Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Di Kabupaten Pidie Dan Pidie Jaya Provinsi Aceh Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu dari 17 penyakit tropis yang terabaikan
dan angka kejadiannya masih tetap tinggi (WHO, 2010). Penyakit kusta adalah
penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman kusta Mycobacterium leprae (M.
Leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikula
endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amiruddin, 2000).
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis
tapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara berkembang
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan
sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti
masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih
kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan
cacat yang ditimbulkannya (Depkes RI, 2007).


xvi

Pada tahun 1991 World Health Assembly (WHA) membuat resolusi tentang
eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan
menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di
Indonesia hal ini dikenal dengan Eliminasi Kusta pada tahun 2000 (EKT, 2000).

1

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Tujuan strategi pokok yang dilakukan
masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih
merupakan dua hal penting, meskipun kelak tersedia vaksin kusta yang efektif
(WHO, 1994).
Penyakit kusta merupakan penyakit yang memberi stigma yang sangat besar
pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya karena penyakitnya
saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih
banyak disebabkan oleh cacat tubuh yang nampak menyeramkan. Cacat tubuh
tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit

dilakukan secara dini (Jopling,1991 dalam Djuanda, 1997).
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbedabeda. Di antara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai
eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000
penderita telah disembuhkan dengan Multidrug Therapy (MDT) pada akir tahun 1999
dan 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000 (Depkes RI, 2012).

xvi

Data WHO tahun 2012 dari 115 negara dan wilayah, prevalensi terdaftar
global kusta dengan angka penemuan kasus atau New Case Detection Rate (NCDR)
sebesar 4,06/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi kasus kusta awal tahun 2012
adalah 0,34%. Wilayah Asia Tenggara menduduki peringkat pertama dari 5 wilayah
WHO, yaitu dengan jumlah penderita kusta sebanyak 160.135 orang dengan angka
penemuan kasus atau New Case Detection Rate (NCDR) sebesar 8,75/100.000
penduduk, sedangkan prevalensi kasus kusta awal tahun 2012 adalah 0,64% .
Indonesia sebagai salah satu wilayah di Asia Tenggara, menempati urutan ketiga
penyakit kusta terbesar di dunia setelah India dan Brazil. Laporan epidemiologi
menunjukkan Indonesia dengan jumlah penderita kusta mencapai 20.023 orang.
Penyakit kusta tersebar di wilayah endemik di Indonesia yaitu, Aceh, Jawa,
Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua (Kemenkokesra, 2009). Provinsi Aceh

tahun 2012 kasus kusta PB 125 orang dan kusta MB berjumlah 470 orang. Dengan
angka penemuan kasus atau New Case Detection Rate (NCDR) sebesar
12.59/100.000 penduduk. Kasus baru dengan cacat tingkat 2 yaitu 89 (15%). Kasus
baru yang terjadi pada anak berumur 0-14 yaitu sejumlah 317 (53.28%). Angka
prevalensi adalah Per 10.000 penduduk penderita kusta (kasus baru dan kasus lama)
di Provinsi Aceh pada tahun 2012 sebanyak 0.8 per10.000 penduduk (Profil
Kesehatan Provinsi Aceh, 2012). Sementara berdasarkan data Provinsi Aceh tahun
2013 kasus kusta pausibasiler (PB) 172 orang dan kusta multibasiler (MB) berjumlah
416 orang. Dengan NCDR sebesar 13/100.000 penduduk. Kasus baru dengan cacat
tingkat 2 yaitu 95 (16%). Kasus baru yang terjadi pada anak berumur 0-14 yaitu
xvi

sejumlah 78 (13,3%). Angka prevalensi adalah Per 10.000 penduduk penderita kusta
(kasus baru dan kasus lama) di Provinsi Aceh pada tahun 2013 sebanyak 1.17
per10.000 penduduk (Profil Kesehatan Provinsi Aceh, 2013).
Penyakit kusta dapat menyerang semua kelompok umur baik anak-anak
maupun dewasa, kusta diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai
usia lanjut (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah
pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak
terinfeksi penyakit kusta daripada perempuan (Depkes RI, 2012).

Saat ini, diagnosis dan pengobatan kusta sangat mudah dan negara-negara
yang paling endemik sedang berjuang untuk sepenuhnya mengintegrasikan layanan
kusta ke pelayanan kesehatan umum yang ada. Hal ini sangat penting bagi mereka
yang dalam perawatan dan masyarakat yang berisiko terhadap penyakit kusta, yaitu
berasal dari sosial ekonomi yang rendah. Akses informasi, diagnosis dan pengobatan
dengan terapi MDT merupakan elemen kunci dalam strategi untuk menghilangkan
penyakit kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat dan untuk mencapai prevalensi
kusta yang kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Hanya beberapa negara
endemik harus mencapai tujuan ini di tingkat nasional, dengan cara menerapkan
strategi eliminasi di tingkat regional, Kabupaten dan Kecamatan. Pengobatan MDT
telah disediakan oleh WHO secara gratis kepada semua pasien di seluruh dunia sejak
tahun 1995, yang sangat efektif untuk semua jenis kusta (WHO, 2013).
Upaya penanggulangan penyakit Kusta dipengaruhi oleh ketidakteraturan
berobat dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan program pengobatan MDT.
xvi

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat meliputi
pengetahuan, sikap penderita, peran petugas kesehatan, dukungan keluarga dan
ketersediaan obat di puskesmas (Hutabarat, 2008). Bila penderita kusta tidak minum
obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul

gejala – gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di sinilah
pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur. Selama dalam pengobatan,
penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa (Depkes RI,
2007).
Berdasarkan Kementerian kesehatan RI menetapkan pemberian MDT
semenjak tahun 1992 untuk pengobatan penderita kusta. MDT sebagai bagian dari
program eliminasi kusta ditetapkan untuk menurunkan angka prevalensi kusta, tetapi
pada kenyataannya di tingkat provinsi terdapat 40% propinsi yang belum mencapai
program eliminasi kusta (Suyanto, 2006).
Kepatuhan klien terhadap pengobatan kusta ditunjukkan melalui mentaati
aturan pemberian obat. Klien kusta dalam mentaati pemberian obat kusta berkaitan
dengan waktu minum obat dan dampak positif pengobatan kusta yang diterimanya.
Kepatuhan penderita dalam minum obat MDT menunjukkan manajemen terapetik
yang efektif pada pengobatan kusta (Susanto, dkk, 2013). Bila penderita kusta tidak
minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga
timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di
sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur (Depkes RI, 2007).

xvi


Kepatuhan berobat penderita kusta dinyatakan dengan RFT (Release From
Treatmen). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus pemeriksaan
laborotarium. Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort. Pasien PB
(Pausibasilar) yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Pasien MB
(multibasiler) yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang
pasien PB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB
lebih dari 6 bulan secara komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka penderita kusta dikatakan default
atau lalai dalam pengobatan (Depkes RI, 2012).
Penelitian Harjo (2002) di Kabupaten Majalengka, ketidakteraturan berobat
penderita kusta sebesar 32,31% dan teratur berobat hanya sebesar 67,69%, dari
jumlah responden yang diteliti sebanyak 208 penderita kusta, terlihat ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan, sikap penderita, peran petugas kesehatan, dan
ketersediaan obat di puskesmas terhadap ketidakteraturan berobat penderita kusta.
Menurut Sofiarini (2004) dalam Firmansyah (2012), banyak faktor yang
memengaruhi penderita untuk pergi ke pelayanan kesehatan dan berobat secara
teratur, antara lain seperti pengetahuan dan sikap penderita maupun keluarganya.
Faktor sosial ekonomi juga sangat berpengaruh, karena penyakit ini menular biasanya

penderita merasa malu untuk pergi berobat disamping banyak yang menganggap
bahwa biaya berobat itu mahal, serta masih banyak faktor lain seperti dukungan sosial
xvi

termasuk

didalamnya

pengetahuan,

sikap

dan

peran

keluarga

penderita,


keterjangkauan jarak dan peran petugas dalam proses pengobatan serta dalam
memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta.
Berbagai upaya dalam melakukan pengobatan dipengaruhi oleh perilaku
kesehatan penderita. Menurut

teori Lawrence Green (1980), perilaku kesehatan

dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: faktor-faktor predisposisi (predisposing
factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai
dan sebagainya. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan, dan faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya merupakan daerah di Provinsi Aceh dengan
kasus kusta terbesar setiap tahunnya. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie pada
tahun 2012 terdapat 27 orang penderita kusta, tahun 2013 meningkat menjadi 98
orang penderita dan tahun 2014 sebanyak 84 penderita. Penderita kusta tipe PB
sebanyak 26 orang dan jenis MB sebanyak 58 orang. Penderita kusta yang default
atau lalai dalam pengobatan dan meninggal dalam pengobatan pada tahun 2012 untuk

tipe MB sebanyak 28 orang (28,6%), sementara yang RFT sebanyak 70 orang
(71,4%) dan pada tahun 2013 untuk tipe PB seluruh penderita RFT. Prevalensi kasus
kusta di Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya masih tergolong tinggi. Prevalensi kasus
kusta di Kabupaten Pidie 1,9 per 10.000 penduduk (Data Dinas Kesehatan Pidie,
xvi

2014). Sementara data di Kabupaten Pidie Jaya prevalensi kusta semakin meningkat
dari tahun ketahun, pada tahun 2013 sebanyak 32 orang dan pada tahun 2014 kasus
kusta sebanyak 39 orang penderita, penderita kusta tipe PB sebanyak 5 orang dan
jenis MB sebanyak 34 orang. Pada tahun 2013 sebanyak 6 orang (19 %) dinyatakan
tidak patuh pengobatan atau default untuk penderita MB dan untuk penderita PB
dinyatakan patuh dalam pengobatan kusta, sementara yang RFT sebanyak 26 orang
(81%). Prevalensi kasus kusta di Kabupaten Pidie Jaya 2,3 per 10.000 penduduk
(Data Dinas Kesehatan Pidie Jaya, 2014). Kepatuhan minum obat di Kabupaten Pidie
sebesar dan Kabupaten Pidie Jaya belum mencapai target nasional sebesar 95%.
Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan penulis terhadap 10 orang
pasien kusta yang berada di wilayah Kabupatan Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya,
didapatkan 40% berlatar pendidikan SD, 20% SMP, 30% SMA, dan 10% perguruan
tinggi. Diantara responden tersebut 60% berjenis kelamin perempuan dan 40%
berjenis kelamin laki-laki, 70% diantaranya berusia produktif yaitu > 20 tahun dan

30% berusia tidak produktif yaitu < 20 tahun. Kemudian 75% pasien mengetahui
tentang penyakitnya dan percaya akan pengobatan medis, sedangkan 25% tidak
begitu percaya terhadap pengobatan medis.
Berdasarkan

kepatuhannya

ternyata

ditemukan

30%

yang

berobat

kepuskesmas tidak teratur dengan alasan bosan minum obat terus menerus karena
lamanya meminum obat tersebut dan mengalami efek samping setelah minum obat
kusta dalam beberapa bulan seperti nyeri kepala, warna merah kecoklatan pada kulit,


xvi

ruam kulit yang gatal, diare, mual dan muntah serta yang lainnya. Sehingga mereka
malas untuk melanjutkan pengobatan.
Dari 10 orang responden, hanya 50% yang mengatakan keluarganya selalu
mengingatkannya minum obat dan mengingatkan pada waktu pengambilan obat
berikutnya. Seluruh responden juga sudah mendapatkan penyuluhan dari dokter
perawat dan petugas kesehatan mengenai cara minum obat, jadwal dan kapan obat
dihentikan, namun dalam pelaksanaan pengobatan masih mengalami beberapa
hambatan diantaranya adalah kepatuhan minum obat penderita kusta. Petugas
kesehatan juga masih kurang melakukan monitoring dan evaluasi, bila penderita tidak
mengambil obat dalam waktu yang tepat. Masyarakat yang menderita kusta rata-rata
dari sosial ekonomi rendah, yang kebanyakan tinggal di daerah pesisir dengan rumah
yang seadanya. Jarak yang terlalu jauh dengan puskesmas dan tidak tersedianya
angkutan umum membuat masyarakat malas ke puskesmas dan merasa berat dengan
biaya transportasi yang dikeluarkan, sehingga memengaruhi kepatuhannya dalam
pengobatan penyakit kusta.
Atas dasar pertimbangan inilah, penulis tertarik melakukan penelitian untuk
mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita
kusta.

1.2. Permasalahan

xvi

Rendahnya kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Kabupaten Pidie
dan Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, maka permasalahan adalah “bagaimana
faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan minum obat penderita kusta?”.

1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan minum obat
penderita kusta di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh tahun
2015 .

1.4. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ada pengaruh faktor pengetahuan terhadap kepatuhan minum obat penderita
kusta.
2. Ada pengaruh faktor sikap terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta.
3. Ada pengaruh faktor kepercayaan terhadap kepatuhan minum obat penderita
kusta.
4. Ada pengaruh faktor keterjangkauan pelayanan kesehatan terhadap kepatuhan
minum obat penderita kusta.
5. Ada pengaruh faktor dukungan keluarga kepercayaan terhadap kepatuhan minum
obat penderita kusta.

xvi

6. Ada pengaruh faktor dukungan petugas petugas kesehatan terhadap kepatuhan
minum obat penderita kusta.

1.5. Manfaat Penelitian
1. Masukan kepada Pemerintah Kabupaten Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya untuk
menentukan kebijakan operasional dan strategi yang efesien dan komprehensif
dalam pelaksanaan pengobatan dan pengendalian kusta, sehingga mendukung
pencapaian program eliminasi kusta.
2. Bagi masyarakat sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi
informasi dalam upaya kepatuhan minum obat penderita kusta dan efek samping
yang ditimbulkan apabila tidak patuh dalam minum obat.
3. Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh faktor internal dan eksternal
terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan keilmuan.

xvi