Media dan Kampanye Politik pdf

Naskah Editorial TII
Edisi : 8 April 2014
Topik : Media dan Kampanye Politik
Oleh : Santi Rosita Devi, Peneliti Yunior Bidang Sosial The Indonesian Institute
(santi@theindonesianinstitute.com)
Tahun 2014 merupakan tahun yang penting bagi masyarakat Indonesia. Di tahun
politik ini, Indonesia akan memilih para wakil rakyat untuk dapat
memperjuangkan aspirasi mereka dan menentukan ‘arah’ Indonesia lima tahun
mendatang.
Untuk dapat terpilih, baik para calon anggota legislatif (caleg), maupun kader
partai politik ramai-ramai melakukan kampanye. Guna dapat meningkatkan
popularitas, kegiatan kampanye tentu harus mendapat sorotan dari media. Peran
media massa dalam kegiatan kampanye sangat penting, karena media dapat
mempengaruhi pandangan masyarakat dalam proses pembentukan opini atau
sudut pandangnya.
Selama kegiatan kampanye yang telah berlangsung pada 16 Maret sampai 5
April yang lalu, kampanye dan pemberitaan politik ‘menghiasi’ berbagai media,
mulai dari media cetak sampai elektronik. Isi pemberitaannya pun beragam,
karena pemberitaan di media ‘mengusung’ berbagai tema selain proses dan
kegiatan kampanye itu sendiri.
Menurut hasil media monitoring The Indonesian Institute terhadap beberapa

surat kabar dan media online, tema yang diusung pada masa kampanye sangat
beragam. Menariknya, pemberitaan kampanye bukan merupakan pemberitaan
dengan frekuensi nomor satu. Tercatat, tema dengan frekuensi terbanyak adalah
mengenai pencapresan yang mencapai mencapai angka 38% diikuti kegiatan
kampanye sebesar 33%, konflik partai 11%, pelanggaran 9%, koalisi 7%, dan
survei 2%.
Kemudian, apabila didasarkan dengan frekuensi pemberitaan per/partai, PDIP
merupakan partai nomor satu yang paling sering diberitakan, yakni sebanyak
26%, Golkar 11%, Partai Demokrat 13%, Gerindra 10%, Hanura 7%, PKS 9%,
PPP 5%, PKB 6%, PAN 4%, Nasdem 4%, PKPI 3%, dan PBB 2%.
Dalam berbagai pemberitaan di media tersebut, dapat dikelompokkan kembali
menjadi dua, yakni pemberitaan dengan nada atau tone positif, dan negatif.
1

Terkait dengan hal tersebut, media memiliki ‘daya jangkau’ yang luas dalam
menyebarkan informasi publik termasuk berita politik pada saat kampanye, baik
yang negatif maupun positif – tentu akan mempengaruhi preferensi pemilih.
Adapun yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana berita positif dan
negatif itu ‘dirumuskan’, serta apakah media benar-benar netral dan tidak
memihak? Jawabannya tentu tidak, mengingat saat ini, banyak media cetak

maupun elektronik yang dimiliki oleh para politisi dan juga menjadi alat
kampanye. Media yang dimiliki oleh politisi tertentu, tentu akan menulis
pemberitaan positif terhadap politisi tersebut, serta pemberitaan negatif terhadap
saingan politiknya.
Mengenai hal tersebut, sebenarnya sudah ada koordinasi dari tiga lembaga,
yakni, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk menyikapi materi pemberitaan
kampanye di media.
Sedangkan untuk tafsir kampanye dalam media penyiarannya sendiri sudah
diatur oleh beberapa produk kebijakan diantaranya, UU No.8/2012 tentang
Pemilihan Umum, UU 32/2002 tentang Penyiaran, serta PKPU No.1/2013 dan
PKPU No.15/2013 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Kampanye
Pemilu Legislatif.
Dalam beberapa kebijakan tersebut, telah dijelaskan mengenai pemberitaan,
dimana semua media harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta
pemilu. Dalam artian, media tidak boleh menjadi partisan atau memihak terhadap
salah satu peserta pemilu (KPI, 10/02).
Namun, dengan bertolak pada kenyataan yang ada sekarang, ironis memang
melihat isi pemberitaan media pada masa kampanye tidak lagi netral. Padahal,
media merupakan pilar keempat demokrasi, yang seharusnya menyajikan beritaberita yang objektif, berimbang, kaya wawasan, mencerahkan, serta tidak

mengedepankan kepentingan para elit pemilik media diatas kepentingan publik,.

2