya yang
terpencar menyebar rata dan suhu optimum yang tetap. Keadaan di atas dapat
diperoleh dengan mempergunakan medium akar yang longgar dan bersifat spon,
sehingga dapat menahan air banyak tetapi aerasi cukup (Suprapto, 2004).
Pertumbuhan akar pada setek batang dipengaruhi oleh pemberian zat
pengatur tumbuh IBA, IAA, GA3, kandungan karbohidrat dan panjang bahan
setek, jumlah ruas dan daun bahan setek, posisi cabang bahan setek, waktu
pemanenan bahan setek, kondisi stress air, pemberian pupuk, radiasi sinar
matahari dan kelembaban. Diduga bahan setek pada bagian batang bibit (pangkal,
tengah dan ujung) akan mempengaruhi pertumbuhan akar setek berkaitan dengan
sistem trasnportasi fotosintat pada batang (Hidayat, 2010).
Salisburry dan Ross (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan pada tumbuhan
berlangsung terbatas pada beberapa bagian tertentu yang terdiri atas sejumlah sel
yang baru saja dihasilkan melalui proses pembelahan sel meristem. Produk
pembelahan sel itulah yang tumbuh dan menyebabkan pertumbuhan. Ujung tajuk
dan ujung akar banyak terdapat meristem. Pemberian auksin dalam konsentrasi
yang rendah akan memacu pemanjangan akar, bahkan pertumbuhan akar utuh dan
pada konsentrasi yang lebih tinggi pemanjangan hampir selalu terhambat

Universitas Sumatera Utara

12

Peranan Zat Pengatur Tumbuh
Hormon pada tanaman menurut batasan adalah zat yang hanya dihasilkan
oleh tanaman itu sendiri yang disebut fitohormon dan zat kimia sintetik yang
dibuat oleh ahli kimia. Hormon tanaman (fitohormon) adalah “regulators” yang
dihasilkan oleh tanaman sendiri dan pada kadar rendah mengatur proses fisiologis
tanaman. Hormon biasanya mengalir di dalam tanaman dari tempat dihasilkannya
ke tempat keaktifannya (Huik, 2004).
Hormon tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang
aktif dalam jumlah kecil. Hormon tersebut bisa dibuat tanaman (fitohormon) atau
disintesa (hormon). Fitohormon sering disebut hormon endogen, sedangkan
hormon yang disintesis disebut hormon eksogen. Jika kandungan endogen cukup
maka hormon eksogen tidak diberikan (Kusuma, 2003).
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berfungsi sebagai pemacu dan penghambat
pertumbuhan tanaman. Penggunaan ZPT yang tepat akan berpengaruh baik
terhadap pertumbuhan tanaman namun apabila dalam jumlah terlalu banyak justru
akan merugikan tanaman karena akan meracuni tanaman tersebut. Sebaliknya jika
dalam jumlah yang sedikit maka akan kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman tersebut (Ardana, 2009).
Terdapat beberapa macam zat pengatur tumbuh diantaranya yaitu auksin,
sitokinin, giberelin, dan etilen. Hartmann et al (1990) menyebutkan zat pengatur
tumbuh yang paling berperan pada pengakaran setek adalah auksin. Penggunaan
zat pengatur tumbuh auksin bertujuan untuk meningkatkan persentase setek yang
membentuk akar, memacu inisiasi akar, meningkatkan jumlah dan kualitas akar
yang terbentuk, serta meningkatkan keseragaman dalam perakaran.

Universitas Sumatera Utara

13

Salah satu hormon tumbuh yang tidak lepas dari proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman adalah auksin. Hubungan antara pertumbuhan dan kadar
auksin adalah sama pada akar, batang dan tunas yaitu auksin merangsang
pertumbuhan pada kadar rendah, sebaliknya menghambat pertumbuhan pada
kadar tinggi. Kadar optimum hormon untuk pertumbuhan akar jauh lebih rendah
kira-kira 1: 100.000 dari kadar optimum untuk pertumbuhan batang (Huik, 2004).
Mekanisme kerja auksin adalah dengan menginisiasi pemanjangan sel dan
juga memacu protein tertentu yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk
memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ mengaktifkan enzim tertentu sehingga
memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun
dinding sel. Sel tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara
osmosis (Fahmi, 2014).
Cara pemberian hormon pada setek batang dapat dilakukan dengan cara
pemberian dengan perendaman, pencelupan dan tepung. Untuk metode
perendaman, konsentrasi zat pengatur tumbuh bervariasi antara 20 ppm sampai
200 ppm tergantung kemampuan jenis tersebut berakar (Hartman et al, 1990).
Dalam mengaplikasikan hormon perlu diperhatikan ketepatan dosis, karena
jikalau dosis terlampau tinggi bukannya memacu pertumbuhan tanaman tetapi
malah menghambat pertumbuhan tanaman dan menyebabkan keracunan pada
seluruh jaringan tanaman (Kusuma, 2003).
Respon tanaman terhadap zat pengatur tumbuh sangat ditentukan oleh jenis
tanaman, fase pertumbuhan tanaan, jenis zat pengatur tumbuh, kosentrasi zat
pengatur tmbuh dan cara aplikasinya. Penggunaan jenis dan konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang paling efektif dalam merangsang perkecambahan dan

Universitas Sumatera Utara

14

pertumbuhan tanaman. ZPT auksin memiliki sifat mudah rusak oleh cahaya
matahari secara langsung sehingga harus lebih hati – hati dalam aplikasi dan
penyimpanannya (Fahmi, 2014).
Menurut Hidayat (2010), tiga senyawa yang memiliki inti Naphathalene
berfungsi memperbanyak dan mendorong timbulnya suatu perakaran. Sedangkan
satu senyawa aktif yang mengandung Indole bermanfaat untuk memperbanyak
dan mempercepat perakaran. Thiram berfungsi sebagai pestisida.
IBA eksogen memberikan pengaruh positif pada pembentukan kalus dan
inisiasi akar. Pada penelitian ini, akar adventif yang keluar diawali dengan
pembentukan kalus. Efek dari auksin pada perkembangan meristem adalah
mendorong pembentukan jaringan kalus. Pembentukan kalus merupakan
prekursor untuk pembentukan akar adventif. Akan tetapi pembentukan jaringan
akar dan kalus akan lebih kuat dan lebih baik daripada akar yang keluar dari setek
yang tidak berkalus (Kusuma, 2003).
Hormon IBA digunakan karena perbanyakan setek mempunyai beberapa
kendala,yaitu zat tumbuh tidak tersebar merata sehingga pertumbuhan setek tidak
seragam. IBA memiliki kandungan kimia yang lebih stabil dan daya kerjanya
lebih lama sehingga dapat memacu pembentukan akar. IBA yang diberikan pada
setek akan tetap berada pada tempat pemberiannya sehingga tidak menghambat
pertumbuhan dan perkembangan tunas (Shofiana et al, 2013).
Untuk menunjang keberhasilan pertumbuhan bibit pada masa aklimatisasi
dibutuhkan zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang akar. Diantaranya adalah
jenis auksin, seperti: Naphtha-lena Acetic Acid dan Indole Buteric Acid adalah
bentuk terbaik untuk pertumbuhan akar. Naphthalena Acetomeda (Nad) dan 2,4

Universitas Sumatera Utara

15

Dichlorophenoxy (2,4-D) pada konsentrasi rendah dapat juga digunakan untuk

merangsang perakaran, tetapi menghambat pertumbuhan kuncup. Pemberian NAA
pada konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan dan
sebaliknya

pada

konsentrasi

dibawah

optimum

tidak

efektif

(Leopold dan Kriedmann, 1975) dalam Marzuki et al. (2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ramadiana (2008) menunjukkan
bahwa pemberian IBA pada setek lidah mertua (Sansevieria trifasciata var.
Lorentii) dengan konsentrasi 2000 ppm mampu menghasilkan pertumbuhan akar
terbaik pada pengukuran waktu muncul akar dan jumlah akar daripada IBA
dengan konsentrasi 0 ppm, 1000 ppm, dan 4000 ppm. Sementara itu penelitian
yang dilakukan oleh Nababan (2009) menunjukkan bahwa pemberian hormon
IBA pada setek ekaliptus dengan konsentrasi 2000 ppm akan memberikan hasil
terbaik dibanding pemberian hormon dengan konsentrasi 0, 500, 1000, 4000, dan
8000 ppm (Shofiana et al, 2013).
Perakaran pada setek dapat dipercepat dengan perlakuan khusus, yaitu
dengan penambahan ZPT (zat pengatur tumbuh) golongan auksin. Auksin
merupakan ZPT yang berperan dalam proses pemanjangan sel, pembelahan sel,
diferensiasi jaringan pembuluh dan inisiasi akar (Heddy, 1996). Inisiasi akar
dalam waktu relatif singkat dan sistem perakaran yang baik, dapat diperoleh
dengan penambahan ZPT pada konsentrasi optimal (Yasman dan Smits, 1998).
Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan
dan perkembangan tanaman yaitu mempengaruhi protein membran sehingga
sintesis protein dan asam nukleat dapat lebih cepat dan auksin dapat

Universitas Sumatera Utara

16

memperngaruhi pembentukkan akar baru, pembelahan sel dan pembentukkan
tunas (Santoso dan Nursandi, 2001).
Auksin hanya efektif pada jumlah tertentu, konsentrasi yang terlalu tinggi
mampu merusak bagian tanaman sedangkan konsentrasi hormon di bawah optimal
menjadi tidak efektif. Menurut Harjadi (2009), salah satu jenis auksin yang umum
digunakan adalah NAA (Naftalen asetik amid), penggunaan NAA pada
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tanaman berupa
kecoklatan pada pangkal setek, namun pada konsentrasi rendah sangat efektif
pada jenis tanaman tertentu.
Gamborg dan Wetter (1975) menyatakan bahwa NAA memiliki
kemampuan untuk menginduksi akar, kalus, dan tunas. NAA juga memiliki sifat
yang lebih stabil karena tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan oleh
tanaman atau pemanasan dalam proses sterilisasi medium (Sobardini et al., 2006).
Menurut Kusumo (1984) penggunaan NAA dan IBA lebih baik daripada
IAA. Auksin NAA dan IBA memiliki sifat kimia yang lebih stabil dan
mobilitasnya di dalam tanaman rendah, sedangkan IAA dapat tersebar ke tunastunas dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tunas tersebut. NAA
memiliki kisaran konsentrasi yang sempit, sedangkan IBA memiliki kisaran
konsentrasi yang lebih fleksibel.
Hasil penelitian yang dilakukan pada setek sirih merah umur 35 hari
menunjukkan bahwa pemberian NAA 50, 100, dan 200 ppm mampu
meningkatkan jumlah akar baik pada buku maupun pangkal setek. Pada
pemberian NAA 200 ppm mampu menghasilkan jumlah akar pada pangkal setek
paling banyak yaitu 3,55 helai, berbeda dengan perlakuan tanpa NAA yang

Universitas Sumatera Utara

17

menghasilkan jumlah akar pada pangkal setek paling sedikit yaitu, 2,37 helai
(Maulida et al., 2013).
Pada penelitian lain, penggunaan ZPT NAA pada tanaman jarak pagar
menunjukkan hasil, konsentrasi NAA mempengaruhi pertumbuhan tinggi
tanaman, diameter kanopi dan jumlah cabang serta produksi jumlah buah, bobot
100 biji dan kadar minyak tanaman jarak pagar. Pemberian NAA mampu
meningkatkan jumlah buah terpanen dan bobot 100 biji masing-masing sebesar
26,64 dan 5,07 % dan menurunkan kadar minyak sebesar 3,05 % dari kontrol.
Konsentrasi 1000 ppm NAA mampu meningkatkan 100 biji masing-masing
sebesar 35,09 dan 2,99 % dan menurunkan kadar minyak sebesar 3,58 %
(Nurnasari dan Jumali, 2012).

Universitas Sumatera Utara