Kebijakan Luar Negeri dan Nilai Moral

TUGAS PENGANTAR HUBUNGAN INTERNASIONAL 2
“PAPER ASSIGNMENT”

Aedeline Desyanti

170210130058

Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2014

Read the following article by George F. Kennan. Then consider whether and to what extent
security policy should have a normative dimension. Write your points down under two separate
headings: Advantages of a normative approach and Disadvantages of a normative approach.
Now re-read your list and ask yourself which view you find most convincing and on what basis?
Sumber: bacaan Morality and Foreign Policy – George F. Kennan
Amerika Serikat sudah sangat awam diterima masyarakat global bahwa negara tersebut
adalah negara adikuasa. Hampir setiap kebijakan yang dibuat oleh Amerika Serikat
memengaruhi keseimbangan dunia-entah itu di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lain

sebagainya-, bahkan saat Amerika Serikat membuat kebijakan yang ditujukan untuk internal atau
ke dalam negara Amerika sendiri, tidak menutup kemungkinan keseimbangan dunia akan
terpengaruh. Jadi disini seolah saat Amerika membuat suatu kebijakan, khususnya kebijakan luar
negeri, seolah Amerika akan membuat kebijakan dimana dapat memengaruhi dunia atau bahkan
menguasai aktor di ranah internasional. Terlebih usaha Amerika Serikat yang seperti ini sangat
terlihat pada saat Perang Dingin, dimana Amerika justru menerapkan berbagai kebijakan untuk
membendung pengaruh musuhnya pada saat itu yaitu USSR. Contohnya adalah containment
policy, yang memang merupakan kebijakan yang sangat tersurat namun sekaligus tersirat disitu
apa maksud Amerika Serikat, terlebih dengan backing-an domino effect theory. Amerika Serikat
justru cenderung mengungkapkan pro dan mengedepankan nilai dimensi nilai yang normatif,
dimana memang kebijakan luar negeri haruslah ada unsur nilai norma yang tidak bertentangan
dengan nilai norma yang baik.
Jika kebijakan itu hanya seputar kepentingan keamanan militer, integritas kehidupan
politik dan kesejahteraan rakyat suatu negara, maka tidak bisa dikatakan ada nilai moralnya.
Disini memang bahwa itu sudah dasar bagi negara melakukan tugas atau kewajiban negara. maka
lain halnya jika suatu kebijakan sudah cenderung mengedepankan dan menjunjung tinggi nilainilai dan terlebih lagi jika kebijakan itu mempunyai dampak yang masif, seperti nilai-nilai HAM,
demokrasi, atau bahkan ideologi. Ini hanya masalah kepentingan dan kepentingan. Tidak ada
yang mengatakan atau mencetuskan bahwa standar moral yang baik adalah yang dikeluarkan
oleh Amerika Serikat yang seolah menjadi „kepalanya moral‟, namun seolah banyak masyarakat
dunia terdoktrin bahwa kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat adalah sebagai pedoman

menetapkan moral yang baik, padahal itu justru tujuan AS mengkonstruk pikiran dan keadaan
yang seperti itu melalui kebijakan luar negerinya dengan dalih menjaga political security dan
keamanan negaranya.
Jika ditanya apa harus ada dimensi nilai normatif dalam kebijakan kemanan suatu
negara, maka jawabannya adalah tidak perlu nilai normatif. Karena dimana-mana jika berbicara
suatu kebijakan keamanan negara itu adalah konteks kewajiban negara, tidak memerlukan nilai
moral, itu adalah ketetapan yang sudah seperti itu. Namun, saya lebih melihat bahwa sejatinya
apakah diperlukan atau tidak nilai norma tersebut tentu kembali lagi kepada kepentingan

nasional suatu negara tersebut, AS saja contoh konkritnya, kebijakan luar negeri dalam menjaga
keamanannya, seharusnya itu hanya untuk sebatas kewajiban AS untuk melingdungi negaranya,
namun disini saya melihat bahwa kepentingan AS lah yang seolah kebijakan keamanan
negaranya seolah ditujukan untuk kemanan dunia, jadi seolah AS memiliki dunia ini, atas dasar
pemikiran yang seperti inilah yang membuat AS justru seolah memiliki dunia karena
kepentingan dan merasa seolah negara yang hegemon dengan memasukkan nilai-nilai normative
dalam hampir di setiap kebijakannya.
Sejauh dimana kebijakan keamanan memerlukan dimensi normatif tentunya dapat dilihat
dari sejauh mana desire dan kepentingan suatu negara itu untuk berperan dalam dunia
internasional. Jika negara tersebut hanya concern terhadap masalah keamanan negaranya dan
hanya fokus untuk melindungi, menyejahterakan, menjaga warga negara dan negara, maka tentu

tidak terlalu memerlukan dimensi normatif, karena itu tadi, itu merupakan kewajiban, bukan
kepentingan. Lain lagi jika berbicara tentang memperluas pengaruh dan kekuasaan seperti AS
yang seolah kebijakan negaranya ditujukan untuk internal namun ternyata secara tersirat juga
ditujukan untuk dunia, bahkan ada saja yang tersurat langsung saja „frontal‟ ditujukan kepada
suatu negara atau bahkan banyak aktor.
Berbicara tentang menerapkan dimensi nilai normatif dalam kebijakan luar negeri, pasti
ada untung dan ruginya. Keuntungannya, pertama adalah kepentingan negara tersebut tercapai.
Ini adalah keuntungan yang paling rasional dan mendasar jika suatu negara memasukkan unsur
dimensi normatif dalam kebijakannya, terlebih kebijakan luar negerinya. Tentu pasti kebanyakan
dari negara-negara di dunia (bahkan yang bukan hegemon atau adikuasa sekalipun) menerapkan
kebijakan luar negeri yang mengandung unsur normatif, namun memang negara yang sering
melakukan hal ini adalah AS. AS seolah berhasil mencapai kepentingan-kepentingannya untuk
menguasai pemikiran bahkan bisa melakukan intervensi atau bahkan penyerangan melalui
foreign policy yang dikeluarkannya, yang tentunya karena ada nilai normatif AS tadi yang bisa
berupa demokrasi, HAM, bahkan bisa saja sistem ekonomi, bahkan ideologi. Keuntungan
kedua adalah pengaruh kekuasaan yang didapat. Kebijkan luar negeri suatu negara dapat
dikaitkan dengan pencitraan dan refleksi suatu negara tersebut atau bahkan refleksi dari si
pembuat kebijakan tersebut yang diatasnamakan negara. Jika suatu negara sangat menggebugebu untuk berkuasa dan berpengaruh layaknya „hegemon‟ maka tak tanggung-tanggung negara
tersebut akan berusaha menyebar nilai norma yang merefleksikan negara tersebut, dan seolah
itulah kebijakan pedoman negara-negara lain dan alhasil seolah menjadi “pemimpin utama

negara-negara”.
Namun, tidak selamanya menerapkan dimensi nilai normatif dalam kebijakan luar negeri
akan membawa untung saja, tentu ada kerugiannnya. Pertama, konsekuensi melanggar nilai
moral yang dicanangkkan sendiri oleh negara tersebut. Sebuah negara yang mencangkan dan
menjunjung tinggi nilai norma dalam setiap kebijakannya-seperti AS- jika melanggar nilai

moralnya sendiri, maka konsekuensinya adalah melanggar apa yang telah dikatakannya, seolah
„menjilat ludah sendiri‟ dan tidak konsisten. Biasanya ini terjadi karena situasi mendesak dan
terpaksa bisa jadi karena negara lain yang mengancam atau musuh tersebut bertindak agresif.
Contohnya AS dalam kebijkaan dan aksi penyerangan ke Vietnam karena dianggap mengancam
atau mulai terkena pengaruh komunisnya USSR. Disinilah yang membuat AS seolah melanggar
„nilai norma‟ yang dijunjung tinggi, karena logikanya penyerangan ke Vietnam sama saja
melanggar nilai-nilai HAM, banyak yang menjadi korban. Kerugian kedua adalah saat dunia
termasuk masyarakat dunia yang menjadi penonton melihat dan menilai bahwa itu tidak sesuai
dengan nilai moral yang negara tersebut junjung yang alhasil akan merusak citra negara tersebut
yang terlihat terlalu mengedepankan dan berambisi menjadi hegemon.
Jika ditanya lebih pro yang mana, maka saya akan memilih kebijakan khususnya
kebijakan luar negeri yang mengandung unsur dan dimensi nilai normatif. Dimana suatu negara
bisa menyiratkan unsur norma(bisa demokrasi, HAM, ideologi, sistem ekonomi, dan lain-lain)
yang bisa mengangkat eksistensi negara tersebut dalam ranah internasional. Karena mustahil

tidak ada negara yang tidak ingin negaranya maju dan memiliki power serta pengaruh, setiap
negara menginginkan itu. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya cercaan dan kritik
terhadap negara tersebut. Namun, justru itu yang membuat unik, bagaimana sebuah negara
berusaha untuk mengeluarkan kebijakan dan kebijakan tersebut mampu terhadap tatanan dunia,
dan itu butuh pertimbangan matang yang tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
mencapai kepentingan negara tersebut dan bahkan usaha untuk tetap menjaga eksistensinya serta
memperkuat pengaruhnya. Contoh konkritnya adalah negara AS, bahkan sudah dari sejak Perang
Dingin saja sudah banyak kebijakan luar negeri AS yang memengaruhi tatanan dunia, yang
cenderung mengobarkan dimensi norma liberalisme yang didalamnya ada produk HAM,
demokrasi, kapitalisme, dan lain sebagainya, bahkan dengan adanya containment policy, dimana
memang AS saat perang dengan USSR merasa harus mengeluarkan foreign policy untuk
menjaga political security dan keamanan negara namun tetap menjaga nilai normatif. Namun, tak
ayal justru AS sendiri yang seringkali melanggar „kebijakan berdasarkan nilai norma‟, contohnya
saja penyerangan AS ke beberapa negara yang dianggap mengancam atau menentang AS.