Perempuan Keluarga Migran Etos Kerja dan (1)

MAKALAH
PEREMPUAN KELUARGA MIGRAN:
ETOS KERJA DAN STRATEGI PENGHIDUPAN
Oleh:
Dewi Cahyani Puspitasari
Email:dewi.cp@ugm.ac.id
Muhammad Azri Imaduddin
Email: azry.lb@gmail.com
Erma Setyo Wienari
Email: erma.wiena@gmail.com
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah tenaga kerja di luar negeri
yang cukup banyak.Menurut catatan BNP2TKI periode Januari 2015 terdapat 429.872 TKI
yang tersebar di beberapa negara. Dilihat dari sisi penerimaan devisa negara dan sisi ekonomi
keluarga migran, keberadaan jumlah TKI ini menguntungkan. Namun ternyata juga
menimbulkan dampak bagi kondisi keluarga migran khususnya perempuan (istri) dan
anak.Penelitian ini dilakukan di Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading,
Kabupaten Lombok Timur.Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut merupakan salah satu
wilayah yang telah diresmikan oleh BNP2TKI dan Kementrian Tenaga Kerja sebagai Desa
TKI.

Riset ini fokus pada Pertama, implikasi sosial ekonomi yang dihadapi perempuan
(istri) yang suaminya bekerja menjadi pekerja migran dan Kedua, pola dan mekanisme
penghidupan yang dilakukan oleh perempuan (istri) keluarga migran.Pendekatan teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu konsep etos kerja dan strategi penghidupan.Dinamika
perempuan keluarga migran ini memunculkan ragam pola dan mekanisme yang secara
bertahap memiliki peran dalam upaya meningkatkan kualitas kesejahteraan keluarga.Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kasus tunggal di wilayah
penelitian dan analisis data sekunder yang relevan dengan fokus kajian.
Hasil penelitian meliputi: Pertama, implikasi sosial ekonomi yang dihadapi
perempuan (istri) keluarga migran adalah perempuan memiliki beban untuk menjaga
kehidupan keluarga yaitu anak-anaknya atau anggota keluarga yang lain. Kedua, tipologi
strategi penghidupan yang dilakukan istri pekerja migran yaitu Pertama, istri bekerja di
sektor pertanian dan jasa yang dapat mencukupi kebutuhan harian keluarga.Kedua, istri
mengelola remitan dalam bentuk usaha baru seperti kios/toko dan Ketiga, istri melakukan
diversifikasi pekerjaan sesuai keterampilan.Pemanfaatan modal sosial juga menjadi bagian
dari safety belt keluarga.
Keyword :Perempuan, Keluarga, Kemiskinan, Etos, Strategi, Kesejahteraan.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Buruh migran Indonesia (BMI) atau yang sering disebut dengan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), adalah profesi yang cukup menjanjikan bagi mereka yang yang memiliki
skill dan tingkat pendidikan yang rendah. Ketika lapangan kerja yang ada di daerah asal
tidak bisa menyerap tenaga kerja lokal yang ada, maka peluang untuk melakukan migrasi
menjadi TKI ke luar negeri dianggap sebagai solusi yang paling nyata dan ideal untuk
dilakukan. Mobilitas penduduk yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya,
dipandang sebagai bentuk aktivitas yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Oleh
karena itu, jika melihat keadaan penduduk usia produktif di Indonesia saat ini, bahwa
banyak dari mereka yang cenderung memilih keluar dari daerah asalnya ke daerah lain
yang dianggap lebih baik secara ekonomi.
Daerah kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat tercatat sebagai
daerah kabupaten tertinggi sebagai penyumbang TKI ke luar negeri. Dalam situs
BNP2TKI dituliskan bahwa Dalam penempatan TKI ke luar negeri tahun 2014 sebanyak
429.872 orang, sebanyak 29.510 orang di antaranya berasal dari kabupaten Lombok
Timur, yang merupakan kabupaten tertinggi dari 25 kabupaten terbesar penyumpang
penempatan TKI yang ada. Meskipun Lombok Timur merupakan kabupaten terbesar seIndonesia dalam hal penyumbang TKI ke luar negeri, namun sebenarnya di provinsi Nusa
Tenggra Barat sendiri ada banyak sekali daerah-daerah yang dapat dikatakan sebagai
kantong TKI. Abdul Haris (2002:2) mengatakan secara umum, ada beberapa alasan yang
menyebabkan terjadi peningkatan mobilitas penduduk dari NTB ke luar negeri, khususnya
ke Malaysia. Pertama, kondisi ekonomi daerah yang masih tergolong miskin tidak

memungkinkan penduduk untuk hidup layak, sementara beban hidup semakin meningkat.
Kedua, adanya perbedaan upah yang sangat jauh antara daerah asal (NTB) dan daerah
tujuan (Malaysia), padahal jenis pekerjaan yang dijalani sama.
Salah satu desa di wilayah NTB yang menjadi kantong TKI yang cukup besar
adalah Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur.Pada
tahun 2014 desa tersebut diresmikan oleh BNP2TKI bersama Kementrian Tenaga Kerja
sebagai satu-satunya “Desa TKI” di NTB. Di tahun 2015, berdasarkan data yang diperoleh
dari kantor Desa Jenggik Uatara, terdapat 504 orang penduduk yang menjadi TKI di luar
negeri. Jumlah ini sama dengan sekitar 9,26 % dari jumlah penduduk di Desa Jenggik

Utara. Banyaknya profesi TKI tidak hanya mengubah kualitas hidup masyarakat desa
Jenggik Utara, namun juga kebudayaan masyarakat Jenggik Utara itu sendiri. Profesi TKI
dalam pandangan sebagian besar masyarakat Desa Jenggik Utara dianggap sebagai suatu
“warisan” yang harus mereka terima.Bahkan bagi anak-anak yang mulai beranjak dewasa
pandangan ini dijelaskan melalui keinginan mereka untuk berangkat ke luar negeri
menjadi buruh migran setelah lulus SMA.
Dalam suatu nilai yang dipahami oleh masyarakat Sasak, ketika seseorang yang
berusia produktif telah berkeluarga, maka dirinya sudah tidak pantas lagi untuk tinggal
bersama orang tua. Dengan kata lain ketika suatu keluarga terbentuk maka ada tuntutantuntuta baru yang melekat pada dirinya, seperti harus memiliki perkerjaan, memiliki
tempat tinggal sendiri, dan utamanya menciptakan kehidupan yang mapan dan layak. Oleh

karenanya untuk mewujudkan itu semua mereka yang berusia produktif harus segera
memenuhi tuntutan budaya tersebut dengan cara bekerja. Namun, tidak terserapnya
seluruh usia produktif pada pasar kerja di wilayah Jenggik Utara ini membuat profesi TKI
dianggap sebagai sebuah jalan keluar yang kiranya bisa melepaskan masyarakat dari
tuntutan-tuntutan di tengah kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut.
Terlebih didukung dengan modal pekerja yang memiliki latar pendidikan rendah dan
ketrampilan terbatas.
Wilayah Desa Jenggik Utara memang memiliki lahan pertanian yang sangat
terbatas. Hal ini membuat masyarakat Desa Jenggik Utara tidak dapat banyak berharap
akan hasil dari persawahan yang ada. Ditambah sebagian besar lahan persawahan di Desa
Jengiik utara rupanya bukan milik masyarakat setempat, akan tetapi milik penduduk dari
Desa lain. Sehingga banyak dari penduduk desa ini yang berprofesi sesbagai buruh
tani.Selain lahan persawahan, ternyata sebagain besar wilayah Jenggik Utara adalah area
perkebunan.Namun wilayah perkebunan pun tidak banyak memberikan hasil bagi
masyarakat desa, Hal ini mengingat perkebunan yang ada merupakan area yang ditumbuhi
tanaman yang kurang memberi hasil ekonomi.Artinya perkebunan tersebut ditumbuhi oleh
berbagai

macam


pepohonan,

sehingga

terlihat

seperti

hutan.

Implikasi

dari

ketidakuntungan wilayah inilah yang membuat mobiltas antar negara kerap kali dilakukan
sebagai suatu solusi menguntungkan masyarakat Desa Jenggik Utara.
Selain itu pengiriman TKI secara masif pada masyarakat Desa Jenggik Utara
ternyata juga dianggap sebagai jalan keluar bagi suatu persoalan sosial. Contohnya adalah
kegagalan rumah tangga. Implikasi dari kegagalan berumah tangga adalah menimbulkan
rasa malu sehingga timbul keinginan untuk pergi dari wilayah sebagai pelampiasan rasa


malunya tersebut. Tuan Guru Kirom (2010) menjelaskan bahwa keberangkatan warga
Sasak untuk menjadi TKI tidak melulu disebabkan oleh faktor ekonomi, namun perceraian
akibat kegagalan rumah tangga sering kali menjadi penyebab atau pendorong untuk
melakukan migrasi.Hal itu semata-mata dilakukan untuk membuang rasa malu dan
pelampiasan emosionalnya.
Berdasarkan data BMI Desa Jenggik Utara tercatat pada Februari 2016 jumlah
migran laki-laki terdapat 464 orang dan jumlah migran perempuan terdapat 40 orang.
Jumlah ini menunjukkan bahwa buruh migran didominasi oleh kaum laki-laki. Adanya
ketimpangan jumlah ini ternyata ada hubungannya dengan nilai agama. Masyarakat Desa
Jenggik Utara dikenal dengan masyarakat yang religius. Mereka memegang teguhnilainilai agama Islam dalam pola kehidupannya. Sikap ini kemudian berpengaruh pada konsep
pemahaman masyarakat akan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian
secara Islam dimana laki-laki memiliki peran untuk mencari nafkah, dan perempuan
bertugas untuk mengurus anak di rumah masih dipegang dengan sangat kuat. Paham ini
kemudian menciptakan pola kehidupan keluarga migran dimana kepala keluarganya
bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dan istrinya bertanggung jawab dalam urusan
rumah tangga, pengasuhan anak dan juga pengelolaan remitan.
Implikasi dari pembagian kerja seperti yang dilakukan keluarga Migran di Desa
Jenggik Utara, ternyata tidak sepenuhnya menguntungkan bagi perempuan (istri). Dalam
hal ini, perempuan banyak menemui kondisi seperti kurangnya remitan dari suami, yang

tak ubahnya membuat mereka beradaptasi secara mandiri untuk menjaga kelangsungan

hidup diri dan anak-anak mereka. Karena itu, tidak jarang ditemui para perempuan (istri)
mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini kemudian
memunculkan peran ganda yang dialami oleh para perempuan tersebut. Penelitian ini
mencoba melihat dan menjelaskan implikasi sosial-ekonomi yang dihadapi perempuan
serta upaya mereka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari keluarga migran.

1.2.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana implikasi sosial ekonomi yang dihadapi perempuan (istri) keluarga pekerja
migran?
2. Bagaimana pola dan mekanisme penghidupan yang dilakukan perempuan (istri) keluarga
migran?

1.3.

Tinjauan Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian


1.3.1. Tinjauan Pustaka
Perempuan dan Penghidupan
Penghidupan

(livelihood)

menurut

Chambers

(Aisyah

dan

Baiquni,2014;

Puspitasari,et al 2014) merupakan sebuah kesatuan dari kemampuan aset termasuk aspek
sosial dan aktivitas yang dilakukan untuk menunjang hidup. Penghidupan dapat
berkelanjutan apabila bisa pulih dari tekanan seperti bencana alam dan lain-lain dengan

mengunakan aset dan kemampuan yang dimiliki sekarang tanpa mengantungkan kepada
sumberdaya alam. Aspek dari penghidupan (livelihood) menurut Ellis dan Scoone
(Widiyanto,2010;Puspitasari,et al,2014) meliputi aset (modal alam, modal fisik, modal
SDM, modal finansial dan modal sosial), aktifitas dan akses terhadap aset-aset tersebut
yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga.
Penjelasan Ellis (Permana,2014; Puspitasari,et al,2014) menjelaskan lebih rinci tentang
livelihood assets yaitu:

1.

Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital): Modal ini bisa juga disebut sebagai
lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di
sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa diperbaharui
maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air,
pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan di perairan, maupun
sumber daya mineral seperti minyak, emas, batu bara dan lain sebagainya.

2.

Modal Fisik (Physical Capital): Modal fisik merupakan modal yang berbentuk

infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya.

3.

Modal Manusia (Human Capital) :Modal ini merupakan modal utama apalagi
pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja
yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, ketrampilan,
dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes) Modal ini berupa uang, yang
digunakan oleh suatu rumah tangga. Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan,
ataupun akses dan pinjaman.
5. Modal Sosial (Social Capital): Modal ini merupakan gabungan komunitas yang
dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di
dalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja (networking) yang
merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama
dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi.

Dari adanya kelima aset tersebut bila dikonseptualisasikan dengan framework
Scoones (Puspitasari,et al,2014) dapat diilustrasikan sebagai berikut:


Gambar 1. Kerangka Pemikiran Strategi Penghidupan

Sumber : Scoones(dalam Puspitasari,et al,2014).

Berdasarkan penjelasan diatas terdapat beberapa poin penting yang dapat digunakan
dalam memperoleh gambaran mengenai kegiatan yang terkait dengan penghidupan
perempuan (istri) keluarga migran. Selain itu, pilihan cara atau strategi yang dilakukan
oleh perempuan diharapkan dapat menjadi solusi bertahan hidup pada masa-masa sulit
dalam keluarga atau rumah tangganya.

Perempuan dan Etos Kerja
Etos, menurut Geertz (Elisa dalam (Abdullah,1978)) adalah sikap yang mendasar
terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat
menilai.Konsepsi etos kerja mulai menarik perhatian sejak terbitnya buku karangan Max
Weber “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”.Di dalam bukunya, Weber

mengatakan bahwa terdapat kaitan antara pekembangan masyarakat dengan sikap
masyarakat terhadap makna kerja. Bagi kalangan sekte Protestan Calvinist yang
ditelitinya, budaya kerja keras adalah suatu keharusan mengingat hal ini adalah panggilan
rohani.Kerja keras ini kemudian yang membawa mereka pada kondisi maksimal dimana
mereka mendapatkan kelimpahan ekonomi. Hal inilah yang ditekankan oleh Weber bahwa
terdapat sistem nilai yang berfungsi mengendalikan etos kerja.
Etos kerja bukanlah suatu hal yang taken for granted. Keberadaannya didorong
oleh beberapa situasi yang berkembang di masyarakat.Selain sistem nilai seprti yang
dijelaskan Weber, etos kerja juga berkaitan erat dengan kondisi ekonomi. Menurut
Mubyarto (1991) mengatakan bahwa keras tidaknya orang bekerja berhubungan dengan
pola hidup (sederhana atau mewah) dan perilaku berekonomi (hemat atau boros). Hal ini
juga dapat ditafsirkan bahwa etos kerja didorong oleh kebutuhan.
Selama ini banyak orang beranggapan bahwa ketertinggalan desa adalah sebuah
akibat dari rendahnya etos kerja masyarakat desa. Padahal, jika dilihat secara sepintas etos
kerja masyarakat desa justru tinggi (Mubyarto,1991). Mereka bahkan menganut prinsip
hidup tiada hari tanpa kerja.

Dalam melihat tinggi rendahnya etos kerja anggota

masyarakat desa sangat ditentukan oleh sejumlah faktor seperti pola pemilikan tanah dan
faktor produksi lain seperti ternak, pola hubungan produksi serta tersedia atau tidaknya
pekerjaan di luar sektor pertanian (Mubyarto,1991). Hal tersebut juga memperjelas bahwa
etos ketertinggalan desa bukan semata-mata berasal dari etos kerja yang rendah melainkan
adanya keadaan alam yang tidak mendukung, teknologi sederhana dan kondisi sosial
lainnya.
Sama halnya dengan etos kerja bagi perempuan perdesaan. Perbedaan hanya
terletak pada ranah kerja mereka. Secara umum peranan wanita adalah mengurusi rumah
tangga, sehingga sektor kerja mereka berada pada wilayah rumah tangga atau tidak akan
jauh dari sektor tersebut. Hal itu dijelaskan pula oleh Doni Rekro Harijani dalam buku
“Etos Kerja Perempuan Desa : Realiasi Kemandirian dan Produktivitas Ekonomi”
(Arba’in Mahmud, 2015:248) bahwa etos kerja perempuan desa utamanya di lingkup
wilayahnya yakni Karangasem, tiggi utamanya di sektor ekonomi keluarga. Mengacu pada
pembaasan di atas maka terdapat beberapa poin penting yang dapat digunakan dalam
mengkaji etos kerja perempuan (istri) keluarga Migran.

1.3.2. Konseptualisasi Penelitian
Strategi penghidupan perempuan (istri) keluarga migran muncul sebagai bagian
dari adaptasi terhadap berbagai resiko yang dihadapi yaitu kemiskinan dan kerentanan
sosial-ekonomi. Perempuan (istri) keluarga migran ini mengombinasikan berbagai
modal/aset yang dimiliki yaitu alam, fisik, finansial, sumber daya manusia dan sosial.
Perbedaan bentuk strategi yang muncul dan diterapkan oleh perempuan ini sesuai
dengan kondisi dan kepemilikan sumber daya/aset yang ada. Keluarga migran
sejahtera memiliki kepemilikan sumber daya/aset yang lebih besar dan kondisi
ekonomi keluarga yang mapan daripada keluarga migran tidak sejahtera yang
kepemilikan sumber daya/asetnya dan kondisi ekonomi keluarganya terbatas.
Kajian mengenai etos kerja dapat dipahami bahwa sanya dalam melihat etos kerja
perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, etos kerja beradaptasi dengan sistem
nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat yang ada di Desa Jenggik Utara. Nilai
yang dianut tidak hanya mengacu pada nilai agama melainkan juga nilai budaya yang
berlaku. Termasuk bagaimana pandangan masyarakat Jenggik Utara terhadap pekerja
perempuan. Kedua, etos kerja dikaitkan dengan kondisi ekonomi perempuan keluarga
migran baik pola hidup ataupun perilaku berekonominya. Ketiga , etos kerja
perempuan Desa Jenggik Utara dilihat beriringan dengan keadaan alam yang
melingkupinya atau berkenaan dengan dengan sumber daya alamnya. Melalui tiga halhal tersebut maka didapatkan gambaran etos kerja perempuan keluarga migran di
Desa Jenggik Utara dalam memenuhi kebutuhan hidup. Berikut ilustrasi dari
konseptualisasi penelitian:

Gambar 2. Konseptualisasi Penelitian
Aset/Modal Livelihood: Alam,
Fisik, Finansial,SDM, Sosial

Kondisi Kemiskinan
dan Kerentanan
Ekonomi

Keluarga
Migran

Strategi/Aktivitas
Produktif:
Migrasi (BMI)
Pertanian
Peternakan
Perdagangan/Toko
Buruh

Etos Kerja:
Sistem Nilai Budaya
Kondisi Ekonomi
Kondisi Lingkungan
(Fisik&Sosial)

Sumber: Peneliti,2016
II.

METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Unit Analisis Penelitian
Penelitian ini menggunakan format penelitian kualitatif dengan metode studi
kasus tunggal sebagai perangkat eksplanatoris terhadap fokus kajian yaitu mengenai
etos kerja dan strategi penghidupan perempuan (istri) keluarga migran.Unit analisis
dalam penelitian ini adalah perempuan (istri) dari keluarga migran, perangkat desa
dan pendamping LSM.

2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan kombinasi teknik dengan
beberapa tools (alat kajian) yang lazim disebut ‘triangulasi’ yang merupakan alat
pengumpul data sekaligus untuk menguji kredibilitas data. Triangulasi yang dimaksud
meliputi : (a) triangulasi data atau sumber data yaitu dalam pengumpulan data peneliti
menggunakan multi sumber data berupa data primer dari hasil wawancara, observasi
serta data sekunder berupa dokumentasi yang ada; (b) triangulasi metode yaitu
peneliti menggunakan berbagai metode pengumpulan data untuk menggali data
penelitian yang sejenis berupa metode observasi, wawancara dan dokumentasi; (c)

triangulasi peneliti yaitu peneliti melakukan review dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh beberapa peneliti yang sama atau menggunakan pendekatan sama
dengan kajian penelitian ini serta (d) triangulasi teori yaitu peneliti dalam membahas
permasalahan yang sedang dikaji tidak menggunakan satu perspektif teori tetapi
dikoneksikan dengan teori lain yang memiliki relevansi untuk lebih memperdalam
analisa data hasil penelitian ini. Berikut penjelasan dari masing-masing teknik:

a.

Teknik Observasi
Observasi yang dimaksud adalah pengumpulan data di mana peneliti

mencatat informasi sebagaimana yang disaksikan selama penelitian.Secara khusus
jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif yaitu peneliti terlibat
dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian.

b.

Teknik Wawancara
Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai bentuk

komunikasi langsung antara peneliti dan informan.Bentuk komunikasi untuk
mendapatkan data dilakukan dalam bentuk tanya-jawab dan hubungan tatap
muka.Adapun jenis wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah semiterstruktur
(kategori in-depth interview) dimaksudkan untuk menemukan permasalahan secara
lebih terbuka dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ideidenya.Dalam hal ini peneliti menyiapkan panduan wawancara untuk disampaikan
kepada informan sesuai dengan kajian penelitian.Kegiatan wawancara dilakukan pada
6 (enam) orang perempuan (istri) keluarga migran.Kategori istri dikelompokkan
menjadi dua yakni keluarga migran ada 2 (dua) yaitu keluarga migran yang sejahtera
dan tidak sejahtera.

c.

Data Sekunder
Data sekunder di sini adalah melakukan kajian terhadap data, dokumen

maupun laporan hasil penelitian termasuk juga media cetak maupun online yang
memuat kajian tentang etos kerja, perempuan dan keluarga pekerja migran. Tujuannya
adalah untuk memberikan input terhadap temuan data lapangan melalui observasi dan
wawancara

3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan fokus pada
penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data sesuai konteksnya.
Proses analisa data tersebut meliputi: (1) peneliti mengacu pada proposisi teori
melakukan pemilihan kasus yang dicermati secara fokus dan mendalam untuk kemudian
dilakukan pengembangan deskripsi kasus. Sumber data pada tahap ini diperoleh dari
kegiatan observasi partisipan dan wawancara awal; (2) Pada tahap ini peneliti
menentukan kategori tertentu dari pembuatan daftar identifikasi kategori untuk kemudian
dijelaskan pola yang ada pada setiap kategori. Bila kemudian terdapat kesamaan
kemudian dilakukan penjodohan pola sedangkan bila muncul kontras/perbedaan maka
dilakukan penjelasan tandingan pola sesuai kategori yang ada; (3) Analisis peristiwa
kronologis yaitu peneliti mengorganisasikan hasil identifikasi kategori pada proses
sebelumnya untuk dicermati dari aspek waktu melalui tabulasi frekuensi peristiwa yang
berbeda dan memeriksa kompleksitas diantara peristiwa yang berbeda tersebut. Dalam
proses ini analisis diperoleh dari hasil observasi partisipan dan wawancara tahap kedua;
(4) Pada tahap ini peneliti sudah mengintegrasikan ketiga analisis sebelumnya untuk
dilihat dan disesuaikan ‘benang merah’nya sehingga menghasilkan ‘kontruksi bangunan’
situasi sosial atau objek penelitian. Keempat kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan
kegiatan di lapangan sehingga menjadi satu siklus penelitian untuk kemudian dapat
disusun suatu konklusi atau kesimpulan.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Setting Sosial Keluarga Pekerja Migran
Masyarakat Desa Jenggik Utara pada dasarnya masih memegang nilai-nilai
kebudayaan sebagaimana penduduk suku sasak di daerah Lombok lainnya.Masyarakat
suku Sasak secara umum memiliki lembaga kontrol yang bersumber pada Agama Islam.
Oleh karenanya hampir seluruh aktivitas masyarakat suku Sasak dikontrol oleh syariatsyariat Islam.Dengan demikian dapat dikatakan adat-istiadat masyarakat suku Sasak

sebenarnya dibangun dalam kerangka kebudayaan Islam. (Abdul Haris,2002). Misalnya
adat Merari, Begawe1, dan Roah2 masih sering terlihat di daerah ini.
Ikatan akan keyakinan agama islam yang ada di daerah ini cukup kuat, dan jauh
dari hal mistis. Hampir tidak ditemukan kepercayaan-kepercayaan tahayul yang diyakini
masyarakat Desa ini. Karena masyarakat Desa Jenggik Utara 100% adalah muslim. Setiap
selesai sholat maghrib di setiap masjid maupun mushola yang ada di Desa ini, akan
terdengar kajian-kajian maupun semacam dzikir yang suarakan melalui pengeras suara.
Hal tersebut berlangsung hingga waktu isya tiba dan kemudian kembali menunaikan sholat
berjama’ah.
Selain itu masyarakat Jenggik Utara juga terkenal dengan budaya “ke-TKI-an”,
sesperti yang telah dibahas sebelumnya. Menjadi TKI bagi sebagian masyarakat Desa
Jenggik Utara adalah bagaikan sebuah “warisan” yang diberikan bagi mereka. Saat ini ada
sekitar 504 penduduk dari 5439 penduduk Desa Jenggik Utara yang sedang merantau
sebagai TKI ke luar Negeri. Mayoritas mereka merantau ke Negara Malaysia, sebagian ke
Arab Saudi dan beberapa negara lainnya yang ada di Timur Tengah.Namun demikian
dapat dikatakan mayoritas penduduk Desa Jenggik Utara pernah merasakan menjadi
TKI.Dikatakan bahwa menjadi TKI itu merupakan sebuah warisan, karena ketika anakanak beranjak dewasa yang mulai terlihat adalah bayangan luar negeri.Ada banyak hal
yang melatarbelakangi masyarakat Desa Jenggik Utara berangkat merantau menjadi TKI,
seperti keadaan ekonomi yang sulit di daerah asal yang dibarengi dengan susahnya
memperoleh pekerjaan karena ketersediaan lapangan kerja yang sangat minim.Selain itu
juga skill mereka yang sangat minim akibat dari pendidikan yang rendah seperti sebatas
tamat sekolah dasar atau sebatas tamat SMP dan SMA, membuat mereka tidak terserap di
lapangan kerja yang ada. Berikut ilustrasi dari tingkat pendidikan masyarakat:

Merari sendiri adalah suatu rangkaian adat suku sasak dalam hal pernikahan yang konsep
dan prosesnya sangat mirip dengan syariat Islam. Sedangkan Begawe itu sendiri merupakan
acara pesta saat pernikahan tersebut, dimana dalam syariat Islam lebih dikenal dengan
“walimatul Urs”
2
Roah adalah acara makan-makan yang dilakukan setelah kegiatan agama seperti dzikir dan
doa untuk orang meninggal, syukuran rumah baru, atau pun akikahan.
1

Tabel 1. Tingkat Pendidikan TKI Desa Jenggik Utara 2016
Tingkat Pendidikan

Jumlah
Persentase

SD
208
41,26%

SMP
169
33,53%

SMA
103
20,43%

PT
6
1,19%

Tidak tamat SD
18
3,57%

Total
504
100%

Sumber: Lembaga Sosial Desa (LSD) Jenggik Utara, per Februari 2016
Namun, rupanya faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya faktor yang
mendorong masyarakat Desa Jenggik Utara untuk menjadi TKI. Selain itu faktor
emosional pun tidak jarang menyebabkan mereka untuk memutuskan berangkat merantau
menjadi buruh migran ke luar negeri. Kepala Desa Jenggik Utara (2015) menjelaskan
bahwa banyaknya kasus kawin cerai juga merupakan faktor yang cukup nyata yang
menyebabkan warganya berangkat ke luar negeri untuk menjadi TKI. Bahkan Bu Zuh
(2015), seorang aktivis TKI sekaligus anggota LSD Jenggik Utara menjelaskan menjadi
TKI seolah-olah merupakan solusi dari setiap permasalahan yang ada, bahkan Ia bercerita
ada warga yang memutuskan menjadi TKI hanya karena putus dengan pacarnya. Bahkan
dalam sebuah buku (Pergulatan Dari Kancah Kisah Advokasi Buruh Migran NTB, 2010)
yang diterbitkan oleh salah satu Lembaga non pemerintah yaitu Plan, dimana dalam buku
tersebut ada sebuah tulisan yang menceritakan seorang Tuan Guru Arihinul Kirom yang
merupakan pemuka Agama di Lombok Timur, dan juga Ia banyak terlibat dalam
permasalahn para TKI. Tuan Guru Kirom (2015) menjelaskan bahwa keberangkatan
warga Sasak untuk menjadi TKI tidak melulu disebabkan oleh faktor ekonomi, namun
perceraian akibat kegagalan rumah tangga sering kali menjadi penyebab atau pendorong
untuk melakukan migrasi. Hal itu semata-mata dilakukan untuk membuang rasa malu dan
pelampiasan emosional.
Namun tentu dari sekian banyak alasan atau faktor pendorong yang menyebabkan
masyarakat Desa Jenggik Utara berangkat menjadi TKI, yang menjadi alasan utama atau
faktor utamanya adalah sulitnya keadaan ekonomi yang disertai minimnya ketersediaan
lapangan kerja yang berupah layak bagi kehidupan mereka. Artinya ketersediaan lapangan
kerja di daerah asal yang memiliki upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup,
masih sangat sulit didapat. Ditambah keterampilan (skill) mereka yang minim disertai
pendidikan mereka yang rendah, semakin membuat masyarakat Desa Jenggik Utara
kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak.Padahal jumlah Kepala Keluarga (KK)
setiap tahunnya terus bertambah, karena ketika terbentuknya KK yang baru, artinya

membutuhkan rumah atau tempat tinggal yang baru.Untuk bisa mewujudkan itu maka
masyarakat memerlukan pekerjaan yang layak. Maka tidak heran jika ada banyak sekali
anak-anak yang telah ditinggal orang tua mereka sejak masih kecil, terutama Ayah mereka
untuk merantau bekerja sebagai TKI ke luar negeri selama bertahun-tahun.
Menjadi TKI tidak selamanya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Untuk para TKI
yang bekerja di sektor bangunan, rata-rata upah yang diperoleh adalah 40-50 ringgit
perhari.Sedangkan untuk TKI yang ada di sektor perkebunan, rata-rata upah yang
diperoleh adal 35 ringgit perhari atau sekitar 105.000 rupiah per hari. Jam kerja yang biasa
dilakukan para pekerja baik di sektor bangunan maupun perkebunan, waktu normalnya
adalah delapan jam. Jika bekerja lebih dari itu maka akan ada upah tambahan, tergantung
kesepakatan kontrak. Pendapatan yang berbeda-beda antar TKI ini ternyata juga
berpengaruh pada pola penghidupan keluarga. Hal ini didapatkan dari 6 informan dengan
perlakuan kepala keluarga migran yang berbeda. Berikut adalah tabel mengenai gambaran
umum dari perempuan keluarga migran yang dibedakan ke dalam dua bentuk keluarga
yakni keluarga sejahtera dan tidak sejahtera:
Tabel 1. Profil Informan
Profil Keluarga Sejahtera
No Profil Perempuan Keluarga Migran
1
Nama
: Marni
Usia
: 25 tahun
Pendidikan Terakhir
: MTs
Jumlah Anak
: 1 (4 tahun)
Pekerjaan
: Pengelola Toko Pribadi
Pekerjaan Suami
: TKI di Malaysia (Supir alat berat)
Jumlah Remitan yang
: Rp 2.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 (rutin per
diterima
bulan)
Aset yang dimiliki
: Toko pakaian dan sembako
2
Nama
: Sumiati
Usia
: 28 tahun
Pendidikan Terakhir
: SMA
Jumlah Anak
: 1 (9 tahun)
Pekerjaan
: Ppengrajin bambu
Pekerjaan Suami
: TKI di Malaysia
Jumlah Remitan yang
: Rp 4.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 (rutin per
diterima
bulan)
Aset yang dimiliki
: Sawah, tanah pekarangan

Profil Keluarga Tidak Sejahtera
No Profil Perempuan Keluarga Migran
1
Nama
: Mariani
Usia
: 35 tahun
Pendidikan Terakhir
: SD
Jumlah Anak
: 2 (16 dan 9 tahun)
Pekerjaan
: Penggali batu apung tanah milik sendiri
Pekerjaan Suami
: TKI di Malaysia (Kuli Bangunan)
Jumlah Remitan yang
: Rp 1.000.000,00 – Rp 2.000.000,00 (rutin pertiga
diterima
bulan )
Aset yang dimiliki
: Tanah tambang seluas 10 are
2
Nama
: Mustiari
Usia
: 50 tahun
Pendidikan Terakhir
: SD
Jumlah Anak
: 4 (Tiga sudah berkeluarga, dan anak keempat usia
SMP)
Pekerjaan
: Buruh penggali batu aung
Pekerjaan Suami
: TKI di Malaysia
Jumlah Remitan yang
: Rp 3.000.000,00 (rutin pertiga bulan)
diterima
Aset yang dimiliki
: Rumah permanen
3
Nama
: Nuriah
Usia
: 47 tahun
Pendidikan Terakhir
: SD
Jumlah Anak
: 2 (anak pertama sudah bekerja sedang anak kedua
berusia 13 tahun)
Pekerjaan
: Buruh Tani
Pekerjaan Suami
: TKI di Malaysia
Jumlah Remitan yang
: Rp 2.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 (tidak rutin
diterima
pertiga bulan )
Aset yang dimiliki
: 4
Nama
: Hartini
Usia
: 50 tahun
Pendidikan Terakhir
: SMP
Jumlah Anak
: 2 (12 dan 6 tahun)
Pekerjaan
: Buruh Tani
Pekerjaan Suami
: TKI di Malaysia di sektor perkebunan
Jumlah Remitan yang
: Rp 2.000.000,00 – Rp 3.000.000,00 (tidak rutin
diterima
pertiga bulan )
Aset yang dimiliki
: Sumber : Data Primer, 2016.

Ada beberapa pola umum yang ditemui pada informan, bahwa keberangkatan
suami untuk merantau menjadi TKI pada keluarga migran sejahtera, dilakukan paska awal
pernikahan. Artinya usia pernikahan muda mendorong suami untuk merantau menjadi TKI
ke luar negeri. Seperti keluarga Ibu Marni, keinginan untuk segera memiliki rumah pribadi
terlihat jelas dimana empat tahun pertama setelah suaminya bekerja, ia sudah bisa memiliki
rumah bahkan membangun sebuah toko. Begitu juga dengan keluarga ibu Sumiati yang bisa
membangun rumah dan membeli beberapa petak sawah dan juga tanah. Terdapat perbedaan
antara keluarga migran sejahtera dan yang tidak sejahtera. Keluarga migran yang tidak
sejahtera cenderung berasal dari keluarga dengan usia pernikahan yang cukup tua.
Terkait hal tersebut maka diperoleh poin dasarnya bahwa keputusan suami untuk
berangkat merantau menjadi TKI di luar negeri di usia pernikahan yang masih muda
memiliki peluang untuk bisa membentuk dan memiliki kehidupan yang sejahtera, sehingga
istri yang ditinggal di daerah asal dapat hidup dengan sejahtera mengelola hasil dari kerja
suami dengan optimal. Sedangkan keputusan suami untuk merantau menjadi TKI ke luar
negeri ketika usia pernikahan sudah cukup tua, memiliki peluang yang kecil untuk
meningkatkan kualitas hidup keluarga. Walaupun pasti ada peningkatan kualitas hidup
namun tidak terlalu signifikan seperti pasangan keluarga migran yang masih muda.
III.2 Perempuan, Kerja dan Penghidupan
Kondisi penghidupan keluarga migran di lokasi penelitian dapat dijelaskan secara
umum mengikuti konsep penghidupann berkelanjutan meliputi dimensi aset (natural,
financial, human, social and physical), aktifitas dan akses terhadap aset-aset tersebut yang

dikombinasikan untuk menentukan kehidupan dan kesejahteraan bagi perempuan dan
keluarganya. Bila ditinjau dari aspek aset alam (natural) berupa kepemilikan tanah, sumber
daya air bersih, sumber daya hutan, sumber daya pertanian, perkebunan, perikanan dan
lainnya, masyarakat di lokasi penelitian mampu memelihara dan mempertahankannya
sehingga menjadi peluang usaha. Dari aspek ekonomi atau finansial yang dapat ditinjau
dari pendapatan dan pengeluaran, simpanan, pembagian pekerjaan, alternatif pendapatan
lain, pengaturan keuangan dalam rumah tangga, akses ke lembaga atau organisasi
keuangan warga memiliki kapasitas dalam mengelola aset meski mengalami masih
mengalami keterbatasan. Berikut merupakan gambaran umum kondisi ekonomi informan:

Tabel 2. Gambaran Umum Kondisi Informan
Istri Keluarga Sejahtera
No Gamabaran Umum Perempuan Keluarga Migran
1.
Ibu Marni ditinggal suaminya merantau menjadi TKI ke Malaysia sejak empat
tahun yang lalu saat masih mengandung. Suaminya bekerja sebagai supir alat berat
di sektor kontruksi bangunan, setiap bulan sangat rutin memberi kiriman uang
sejumlah 2-3 juta rupiah.Dalam kurun waktu empat tahun suaminya bekerja, kini Ia
bisa memiliki sebuah toko pakaian dan sembako. Ibu marni sendiri selama
ditinggal suaminya, hanya bekerja di rumah mengurus dan mengelola toko hasil
kerja suaminya.
2.
Ibu Sumiati ditinggal suaminya selama hampir sembilan tahun dan pulang ke
daerah asal setiap tiga tahun sekali. Dalam kurun waktu itu telah banyak yang
diperoleh hasil dari kerja suaminya. Ibu Sumiati kini telah membeli sejumlah tanah
dan area persawahan, dimana hasil dari sawah tersebut pada musim panen terakhir,
Ia dapat menghasilkan Padi sebanyak 2,5 Ton. Dalam setahun Ia bisa memperoleh
tiga kali panen. Di samping mengelola sawah dan tanah yang Ia miliki, ibu Sumiati
juga memiliki pekerjaan sampingan membuat kerajinan berupa keranjang dari
anyaman bambu, dimana setiap minggunya Ia bisa menghasilkan uang sebanyak
Rp 160.000 dari hasil kerajinan tersebut. Ia ikut kelompok pengrajin anyaman
bambu di dusunnya, dusun ceret lauq. Dimana kelompok pengrajin tersebut
mendapatkan dana dari Dinas Sosial sejumlah 40 juta rupiah untuk dua kelompok
pengarajin yang ada di dusun tersebut. Kebanyakan anggota dari kelompok
pengrajin tersebut adalah berasal dari istri migran.
Suaminya sendiri sampai saat ini masih tetap mengirimi uang secara rutin setiap
bulan, sejumlah 5-6 juta rupiah. Namun terkadang hasilnya dibagi dengan mertua
yang selalu meminta bagian dengan jumlah yang banyak. Selain itu perlakuan yang
tidak ramah dari mertuanya sering didapatkan, seperti melarang ibu sumiati ikut
berkumpul dengan para ibu-ibu pengrajin anyaman lainnya, atau sekedar pergi
mengikuti kegiatan Desa. Hal ini membuat ibu sumiati merasa tidak nyaman
dengan kondisi tersebut.
Istri Keluarga Tidak Sejahtera
No Gambaran Umum Perempuan Keluarga Migran
1.
Ibu Mariani ditinggal oleh suaminya merantau menjadi TKI di Malaysia
sebagai Kuli bangunan sejak delapan tahun yang lalu. Selama kurun waktu tersebut
suaminya telah dua kali pulang ke rumah. Hasil yang diperoleh suaminya sebagai
seorang TKI dibelikan sebuah rumah dan sebidang tanah lahan batu apung seluas
10 are. Sebelum menjadi TKI ibu Mariani bersama suaminya tinggal di rumah
mertua (orang tua suaminya). Suaminyatergolong rutin dalam mengirim uang,
sekitar 1-2 juta pertiga bulan. Namun jumlah tersebut masih kurang sehingga ibu
mariani ini bekerja menggali batu apung yang di ambil dari tanahnya sendiri.
Dalam sehari ibu mariani bisa menghasilkan 4-5 karung batu apung, dimana
setiap karungnya dijual ke pemborong dengan harga Rp 4000,-, sehingga dalam

2.

3.

4.

sehari ia bisa memperoleh Rp 15.000 – Rp 20.000. uang itu digunakan untuk
mencukupi keperluan sehari-hari.
Ibu Mustiari ditinggal suaminya merantau ke Malaysia untuk bekerja sebagai
TKI sejak lima tahun yang lalu, dan hanya pernah pulang sekali selama kurun
waktu tersebut. Ibu mustiari menjelaskan kemungkinan ini adalah periode terakhir
suaminya bekerja di Malaysia karena usia yang sudah cukup tua. Ibu Mustiari
tinggal bersama Anak ke empatnya yang masih sekolah di sekolah menegah
pertama, dan juga seorang cucunya yg masih kecil yang merupakan anak dari
anaknya yang ke dua.
Suaminya rutin mengirimi uang selama tiga bulan sekali sejumlah tiga juta
rupiah. Dari kiriman suaminya tersebut, Ia dapat merenovasi rumahnya yang
dahulu belum permanen (rumah bedek), dan sekarang rumahnya sudah permanen.
Disisi lain anaknya yang menjadi TKI pun pernah mengirimi uang kepadanya,
namun waktunya sangat tidak tentu, pernah dikirimi oleh kedua anaknya yang ada
di Malaysia sejumlah empat juta rupiah, namun itu hanya sesekali saja. Oleh
karenanya Ibu Mustiari merasa kiriman dari Suaminya dan juga anaknya tidak
cukup, maka Ia pun bekerja menggali batu apung di lahan milik orang lain. Sehari
Ia bisa mendapatkan lima karung batu apung, dimana harga sekarungnya di jual ke
pemborong seharga Rp 4000,-. Namun Ibu Mustiari harus memberikan bagian ke
pemilik lahan sejumlah RP 1000,- dari setiap karung yang dijualnya. Sehingga total
pengahsilan bersih perhari Ibu Mustiari adalah sekitar Rp 15.000,-. Uang itulah
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ibu Nuriah memiliki dua anak. Anak pertamnya adalah laki-laki seorang
mantan TKI dan kini bekerja di salah satu perkebunan sawit di Kalimantan.
Anaknya yang kedua masih berusia 13 tahun. Kini Ibu Nuriah hanya tinggal berdua
dengan anaknya yang kedua. Ditinggal suaminya sejak lima tahun yang lalu. Suami
Ibu Nuriah tergolong tidak rutin dalam mengirimi uang, kadang tiga bulan sekali
atau bahakn lebih dari tiga bulan. Sekali mengirimi uang jumlahnya sekitar 2-3 juta
rupiah. Menurut Ibu Nuriah uang kiriman dari suaminya tidak bisa terlalu
diandalkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka ia bekerja sebagai buruh
tani di lahan persawahan atau pun kebun milik orang lain. Namun sebagai buruh
tani, tentu penghasilannya sangat tidak rutin dan menentu, karena pekerjaan
tersebut tergantung dari panggilan atau permintaan dari pemilik lahan. Jika di
bekerja di kebun seharian, Ia bisa memperoleh bayaran sampai Rp 40.000,sedangkan jika bekerja di sawah seharian Ia bisa memperoleh bayaran sekitar Rp
25.000,- . tidak tentu dalam sepekan Ia bisa bekerja berapa hari, karena tergantung
permintaan dari pemilik lahan.
Ibu Hartini ditinggal suaminya sejak empat tahun yang lalu merantau menjadi
TKI bekerja di salah satu perkebunan di Malaysia. Selama bekerja menjadi TKI,
hasil yang diperoleh adalah sebuah rumah dan seekor sapi. Dulu Ibu Hartini dan
suaminya masih tinggal bersama orang tuanya, namun kini sudah memiliki rumah
sendiri sebagai hasil dari kerja suaminya menjadi TKI di Malaysia.
Suaminya mengirimi uang antara 2-3 bulan sekali, ada pun jumlahnya dalam

sekali pengiriman adalah 2-3 juta rupiah. Suaminya pernah mengirimi uang lebih
dari tiga juta rupiah, yakni ketika suaminya menang arisan di Malaysia namun itu
hanya sesekali saja. Karena menurut Ibu Hartini uang yang dikirimi suaminya
dirasa belum cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari, maka Ia bekerja
sebagai buruh tani. Sama halnya dengan Ibu Nuriah, sistem kerja Ibu Hartini
sebagai buruh tani sangat tergantung panggilan pemilik lahan, dan mengenai upah
yang diperoleh pun sama halnya dengan Ibu Nuriah.
Sumber : Data Primer, 2016
Secara praksis dapat diamati bahwa etos kerja yang tinggi berada pada kelompok
perempuan keluarga migran yang tidak sejahtera. Terlihat dari jenis pekerjaan yang
digeluti perempuan keluarga migran tidak sejahtera rata-rata berpenghasilan harian. Hal
ini di dorong adanya kebutuhan sehari-hari yang belum bisa dipenuhi. Selain itu tidak
banyaknya sektor pertanian yang mampu menampung mereka kemudian menempatkan
mereka pada sektor pekerja non pertanian, salah satunya dengan pemecah batu. Secara
rasional pekerjaan ini dinilai lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan dari pada harus
menunggu remitan dari suami. Seperti dalam wawancara dengan Ibu Mariani (35), sebagai
berikut :
“Saya punya 2 anak dan masih usia sekolah semua. Sedangkan uang kiriman
suami saya sekitar 1-2juta, itupun pertiga bulan. Itu tidak cukup,karena
mertua juga minta jatah makanya saya bekerja untuk menggali batu apung dan
saya jual batunya. Penghasilannya lu mayan lah karena itu tanah sendiri juga”
Kata Ibu Mariani (Wawancara Januari,2016).
Sama halnya dengan Ibu Nuriah (47), seorang buruh tani yang merasa bahwa remitan suami
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga membuatnya harus bekerja
lagi. Seperti yang dipaparkan sebagai berikut :
“Anak saya 2, yang satu sudah bekerja. Disini kan saya tinggal berdua sama
Lia anak saya usianya baru 13 tahun. Suami kalau kasih kiriman ya nggak
mesti kadang tiga bulan sekali kadang lebih dari itu. Jadi tidak bisa
diandalkan, itu sebabnya saya cari kerja lagi untuk menutup kebutuhan
sehari-hari jadi buruh tani.” Ibu Nuriah (Wawancara November,2015).

Selain faktor kebutuhan hidup sehari-hari, perempuan Desa Jenggik ini melakukan
aktivitas produktif dengan bekerja tambahan di sekitar lingkungan tempat tinggal. Selain
alasan jarak, perempuan ini juga mengamini adanya nilai agama Islam bahwa seorang
perempuan sebaiknya beraktivitas di rumah atau sekitar lingkungan rumah. Kondisi ini

terlihat saat observasi wilayah dimana masyarakatnya begitu menjunjung tinggi nilai-nilai
islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
III.3 Mengelola Aset, Membangun Kesejahteraan Keluarga
Pengelolaan dan pemeliharaan aset yang dimiliki oleh perempuan (istri) yang baik
dapat ‘memperpanjang daur hidup’ keluarganya. Perempuan memiliki kapasitas dalam
pengelolaan ‘sumber aset’ keluarga termasuk finansial (dana). Perempuan melalui
berbagai upaya aktivitas produktif baik dengan bekerja mencari nafkah tambahan bagi
keluarga juga bergabung dengan kegiatan sosial seperti kelompok pengajian (mualimat)
yang memungkinkan perempuan mempererat relasi sosial. Dalam hal ini, ada mekanisme
lain yang sebenarnya menjadi solusi ekonomi bagi keluarga migran adalah adanya arisan
yang diikuti oleh suami di lokasi bekerja. Seperti yang dialami oleh Ibu Hartini (50)
sebagai berikut:
“Suami saya tidak rutin kalau mengirim. Kadang 2 atau 3 bulan
sekali sebanyak 2-3 juta. Itupun tidak pasti karena juga untuk hidup
suami disana. Kadang terbantu dengan uang arisan suami. Karena
suami ikut arisan di lokasi dan kalau pernah kirim lebih dari 3 juta”
Tutur Ibu Hartini (Wawancara Januari, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut maka diperoleh beberapa jenis modal yang dimiliki
oleh perempuan keluarga migran sebagai berikut:

Tabel 3. Pemilikan Modal/Aset Keluarga Migran
Jenis Modal/Aset
Modal Sumberdaya Alam
(Natural Capital)

Modal Fisik (Physical Capital)












Modal Manusia (Human
Capital)
Modal Finansial (Financial
Capital and Subtitutes)






Modal Sosial (Social Capital)





Keluarga
Sejahtera
Tidak sejahtera
Rumah permanen milik ▪ Rumah permanen milik
sendiri
sendiri
Toko (pakaian, sembako)
▪ Tanah pekarangan 10 are:
Sawah (dengan 2,5 ton padi
tanah tambang batu apung’
▪ Hewan ternak
untuk 1x panen)
Tanah pekarangan
Fasilitas penyaluran air bersih rumah tangga oleh desa
Jalan aspal sepanjang 1,9 km oleh desa
Jumlah gedung sekolah (TK-SMA) : 15 unit
Fasilitas kesehatan: Poskesdes dan Polindes
Pasar tradisional di desa sejumlah 1 unit
Jumlah Musholla di desa ada 20 unit dan Masjid sejumlah 6
desa
SMP (MTS)
▪ Tamat SD
SMA
▪ Tamat SMP
Tabungan pribadi
▪ Kendaraan pribadi (motor)
Koperasi ADMI (Tabungan ▪ Tidak ada
Bumi Raya)
simpanan/tabungan
Kendaraan pribadi (motor)
Kelompok pengrajin
▪ Kelompok pengajian ibu-ibu
Kelompok pengajian ibu-ibu
(Mualimat)
(Mualimat)
▪ Hubungan kekerabatan

Sumber: Penelitian,2015
Dari tabel di atas memberikan gambaran umum tentang kepemilikan modal/aset yang
dimiliki oleh perempuan (istri) keluarga migran. Perbedaan mendasar ada pada
kepemilikan modal natural (SDA), modal manusia dan finansial. Adanya keterbatasan
ketiga modal ini pada kategori keluarga tidak sejahtera menjadikan perempuan ini
melakukan beragam strategi mendayagunakan modal dan akses terbatas ini untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan di luar sektor pertanian dan mengandalkan
tenaga fisik dengan bayaran murah tetap menjadi pilihan atau alternatif bagi perempuan
ini sehingga mampu ‘menyelamatkan dapur’ keluarga.
Pencermatan lainnya dari karakteristik keluarga migran sejahtera dan yang tidak
sejahtera ada pada perbedaan dari sisi rutinitas pengiriman uang. Keluarga migran
sejahtera memperlihatkan rutinitas pengiriman uang yang dilakukan suami berlangsung
setiap bulan. Sedangkan bagi keluarga yang tidak sejahtera pada dasarnya rutin, namun
tergolong dalam jangka yang cukup lama antara kiriman satu dengan kiriman berikutnya,
yakni sekitar sekali dalam tiga bulan.

Rutinitas kiriman dan jumlah yang dikirim sangat memengaruhi perubahan kualitas
hidup dan etos kerja para istri keluarga migran yang berada di daerah asal. Perubahan
kualitas hidup terlihat dari hasil yang diperoleh, misalnya Ibu Marni dan Sumiati. Ibu
Marni dalam waktu empat tahun suaminya bekerja menjadi BMI, dengan kiriman yang
rutin di setiap bulannya Ia mampu mendirikan sebuah toko pakaian dan sembako sebagai
usahanya. Sedangkan Ibu Sumiati dalam waktu sembilan tahun suaminya bekerja dengan
kiriman yang rutin di setiap bulannya, Ia bisa membeli rumah, beberapa lahan persawahan
dan juga tanah. Dari hasil yang diperoleh tersebut, mereka cukup mengolah dan
mengembangkan usaha yang ada, sehingga jika suatu waktu suami mereka berhenti
menjadi BMI, mereka tetap bisa mendapatkan pendapatan untuk dapat mencukupi
kebutuhan hidup mereka.
Lain halnya dengan mereka para istri BMI yang kiriman uangnya tidak rutin atau
jenjang waktu pengirimannya cukup lama dari suami. Kiriman yang datangnya sekali
dalam tiga bulan, membuat para istri harus bekerja produktif untuk mengisi kekosongan
pendapatan sampai kiriman dari suami datang. Karena tingkat pendidikan para istri migran
yang rendah, akhirnya sektor pekerjaan yang bisa mereka dapatkan sangat terbatas, seperti
buruh tani atau pun penggali batu apung.

IV.

KESIMPULAN
Keterlibatan perempuan dalam pencarian nafkah bagi keluarga sebenarnya

merupakan salah satu bentuk ‘tekanan’ dari adanya peran domestik perempuan berupa
tanggung jawab untuk mengelola ‘sumber daya keluarga’ yang berimplikasi pada
kesejahteraan keluarga. Meskipun suami secara normatif di beri beban mencari nafkah atau
sumber nafkah utama bagi keluarga, perempuan secara praktik dalam keluarga memegang
tanggung jawab penuh atas terpenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarga termasuk upaya
perempuan dalam ‘penyelamatan’ dari kondisi kemiskinan.
Potret dari kehidupan keluarga pekerja migran khususnya peran ekonomi perempuan
dalam riset ini menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) karakteristik keluarga pekerja migran
yang berimplikasi pada perbedaan ‘peran ekonomi’ perempuan. Meski tujuan akhir dari
peran ekonomi tersebut ada pada cita-cita kesejahteraan keluarga. Etos kerja yang dimiliki
perempuan keluarga migran sejahtera terlihat tidak begitu besar dibanding dengan keluarga

tidak sejahtera. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penerimaan remitan dan juga kebutuhan
hidup. Perempuan keluarga migran sejahtera cenderung mengeloa aset yang dimiliki seperti
toko dan sawah. Sedangkan bagi perempuan keluarga tidak sejahtera memiliki pekerjaan
sampingan di sektor jasa yakni penggali batu apung dan buruh tani untuk menutup
kebutuhan hidup.
Strategi penghidupan yang dimunculkan oleh para perempuan (istri) yang
ditinggalkan oleh suami mereka menjadi BMI merupakan konsekuensi dari pilihan
pengambilan keputusan dalam keluarga. Harapan akan penghasilan keluarga yang memadai
khususnya bagi keluarga migran kategori tidak sejahtera menjadi sebuah ‘janji surga’ yang
menjadikan perempuan (istri) mendayagunakan sumber daya atau aset dan akses yang
terbatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi sama juga terjadi pada kategori
keluarga sejahtera tetapi pada bentuk aktivitas berbeda yaitu mereka bekerja atau melakukan
aktivitas produktif dalam rangka memelihara dan meningkatkan aset keluarga. Dengan
demikian, kepemilikan aset dan penghidupan keluarga migran tersebut dapat mempengaruhi
strategi perempuan dalam menjawab permasalahan keluarga khususnya kebutuhan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah dan Baiquni.Strategi Penghidupan Masyarakat Pasca Bencana Alam Gempa Bumi
30September 2009 di Kota Padang (Studi Kasus Kelurahan Kampung Pondok dan
Kelurahan Purus, Kecamatan Padang Barat).diunduh melalui www.lib.geo.ugm.ac.id
Agustus 2014.
Elisa, Siti Nur.2015. Etos Kerja dan Kontribusi Ekonomi Perempuan Penambang Pasir di
Kaligarang Semarang. diunduh melalui www.lib.unnes.ac.id April 2016.
Haris, Abdul. 2002. Memburu Ringgit, Membagi Kemiskinan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Mubyarto,dkk.1991.Etos Kerja dan Kohesi Sosial.Yogyakarta: Penerbit Aditya Media.
Mahmud, Muh Arba’in.2015. Gender dan Kehutanan Masyarakat (Kajian Implementasi
Pengarus-Utamaan Gender di Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan). Yogyakarta :
Deepublish.
Makinuddin.2005.Mengurai Kemiskinan, Dimana Perempuan? Dalam Jurnal Perempuan
Edisi 42, Jakarta.

Permana,Estya.2014.Pengaruh Keberadaan Taman Nasional Gunung Merapi terhadap
Strategi Nafkah Masyarakat Desa Hargobinangun.Makalah kolokium.
Puspitasari, Dewi Cahyani,dkk.2014.Strategi Penghidupan Berkelanjutan (Studi Pada
Masyarakat di Lokasi Rawan Bencana Gunung Merapi). Laporan Penelitian,
FISIPOL,UGM.
Widiyanto.2010. Sistem Penghidupan