Cengkeram Mesin Anti Politik dan Depolit

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

199

RESENSI BUKU (1)

Cengkeram Mesin
Anti-Politik dan
Depolitisasi
Pembangunan
ARIF NOVIANTO
Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik, Fisipol UGM

Review Buku: The Anti-politics machine: "Development," De-politicization,
and Bureaucratic Power in Lesotho. JAMES FERGUSON. Cambridge and
New York: Cambridge University Press, 1997 (Fourth Printing). xvi + 320
pp., maps, tables, figures, notes, references, index.

uku James Ferguson “The Anti-Politics Machine: “Development,

B


Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho” merupakan
salah satu karya besar di penghujung abad ke-20 yang telah

menciptakan diskursus baru tentang depolitisasi “pembangunan” (menggunakan
tanda kutip pada seluruh isi buku tersebut untuk menunjukan sifat historis
terbentuknya pembangunan ini). Buku ini adalah hasil dari disertasi Ferguson
yang meneliti tentang kegagalan “proyek pembangunan pedesaan” Thaba-Tseka
di Lesotho pada rentang waktu tahun 1975 – 1984 yang didanai oleh Bank Dunia
dan CIDA (Canadian International Development Agency) (hal.09). Dalam buku
ini membedah peran aparat konseptual tentang bagaimana ide “pembangunan”
dalam prakteknya diciptakan, bagaimana mereka melakukannya, dan efek apa
yang akhirnya dihasilkan (hal.xvi).

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

200

Thesis Ferguson tentang proses depolitisasi dalam “pembangunan” telah
memberikan pisau analisa baru dan kemudian menginspirasi Ben Fine, Tania Li,

John Harris dan Toby Carrol. Proses depolitisasi “pembangunan” tersebut
menurut Ferguson dijalankan atau dibentuk oleh apa yang ia sebut sebagai “Mesin
Anti-politik”. Melalui kerja dari para “Mesin Anti-Politik” telah menciptakan
teknikalisasi kebijakan yang menyingkirkan aspek politik (depolitisasi) dalam
setiap masalah yang ada. Itulah yang membuat terjadinya kegagalan
“pembangunan” yang mengakibatkan terjadinya cengkeram perluasan birokrasi
atau kontrol politik dari pemerintah. Hal tersebut merupakan benang merah dari
buku James Ferguson ini. Untuk dapat membedah gagasan dan apa yang
ditawarkan Ferguson dalam buku ini, maka saya akan mulai dengan pertanyaanpertanyaan tentang apa itu mesin anti-politik? Siapa atau proses apa yang
melahirkannya? Bagaimana mesin itu bekerja dan apa mekanisme yang
digunakan? Mengapa ia menggunakan mekanisme tersebut? dan terakhir apa
implikasinya?
***** *** ****
“Mesin anti-politik” dalam perspektif Ferguson dilihat sebagai para aparat
pembangunan yang melakukan diagnosa dan membuat resep kebijakan terhadap
suatu masalah, dengan menghilangkan analisa politik walaupan masalah tersebut
sebenarnya adalah persoalan politik sekalipun. Dalam perspektif depolitisasi ini,
aparat "pembangunan" di Lesotho bukan mesin untuk menghilangkan kemiskinan,
akan tetapi adalah mesin untuk memperkuat dan memperluas penggunaan
kekuasaan negara yang birokratis, yang notabenya membutuhkan kemiskinan

sebagai titik masuk (hal. 255-256). Mereka lebih menekankan pada kapabilitas

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

201

masyarakat yang miskin daripada praktik-praktik pemiskinan satu kelompok oleh
kelompok lainnya, dengan “solusi teknis untuk masalah teknis”, bukan solusi
politik tentang alokasi sumberdaya yang setara.
Peran para “mesin anti-politik” di Lesotho dalam “proyek pembangunan
pedesaan” Thaba-Tsekha ini dijalankan oleh para aparat atau ahli pembangunan
dari Bank Dunia, CIDA dan pemerintah Lesotho. Mereka berupaya memberikan
resep-resep kebijakan untuk dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang
ada. Mereka melihat berbagai permasalahan yang dapat diatasi melalui
“pembangunan” dengan melakukan depolitisasi terlebih dahulu, yaitu seperti
permasalahan politik tentang lahan, sumberdaya, lapangan kerja, ataupun upah
direspon sekedar sebagai “permasalahan teknis” yang dapat diintervensi dengan
“pembanguan” (hal. 270). Teknikalisasi kebijakan tersebut pada akhirnya
cenderung mengarah pada kegagalan, namun adanya kegagalan malahan membuat
cengkeram aparat pembangunan menjadi semakin besar, karena kegagalan

dipandang sebagai keadaan dimana peran dan posisi dari mereka harus semakin
ditambah dan diperkuat.
Hal tersebut membuat “pembangunan” di Lesotho adalah salah satu jalan
untuk memperkuat kontrol politik negara terhadap daerah-daerah pegunungan di
distrik Thaba-Tsekha. Pemerintah dengan berbagai bantuan yang datang
melakukan

pembangunan

jalan,

sarana

kepemerintahan

dan

proyek

“pembangunan” pedesaan dengan semacam membuat distrik administratif baru di

Thaba-Tsekha yang sebelumnya tidak ada kehadiran kekuatan negara. Keadaan
tersebut membuat kekuasaan negara semakin kuat dalam kehidupan masyarakat,
ditambah dengan membentuk mesin-mesin pemerintahan lokal untuk melakukan

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

202

kontrol politik. Melalui kontrol politik itu, maka kemunculan oposisi dapat
diredam. Sehingga sebagaimana yang ditekankan oleh Ferguson, tidaklah penting
bagi “mesin anti-politik” apakah “pembangunan” itu berhasil atau gagal, yang
terpenting adalah menguatnya cengkeram kontrol politik pemerintah di tempattempat pembangunan tersebut dijalankan.
***** *** ****
Setelah mengetahui apa dan siapa “mesin anti-politik”, kemudian kita
sampai pada pertanyaan tentang bagaimana mesin itu bekerja? Dan apa
mekanisme yang digunakan?. Di bagian awal bukunya, Ferguson menjelaskan
gambaran umum tentang Lesotho dan lembaga donor. Dibagian awal ini juga
dipaparkan skema pengorganisasian Ferguson terhadap gagasan Foucault yang
menjadi pondasi argumennya yaitu tentang “kepengaturan” dan “wacana”.
Kepengaturan ini dilihat sebagai upaya pengarahan perilaku manusia dengan

serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa. Sedangkan “wacana”
sebagaimana yang diungkapkan oleh Foucault adalah praktek, tersetruktur dan
memiliki efek nyata yang lebih mendalam daripada sekedar “mistifikasi” (hal.
18).
Pijakan awal bekerjanya “mesin anti-politik” berdasarkan analisa
Ferguson dalam buku ini dimulai dengan problematisasi, yaitu langkah untuk
mencari berbagai kekurangan di Lesotho yang perlu dibenahi. Setelah didapat
wacana

problematisasi

tersebut

kemudian

dimunculkan

wacana-wacana

kepengaturan melalui berbagai resep-resep kebijakan yang telah disusun oleh para

aparat dan ahli pembangunan dari Bank Dunia, CIDA serta pemerintah Lesotho.

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

203

Upaya problematisasi ini dimulai dengan dokumen laporan Bank Dunia di
Lesotho yang berjudul “Lesotho: A Development Challenge” yang diterbitkan
pada tahun 1975, dan juga berisi proyek Thaba-Tseka yang didanai Bank Dunia
(hal. 30).
Problematisasi ini yaitu dengan cara melihat Lesotho masih terjebak pada
sistem ekonomi masyarakat tradisional, belum tersentuh dunia modern dan
Lesotho digambarkan sebagai “negara kurang berkembang” yang pembangunan
sosial dan ekonominya masih dalam tahap rendah. Selain itu dalam laporan Bank
Dunia tersebut, Lesotho direpresentasikan dalam wacana “pembangunan” sebagai
bangsa petani, bukan buruh upahan dan sebuah masyarakat yang tidak terbagi
dalam kelas-kelas sosial didalamnya (hal. 66). Problematisasi terhadap citra
Lesotho sebagai “negara kurang berkembang” tersebut, pada titik akhirnya
membuatnya butuh sentuhan kepengaturan pengembangan yang dilakukan oleh
Bank Dunia agar dapat menjadi negara modern nan maju melalui intervensi

program dan bantuan yang disusun oleh ahli-ahli pembangunan mereka.
***** *** ****
Wacana problematisasi digunakan sebagai pijakan awal adalah bagian dari
upaya untuk mendapatkan konsesus dari rakyat tentang apa yang kemudian akan
mereka lakukan. Tanpa adanya konsesus maka akan menimbulkan penolakan
besar-besaran, karena para aparat dan ahli pembangunan akan menjadi tak
memiliki legitimasi yang kuat. Itulah mengapa sebagaimana diperlihatkan oleh
Ferguson bahwa dinamika bercokolnya “mesin anti-politik” dimulai dengan
pertarungan wacana. Bank Dunia bergerak dalam medan pertarungan wacana ini

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

204

dimulai dari tataran teks melalui berbagai laporannya sebagaimana yang
dijelaskan diatas. Mereka kemudian menghasilkan wacana pembangunan mereka
sendiri dan wacana pembangunan ini menciptakan struktur pengetahuan disekitar
objek problematisasi (hal. xiv).
Dalam “pembangunan” hal yang terpenting menurut Ferguson adalah
bagaimana objek “pembangunan” (yang sebelumnya telah diproblematisasi)

tersebut didefinisikan. Pendefinisian yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap
Lesotho dilihat Ferguson mengesampingkan realitas politik dan struktural yang
menunjukan kemiskinan di Lesotho (hal. 73). Depolitisasi terhadap problematisasi
realitas sosial yang ada di Lesotho membuat wacana kepengaturan yang
dikembangkan oleh Bank Dunia terjebak pada tataran teknis yang seolah-olah
netral. Artinya diagnosa yang tidak lengkap karena mengabaikan kesenjangan
ekonomi-politik tersebut menjadikan “pembangunan” tak mampu menciptakan
pemakmuran bagi masyarakat.
“Mesin anti-politik” ini menciptakan depolitisasi terhadap apa saja yang
disentuhnya dengan mengeluarkan realitas politik dari pandangannya, sambil
melakukan kepengaturan yang tanpa disadari, hingga operasi politiknya
memperluas kekuasaan birokrasi negara (hal. xv). Itu artinya mekanisme yang
dilakukan oleh “mesin anti-politik” adalah melalui pertarungan wacana
problematisasi hingga akhirnya mendapatkan legitimasi terhadap resep-resep
kepengaturan yang akan mereka lakukan. Mekanisme ini digunakan untuk
mendapatkan konsesus dari rakyat, sehingga akan memuluskan tindakan
kepengaturan. Kemudian disanalah yang membuat munculnya wacana kepakaran
atau keahlian yang dimiliki oleh para “mesin anti-politik”, karena mereka

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015


205

menganggap diri mereka mengetahui resep-resep kebijakan dengan dosis tertentu
kepada masyarakat dengan menempatkan masyarakat ini sebagai objek yang
dapat diisi apa saja semau mereka. Penolakan dari rakyat kemudian dimaknai
sebagai ketidaktahuan rakyat terhadap niat baik pemerintah dan lembaga donor
serta keahlian dari “mesin anti-politik” dalam mengatasi setiap masalah yang ada.
***** *** ****
Implikasi yang terjadi dari proses panjang kerja “mesin anti-politik” dalam
proyek Thaba-Tsekha di Lesotho dijelaskan Ferguson dalam bab 3 dan bab 4
bukunya. Ferguson memberikan pembacaan dengan pendekatan antropologi yang
dihilangkan (sengaja) dalam analisa Bank Dunia. Realitas masyarakat Bashoto
(penduduk asli Afrika bagian selatan) yang tak memiliki pantai dan dalam
sejarahnya lahan-lahan subur mereka direbut negara Afrika Selatan serta harus
tinggal di daerah-daerah pegunungan tinggi di Lesotho membuat mereka kesulitan
mencari pekerjaan tetap. Sebagian besar mata pencahariannya kemudian adalah
sebagai buruh pertambangan di Afrika Selatan. Mereka menggunakan ternak
seperti sapi sebagai investasi pensiun ketika para lelaki tidak lagi bekerja sebagai
buruh pertambangan dan sebagai saham rumah tangga untuk menjaga mereka

tetap terlibat dalam jaringan lokal. Namun realitas tersebut dihilangkan dalam
diagnosa problematisasi yang dilakukan oleh para “mesin anti-politik”. Ferguson
kemudian menyebutnya sebagai “Bovine Mystique”.
Masyarakat Bashoto menolak menjual ternak mereka karena tabungan
pensiun, sikap non-komersial dan anti-pasar terhadap ternak adalah sistem
ekonomi lokal yang berakar dalam pergulatan panjang keadaan mereka yang

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

206

bekerja sebagai buruh migran (hal. 179). Artinya pola ternak di Lesotho (terutama
distrik Thaba-Tseka) sepenuhnya terkait dengan sistem upah tenaga kerja buruh
migran modern. Namun para “mesin anti-politik” dirasionalisasikan dengan
memberikan solusi proyek pembangunan pedesaan Thaba-Tseka yaitu untuk
memperkenalkan pada idiologi pasar, memberikan sapi keturunan yang “superior”
(sapi keturunan barat dan tak tahan musim kering) dan privatisasi padang rumput
yang sebelumnya digunakan dengan pola komunal oleh masyarakat penduduk
desa (hal. 169 – 193). Dalam proyek ini juga memperkenalkan varietas tanaman
yang sangat tergantung dengan bahan kimia. Itu artinya Bank Dunia, CIDA dan
pemerintah Lesotho melakukan pembacaan yang salah dengan melihat masyarakat
Lesotho terisolasi, stagnan, serta melihat ternak sapi sebagai pertanian bukan
sebagai investasi pensiun dan mendesakan varietas tanaman yang tak sesuai
dengan keadaan geografis serta relasi ekonomi-politik penduduk Leshoto.
Akibat dari diagnosa yang salah yang dilakukan dan dirumuskan oleh para
“mesin anti-politik” dalam “proyek pembangunan pedesaan” Thaba-Tseka ini
telah membuat kegagalan “pembangunan” tersebut. Dihilangkannya analisa
politik

dalam

problematisasi

yang

dilakukan

telah

membuat

tindakan

kepengaturan yang dilakukan menjadi tak menyentuh akar permasalahan.
Problematisasi tentang wacana kemiskinan dengan analisis seperti tersebut,
merupakan titik masuk untuk kepentingan kekuasaan negara dan lembaga donor
dengan menciptakan depolitisasi terhadap semua masalah.
Kegagalan dalam setiap proyek “pembangunan” yang terjadi telah
membuat intervensi teknis para aparat dan ahli pembangunan merajalela. Itu
karena kegagalan untuk mencapai tujuan dari program “pembangunan” dipandang

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

207

sebagai bukti lanjutan perlunya perluasan kekuasaan para ahli” untuk terus
menyusun program-program baru. Itulah inti karya Ferguson ini dengan melihat
“pembangunan” sebagai jalan untuk menciptakan atau menguatkan kotrol
penguasa dengan melakukan depolitisasi serta memfasilitasi kekuasaan para
kapitalis. Sehingga tidak menjadi persoalan apakah pembangunan itu gagal atau
berhasil, yang terpenting bagi “mesin anti-politik” adalah

berjalannya

pembangunan itu sendiri.
***** *** ****
Studi kritis “pembangunan” yang dilakukan oleh Ferguson ini memberikan
kontribusi cukup besar dalam melihat wacana-wacana dan praktek pembangunan
di negara dunia ketiga seperti Indonesia ini. Dengan idiologi neoliberal yang
digunakan oleh para “mesin anti-politik”, maka menekankan pada teknikalisasi
kebijakan atau depolitisasi setiap pemasalahan. Hal tersebut kemudian
menginspirasi seperti Tania Li dan Carrol dalam melihat wacana-wacana yang
diciptakan oleh lembaga-lembaga donor serta melihat proyek pembangunan di
Indonesia dengan mekanisme yang sedikit berbeda namun dengan idiologi yang
sama. Di Indonesia, cengkeram dari penyesuaian struktural dan resep-resep
kebijakan “pembangunan” dari Bank Dunia dan IMF telah terjadi semenjak era
Orde Baru dan semakin menguat setelah krisis ekonomi 1997-1998 dan paskareformasi menggunakan pisau analisa Ferguson merupakan kepanjangan tangan
dari “mesin anti-politik” dengan idiologi neoliberalnya sebagaimana yang terjadi
pada proyek Thaba-Tsekha di Lesotho.

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

208

Wacana problematisasi dominan untuk perluasan kekuasan para ahli
pembangunan seperti tentang Good Governance yang dipromosikan oleh Bank
Dunia ke negara-negara dunia ke-tiga, telah membuatnya menjadi pegangan wajib
dari policy makers, birokrat dan disemikan kepada para akademisi melalui konsep
New

Public

Management,

Market-based

Public

Administration,

dan

Entrepreneurial Government di kampus-kampus. Melalui Good Governance

(wacana Pasca-Konsesus Washington) ini mempromosikan bentuk baru dari tata
kelola pembangunan neoliberal dengan berbasis kelembagaan, atau sering disebut
sebagai socio-institutional neoliberalism

(SIN) atau disebut neoliberalisme

kelembagaan sosial, yang keduanya merupakan setumpuk

resep

serta

seperangkat metode dan mekanisme untuk membentuk medan politik di dunia
terbelakang

kearah penegakan dan kelangsungan masyarakat liberal (Carrol,

2009). Pengenalan dan pencekokan masyarakat dengan idiologi-idiologi pasar
liberal di Indonesia salah satunya melalui pintu Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) yang didanai dari hutang kepada Bank Dunia, sebuah proyek
pembangunan untuk menggalang kewirausahaan melalui modal sosial (Li, 2006).
Dari pemaparan pendek diatas dapat dilihat bahwa proyek “pembangunan”
sebagai upaya pemakmuran masyarakat tidaklah bebas nilai. Masyarakat yang
hendak dibangun bukanlah entitas yang kosong yang dapat diisi apa saja, mereka
memiliki nilai-nilai yang terbentuk sebelumnya dan keinginan serta kehendak
untuk memperbaiki kehidupannya. Begitupula pemerintah, lembaga donor
ataupun LSM yang hendak membangun tidaklah terbebas dari berbagai
kepentingan. Adanya berbagai kepentingan dari tiap-tiap kelompok yang bertemu
tersebut membuatnya saling berbenturan bahkan dapat saling menegasikan.

SULUH PERGERAKAN Vol.1 Desember 2015

209

Kelompok yang kuat pada akhirnya dapat memaksakan kepentingannya kepada
kelompok yang lebih lemah.
“Pembangunan” yang tidak bebas nilai ini, dipenuhi dengan pertarungan
kepentingan dari berbagai kelompok yang ingin mencari kekuasaan dengan
menghilangkan analisa ekonomi-politik terhadap problematika dalam masyarakat.
Wacana dan kepengaturan sebagaimana yang dilakukan oleh Bank Dunia di
Lesotho tersebutlah yang sekarang juga dijalankan dinegara-negara dunia ketiga
lainnya dengan melibatkan lembaga-lembaga yang begitu beragam. Mereka
berupaya untuk terus menguatkan cengkeram mereka dengan melakukan
depolitisasi dan menyuntikan idiologi pasar liberal kepada masyarakat.
James Ferguson di bagian akhir karyanya ini dengan pertanyaan “what is
to be done?” menawarkan perjuangan “kontra-hegemonik” dari masyarakat yang
tertindas untuk menentang wacana dan para mesin anti-politik dalam
“pembangunan”. Melalui “kontra-hegemoni” ini, sebagaimana juga ditekankan
oleh John Harris (2002), maka masyarakat dan para ahli pembangunan harus
menggunakan analisa politik dalam setiap proses “pembangunan”. Artinya analisa
tentang kelas sosial di masyarakat dengan pendekatan ekonomi-politik menjadi
penting didalam “kontra-hegemoni” ini. Sehingga melalui “kontra-hegemoni”
dalam “pembangunan” ini dapat dikatakan bahwa tujuan akhirnya adalah untuk
menciptakan masyarakat tanpa kelas, karena melalui langkah tersebutlah upaya
pemakmuran dalam setiap “pembangunan” menjadi sangat mungkin.