Penggunaan Metode Fuzzy Mamdani Untuk Mengukur Kecerdasan Emosi Anak Usia Dini

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu
membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks
dengan tingkat stressor yang semakin tinggi mengakibatkan individu semakin rentan
mengalami berbagai gangguan baik fisik maupun psikologis. Gangguan psikologis
seperti kecemasan, stress, frustasi, agresivitas, perilaku anarkis, dan gangguan emosi
lain semakin meningkat (Mashar, 2011).
Perilaku menyimpang pada anak, seperti berbagai kasus bunuh diri yang
terjadi merupakan salah satu indikasi ketidaksiapan anak menyikapi kondisi
lingkungan sekitarnya. Rasa kecewa, malu, amarah, dan perasaan-perasaan negatif
lain yang bersifat destruktif bersumber pada ketidakmampuan anak mengenali dan
mengelola emosi, serta memotivasi diri. Menurut Goleman (1995), kondisi ini
merupakan cerminan kecerdasan emosi yang rendah.
Menurut LaFreniere (2000), emosi merupakan sentral guna memahami respon
adaptif terhadap lingkungan. Bagi manusia, emosi memainkan peranan pemandu yang
selaras dengan insting pada binatang. Emosi juga memainkan peranan kritis dalam

munculnya psikopatologi atau gangguan psikis pada individu. Sehingga para orang tua
dan pendidik harus memberi perhatian yang ketat terhadap pengembangan stimulasi
emosi anak.
Di dalam penelitian ini, emosi akan diukur menggunakan skala likert yang
hasil perhitungannya akan diproses menggunakan logika fuzzy. Logika fuzzy
merupakan logika yang mempunyai konsep kebenaran sebagian, dimana logika fuzzy
memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1. Sedangkan logika klasik
menyatakan bahwa segala hal dapat di ekspresikan dalam nilai kebenaran 0 atau 1.

Universitas Sumatera Utara

9

Logika fuzzy juga sangat fleksibel artinya mampu beradaptasi dengan perubahanperubahan dan ketidakpastian yang menyertai permasalahan, serta mampu
memodelkan fungsi non linier yang sangat kompleks dan dapat membangun dan
mengaplikasikan pengalaman-pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus
melalui proses pelatihan (Wulandari, 2011).
Menurut Anastasi (1993), pengukuran yang baik perlu memenuhi syarat alat
ukur yang baik pula, yaitu: valid (content validity, criterion validity, dan construct
validity reliable (stabilitas dan ekuivalensi), standar, objektif, komprehensif,


diskriminatif, mudah penggunaanya, dan murah. Banyak ahli emosi menyatakan
bahwa tidak ada satu metode tunggal yang benar-benar mampu mengukur emosi
secara tepat. Diperlukan beberapa teknik guna memperoleh fenomena emosi secara
menyeluruh, karena tidak ada satu pun pengukuran emosi yang memberi standar emas
dalam pengukuran emosi (Plutchik 2003).
Ada perbedaan nilai EQ dan status EQ antara penggunaan logika fuzzy dengan
logika tegas berdasarkan skala likert. Penggunaan logika fuzzy memungkinkan nilai
EQ termasuk ke dalam tiga kategori. Sehingga untuk menentukan stastus EQnya,
yaitu dengan mengambil derajat keanggotaan tertinggi dari nilai EQ tersebut.
Penentuan status EQ dengan logika tegas mempunyai nilai – nilai kritis, dimana ada
perubahan kecil pada nilai akan mengakibatkan perbedaan kategori. Perbedaan nilai
EQ dan status EQ antara penggunaan logika fuzzy dengan logika tegas berdasarkan
skala likert terjadi karena input yang digunakan dalam logika tegas adalah bilangan
tegas. Sedangkan dalam logika fuzzy, variabel input adalah berupa interval. Penentuan
status EQ menggunakan logika fuzzy akan memberikan proses yang lebih halus dari
pada menggunakan logika tegas (Wulandari, 2011).

2.2 Landasan Teori


Landasan teori terdiri dari materi-materi yang berkaitan dengan sistem inferensi Fuzzy
yang digunakan dalam penelitian ini.

2.2.1 Logika Fuzzy

Lotfi Zadeh adalah orang yang mencetuskan konsep logika fuzzy, profesor dari
University of California di Barkeley mempresentasikan fuzzy bukan sebagai

Universitas Sumatera Utara

10

metodologi kontrol, melainkan sebagai suatu cara pemrosesan data yang
memperbolehkan anggota himpunan parsial dari pada anggota himpunan kosong atau
non anggota. Kurangnya kemampuan komputer mini pada era 70-an membuat teori
himpunan ini tidak diaplikasikan untuk mengontrol sistem. Pada saat itu professor
Zadeh mempunyai alasan masyarakat masih belum butuh ketepatan, input informasi
numeris dan ketidaksanggupan masyarakat dalam mengontrol adaptif yang tinggi.
Implementasi akan menjadi lebih efektif dan efesien jika kontroler dapat diprogram
untuk menerima noisy dan input yang tidak teliti. Berikut ini adalah Gambar 2.1

mengenai logika fuzzy secara umum.

Aturan/
Kaidah-Kaidah

Input

Fuzzifikasi

Penalaran

Defuzzifikasi

Output

Gambar 2.1 Proses Inferensi Fuzzy

2.2.2 Himpunan fuzzy

Himpunan fuzzy memiliki fungsi keanggotaan µ A(x) yang berada pada nilai antrar

[0,1]. Pada dasarnya himpunan klasik hanya memiliki dua fungsi keanggotaan yaitu 0
dan 1, sedangkan pada himpunan fuzzy memiliki fungsi keanggotaan yang kontiniu
dengan range [0,1].

2.2.3 Fungsi Keanggotaan

Fungsi keanggotaan adalah pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai
keanggotaannya yang memiliki interval antara 0 sampai 1 yang direpresentasikan
dalam bentuk kurva. Fungsi keanggotaan dihubungkan dengan pembobotan masingmasing input yang diproses, definisi pencocokan fungsi antar input dan penentuan
respon keluar. Ada beberapa fungsi keanggotaan yang dapat digunakan dalam logika
fuzzy, tetapi fungsi yang paling sering digunakan dalam pembangunan sistem pakar
adalah representasi kurva trapesium.

Universitas Sumatera Utara

11

a.

Kurva Trapesium


Kurva trapesium mempunyai bentuk seperti segitiga, tetapi hanya beberapa titik yang
memiliki nilai keanggotaan 1 seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Representasi Kurva Trapesium

Fungsi keanggotaannya adalah :

(2.1)

b. Kurva bahu
Daerah yang terletak ditengah-tengah suatu variabel yang direpresentasikan dalam
bentuk segitiga, pada sisi kanan dan kirinya akan naik dan turun. Penggunaan
himpunan fuzzy bahu berfungsi untuk mengakhiri variabel suatu daerah fuzzy. Bahu
kiri dan bahu kanan akan begerak maju dari salah ke benar. Representasi Kurva bahu
ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Universitas Sumatera Utara

12


Gambar 2.3 Representasi Kurva Bahu

2.2.4 Fuzzy Inference System (FIS)

Dalam penelitian ini akan digunakan metode penalaran dengan menggunakan metode
mamdani. Metode ini ditemukan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975. Pada
penalaran mamdani implikasi menggunakan fungsi minimum dan fungsi agregasi
menggunakan nilai maximum. Sehingga metode mamdani dikenal dengan metode
max-min. Ada 4 tahapan untuk mendapatkan output dalam mamdani yaitu:

1. Pembentukan Himpunan Fuzzy
Pembentukan himpunan fuzzy dalam mamdani, variabel input maupun variabel
output dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy.

2. Aplikasi Fungsi Implikasi
Fungsi implikasi yang digunakan dalam mamdani adalah fungsi min.

3. Komposisi aturan
Ada 3 metode yang digunakan dalam melakukan inferensi sistem fuzzy yaitu:

a. Metode max
Pada metode ini penarikan solusi himpunan fuzzy

dilakukan dengan

mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya untuk
memodifikasi daerah fuzzy dan mengaplikasikan ke output dengan operator
OR. Secara umum dapat dituliskan :
µsf[xi] = max (µsf[xi], µkf[xi])
dengan :

Universitas Sumatera Utara

13

µsf[xi] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan ke-i;
µkf[xi] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan ke-i;

b. Metode additive
Pada metode ini solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan me Secara umum

dituliskan :
µsf[xi] = min (1, µsf[xi] + µkf[xi])
dengan :
µsf[xi] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan ke-i;
µkf[xi] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan ke-i;
lakukan bounded-sum terhadap semua output daerah fuzzy.

c. Metode probabilitas OR.
Pada metode ini solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan melakukan product
terhadap semua daerah output fuzzy. Secara umum dituliskan :
µsf[xi] = (µsf[xi] + µkf[xi]) - (µsf[xi] * µkf[xi])
dengan :
µsf[xi] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan ke-i;
µkf[xi] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan ke-i;

4. Penegasan (defuzzy)
Input dalam proses defuzzy adalah suatu himpunan yang diperoleh dari komposisi

aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada
domain himpunan fuzzy. Metode defuzzy yang bisa dipakai pada komposisi aturan

mamdani:

a. Metode Centroid
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat (z*)
daerah fuzzy.
b. Metode Bisektor
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada
domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan separo dari jumlah total nilai
keanggotaan pada daerah fuzzy.

Universitas Sumatera Utara

14

c. Metode Mean of Maximum (MOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata
domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
d. Metode Largest of Maximum (LOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar
dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.

e. Metode Smallest of Maximum (SOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil
dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.

2.2.5. Proses Inferensi Fuzzy

Sistem inferensi fuzzy Metode Mamdani dikenal juga dengan nama metode Min-Max,
yaitu dengan mencari nilai minimum dari setiap aturan dan nilai maksimum dari
gabungan konsekuensi setiap aturan tersebut. Metode Mamdani cocok digunakan
apabila input diterima dari manusia bukan mesin. Metode ini juga lebih diterima oleh
banyak pihak dari pada metode Tsukamoto dan Takagi. Sugeno. Bagan Fuzzy
mamdani Inference System dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Proses Inferensi Fuzzy Mamdani

Berdasarkan Gambar 2.4 diatas untuk memperoleh output fuzzy mamdani harus
melalui 6 tahapan diantaranya :
1.

Menentukan pembentukan aturan fuzzy

2.

Fuzzyfikasi input ke dalam fungsi keanggotaan fuzzy

Universitas Sumatera Utara

15

3.

Menggabungkan input yang sudah difuzzyfikasi dengan aturan fuzzy untuk
memperoleh rule strength

4.

Mencari consequence dari aturan dengan menggabungkan rule strength
dengan output fungsi keanggotaan.

5.

Menggabungkan consequence dengan metode max untuk memperoleh
output distribution

6.

Defuzzifikasi output distribution

2.3 Teknik Pengukuran Skala Psikologi

Teknik pengukuran skala psikologi terdiri dari karakteristik skala psikologi, tingkat
pengukuran skala psikologi, skala likert, serta reliabilitas dan validitas pengukuran.

2.3.1 Karakteristik Skala Psikologi

Skala psikologi digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian tertentu. Skala psikologi
memiliki karakteristik khusus yang dapat membedakannya dari berbagai alat
pengumpulan data yang lain seperti angket (questionnaire), daftar isian, inventori, dan
lain-lainnya. Didalam percapakan sehari-hari istilah skala sering dikaitkan dengan
istilah tes. Namun dalam pengembangan instrumen ukur, umumnya istilah tes
digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan kognitif sedangkan istilah skala
lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur aspek afektif.

Berikut adalah

karakteristik skala sebagi alat ukur psikologi (Azwar, 2010):

1.

Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung
mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan.

2.

Dikarenakan atribut psikologis diungkapkan secara tidak langsung lewat
indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam
bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak item. Jawaban
subjek terhadap satu aitem baru merupakan sebagian dari banyak indikasi
mengenai atribut yang diukur, sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu
diagnosis baru dapat dicapai bila semua aitem telah direspon.

Universitas Sumatera Utara

16

3.

Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar dan salah. Semua
jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh.
Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda pula.

2.3.2 Tingkat Pengukuran Skala Psikologi

Ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan dalam penelitian. Konseptualisasi
skala tersebut didasarkan pada tiga karakteristik sebagai berikut:

1.

Urutan bilangan, yaitu sebuah bilangan lebih besar, lebih kecil, atau sama
dengan bilangan lain.

2.

Urutan perbedaan antara bilangan, yaitu perbedaan antara sepasang bilangan
bisa lebih besar, lebih kecil atau sama besar dengan perbedaan sepasang bilangan
lainnya.

3.

Titik awal yang unik yang menunjukkan bilangan 0.

Tabel 2.1 menjelaskan kombinasi ketiga karakteristik tersebut yang
mencakup urutan, perbedaan, titik awal, membentuk 4 klasifikasi skala pengukuran:

Tabel 2.1 Karakteristik Skala
No Tipe Skala
1
2

Nominal
Ordinal

3

Interval

4

Rasio

Karakteristik Skala

Operasi Empiris Dasar

Tidak ada urutan, atau titik awal
Ada urutan tetapi tidak ada
perbedaan dan titik awal
Ada urutan dan perbedaan tetapi
tidak ada titik awal
Ada urutan, perbedaan, dan titik awal

Penentuan kesamaan
Penentuan lebih besar atau
lebih kecil
Penentuan kesamaan
interval atau perbedaan
Penentuan kesamaan rasio

2.3.3 Skala Likert

Dalam ilmu sosial, alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel sering tidak
tersedia sehingga harus dirancang dan dikembangkan sendiri. Alat ukur harus bisa
mebedakan

satuan

pengamatan

sesuai

dengan

karakteristik

yang

diamati

menggunakan teknik penskalaan tertentu. Dalam penelitian ini akan digunakan skala
likert untuk mengukur EQ anak.

Universitas Sumatera Utara

17

Skala likert adalah metode pengukuran sikap yang banyak digunakan dalam
penelitian sosial karena kesederhanaanya. Skala likert sangat bermanfaat untuk
mebandingkan skor sikap seseorang dengan distribusi skala dari sekelompok orang
lain, serta untuk melihat perkembangan atau perubahan sikap sebelum dan sesudah
eksperimen atau kegiatan. Tahap-tahap perancangan skala liker adalah sebagai
berikut:

1.

Menentukan secara tegas sikap terhadap topik yang diukur.

2.

Menentukan secara tegas dimensi yang menyusun sikap tersebut. Dimensi
pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap yang menurut
likert terdiri dari dimensi kognitif (tahu atau tidak tahu), afektif (perasaan terhadap
sesuatu), dan konatif (kecenderungan untuk bertingkah laku).

3.

Susun pernyataan-pernyataan atau item yang merupakan alat pengukur
dimensi yang menyusun sikap yang akan diukur sesuai dengan indikator.
Banyaknya indikator biasanya antara 30-40 item untuk sebuah sikap tertentu.
Item-item yang disusun tersebut harus terdiri dari item positif dan item negatif.
AItem positif adalah pernyataan yang memberikan isyarat mendukung topik yang
sedang diukur, sedangkan aitem negatif melawan topik yang sedang diukur. Item
positif dan item negatif harus ditempatkan secara acak.

4.

Setiap aitem diberi pilihan respon yang bersifat tertutup. Banyaknya pilihan
respon biasanya 3,5,7,9 dan 11.

2.3.4 Reliabilitas dan Validitas Pengukuran

Hasil pengukuran yang reliable apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran
terhadap subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang
diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Relatif sama dimaksudkan tetap
adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali
pengukuran. Bila perbedaan sangat besar dari waktu ke waktu maka hasil pengukuran
tidak dapat dipercaya dan dikatakan sebagai tidak reliabel.

Universitas Sumatera Utara

18

Konsep reliabilitas alat ukur dan hasil ukur memiliki perbedaan didalam
penggunaannya. Konsep reliabilitas sebagai alat ukur berkaitan dengan masalah error
pengukuran. Error yang terjadi pada pengukuran dilihat pada sejauhmana
inkonsistensi hasil pengukuran bila dilakukan pengukuran berulang-ulang pada subjek
yang sama. Sedangkan konsep reliabilitas sebagai hasil ukur berkaitan pada kesalahan
dalam pengambilan sampel dan menyebabkan inkonsistensi hasil ukur jika
pengukuran dilakukan secara berulang-ulang pada kelompok individu yang berbeda.
Validitas dalam pengertiannya yang paling umum adalah ketepatan dan
kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Validitas memiliki kaitan yang
erat dengan tujuan ukur, sehingga setiap skala hanya dapat menghasilkan data yang
valid untuk satu tujuan ukur pula. Validitas merupakan karakteristik utama yang harus
dimiliki oleh setiap skala. Untuk membuat perancangan skala yang valid, maka harus
diperhatikan faktor – faktor yang dapat melemahkannya (Azwar, 2010), diantaranya:
1. Identifikasi kawasan ukur yang tidak cukup jelas
Untuk mengukur “sesuatu” maka sesuatu itu harus dikenali terlebih dahulu dengan
baik. Apabila atribut psikologi sebagai tujuan ukur tidak diidentifikasikan dengan
benar maka perancangan skala hanya memiliki gambaran yang kabur mengenai apa
yang sebenarnya hendak diukurnya dan pada akhirnya aitem-aitem yang dihasilkan
tidak mampu mengungkapkan respon yang diinginkan.

2.

Operasionalisasi konsep yang tidak tepat
Kejelasan konsep mengenai atribut yang hendak diukur memungkinkan perumusan
indikator-indikator perilaku yang menunjukkan ada tidaknya atribut yang
bersangkutan. Rumusan indikator perilaku berangkat dari operasional konsep
teoritik mengenai komponen-komponen atau dimensi-dimensi atribut yang
bersangkutan menjadi rumusan yang terukur. Apabila perumusan ini tidak cukup
operasional, atau masih menimbulkan penafsiran ganda mengenai bentuk perilaku
yang diinginkan, atau sama sekali tidak mencerminkan konsep yang diukur, maka
akan melahirkan aitem-aitem yang tidak valid.

3.

Penulisan aitem yang tidak mengikuti kaidah

Universitas Sumatera Utara

19

Aitem-aitem yang maksudnya sukar dimengerti oleh pihak responden karena
terlalu atau kalimatnya tidak benar secara tata bahasa, yang mendorong responden
untuk memilih jawaban tertentu saja, yang memancing reaksi negatif dari
responden, yang mengandung muatan social desirability tinggi, dan yang memiliki
cacat semacamnya dihasilkan dari proses penulisan aitem yang mengabaikan
kaidah-kaidah standar. Aitem-aitem seperti itu tidak akan berfungsi sebagaimana
diharapkan.

4.

Administrasi skala yang tidak berhati-hati
Skala yang isinya telah dirancang dengan baik dan aitem-aitemnya sudah ditulis
dengan cara yang benar namun disajikan atau diadministrasikan pada responden
dengan sembarangan tidak dapat menghasilkan data yang tidak valid mengenai
responden.

5.

Pemberian skor yang tidak cermat
Sekalipun disediakan kunci skoring, kadang-kadang terjadi kesalahan dari pihak
pemberi skor karena cara penggunaan kunci yang keliru atau karena salah dalam
penjumlahan skor. Pada beberapa skala yang menggunakan konversi skor, dapat
terjadi kesalahan sewaktu mengubah skor mentah menjadi skor derivasi karena
salah lihat pada tabel konversi.

6.

Interpretasi yang keliru
Penafsiran hasil ukur skala merupakan bagian dari proses diagnosis psikolog yang
teramat

penting.

Bagaimana

pun

baiknya

fungsi

ukur

skala

apabila

diinterpretasikan secara tidak benar tentu akan sia-sia. Kesimpulan mengenai
individu atau kelompok individu akan tidak tepat.

2.4 Kecerdasan Emosi Anak Usia Dini

2.4.1 Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol
emosi agar anak merespons secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya
emosi-emosi ini (Mashar, 2011)

Universitas Sumatera Utara

20

Anak yang tidak diberi ruang untuk berkembang secara emosi dapat tumbuh
menjadi pribadi yang sulit. Hal tersebut dapat terbawa terus hingga memasuki masa
dewasanya. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan fisik yang harmonis menjadi
cikal bakal pribadi anak yang sehat. Sehingga saat mereka dewasa nanti mereka
menjadi pribadi yang dibutuhkan dalam masyarakat.
Orang tua sangat berperan penting dalam mengontrol emosi anak mereka. Orang
tua dapat mengajari anak cara mengolah emosi dan membina hubungan sosial dengan
orang lain, agar anak menjadi lebih mampu untuk mengatasi berbagai masalah yang
timbul selama proses perkembangannya menuju manusia dewasa. Dan dengan bekal
ini pula, anak nantinya dapat mengatasi berbagai tantangan emosional dalam
kehidupan modern.
Dalam bidang psikologi anak, para peneliti telah membuktikan bahwa
kesuksesan anak disekolah bergantung pada tingkat kecerdasan emosi yang
dimilikinya. Anak yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, mereka akan
terlihat bahagia, percaya diri, populer, dan lebih sukses di sekolahnya. Karena mereka
mampu menguasai gejolak
emosi, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dapat mengelola stress, dan
memiliki kesehatan mental yang baik.
Ciri – ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi sebagai berikut (Goleman,
1995):
1.

Mampu memotivasi diri sendiri.

2.

Mampu bertahan menghadapi frustasi.

3.

Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informal/nonverbal (memiliki tiga
variasi yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian, dan jaringan kepercayaan).

4.

Mampu mengendalikan dorongan lain.

5.

Cukup luwes untuk menemukan cara/alternatif agar sasaran tetap tercapai atau
untuk mengubah sasaran jika sasaran semula sulit dijangkau.

6.

Tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatu akan beres ketika
menghadapi tahap sulit.

7.

Memiliki empati yang tinggi.

8.

Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi tugas kecil
yang mudah ditangani.

9.

Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam meraih tujuan.

Universitas Sumatera Utara

21

Syamsu Yusuf (dalam Nugraha dan Rachmawati, 2004) menjabarkan kelima
aspek emosi ini dalam pemetaan yang sistematis berdasarkan aspek/unsur dan ciri –
ciri kecerdasan emosi, yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2 Aspek emosi dan karakteristik perilakunya
Aspek
1. Kesadaran diri

Karakteristik Perilaku
a. Mengenal dan merasakan emosi diri sendiri
b. Memahami penyebab perasaan yang timbul
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan

2. Mengelola emosi

a. Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola
amanah secara baik
b. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat
c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri
sendiri dan orang lain
d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri,
sekolah dan keluarga
e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa
(stres)
f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam
pergaulan

3. Memanfaatkan
emosi secara
produktif

a. Memiliki rasa tanggung jawab
b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang
dikerjakan
c. Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat implusif

4. Empati

a. Mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
c. Mampu mendengarkan orang lain

5. Membina
hubungan

a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
menganalisis hubungan dengan orang lain
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan
teman sebaya
e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap
orang lain
f. Memerhatikan kepentingan sosial (senang menolong
orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok
g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama

Universitas Sumatera Utara

22

h. Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain

Menurut W.T. Grant Consortium (dalam Goleman, 1995), kecerdasan emosional
meliputi mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan, mengungkapkan
perasaan, menilai intensitas perasaan, mengelola perasaan, menunda pemuasan,
mengendalikan dorongan hati, mengurangi stress, dan mengetahui perbedaan antara
perasaan dan tindakan.
Berdasarkan berbagai uraian tentang kecerdasan emosi, dapat dirangkum aspek
emosi yang mengacu pada pendapat Goleman dan Salovey-Mayer, dalam 5 ciri yaitu:
1.

Kemampuan mengenali emosi diri.

2.

Kemampuan mengelola dan mengekspresikan emosi.

3.

Kemampuan memotivasi diri.

4.

Kemampuan mengenali emosi orang lain/empati.

5.

Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

Pemahaman mengenai karakteristik emosi anak akan sangat membatu orang tua
dan pendidik dalam memberikan stimulasi atau rangsangan emosi yang tepat bagi
anak. Keterbatasan pemahaman emosi anak sering kali menimbulkan ketidaktepatan
orang dewasa dalam merespons emosi anak. Kondisi ini dapat mengakibatkan
munculnya permasalahan baru dalam aspek emosi.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan
aspek-aspek kecerdasan emosi anak meliputi kesadaran diri, mengelola emosi,
memanfaatkan emosi secara produktif, empati, membina hubungan. Untuk selanjutnya
di dalam penelitian ini kelima aspek tersebut dijadikan alat ukur untuk kecerdasan
emosi anak.

Universitas Sumatera Utara

23

2.4.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (Goleman,
1995):

1. Faktor otak
Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh
faktor keturunan walaupun individu mempunyai kecenderungan emosi ketika lahir,
tetapi rangkaian otak mereka tidak akan kaku pada tingkat tertentu, sehingga
mereka dapat mempelajari keterampilan emosional dan sosial baru yang akan
menciptakan jalur – jalur baru seta pola biokimia yang lebih adaptif. Arsitektur
otak memberi tempat istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang
mampu membajak otak. Amigdala berfungsi sebagai semacam gedung ingatan
emosional. Demikian makna emosional itu sendiri hidup tanpa amigdala
merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali.
2. Lingkungan keluarga
Khusunya orang tua memegang peranan penting terhadap perkembangan
kecerdasan emosional anak. Lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama bagi
anak untuk mempelajari emosi. Dari keluargalah seorang anak mengenal emosi dan
yang paling utama adalah bagaimana cara orang tua mengasuh dan memperlakukan
anak dan itu merupakan tahap awal yang diterima oleh anak dalam mengenal
kehidupan ini.
3. Lingkungan sekolah
Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi anak melalui
teknik, gaya kepemimpinan dan metode mengajarnya sehingga kecerdasan emosi
berkembang secara maksimal. Lingkungan sekolah mengajarkan anak sebagai
individu untuk mengembangkan keintelektual dan besosial dengan sebayanya,
sehingga anak dapat berekspresi secara bebas tanpa terlalu banyak diatur dan
diawasi secara ketat.
4.

Lingkungan dan dukungan sosial
Dukungan dapat berupa perhatian, penghargaan, pujian, nasihat atau penerimaan
masyarakat yang semua itu memberikan dukungan prakits bagi individu. Dukungan
sosial diartikan sebagai hubungan interpersonal yang didalamnya satu atau lebih
bantuan dalam bentuk fisik atau instrumental, informasi dan pujian.

Universitas Sumatera Utara

24

2.4.3 Stimulasi Kecerdasan Emosi

Pada umumnya perkembangan fisik dan kemampuan kognitif anak menjadi perhatian
yang sangat besar bagi orang tua dan pendidik, sehingga perhatian terhadap
kecerdasan emosi anak menjadi kurang diperhatikan. Diperlukan keseriusan dalam
mengasah kecerdasan emosi anak dan menempatkannya sebagai prioritas utama dalam
tugas pengasuhan. Dengan pola asuh yang tepat akan tercapai tujuan orang tua dan
pendidik dalam membentuk kecerdasan emosi anak yang tinggi.
Pemberian rangsangan-rangsangan yang sesuai dapat meningkatkan kecerdasan
emosi anak, sehingga anak dapat mempelajari keterampilan-keterampilan emosi dan
sosial yang baru. Beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua (Mashar,2011),
diantaranya:
1.

Orang tua perlu memeriksa kembali cara pengasuhan yang selama ini dilakukan,
jika perlu besedia bertindak dengan cara – cara yang berlawanan dengan kebiasaan
cara pengasuhan selama ini, seperti :
a. Tidak terlalu melindungi.
b.

Membiarkan anak mengalami kekecawaan.

c.

Tidak terlalu cepat membantu.

d.

Mendukung anak untuk mengatasi masalah.

e.

Menunjukkan empati.

f.

Menetapkan aturan-aturan tegas dan konsisten.

2.

Memberi perhatian pada tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi.

3.

Melatih anak untuk mengenali emosi dan mengelolanya dengan baik.

Kecerdasan emosi perlu diasah sejak dini, karena kecerdasan emosi merupakan
salah satu poros keberhasilan individu dalam berbagai aspek kehidupan. Kemampuan
yang dimiliki anak dalam mengembangkan kecerdasan emosinya, mempunyai korelasi
positif dengan keberhasilan akademis, sosial, dan kesehatan mentalnya. Anak yang
memiliki kecerdasan emosi tinggi identik dengan anak yang bahagia, bermotivasi
tinggi, dan mampu bertahan dalam menjalani berbagai kondisi stres yang dihadapi.

Universitas Sumatera Utara

25

Sehingga pemberian stimulasi kecerdasan emosi kepada anak merupakan peran
penting yang harus dilakukan orang tua.

2.5 Teori Prakiraan
Secara

umum

pengertian

prakiraan

adalah

tafsiran.

Namun

dengan

menggunakan teknik-teknik tertentu maka peramalan bukan hanya sekedar
tafsiran. Ada beberapa definisi tentang peramalan, diantaranya:
a. Prakiraan atau forecasting diartikan sebagai penggunaan teknik-teknik
statistik dalam bentuk gambaran masa depan berdasarkan pengolahan
angka-angka historis (Buffa, 1996).
b. Prakiraan merupakan bagian integral dari kegiatan pengambilan keputusan
manajemen (Makridakis, 1999)
c. Prakiraan adalah prediksi, rencana, atau estimasi kejadian masa depan
yang tidak pasti. Selain itu peramalan juga dapat diartikan sebagai
penggunaan teknik-teknik statistik dalam membentuk gambaran masa
depan berdasarkan pengolahan angka-angka historis.

Metode prakiraan merupakan cara memperkirakan apa yang akan
terjadi pada masa depan secara sistematis dan pragmatis atas dasar data yang
relevan pada masa yang lalu, sehingga dengan demikian metode peramalan
diharapkan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar. Selain itu m etode
peramalan dapat memberikan cara pengerjaan yang teratur dan terarah, dengan
demikian dapat dimungkinkannya penggunaan teknik penganalisaan yang
lebih maju. Dengan penggunaan teknik-teknik tersebut maka diharapkan dapat
memberikan tingkat kepercayaan dan keyakinan yang lebih besar, karena
dapat diuji penyimpangan atau deviasi yang terjadi secara ilmiah (Makridakis,
1999).

2.4.4

Jenis-jenis Prakiraan

Berdasarkan sifatnya, peramalan dibedakan atas dua macam yaitu:

a. Prakiraan Kualitatif

Universitas Sumatera Utara

26

Prakiraan kualitatif adalah prakiraan yang didasarkan atas pendapat suatu
pihak, dan datanya tidak bisa direpresentasikan secara tegas menjadi suatu
angka atau nilai. Hasil prakiraan yang dibuat sangat bergantung pada orang
yang menyusunnya. Hal ini penting karena hasil prakiraan tersebut ditentukan
berdasarkan pemikiran yang instuisi, pendapat dan pengetahuan serta
pengalaman penyusunnya.

b. Prakiraan Kuantitatif
Prakiraan kuantitatif adalah prakiraan yang didasarkan atas data kuantitatif
masa lalu (data historis) dan dapat dibuat dalam bentuk angka yang biasa
disebut sebagai data time ser ies (Jumingan, 2009).

Hasil prakiraan yang dibuat sangat bergantung pada metode yang
dipergunakan

dalam

prakiraan

tersebut.

Baik

tidaknya

metode

yang

dipergunakan ditentukan oleh perbedaan atau penyimpangan antara hasil
prakiraan dengan kenyataan yang terjadi. Semakin penyimpangan antara hasil
prakiraan dengan kenyataan yang akan terjadi maka semakin baik pula metode
yang digunakan.
Jangka waktu perkiraan terbagi atas tiga kelompok, yaitu sebagai
berikut:
1. Jangka waktu prakiraan dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu
(Heizer, 1996): Prakiraan jangka pendek, peramalan untuk jangka waktu
kurang dari tiga bulan.
2. Prakiraan jangka menengah, peramalan untuk jangka waktu antara tiga
bulan sampai tiga tahun.
3. Prakiraan jangka panjang, peramalan untuk jangka waktu lebih dari tiga
tahun.

2.4.5 Pengukuran Prakiraan

Teknik Prakiraan tidak selamanya selalu tepat karena teknik prakiraan yang
digunakan belum tentu sesuai dengan sifat datan ya, atau disebabkan oleh
kondisi di luar bisnis yang mengharuskan bisnis itu menyesuaikan diri. Oleh
karena itu, perlu diadakan pengawasan prakiraan sehingga dapat diketahui

Universitas Sumatera Utara

27

sesuai atau tidaknya teknik prakiraan yang digunakan. Sehingga dapat dipilih
dan ditentukan teknik prakiraan yang lebih sesuai dengan cara menentukan
batas toleransi peramalan atas penyimpangan yang terjadi.
Pada

prinsipnya,

pengawasan

prakiraan

dilakukan

dengan

membandingkan hasil prakiraan dengan kenyataan yang terjadi. Penggunaan
teknik prakiraan yang menghasilkan penyimpangan terkecil adalah teknik
prakiraan yang paling sesuai untuk digunakan. Besarnya er r or peramalan
dihitung dengan mengurangi data riil dengan besarnya ramalan.
Error (E) = Xt - Ft
Keterangan:
Xt = Data riil periode ke-t
Ft = Ramalan periode ke-t
Dalam menghitung error peramalan digunakan MAPE ( Mea ns Absolute
P er centa ge Er r or ) Mean Absolute P er centa ge Er r or (MAPE) merupakan nilai

tengah kesalahan persentase absolute dari suatu peramalan.

MAPE =

Keterangan:
Xt = Nilai data periode ke-t
Ft = Ramalan periode ke-t
n = Banyaknya data

Jika MAPE < 25% maka hasil simulasi dapat diterima secara
memuaskan, sebaliknya jika MAPE > 25% maka hasil simulasi kurang
memuaskan (Oktafri, 2001).

Universitas Sumatera Utara