MAKALAH BAHASA INDONESIA fairus. odcx

MAKALAH BAHASA INDONESIA
PELAKSANAAN HUKUMAN QISAS

Disusun Oleh:
Fairus Nusa Madani
(20160610221)

UNIVERSITAS MOHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS HUKUM
PROGAM STUDI ILMU HUKUM
2016

BAB I
PENDAHULUAN
I.I.LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam masyaratkat, khusus dalam kehidupan islam terdapat
berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran
yang dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah
aturan yang mempunyai kekuatan hokum dengan berbagai macam
sangsi. Sangsi yang diberikan seusai dengan tingkat pelanggaran
yang dilakukan.

Maka dari itu, dalam hukum islam diterapkan hukuman dalam
hukum islam yang bertindak sebagai pencegahaan kepada setiap
manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa
berdosa jika dia melanggar.
Adanya qisas bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini
sebuah alternative demi terciptanya hidup dan ketentuan Allah.
Dalam

makalah

ini

diajukan

beberapa

hal

mengenai


bagaimana pelaksanaan hukuman qisas dan bagaimana hukuman
qisas dapat terhapus

I.2.RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah:
1.
2.
3.
4.

Apa pengertian qisas?
Bagaimana pelaksanaan hukuman qisas?
Bagaimana menghapus hukuman qisas?
Apa hikmah adanya hukuman qisas?

I.3.TUJUAN PENULISAN

1.
2.

3.
4.

Untuk
Untuk
Untuk
Untuk

mengetahui
mengetahui
mengetahui
mengetahui

pengertian dari qisas
pelaksanaan hukum qisas
bagaimana menghapus hukum qisas
hikmah dari hukum qisas

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN QISHASH
Menurut syara’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan
perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota
badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Qishash ada 2 macam
1.

Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana

pembunuhan.
2.

Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak

pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan
manfaat anggota badan.
Syarat syarat qishah
1.

Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib


qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan
tidak berdosa.
2.

Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib

qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila
anak membunuh bapaknya.
3.

Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam,

merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan
budak dengan budak.
4.

Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa,

anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga

dengan telinga.

5.

Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah

digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
6.

Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali

jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini
selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang
kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman,
berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR.
Turmudzi dan Nasaâ’)

2. PELAKSANAAN HUKUMAN QISHASH
Orang yang berhak menuntut dan memanfaatkan qishash[1]
menurut Imam Malik adalah ahli waris Ashabah bi nafsih, orang

yang paling dekat dengan korban itulah yang paling berhak untuk
itu. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafei ‘i, dan Imam Ahmad
orang yang berhak itu adalah seluruh ahli waris, Laki-laki maupun
perempuan.
Apabila orang yang berhak itu banyak dan sama derajatnya,
maka dalam kasus ini ada dua teori ;pertama penuntutan dan
pemaafan itu hak penuh setiap ahli waris secara individu dan
kedua,penuntutan dan pemaafan qishash itu adalah hak korban
dan karena si korbana tidak bisa menggunakan haknya, maka ahli
waris keseluruhannya menggantikan kedudukannya atas dasar
prinsip waris. Teori ini di pegang oleh Imam Syafei’i Imam Ahmad,
dan Muhammad.[2]
Untuk jelasnya perbedaan kedua teori ini dapat di gambarkan pada
contoh berikut: Apabila ada ahli waris yang sudah dewasa dan yang
masih kecil, maka menurut teori pertama ahli waris yang dewasa
itu punya hak yang sempurna tidak usah menunggu balighnya ahli
waris yang masih kecil, sedangkan menurut teori kedua ahli waris
yang telah dewasa harus menunggu balighnya ahli waris yang kecil

untuk kemudian dimusyawarahkan untuk menuntut atau

memanfaatkan qishash, karena hak qishash adalah hak bersama.[3]
Apabila korban tidak memiliki wali, maka disepakati ulama bahwa
sulthan menggantikan kedudukan walinya, karena sulthan adalah
wali bagi orang tidak memiliki wali.
3. HILANGNYA HUKUMAN QISHASH
Hukuman qishash dapat hilang karena hal-hal berikut:
1)

Hilangnya tempat untuk di qishash;

2)

Pemanfaatan;

3)

Perdamaian

4)


Diwariskan hak qishash
Yang dimaksud dengan hilangnya tempat untuk di qishash

adalah hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang mau di
qishash sebelum dilaksanakan hukuman qishash.[4]
Para ulama berbeda pendapat dalam hal hilangnya tempat
ntuk di qishash itu mewajibkan diyat. Imam Malik dan imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa hilangnya anggota badan atau jiwa
orang yang wajib di qishash itu menyebabkan hapusnya diyat,
karena bila qishash itu tidak meninggal dan tidak hilanng anggota
badan yang akan di qishash itu, maka yang wajib hanya qishash
bukan diyat.
Sedangkan menurut Imam Syafei dan Imam Ahmad dalam
kasus diatas qishash dan segala aspeknya menjadi hapus, akan
tetapi menjadi wajib diyat, karena qishash dan diyat itu keduaduanya wajib, bila salah satunya tidak dapat dilaksanakan dapat
diganti dengan hukuman lainnya. Sehubungan dengan pemaafan
para ulama sepakat tentang pemaafan qishash bahkan lebih utama
dari pada menuntutnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. :[5]
“Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya.”

“Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya”.

Yang dimaksud pemaafan menurut Imam Syafei dan Imam
Ahmad adalah memaafkan qishash atau diyat tanpa imbalan apaapa. Sedang menuru Imam Malik dan Abu Hanifah pemaafan
terhadap diyat itu bisa dilaksanakan bila ada kerelaan
pelaku/terhukum. Jadi menurut kedua ulama terakhir ini pemaafan
adalah pemaafan qishash tanpa imbalan apa-apa. Adapun
memaafkan diyat itu bukan pemaafan, melainkan perdamaian.
Orang yang berhak memaafkan qishash adalah orang yang berhak
menuntutnya.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang
kebolehan perdamaian dan hapusnya hukuman qishash karenanya.
Dan melalui perdamaian pihak pembunuh bisa membayar
tanggungan yang lebih kecil, sama atau lebih besar daripada diyat.
[6]
Orang yang berhak mengadakan perdamaian adalah orang yang
berhak atas qishash dan pemaafan. Qishash juga bisa dihapus
karena diwariskan kepada keluarga korban. Contoh bila ahli waris
adalah pembunuh yakni penuntut dan penanggung jawab qishash

itu orangnya sama. Jelasnya adalah misalnya A membunuh saudara
sendiri yang tidak mempunyai ahli waris kecuali dirinya sendiri (A).
[7]
Memaafkan orang yang melakukan pembunuhan dan atau pelukaan
dari sikorban atau keluarganya sangat didorongkan dan terpuji,
walaupun demikian tidak berarti si pembunuh atau orang yang
melukai tidak kena hukuman. Sanksinya diserahkan kepada Ulil
Amri, Karena si pembunuh ini melanggar dua hak yaitu hak
perorangan (hak adami) dan hak masyarakat/jamaah/Allah.
4. HIKMAH ADANYA HUKUMAN QISHASH
Hikmah qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan
pembunuh. Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan
dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh oran g, tentu ia
takut membunuh oran g lain. Dengan demikian terpeliharalah jiwa
dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.

Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan
setimpal itu, memeliharakan hidup masyarakat: dan Al-Quran tiada
menamai hokum yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama
hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya
menamai hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan.
Operasi pemberantasan kejahatan yang dilakukan pemerintah
menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran islam terutama
yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.
LARANGAN QISHAS di DALAM MASJID:
Sesungguh Rasulullah SAW telah melarang untuk
melaksanakan Qishash di dalam mesjid sebagaimana hadits beliau
sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Rasulullah saw.
melarang melaksanakan qishash di dalam masjid, melantunkan
sya’ir dan melaksanakan hukum hudud di dalamnya.“
Diriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata,
“Rasulullah saw. bersabda, “Seorang anak tidak boleh menuntut
qishash terhadap ayahnya dan dilarang melaksanakan hukum
hudud di dalam masjid,” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Bagi tiap-tiap perbuatan Allah telah menetapkan balasan yang
setimpal terhadapnya baik di dunia maupun di akhirat dan Allah
Maha Pengampun atas segala perbuatan dosa yang dilakukan
hamba-hamba-Nya, kecuali perbuatan syirik atau menyekutukanNya
dengan dzat selain Dia. Dengan demikian manusia sebaiknya lebih
membekali akhiratnya dengan perbuatan baik dan saling
memaafkan atas kesalahan saudara-saudaranya, karena sikap
memaafkan akan lebih mulia pada pandangan Allah swt. Semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menjaga lidah
dan perbuatan, dan orang-orang yang memaafkan.

BAB III
PENUTUP

Kita sadari bahwa memang hukum pidana (Hukum Fiqh
Jinayah) tapi sudah seharusnya kita sebagai muslim mengikuti
ajaran Islam sebagaimana yang telah diaturnya. Seberapa sulitnya,
kita harus menjalani dengan lapang dan ikhlas. Saya sendiri pun
tidak tahu bagaimana caranya yang jelas kita akan belajar bersamasama tentang hokum Islam ini. Sekalipun oleh pihak yang dirugikan
dimaafkan, ternyata masih diberi hukuman oleh Allah SWT di akhir
nanti entah memang masih didunia atau diakhirat kelak.