Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru itu sendiri maupun keganasan dari
luar paru (metastasis tumor di paru). Kanker paru primer yaitu tumor ganas yang
berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus atau bronchogenic carcinoma
(PDPI, 2002) .
2.2. Epidemiologi
Kanker paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.
Kanker paru sekarang penyebab kematian akibat kanker baik pada pria maupun
wanita. Menurut perkiraan oleh American Cancer Society, sekitar 160.000
kematian akibat kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2000. Angka ini
melebihi angka kematian akibat kanker kolorektal, payudara, dan kanker prostat,
yang pada tahun 2004 diperkirakan menjadi sekitar 125.000 kematian. Kurang
lebih 1 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun akibat kanker paru. Kanker
paru adalah penyebab utama kematian terkait dengan kanker, tidak hanya di
Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Pada tahun 2008 di Amerika serikat
diperkirakan 215.020 penderita kanker paru kasus baru dan sebanyak 161.840
jiwa diperkirakan meninggal karena kanker paru. Pada tahun 2009 terdapat
penderita kanker paru yang meninggal sebanyak 159.000 jiwa (Raza, 2006).

Pada pria, daerah dengan insiden tertinggi (>46/100.000 penduduk per
tahun) adalah Eropa, Amerika Utara dan Australia / Selandia Baru. Angka yang
cukup tinggi (25-46/100.000 penduduk per tahun) terdapat di Cina, Jepang dan
Asia Tenggara, Sedangkan angka terendah (< 25/100.000 penduduk per tahun)
ditemukan di Asia Selatan (India, Pakistan), dan sub-Sahara Afrika. Insiden
kanker paru pada perempuan di seluruh dunia sebagai berikut: relatif tinggi
(>11.5/100.000 penduduk pertahun) yaitu di Kanada, Amerika Serikat, Kuba,
Eropa Utara dan pusat Eropa, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia baru,
insiden menengah (6.5-11.5/100.000 penduduk per tahun) yaitu di Meksiko,
Amerika Latin, Eropa Selatan dan Eropa Timur, Afrika Selatan dan Rusia,

sedangkan insiden rendah (250

Tulang (spongy)

130 ± 100

Pankreas

40 ±10


Ginjal

30 ± 10

Jaringan lemak

-90 ± 100

Sumber: Astowo,2010
Penelitian yang dilakukan Herlambang tahun 2003 dalam meneliti
karakteristik jenis kanker paru berdasarkan peningkatan densitas didapatkan
terdapat perbedaan Housfield Unit (HU) pada jenis sel ganas yaitu antara 55 – 80
HU dimana karsinoma epidermoid mempunyai ukuran HU paling tinggi (80 HU)
dan, diikuti adenocarcinoma (67 HU), small cell ( 62 HU), large cell (61 HU) dan
yang

paling

rendah


jenis

undifferentiated/

malignant

cell

(55

(Herlambang,2003).

Gambar 2. Computer Tomography (CT-Scan) dan hasil (Fossella,2003)

HU)

2.11 TransThoracic Needle Aspration (TTNA)
2.11.1 SEJARAH
TransThoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan suatu tindakan

metode diagnosis invasif dibidang penyakit paru yang biasa digunakan untuk
diagnostik massa ganas di paru. Tindakan ini pertama kali diperkenalkan oleh
Leyden tahun 1883. Tujuan dari tindakan ini adalah mengkonfirmasi diagnosis
pneumonia. Kemudian Menetrier pada tahun 1886 melaporkan penggunaan
prosedur ini pada 3 orang penderita dengan massa di paru. Saat itu tindakan ini
belum banyak digunakan karena efek samping yang sering terjadi dan biasanya
berat karena menggunakan jarum aspirasi yang besar. Efek samping yang sering
terjadi adalah perdarahan dan pneumotoraks, dan tidak jarang menimbulkan
kematian (Astowo,2010).
Dengan perkembangan diagnostik pencitraan dan perkembangan teknik
biopsi seperti diperkenalkan jarum halus dan semakin meluas penerimaan
pemeriksaan sitologi, membuat Transthoracic biopsy diterima luas dan sangat
berguna dalam menyelidiki lesi yang ada di toraks. Selanjutnya banyak publikasi
yang telah banyak dimuat dalam beberapa jurnal untuk diagnosis lesi jinak
maupun ganas pada kelainan paru dengan melakukan TTNA. TTNA dapat
dilakukan dengan tuntunan USG, CT Scan toraks, ataupun dengan C-arm cone –
beam CT (CBCT) (Nitadori,2006).
2.11.2 DEFINISI
Transthoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan tindakan melakukan
biopsi jarum halus secara transtorakal dengan atau tanpa tuntunan fluoroskopi/

USG/ CT scan untuk kepentingan diagnostik. Gupta tahun 2010 mendefinisikan
TTNA adalah tindakan menusukkan jarum kedalam lesi abnormal untuk
mengambil jaringan atau sel untuk menegakkan diagnosis. Tindakan TTNA
dengan tuntunan CT Scan toraks merupakan tindakan yang tidak invasif
dibandingkan dengan biopsi eksisi ataupun biopsi karena berhubungan dengan

tingkat mortalitas dan morbiditas yang rendah dibandingkan dengan biopsi eksisi
ataupun biopsi terbuka (Gupta,2010).
TTNA dapat dilakukan pada pasien pada kasus nodul paru yang soliter
dimana secara klinis, radiologis foto toraks dan tindakan bronkoskopi yang belum
mendapatkan diagnosis definitif. TTNA juga dapat diindikasikan pada kasus
dengan penyakit paru intersisial, infiltrat yang persisten baik single ataupun
multipel yang tidak terdiagnosis dari kultur sputum, kultur darah dan bronkoskopi.
TTNA juga merupakan pilihan diagnostik lesi di perifer yang dicurigai suatu
keganasan (Levine,1988;Boskovich,2013;Dewan,1995).
Pada beberapa tahun ini telah dilaporkan angka tingkat akurasi TTNA ± 80
% untuk penyakit jinak dan ± 90 % untuk penyakit keganasan. Wescott pada
tahun 2011 melaporkan secara keseluruhan angka sensitivitas 93 % dan angka
spesifisitas 100 % dalam mendiagnosis nodul paru dengan ukuran diameter < 1,5
cm. Stanley EK loh pada tahun 2013 melaporkan angka akurasi diagnostik pada

lesi yang malignan sebesar 96,8 % dan angka sensitivitas dan spesifisitas masing
masing 95,7 % dan 100 % dengan menggunakan jarum no 18G – 23G (EK
loh,2013). Beslic pada tahun 2012 membandingkan teknik TTNA dengan
tuntunan CT scan toraks dengan jarum dan core biopsy dan didapatkan hasil
diagnostik dengan jarum sebesar 79,60 % dengan menggunakan jarum no 22G,
sedangkan memakai core biopsy sebesar 96,85%, sedangkan komplikasi
pneumotoraks dengan core biopsy lebih besar yaitu 31,5%, lebih besar
dibandingkan dengan jarum yaitu 9,7 %. Penelitian yang dilakukan Lee pada
tahun 2009 tindakan TTNA dengan jarum aspirasi no 21G dengan C-arm Conebeam CT (CBCT) didapatkan hasil akurasi diagnostik sebesar 97,9% dalam
mendiagnostik lesi di paru (Beslic,2012;Lee,2012).
Lima

dkk

melaporkan

tingkat

akurasi prosedur


TTNA dengan

menggunakan jarum spinal no. 25G dengan tuntunan CT Scan toraks dalam
menegakkan diagnosis keganasan pada lesi di paru adalah sebesar 91%
(Lima,2011). Beg dkk tahun 2002 juga melaporkan tingkat akurasi diagnostik
sebesar 46,74 % dengan jarum no 25G dalam mendiagnosis lesi yang dicurigai

menderita tuberkulosis (Beg,2002). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dkk
tahun 2009 di RS Persahabatan dalam mendiagnosis lesi di paru yang dicurigai
keganasan dengan membandingkan hasil bronkoskopi dengan TTNA dengan
jarum spinal no 25G, didapatkan hasil akurasi yang lebih tinggi dengan teknik
TTNA menggunakan jarum spinal no 25G sebesar 80 % dibandingkan dengan
bronkoskopi sebesar 50 % (Wahyuni,2009).
2.11.3 INDIKASI
American Thoracic Society (ATS) mempublikasikan indikasi tindakan TTNA
antara lain ( Astowo,2010 ; Birchad,2011):
1) Massa atau nodul yang soliter maupun multipel
2) Diagnosis dugaan metastasis paru pada pasien dengan diketahui kanker
primer
3) Konfirmasi diagnosis kanker pada pasien yang tidak dianjurkan untuk

reseksi operasional
4) Mendapatkan bahan untuk analisis mikrobiologi yang diduga suatu proses
infeksi
5) Mendapatkan bahan diagnostik dari kelenjar getah bening dan lesi lainnya
di mediastinum
6) lesi pada mediastinum atau di hilus
7) invasi tumor paru ke dinding dada
8) Konsolidasi atau infiltrat di paru
Crestanello pada tahun 2004 mengindikasikan TTNA pada kasus adanya
massa di mediastinum, mengevaluasi massa di perihilar setelah gagal ataupun
negatif didiagnosis dengan bronkoskopi, mengevaluasi nodul ataupun
konsolidasi pada proses infeksi (Crestanello,2004).
Indikasi TTNA menurut BTS :
1. Nodul atau massa soliter pada foto toraks yang tidak dapat diidentifikasi
melalui bronkoskopi atau dari CT Scan torak menunjukkan bronkoskopi
tidak dapat mengakses lesi

2. Nodul multipel yang dicurigai keganasan
3. Infiltrat lokal yang persisten dimana penunjang diagnosis yang dilakukan
tidak diketahui penyebabnya.

2.11.4 KONTRAINDIKASI
Beberapa kontraindikasi untuk tindakan TTNA adalah (Birchard,2011
;Manhire,2003 ; Beamis,2014):
1) Pasien tidak kooperatif
2) Pasien yang tidak menyetujui informed consent
3) Batuk yang sulit diatasi
4) Kista hidatid paru karena beresiko terjadi ruptur kapsul dan penyebaran
sistemik
5) Kurangnya pelatihan atau pengawasan operator
6) Kurangnya peralatan atau personel yang memadai untuk memberikan
perawatan darurat pasien dalam kasus komplikasi termasuk pneumotoraks,
perdarahan, dan serangan jantung.
7) Gangguan koagulopati
8) hipertensi pulmonal berat
9) Kurangnya peralatan pencitraan yang memadai
10) Ketidakmampuan untuk memvisualisasikan lesi pada saat biopsi
11) Lesi diduga vaskular
12) Pasien yang membutuhkan atau diantisipasi membutuhkan ventilasi
mekanis
13) Setiap situasi dimana hasil biopsi tidak akan mempengaruhi pasien

manajemen atau prognosis
Beberapa kondisi dikaitkan dengan peningkatan risiko yang mungkin
memerlukan pertimbangan khusus : (Beamis,2014)
1. Emfisema bulosa atau jaringan paru kistik sepanjang jalur jarum
2. Uremia
3. Hipertensi pulmonal

4. Gangguan koagulasi dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan
5. Infark miokard, angina tidak stabil, gagal jantung kongestif atau disritmia
jantung yang tidak terkontrol
6. Usia lanjut dan malnutrisi
7. Sindroma Vena Cava Superior
8. Gangguan fungsi pembekuan darah dimana platelet < 100.000/ ml, rasio
APTT atau rasio PT > 1,4.
2.11.5 PROSEDUR TINDAKAN
Dapat dilakukan tanpa atau menggunakan tuntunan/ bantuan Ultrasound
(USG), fluoroskopi atau CT scan toraks. Bila melakukan tindakan tanpa bantuan,
terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan foto toraks standar yaitu foto toraks
PA (postero Anterior) dan lateral untuk mengetahui lokasi massa tersebut.
Akurasi atau keberhasilan TTNA akan lebih baik bila menggunakan bantuan CT

scan toraks bila dibandingkan dengan yang lain, karena dapat diukur / ditentukan
jarak massa dari dinding dada dan kepadatan massa tersebut (Astowo,2010).
Sulit menentukan daerah yang akan diambil untuk biopsi tanpa bantuan
pencitraan dengan CT scan toraks terutama bila diameter massa tersebut kecil (
kurang dari 1 cm), atau tumor tersebut terdiri dari jaringan nekrotik dan
peradangan atau terbentuk kavitas. Untuk mendapat jaringan tumor tersebut
diambil daerah yang mempunyai kepadatan (ROI=Region Of Interest) 30-50 HU
(Hounsfield Unit), sedangkan bila dilakukan biopsi pada daerah dengan ROI lebih
kecil dari 30 HU akan didapat jaringan nekrotik atau peradangan sehingga
ditemukan negatif palsu (Astowo,2010).
Dalam melakukan tindakan TTNA dapat digunakan jarum biopsi dari
berbagai konfigurasi, panjang jarum, ujung jarum, dan mekanisme pengambilan
sampel yang tersedia. Jarum yang dipilih tergantung pada karakteristik lesi, jenis /
jumlah jaringan yang dibutuhkan, dan preferensi operator. Jarum biopsi dapat
dibagi menjadi tiga kelompok:
(1) Jarum apirasi untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi sitologi
(2) jarum pemotongan untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi histologis

(3) jarum biopsi inti otomatis (automated core biopsy needle) untuk pengambilan
spesimen untuk evaluasi histologist (Birchard,2011).
Jarum aspirasi yang berdinding tipis dan fleksibel digunakan untuk
memperoleh spesimen untuk sitologi atau evaluasi mikrobiologis. Yang paling
umum digunakan kelompok ini adalah jarum Chiba yang tersedia dalam ukuran
18 sampai 25-gauge (Birchard,2011; Neyaz,2012).
Untuk tumor yang membutuhkan histologis atau spesimen yang lebih
besar untuk analisis, jarum cutting dapat digunakan. Jarum ini memiliki ujung
beraneka ragam. Dua jarum yang biasa digunakan dalam kelas ini adalah
Franseen dan Westcott. Jarum ini dapat dimodifikasi sebagai jarum aspirasi,
dalam arti bahwa mereka dapat dipakai sebagai aspirasi disamping dapat
memotong jaringan (Birchard,2011; Neyaz,2012).
Jarum biopsi inti otomatis biasanya digunakan untuk mendapatkan
jaringan untuk evaluasi histologis. Sebagian besar perangkat biopsi, seperti Temno
atau Achieve merupakan perangkat yang menggunakan mekanisme pegas yang
diaktifkan. Panjang jarum bervariasi antar perangkat. Penggunaan perangkat
biopsi otomatis dapat meningkatkan hasil jika ahli patologi tidak di tempat pada
saat biopsi karena tergantung pada jenis tumor, jarum akan mendapatkan sampel
inti yang bebas dari kerusakan (Birchard,2011).

Gambar 3. Jenis jarum aspirasi (Birchard,2011)

Gambar 4. Core biopsy (Birchard,2011)
Untuk melakukan TTNA dibutuhkan jarum dengan ukuran tertentu. Dalam
penelitian ini akan digunakan jarum spinal 25G. Beberapa ukuran jarum
ditampilkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.Ukuran jarum spinal
Spinocan® 25 Ga. x 3½

(90 mm)

Spinocan® 22 Ga. x 3½

(90 mm)

Spinocan® 18 Ga. x 3½ in.

(90 mm)

Spinocan® 20 Ga. x 3½ in.

(90 mm)

Spinocan® 22 Ga. x 1½ in.

(40 mm)

Spinocan® 22 Ga. x 3½ in.

(90 mm)

Spinocan® 22 Ga. x 4¾ in.

(120 mm)

Spinocan® 22 Ga. x 5 in.

(130 mm)

Spinocan® 22 Ga. x 7 in.

(180 mm)

Spinocan® 25 Ga. x 3½ in.

(90 mm)

Spinocan® 25 Ga. x 4¾ in.

(120 mm)

Spinocan® 26 Ga. x 3½ in.

(90 mm)

Spinocan® 27 Ga. x 3½ in.

(90 mm)

Sumber: Birchard,2011

Gambar 5. Jarum spinocain 25 G (Birchard,2011)
2.11.6 Tindakan TTNA dengan CT Scan toraks
Tindakan TTNA dilakukan di ruang pemeriksaan CT scan. Penderita di
monitor di ruang pemeriksaan CT scan. Posisi penderita berbaring. Bila pasien
tidak dapat berbaring baik pada posisi supine maupun prone tindakan dibatalkan
karena kesulitan teknis penentuan lokasi. Lakukan pemeriksaan CT scan toraks
untuk mencari massa tumor. Setelah diketahui massa tumor diukur tingkat
kepadatan (ROI). Kemudian diukur jarak antara massa tumor dengan dinding
dada. Kemudian tindakan selanjutnya mencari titik tusuk (Point of entry) dengan
bantuan CT scan toraks yang sebelumnya telah diberi tanda/ marker ( marker di
letakkan di dinding dada). Setelah didapat titik tusuk tersebut, daerah sekitar
tempat tesebut dilakukan tindakan antiseptik. Selanjutnya dilakukan anastesi
infiltrasi dititik tersebut. Jarum ditusukkan dan diarahkan dengan tepat dengan
tuntunan CT scan toraks sampai target yang tepat. Selanjutnya dilakukan biopsi
paru dengan jarum spinal. Jarum spinal yang biasa digunakan adalah ukuran 23G
atau 25G. Tindakan selanjutnya melepas mandrin jarum biopsi tersebut.
Kemudian disambungkan dengan jarum suntik dan diberi tekanan positif.
Dilakukan gerakan biopsi naik turun beberapa kali. Kemudian jarum dicabut dan
dibuat sediaan dengan cara menyemprotkan aspirat pada gelas objek. Sediaan
sesegera mungkin di fiksasi dengan alkohol 96 %. Ulangi prosedur ini beberapa
kali sampai didapatkan bahan yang representatif. Selanjutnya bahan dikirim ke
bagian patologi anatomi (Astowo,2010)

Gambar 6. CT Scan axial nodul multipel di kedua paru (Astowo,2010)

Gambar 7. Mencari point of entry (titik tusuk) (Astowo,2010)

Gambar 8. Membuat marker pada titik tusuk (Astowo,2010)

Gambar 9. Tindakan aspirasi dengan jarum (Astowo,2010)

.
Gambar 10. Tindakan aspirat dibuat sediaan hapus (Astowo,2010)
2.11.7 KOMPLIKASI
British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan adanya keseimbangan
antara keuntungan ataupun manfaat yang diperoleh dengan risiko yang akan
dihadapi sebagai komplikasi tindakan TTNA, dan harus melibatkan tim secara
multidisiplin yang minimal melibatkan ahli radiologi dan pulmonologi
(Boskovich,2013).
Komplikasi yang sering terjadi dari tindakan TTNA adalah :
1. Pneumotoraks.
Stanley EK dkk melaporkan angka komplikasi pneumotoraks sebesar 34,8
% dalam mendiagnosis lesi di paru dengan metode TTNA dengan
tuntunan CT Scan toraks (EK loh,2013). Sedangkan De Filippo dkk
melaporkan angka kejadian pneumotoraks sebesar 28,6 % dalam
mendiagnosis lesi di paru dengan teknik TTNA tuntunan CT Scan toraks.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pneumotoraks adalah
emfisema paru, jarum yang menembus rongga pleura, kedalaman nodul,
letak lesi yang dekat dengan pleura. De filippo tahun 2014 melaporkan
tingkat komplikasi pneumotoraks meningkat pada letak nodul dengan
kedalaman > 3 cm, sedangkan yankelevitz pada tahun 1993 insiden
pneumotoraks meningkat pada lesi < 1 cm. Ukuran jarum yang digunakan
juga berpengaruh terhadap insiden pneumotoraks. Semakin besar ukuran

jarum yang digunakan, semakin besar insiden pneumotoraks. Setelah
dilakukan tindakan dianjurkan dilakukan observasi selama 24 jam untuk
melihat

adanya

komplikasi

pneumotoraks

(Boskovich,2013;De

filippo,2014).
2. Perdarahan
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi. Angka insiden berkisar 11
%. Perdarahan lokal dapat terjadi disekeliling lesi yang dibiopsi ataupun
sepanjang alur dari jarum (Birchard,2011).
3. Emboli udara
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi tapi fatal bila
sampai terjadi. Insiden berkisar 0,02-1,8%. Emboli udara dapat
menyebabkan

infark

serebri,

infark

miokard,

dan

kematian.

Penatalaksanaan segera adalah dengan melakukan posisi Trendelenburg
(Birchard,2011).
4. Infeksi
Infeksi disebabkan oleh flora kuman yang ada di kulit yang menembus
masuk ke paru. Oleh karena itu sterilisasi kulit sebelum tindakan sangat
diperlukan untuk mencegah komplikasi infeksi (Birchard,2011)
5. Beberapa komplikasi lain yang terjadi dapat berupa nyeri, sesak nafas,
batuk darah, dan tamponade jantung (Birchard,2011)

2.11.8 Kerangka konsep

Pasien diduga kanker paru

Riwayat keluarga
Riwayat radiasi
Progresivitas

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Jenis
kelamin
Usia
Massa
KGB
ukuran

Pemeriksaan
penunjang
Radiologi toraks

Bronkoskopi

CT scan
toraks

TTNA CT
guided

Sitologi
sputum

Diagnosis
sitologi
Non-diagnostik

Diagnostik

BAB III
Biopsi bedah
/
histopatologi

DIAGNOSIS
AKHIR

Follow-up
klinis
METODE PENELITIAN

Dokumen yang terkait

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

0 2 18

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 1

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

1 4 5

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan Chapter III V

1 3 27

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

0 2 4

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration (TTNA) dengan tuntunan ct scan toraks di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 4

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 21

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 4

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 35