KAYU SEBAGAI BAHAN KONTRUKSI BANGUNAN D4

KAYU SEBAGAI BAHAN KONTRUKSI BANGUNAN
DOSEN PEMBIMBING : Heny Kusumayanti ST,MT

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 10 :
1. Indah Yuniarti
2. M. Ravi Bachtiar S
3. Sekhar Bella F

(40040117640023)
(40040117640029)
(40040117640044)

D4-TEKNOLOGI REKAYASA KIMIA INDUSTRI
SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2017
Kata Pengantar
1

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,

dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang kayu
bahan kontruksi bangunan.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang kayu bahan kontruksi
bangunan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Semarang, 5 Desember 2017

Daftar Isi
2

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………………..….........4
1.1 Latar Belakang..…………….……………………….........................................................4

1.2 Rumusan Masalah…………………..…….…………………………………………........6
1.3 Tujuan Penulisan…………………………..………….……………………………..…....6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA……...….……………….………………………………….....………....7
2.1 Pengertian Kayu………………………..……………….………….…………………….7
2.2 Struktur Anatomi Kayu……………....………….………….………..…………………..7
2.3 Sifat Sifat Kayu…….………...…………………………..…………………..…………..7
2.4 Pengolahan Kayu …………….……..…………………..…………………………........11
BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………….…………........16
3.1 Kesimpulan.……………...……………………………………………...……………….16
DAFTAR PUSTAKA………………..…………………………………………..………...........17

BAB I
3

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber daya hutan memegang peranan penting dalam menopang dan menyediakan

kebutuhan substansial bagi masyarakat luas (Labetubun et al. 2005). Pengelolaan
sumberdaya hutan secara lestari dengan tujuan pemanfaatan yang tepat menuntut pola
manajemen yang komprehensif dan berimbang. Apalagi bila mempertimbangkan trend
peningkatan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat (Crossette et
al. 2010).
Menurut FAO 2011, kebijakan sektor pembangunan berkelanjutan dan upaya
peningkatan taraf kualitas hidup masyarakat dunia saat ini terus mengalami eskalasi baik
pada tingkat lokal, regional, nasional bahkan inter-kontinental. Oleh karena itu ketersediaan
sumberdaya alam yang ada termasuk hutan menjadi salah satu modal utama yang perlu
dimanfaatkan secara bijaksana dan dikelola secara proporsional sebagai kunci penting
untuk mengoptimalkan tingkat pemenuhan kebutuhan yang berimbang.
Dalam keseharian proses kehidupan, sulit bagi kita untuk memisahkan kayu sebagai
suatu material yang sangat dibutuhkan. Secara kumulatif, kayu telah menjadi primadona
dan alternatif pilihan utama yang tidak tergantikan sejak masa lampau hingga kini (Hoadlay
1990). Kayu dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan mulai dari sebagai bahan
baku konstruksi bangunan dan perumahan, papan komposit, meubel, furniture dan
kerajinan, pulp dan kertas, hingga kayu bakar. Eksistensi ini sangat rasional karena kayu
memiliki sifat yang tidak mampu disaingi oleh material lain dalam memenuhi berbagai
kebutuhan hidup manusia. Salah satu sifat yang paling menonjol dan memiliki nilai
kontinuitas dalam pemanfaatan kayu adalah karena kayu bersifat renewable dimana

ketersediaan dan trend keberlanjutannya dapat dikontrol dan dikendalikan melalui beberapa
aplikasi dan tindakan manajerial (Forest Product Laboratory 2010). Berangkat dari
keunggulan-keunggulan tersebut, maka sudah jelas bahwa kayu menjadi salah satu material
penting yang tidak tergantikan dalam hubungannya dengan berbagai macam bentuk
pemanfaatannya.
4

Namun, secara eksplisit kayu juga memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi baik
pada level spesies, antar spesies hingga antar genus dalam satu divisi tumbuhan, dan bahkan
dalam satu batang pohon, yang seringkali dianggap sebagai kelemahannya (Zobel dan
Buijtenen 1989). Variasi-variasi tersebut tidak hanya dari segi taksonomis dimana dikenal
dua kelompok kayu yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarum (softwood)
yang secara morfologis berbeda, namun juga secara fisiologis dan anatomis. Bahkan
perbedaan secara anatomis merupakan perbedaan yang krusial (Barnett dan Jeronimidis
2003). Selain pengaruh taksonomis, variasi perbedaan kondisi altitude, ketinggian tempat,
iklim dan serta lingkungan tempat tumbuh juga turut memberikan sumbangsih yang
signifikan terhadap terbentuknya variasi sifat, struktur serta komponen penyusun material
berkayu (Bosoi et al. 2010). Itulah mengapa penggunaan dan juga pengolahan kayu harus
disesuaikan dengan sifat-sifat yang dimilikinya.
Di tanah air pengembangan industri perkayuan terus dilakukan oleh pemerintah

mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara meski paradigma
kehutanan mulai bergeser dari kayu ke hasil hutan bukan kayu. Namun dalam beberapa
tahun terakhir ini laju perkembangan industri tersebut terasa agak terhambat atau bahkan
stagnan terkait dengan berbagai masalah yang dihadapi. Salah satu permasalahan utama
yang dihadapi adalah masalah kelangkaan kayu sebagai bahan baku. Tercatat bahwa
kekurangan bahan baku kayu berkualitas mencapai 70% untuk jati (Sidabutar 2007) dan
hampir 90% untuk jenis lainnya (Laban 2005). Diperkirakan masalah ini masih akan
dihadapi untuk beberapa tahun ke depan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, sejak tahun 1980 pemerintah mendorong
pembangunan hutan tanaman secara besar-besaran. Meski masih banyak hal-hal yang perlu
dibenahi, di masa kini dan masa mendatang diyakini bahwa kayu-kayu hasil hutan tanaman
baik itu hutan tanaman industri (HTI), hutan rakyat, hutan kemasyaratan dan lain
sebagainya akan menjadi bahan baku utama bagi industri perkayuan tanah air. Mengingat
sifat dan karakteristik kayu-kayu hasil hutan tanaman secara umum relatif inferior
dibandingkan dengan karakteristik kayu-kayu yang selama ini digunakan, terutama dari segi
kekuatan, keawetan dan kestabilan dimensi karena berasal dari jenis pohon cepat tumbuh
dan biasa ditebang pada usia muda, maka penggunaan kayu-kayu yang demikian menuntut
5

perlakuan khusus. Teknologi peningkatan mutu terhadap kayu-kayu yang demikian perlu

dikembangkan tidak hanya dalam rangka menjamin kualitas produk yang akan dihasilkan,
namun juga bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi di bidang teknologi
pengolahan kayu serta pertumbuhan ekonomi bangsa dan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian kayu?
1.2.2 Bagaimana struktur dari kayu?
1.2.3 Bagaimana sifat kayu?
1.2.4 Bagaimana keawetan pada kayu?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Untuk mengulas hubungan antara struktur anatomi kayu dengan sifat kayu.
1.3.2
Mengetahui pengertian kayu.
1.3.3
Mengetahui kegunaan dan pengolaha kayu secara tepat dan proporsional.
1.3.4
Mengetahui cara mengawetkan kayu.
1.3.5
Mengetahui sifat kayu.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

6

2.1 Pengertian Kayu
Menurut Ryan Ginanjar, kayu merupakan bahan produk alam,hutan. Kayu
merupakan bahan bangunan yang banyak disukai orang atas pertimbangan tampilan
maupun kekuatan. Dari aspek kekuatan, kayu cukup kuat dan kaku walaupun bahan kayu
tidak sepadat bahan baja atau beton. Kayu mudah dikerjakan – disambung dengan alat
relatif sederhana. Bahan kayu merupakan bahan yang dapat didaur ulang. Karena dari
bahan alami, kayu merupakan bahan bangunan ramah lingkungan.
Kayu termasuk produk organisme hidup, oleh karena itu kayu mempunyai sifat-sifat
alami yang sangat unik dan setiap jenis kayu mempunyai penampilan yang karakteristik.
Sifat-sifat kayu yang unik itu inherent dalam struktur anatomi sel-sel penyusunnya (Bodig
dan Jayne 1982; Haygreen dan Bowyer 1986). Dalam ilmu kayu, kayu tersusun atas
beberapa bagian utama yaitu selulosa dan lignin.
2.2 Struktur Anatomi Kayu dan Hubungannya dengan Sifat Kayu
Struktur anatomi kayu meliputi bentuk, ukuran, sifat, fungsi, proporsi dan susunan
dari sel-sel penyusun kayu, sedangkan sifat kayu tak lain adalah ukuran kualitas atau

gambaran dari kayu itu sendiri secara keseluruhan. Oleh karena itu sifat kayu sangat
ditentukan dan bergantung pada struktur anatominya. Dengan kata lain, sifat kayu itu
melekat (inherent) di dalam struktur sel-sel penyusun kayu.
Berdasarkan cara pengamatannya Sarajar (1982); Bowyer et al. (2003) membedakan
struktur anatomi kayu atas: a) struktur makroskopis (macrostructure) yaitu struktur yang
dapat diamati dengan mata telanjang atau dengan kaca pembesar (10-15X), b) struktur
mikroskopis (microstructure) yaitu struktur kayu yang baru dapat diamati dengan jelas
menggunakan mikroskop cahaya (100-500X) dan c) struktur submikroskopis (ultrastructure), yaitu struktur kayu yang diamati dengan mikroskop elektron (1000-10.000X).
Dalam dunia perdagangan kayu, dikenal dua kelompok kayu yaitu kayu daun lebar
dan kayu daun jarum. Kayu daun lebar adalah kayu yang dihasilkan oleh pohon yang
termasuk subdivisi angiospermae-kelas dikotil, sedangkan kayu daun jarum adalah kayu-

7

kayu dari pohon anggota subdivisi gymnospermae-ordo koniferales. Itulah sebabnya kayu
daun jarum sering disebut juga kayu konifer.
Macam dan bentuk sel-sel penyusun kayu daun lebar lebih beragam dibandingkan
dengan kayu konifer, sehingga struktur kayu daun lebar sering disebut lebih kompleks
(heterogen) dibandingkan struktur kayu konifer yang sangat sederhana (Gambar 2). Struktur
kayu konifer hanya disusun oleh sel trakeida (90-95%) dan sel-sel parenkim termasuk jarijari kayu (5-10%), sedangkan struktur kayu daun lebar terdiri dari jaringan pembuluh (2040%), sel serabut (20-60%), sel parenkim aksial (0-15%), sel jari-jari (5-25%) dan sel-sel

trakeida (0-10%) (Bowyer et al. 2003).
Berdasarkan hubungannya dengan kekuatan kayu, sifat kayu dapat dibedakan atas
sifat kasar, yaitu sifat yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan kekuatan kayu,
dan sifat struktural (yang tak lain adalah struktur kayu itu sendiri) yang secara langsung
akan menentukan kekuatan dan sifat-sifat kayu lainnya. Sifat kasar bersifat subjektif,
sedangkan sifat struktural bersifat objektif. Sifat kasar harus diamati pada ketiga bidang
pengamatan, yaitu lintang (tegak lurus sumbu batang), tangensial (memotong tegak lurus
salah satu jari-jari kayu dan sejajar sumbu batang) dan radial (sejajar dengan jari-jari kayu
dan sejajar pula dengan sumbu batang) (Sarajar 1982).
Beberapa sifat kasar yang utama adalah warna, bau dan rasa, tekstur, arah serat,
corak, kesan raba dan kilap kayu. Warna kayu disebabkan oleh adanya pigmen tertentu,
sedangkan bau dan rasa kayu terkait dengan kandungan zat-zat ekstraktif yang mudah
menguap. Untuk beberapa jenis, keduanya bernilai tinggi untuk kegiatan identifikasi.
Tekstur kayu menyatakan halus-kasarnya permukaan kayu, yang ditentukan oleh besarkecilnya diameter sel-sel penyusun kayu (sel pembuluh untuk hardwood, sel trakeida untuk
konifer). Bila sel-sel tersebut berukuran kecil, kayu dikatakan bertekstur halus; dan bila selsel penyusun berukuran besar, katu dikatakan berserat kasar.
Menurut Sarajar (1982), halus-kasarnya permukaan kayu sangat berguna untuk
menentukan kecocokan suatu jenis untuk produk jadi yang dalam proses produksinya
menggunakan perekat dan bahan-bahan finishing. Kayu bertekstur halus memiliki sifat
keterekatan yang baik dan lebih hemat dalam penggunaan bahan-bahan finishing.
8


Arah serat berhubungan dengan orientasi longitudinal sel-sel dominan penyusun
kayu terhadap sumbu batang. Bila orientasi sel-sel tersebut sejajar terhadap sumbu batang,
kayu dikatakan berserat lurus; sebaliknya apabila orientasi sel-sel tersebut membentuk
sudut terhadap sumbu batang, maka kayu dikatakan berserat miring. Serat miring dapat
dibedakan atas serat berpadu, serat terpilin, serat berombak dan serat diagonal. Pada
umumnya kayu berserat lurus lebih diminati, meski untuk keperluan artistik kayu dengan
arah berpadu lebih banyak diminati (Tsoumis 1991).
Corak kayu terkait dengan kesan dekoratif yang ditampilkannya. Kayu yang
bercorak cocok untuk mebel, furniture, barang kerajinan dan produk lain yang lebih
mementingkan penampilan (appearance). Corak kayu ditentukan oleh keberadaan lingkaran
tumbuh dan jaringan parenkim marjinal, susunan pori, ripple mark pada sel jari-jari,
perbedaan warna antara kayu gubal dan teras, serta perbedaan kayu awal dan kayu akhir.
Kayu-kayu dengan lingkaran tumbuh yang jelas, atau berpori tata lingkar, atau memiliki
perbedaan warna yang tegas antara bagian gubal dan terasnya, atau kayu-kayu dengan
struktur kayu awal-kayu akhir yang nyata berpotensi untuk menghasilkan corak yang unik
dan khas. Corak kayu juga bergantung pada pola penggergajian yang diterapkan (Sarajar
1982; Tsoumis 1991; Bowyer et al. 2003).
Kesan raba juga terkait dengan zat ekstraktif kayu. Kayu yang berlilin seperti jati
menghasilkan kesan raba yang licin dan tidak lengket (Sarajar 1982), sedangkan kayu yang

berminyak menghasilkan kesan basah dan lengket (sticky). Kayu dengan nilai berat jenis
(BJ) tinggi memberikan kesan “dingin”, sedangkan kayu dengan BJ rendah “hangat”.
Kilap kayu merupakan kesan yang menunjukkan kemampuan permukaan kayu
untuk memantulkan cahaya. Secara umum, ada kayu yang berkilap dan ada juga yang
“buram”. Sebagaimana kesan raba, kilap kayu juga dipengaruhi oleh zat ekstraktif.
Umumnya kilap kayu di bidang radial lebih menarik dibandingkan di bidang tangensial.
Selain melalui sifat kasarnya, kayu juga dapat dianalisis melalui sifat anatomis, sifat
fisis, sifat mekanis dan sifat kimianya. Keempat sifat tersebut lebih dikenal dengan istilah
sifat-sifat dasar kayu, yang berbeda sama sekali dari sifat pengolahan dan sifat pengerjaan
9

(sifat pemesinan)-nya. Sifat dasar kayu dipengaruhi oleh faktor genetis, faktor lingkungan
(kondisi tempat tumbuh, iklim, kesuburan tanah dan perlakuan silvikultur) serta faktor
tingkat kedewasaan sel (Bowyer et al. 2003). Proses pengolahan kayu yang sudah biasa
dilakukan meliputi pengeringan, pengawetan dan peningkatan mutu kayu.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, sifat anatomis kayu tak lain adalah sifat yang
berhubungan dengan sel-sel penyusun kayu; sedangkan sifat fisis berhubungan dengan
respon kayu terhadap perubahan kelembaban udara (relative humidity/RH) dan suhu
lingkungan di sekitar kayu yang mempengaruhi wujud dan penampilan kayu. Sifat mekanis
kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan kayu dan merupakan ukuran
kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya, sedangkan sifat kimia
adalah sifat kayu yang dihubungkan dengan kandungan dan komposisi relatif senyawa
kimia penyusun dinding sel kayu terutama selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif dan
bahan anorganik lainnya (Bowyer et al. 2003).
Beberapa sifat yang tergolong sifat fisis penting adalah kadar air (KA), kerapatan
(ρ), BJ, kembang susut dan permeabilitas kayu, sedangkan sifat mekanis meliputi
keteguhan lentur statis (static bending strength), keteguhan tarik (tensile strength),
keteguhan tekan (compressive strength), keteguhan geser (shearing strength), kekakuan
(stiffness), keuletan (toughness), kekerasan (hardness) dan ketahanan belah (cleavage
resistance). Secara umum diketahui bahwa antara BJ kayu dengan sifat mekanis terutama
kekuatan kayu memiliki hubungan korelasi positif. Semakin tinggi BJ kayu, maka kayu
akan semakin kuat (Bowyer et al. 2003). Kayu ber-BJ tinggi cocok untuk tujuan memikul
beban (struktural).
Sifat fisis dan sifat mekanis kayu bergantung pada faktor inherent dalam kayu
terutama tebal-tipis dinding sel, porsi kayu akhir-kayu awal, persentase kayu gubal-kayu
teras, MFA dan proporsi masing-masing sel penyusun kayu. Nilai kerapatan dan BJ kayu
pada kayu-kayu dengan persentase bagian kayu akhir yang lebih tinggi atau yang
didominasi oleh sel-sel yang berdinding tebal akan lebih tinggi (kayu lebih kuat). Kayu
dengan MFA yang lebih kecil akan lebih stabil; kayu dengan porsi rongga sel yang lebih
banyak akan lebih permeabel. Kedua sifat tersebut (fisis-mekanis) juga bergantung pada
10

kandungan kimiawi dinding sel. Kayu yang lebih tinggi kadar ligninnya akan lebih kaku
sehingga lebih sulit untuk dibengkokan, sedangkan kayu yang lebih banyak zat
ekstraktifnya akan lebih kuat, umumnya lebih awet dan lebih stabil (kembang-susutnya
rendah).
Keempat sifat dasar kayu sebagaimana di atas juga berhubungan erat dengan sifat
pengolahan dan pengerjaannya. Kayu-kayu yang kurang permeabel pada umumnya sulit
untuk dikeringkan ataupun diawetkan. Kayu-kayu berBJ tinggi meski lebih sulit dalam
pengerjaannya menghasilkan permukaan yang lebih halus. Sebagaimana telah dijelaskan,
kayu dengan kadar ekstraktif tinggi pada umumnya lebih awet tetapi sulit untuk
dikeringkan.
2.3 Hubungan Struktur Anatomi Kayu dengan Pengolahannya
Kayu harus diolah sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Diantara ke-empat
sifat dasar kayu, sifat anatomi merupakan sifat yang sangat penting untuk diperhatikan
karena struktur anatomi sel-sel penyusun kayu sangat menentukan keberhasilan suatu
proses pengolahan yang diterapkan. Sehingga mendiskusikan proses pengolahan kayu tak
lepas dari mendiskusikan reaksi (behaviour) sel-sel penyusun kayu saat kayu tersebut
diolah (diistilahkan sifat pengolahan kayu).
Yang dimaksudkan dengan sifat pengolahan kayu dalam makalah ini adalah
behaviour kayu terhadap perlakuan yang diberikan selama proses berjalan dimana proses
pengolahan tersebut hanya melibatkan suhu (panas) dan bahan kimia. Sifat pengolahan
yang dimaksudkan tidak termasuk behaviour kayu saat kayu dijadikan pulp (pulping)
ataupun saat “dimakan” oleh mesin (gergaji dan sebagainya). Proses yang terakhir itu
dikelompokan dalam sifat pengerjaan kayu. Dengan demikian sifat pengolahan kayu yang
menjadi fokus pembahasan terdiri dari behaviour kayu saat dikeringkan (sifat pengeringan
kayu), saat diawetkan (sifat pengawetan kayu) serta saat diperlakukan dengan bahan kimia
tertentu untuk memperbaiki sifat-sifatnya tanpa mengakibatkan terjadinya pemisahan antar
serat (sifat peningkatan mutu kayu). Keberhasilan ketiga proses tersebut sangat dipengaruhi
oleh struktur anatomi kayu.

11

Pengeringan kayu adalah suatu proses menurunkan kadar air kayu hingga ke kadar
air pemakaian melalui teknik penumpukan yang benar, dengan atau tanpa pengaturan
faktor-faktor pengeringan untuk meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Pengeringan yang
tanpa mengatur suhu, RH dan kecepatan angin dikenal sebagai pengeringan alami
(pengeringan udara), sedangkan pengeringan yang mengatur faktor pengeringan tersebut
dan biasanya menggunakan jadwal pengeringan disebut pengeringan dengan kilang. Untuk
mengurangi biaya adalah lumrah bila kayu-kayu yang akan dikeringkan dalam kilang sudah
terlebih dahulu dikeringudarakan. Parameter keberhasilan suatu proses pengeringan adalah
waktu dan cacat pengeringan. Proses pengeringan kayu dikatakan berhasil apabila waktu
yang dibutuhkan tergolong singkat dengan cacat pengeringan yang minimal (Bowyer et al.
2003).
Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan pengawet (bahan kimia
yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu biologis) ke dalam kayu dengan dan tanpa
tekanan (dan vakum) agar kayu menjadi lebih tahan terhadap serangan berbagai faktor
perusak kayu (biologis dan non biologis) sehingga meningkatkan umur pakai kayu.
Keberhasilan proses pengawetan ditentukan oleh retensi (jumlah bahan pengawet yang
tertinggal di dalam kayu) dan penetrasi (dalamnya bahan pengawet masuk ke dalam kayu).
Semakin tinggi retensinya dan semakin dalam penetrasinya maka kayu akan semakin awet,
dan begitu pula sebaliknya. Pengawetan juga dikatakan berhasil apabila kekuatan kayu
setelah diawetkan tidak berkurang secara nyata (Bowyer et al. 2003).
Peningkatan mutu kayu adalah suatu perlakuan yang biasa diaplikasikan pada kayu
untuk memperbaiki sifat-sifat kayu sehingga mutu kayu secara keseluruhan menjadi lebih
baik. Teknik atau metode yang umum dilakukan terdiri dari: a) pemadatan/densification
(memadatkan kayu dengan bantuan panas dan tekanan), b) impregnasi (memasukkan bahan
kimia tertentu ke dalam kayu tanpa tekanan) dan c) kompregnasi (kombinasi antara
pemadatan dengan impregnasi). Indikator keberhasilan proses ini adalah nilai kemampuan
kayu untuk kembali ke ukuran tebal awal (spring back) setelah mengalami perlakuan.
Semakin rendah nilai springback, semakin stabil kayu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
telah terjadi fiksasi yang sempurna dalam kayu (Hill 2006).

12

Sebagaimana diketahui bahwa kelas keawetan kayu adalah tingkat ketahanan
(keawetan) dari suatu jenis kayu terhadap organisme perusak kayu seperti jamur, serangga
daan binatang penggerek dilaut. Suatu jenis kayu yang awet terhadap serangan jamur
belum tentu akan tahan terhadap serangan rayap atau penggerek kayu di laut, begitupun
sebaliknya. Dan ada anggapan mengatakan bahwa semakin besar berat jenis yang dipunyai
suatu jenis kayu tersebut, maka mempunyai ketahanan alami akan tinggi juga Da Costa,
Rudman dan Gay, 1985; Backer, 1975). Tetapi dari beberapa hasil penelitian yang telah
dilaksanakan, menunjukkan bahwa faktor utama yang menentukan ketahanan alami kayu
yaitu adanya zat ekstraktif yang bersifat sebagai fungisida dalam kayu, insektisida atau zat
lain yang sifatnya racun. Zat ekstraktif yang sifatnya racun terhadap salah satu organisme
perusak belum tentu bersifat racun terhadap organisme perusak lainnya. Maka ketahan
alami kayu cenderung bersifat relatif, tergantung kepada organisme yang menyerangnya,
biasanya tergantung dimana kayu tersebut akan dipergunakan.
Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakain. Kayu dikatakan awet apabila
mempunyai umur pakai lama dan manpu menahan berbagai faktor perusak kayu. Dengan
kata lain keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak
dari luar kayu itu (Dumanauw, 1990). Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh
keawetannya, karena bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai
bahan bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah.
Kayu-kayu yang lebih porous (lebih tinggi persentase rongga sel) atau yang
berkerapatan/ber-BJ rendah cenderung lebih mudah dikeringkan dengan waktu yang lebih
singkat karena lebih permeabel (sifat pengeringan baik, cacat sedikit). Begitu pula halnya
dengan kayu-kayu yang tidak banyak mengandung tilosis atau endapan lain di dalam
rongga sel kayu. Kayu dengan persentase sel parenkim dan jari-jari yang tinggi menuntut
perlakuan pengeringan yang lebih lunak karena tipisnya dinding sel. Dinding sel yang tipis
berpotensi sebagai daerah awal terjadinya cacat. Begitu pula halnya bila dalam satu lembar
sortimen terdapat bagian gubal dan bagian terasnya. Perhatian perlu diberikan apabila
dalam satu sortimen terdapat kayu juvenil atau pun kayu reaksi. Secara umum kayu konifer
lebih mudah dikeringkan dibandingkan dengan kayu daun lebar pada nilai BJ kayu yang
sama akibat struktur kayunya yang homogen.
13

Dalam hal mengawetkan kayu, kayu-kayu yang kurang permeabel atau kayu-kayu
yang ber-BJ tinggi atau banyak mengandung tilosis dan/atau endapan tergolong kayu-kayu
yang sukar untuk diawetkan karena bahan-bahan tersebut akan menghalangi pergerakan
masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Bagian kayu gubal pada umumnya lebih mudah
diawetkan dibandingkan dengan bagian kayu teras karena lebih permeabel akibat tidak
memiliki zat ekstraktif. Secara umum kayu konifer juga lebih mudah diawetkan
dibandingkan dengan kayu daun lebar pada BJ yang sama.
Jalannya air dari dan ke dalam kayu baik saat kayu dikeringkan maupun diawetkan
dipengaruhi oleh kondisi rongga sel yang dilewatinya baik ke arah longitudinal maupun ke
arah lateral, dan juga kondisi mulut noktah di dinding sel. Aliran arah longitudinal terjadi
melalui sel pembuluh (untuk kayu daun lebar) atau sel trakeida (untuk konifer), sedangkan
aliran arah lateral melewati sel jari-jari (untuk kayu daun lebar dan konifer). Dengan
demikian keberadaan tilosis dan endapan berwarna serta tipe bidang perforasi (pada sel
pembuluh) atau keberadaan deposit dan kondisi mulut noktah (dalam sel trakeida) akan
sangat menentukan laju pergerakan air arah longitudinal, sedangkan laju pergerakan ke arah
lateral baik pada kayu daun lebar mau pun kayu konifer ditentukan oleh keberadaan kristal
mineral, ukuran dan kondisi mulut noktah di dinding sel jari-jari kayu. Tingginya
kandungan tilosis, endapan berwarna, kristal mineral dan deposit lainnya akan
mengakibatkan laju pergerakan air menjadi terhambat sehingga kayu menjadi sulit untuk
dikeringkan atau diawetkan. Pengeringan dan pengawetan akan semakin sulit apabila dalam
waktu yang bersamaan noktah yang ada di dinding sel berada dalam keadaan teraspirasi
(aspirated pitting). Oleh karena itu terhadap kayu dengan kadar tilosis atau kadar endapan
dalam rongga sel tinggi, perlu dilakukan tindakan yang bertujuan untuk mengurangi kadar
bahan-bahan penghalang tersebut sebelum dikeringkan atau diawetkan. Semakin bersih
kondisi rongga sel, maka semakin lancar pula pergerakan air baik keluar (saat dikeringkan)
maupun masuk (saat diawetkan). Bidang perforasi tipe jala atau tapisan juga berkontribusi
pada sukarnya kayu dikeringkan maupun diawetkan.
Fenomena dan alasan yang sama juga berlaku pada proses peningkatan mutu kayu
karena proses peningkatan mutu juga terkait dengan pergerakan air dan larutan bahan kimia
14

yang digunakan. Kayu-kayu berkerapatan/ber-BJ rendah, yang lebih porous atau yang
berdinding tipis, akan lebih mudah dipadatkan, diimpregnasi atau dikompregnasi. Selain
sulit, kayu-kayu dengan kadar ekstraktif tinggi acap kali menyulitkan proses peningkatan
mutu dan cenderung mengakibatkan terjadinya discoloration pada permukan kayu. Khusus
untuk pemadatan dan kompregnasi, kadar lignin yang tinggi akan mempersulit proses
peningkatan mutu karena kedua teknik tersebut mensyaratkan terjadinya pelunakan lignin.
Pelunakan lignin yang terhambat dapat mengakibatkan mutu kayu yang diberi perlakuan
menjadi lebih rendah dari mutu awalnya karena meng-arang-nya permukaan kayu akibat
pemanasan yang berlebihan.
Secara umum, kayu konifer lebih mudah ditingkatkan mutunya dibandingkan kayu
daun lebar karena terkait dengan struktur anatomi kayu.

BAB III
15

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tidak perlu diragukan lagi bahwa hubungan antara
struktur anatomi kayu dengan sifat, kegunaan dan pengolahan kayu dalam rangka
pemanfaatan kayu secara optimal dan tepat adalah sangat erat. Sifat kayu sangat bergantung
pada struktur anatominya dan melekat (inherent) di dalam struktur sel-sel penyusun kayu.
Keseluruhan sifat kayu secara bersama-sama akan menentukan kegunaan dan proses
pengolahan yang akan diaplikasikan harus disesuaikan dengan struktur anatomis kayunya.
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) sifat utama kayu yang dapat dipergunakan untuk
mengenal kayu, yaitu sifat fisik (disebut juga sifat kasar atau sifat makroskopis) dan sifat
struktur (disebut juga sifat mikroskopis). Secara obyektif, sifat struktur atau mikroskopis
lebih dapat diandalkan dari pada sifat fisik atau makroskopis dalam mengenal atau
menentukan suatu jenis kayu. Namun untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat dipercaya,
akan lebih baik bila kedua sifat ini dapat dipergunakan secara bersama-sama, karena sifat
fisik akan mendukung sifat struktur dalam menentukan jenis.

DAFTAR PUSTAKA
16

Barnett J and G Jeronimidis. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell
Publishing Ltd. 226 p.
Bosoi FP, M Soffiatti and RT Boeger. 2010. Ecological Wood Anatomy of Miconia
sellowiana (Melastomataceae) in Three Vegetation Types of Paraná State, Brazil.
IAWA Journal, Vol. 31 (2): 179-190.
Bowyer JL, R Shmulsky and JG Haygreen. 2003. Forest Products and Wood Science: An
Introduction. Fourth Edition. Amer, Iowa, USA. Iowa State Press a Blackwell
Publishing Company.
Crossette B and R Kollodge. 2010. State of World Population. From conflict and crisis to
renewal: Generation to change. United Nations Population Fund.
Food and Agriculture Organization. 2011. State of the World’s Forests. Viale delle Terme di
Caracalla, 00153, Rome, Italy. 179 p.
Forest Product Laboratory. 2010. Wood Handbook: Wood as an engineering material.
Centennial Edition. United States Department of Agriculture Forest Service.
Madison, Wisconsin. 508 p.
Hill CAS. 2006. Wood Modification: Chemical, thermal and other processes. School of
Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor. John Wiley & Sons,
Ltd.
Hoadley BR. 1990. Identifying Wood: Accurate results with simple tools. The Taunton
Press, Inc. 223 p.
Laban BY. 2005. Prospek Produk Industri Hasil Hutan Indonesia. Paper dalam Seminar
Kesiapan Indonesia dalam Implementasi ISPM #15: Solid Wood Packaging
Material. Pusat Standardisasi dan Linkungan. Sekjen. Departemen Kehutanan.
Jakarta, 27 April.

17

Labetubun MS, E Suhendang dan D Darusman. 2005. Pengembalian Ekonomi dalam
Pengelolaan Hutan Alam Produksi: Suatu pendekatan dinamika sistem. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika Vol. XI No. 2: 42-54.
Sarajar C. 1982. Identifikasi Kayu Secara Makroskopis. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Sidabutar JH. 2007. Perancangan arsitektur strategik di perusahaan furniture panel wood
PT. Cahaya Sakti Furintraco [Tesis]. Program Magister Bisnis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan.
Skaar C. 1972. Water in Wood. Syracuce Wood Science Series. University Press New york.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, properties, utilization.
Van Nostrand Reinhold. New York.
Zobel BJ and JP Buijtenen. 1989. Wood Variation: Its causes and control. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. 363 p.

18

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

ANALISIS KARAKTERISTIK MEKANIK BRIKET LIMBAH SERBUK GERGAJI KAYU SENGON DENGAN VARIASI TEKANAN

32 323 106

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH DOSIS LIMBAH MEDIA JAMUR TIRAM DAN KONSENTRASI LARUTAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) ABITONIK TERHADAP SEMAI KAYU MANIS [Cinnamomum camphora (l,) J. Presi]

12 141 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18