Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan

Volume II
Nomor 1
April 2013
ISSN 2301-9816

JURNAL
KOMUNIKASI
INDONESIA

Tinjauan Buku

Mengurai Ketegangan
antara Kesalehan dan Seni-Budaya
Ekky Imanjaya

Timothy P. Daniels (Ed.)
Performance, Popular Culture,
and Piety in Muslim Southeast Asia
Palgrave Macmillan
2013
ix+226

ISBN 9781137318398

School of Media and Communication, Binus
International, Universitas Bina Nusantara, Jakarta
& University of East Anglia, Inggris
eimanjaya@yahoo.com

D

an apakah itu kesalehan? Dan apa hubungannya dengan ekspresi kebersenian dan kebudayaan? Pernah ada buku Saleh Ritual, Saleh
Sosial dari KH Mustafa Bisri (1994) atau tentang
wacana (ketegangan) Islam Kultural versus Islam
Ideologis oleh KH Abdurrahman Wahid dan Prof. Dr.
Nurcholis Madjid, atau tentang pemetaan sejarah oleh
Kuntowijoyo. Akan tetapi, pembahasan mendalam
dan akademis tentang hubungan (kesalehan) Islam
dengan seni pertunjukan dan budaya pop masih
langka. Dan buku Performance, Popular Culture,
and Piety in Muslim Southeast Asia yang disunting
Timothy Daniels ini menjadi menarik dan penting

untuk disimak.
Sekilas melihat judul dan jika kita tertarik dengan temanya, buku ini memang begitu menarik.
Kemudian, begitu melihat ke daftar isi, beberapa
pertanyaan awam segera terlintas: Bagaimana seni
pertunjukan dan budaya pop dihubungkan dengan
kesalehan, terlebih lagi beberapa kasusnya seperti Tari Topeng Cirebon dan Tarian Ngremo dari
Malang yang secara sekilas tak berhubungan dengan kesalehan? Mengapa memilih kota Malang dan
tidak, misalnya, Aceh atau Padang? Mengapa bukan
nasyid atau fenomena Rhoma Irama atau ilm seperti
137

Ekky Imanjaya, Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan Seni-Budaya
Ayat-Ayat Cinta? Mengapa hanya fokus pada Malaysia dan Indonesia, padahal di judulnya tercakup
“Muslim Southeast Asia”? Mengapa menggabungkan
kajian seni pertunjukan dengan budaya pop, yang
adalah wilayah kajian yang masih luas dan berpotensi untuk tidak fokus?
Tentu saja, kita bisa langsung membaca bab-bab
di buku ini secara terpisah, tergantung kebutuhan
dan minat kita masing-masing. Tapi, jika kita ingin
tahu ada dan bagaimana buku ini secara holistis,

ada dua cara untuk menjawabnya. Pertama, melihat
bab pendahuluan dari sang penyunting, hingga kita
tahu tujuan dan kerangka teori dan ilosoi buku ini
langsung dari pembuatnya. Cara kedua, kita membacanya hingga tuntas dan mencari pola dan benang
merah keenam tulisan di dalam buku setebal 226
halaman lebih ini—yang saya baca tak lebih dari tiga
hari karena daya tarik tema-tema yang dieksplorasi
oleh para penulis yang sudah berpengalaman di lapangan dan/atau kajian literatur tahunan.
Buku ini, tulis Timothy Daniels sang editor, berupaya “mengeksplorasi persimpangan yang rumit dari
format kultural masyarakat—seni pertunjukan dan
genre-genre budaya pop—dan kesalehan muslim di
Indonesia dan Malaysia”. Karena kedua negara itu—
dan bukan bagian lain dari muslim Asia Tenggara
seperti minoritas di Myanmar, Kamboja, Thailand,
Vietnam, Singapura, dan Filipina, atau mayoritas di
Brunei—adalah negara muslim terbesar di wilayah
ini dan sangat signiikan sehingga “…secara umum,
kedua negeri ini seharusnya tak lagi menjadi subjek
sambilan dalam kajian Islam” (h. 1).
Buku ini juga dimaksudkan untuk memahami

bagaimana pertunjukan memediasi kesalehan religius dalam berbagai cara dan wahana (h. 1) dan
menjabarkan bagaimana peranan kompleks seni
pertunjukan dan genre-genre budaya pop bermain
dalam berbagai variasi konteks religius dan sosiopolitik di dunia kontemporer (h. 8). Sang editor juga
menyatakan bahwa, walaupun hanya berfokus pada
Malaysia dan Indonesia, tapi banyak melahirkan
temuan yang bisa menjadi nilai perbandingan bagi
mereka yang belajar Islam dan agama lainnya di berbagai belahan dunia. Menurut Daniels: “Volume ini
tidak hanya berkontribusi secara etnograis dengan
studi kasus yang mendetail, tetapi juga secara teoritis mendorong munculnya bacaan tentang agamaagama dalam praktiknya dengan cara melukiskan
berbagai jalan yang ditempuh kaum muslim untuk
meggunakan dan menafsirkan sumber-sumber tekstual dalam kehidupan mereka dan masyarakat, dan
bagaimana agama dalam keseharian termediasi lewat pertunjukan” (h. 8).
Buku ini memang lebih membahas aspek sosialbudaya, dan sedikit sejarah, dari berbagai kasus seni
pertunjukan (tari, teater) dan budaya pop (ilm, sinetron, musik). Sang penyunting dengan benderang menyatakan bahwa pendekatan buku ini terilhami oleh
Victor Turner yang menganjurkan untuk menggeser
kajian praktik estetis dalam menganalisis “kajian
pertunjukan” (h. 3-4), dari yang cenderung strukturalis yang statis menjadi pendekatan-pendekatan yang
lebih cair dan dinamis, seperti melihat bagaimana
agen-agen seniman mengkritik, mengevaluasi, dan

mereleksi masyarakat dan kebudayaan. Karena itulah, tulisan-tulisan di dalamnya mencoba menggali
138

praktik-praktik bentuk estetika dan bagaimana ia
berkonstruksi, berkoneksi, dan bernegosiasi dengan
relasi-relasi sosial dan kesalehan religius (h. 5-6).
Sebagai tulisan yang menjahit berbagai pemikiran perca ini, James Peacock di catatan akhir menggarisbawahi bahwa tema buku ini adalah bahwa
semua tulisannya mensejajarkan kesalehan dan
budaya pop, khususnya kesalehan seputar hubungannya dengan menjadi muslim, dan ketegangan di
antara keduanya (h. 185). Peacock lantas melontarkan pertanyaan yang menjadi benang merah dalam
tulisan-tulisan di sini: “Apa pengaruh Islam terhadap
semua bentuk kesenian dan kebudayaan ini, khususnya kreativitas artistik?” dan “Bagaimana kekuatan
agama dan kreativitas yang terlokalisir ini berhadapan dengan kekuatan global?” (h. 184). Dalam bingkai
berpikir seperti ini, kita bisa paham mengapa ada kasus tarian lintas gender di Malang, kontroversi “Goyang Inul” yang marak tahun 2003, atau Mak Yong
yang dilarang di Kelantan. Kesemuanya, dalam pandangan awam, tidak secara langsung berhubungan
dengan ekspresi spiritual, simbol, dan akhlak Islam.
Penulis berasumsi bahwa buku ini memilih untuk
menganalisis kasus-kasus anomali dan belum banyak dibahas, sehingga terkesan menghindari tematema arus utama—seperti dangdut dakwah Rhoma
Irama dan fenomena nasyid—yang sudah dibahas
peneliti lain. Misalnya, Andrew Wentraub yang berbicara soal dangdut, atau Bart Barendgregt yang

berbicara soal nasyid. Sayangnya, kajian Metal Satu
Jari, komunitas band dan fan beraliran metal yang
kental dengan semangat Islam ideologis, yang amat
langka dikaji, tidak ada.
Hal kedua yang bisa dilakukan untuk melihat pola
dan benang merah dalam rangka melihat keutuhan
buku ini dengan membacanya secara tuntas. Penulis ingin membahas beberapa pola yang bisa disimpulkan setelah membaca buku menarik ini. Agaknya
sang penyunting, lewat para penulisnya, memilih
dua modus dalam memetakan analisisnya. Pertama,
seperti yang disebut di atas, kasus-kasus yang hadir
di ilm ini terkesan secara sekilas, dalam pandangan
orang awam, tidak secara langsung berkaitan dengan
kesalehan keislaman dalam pandangan orang awam,
bahkan, menjadi kontroversi. Kedua, beberapa tulisan memang membahas bentuk kesenian yang secara langsung bersentuhan dengan tema keislaman,
dan dikontradiksikan dengan jenis “kesalehan” lain
dari genre budaya pop yang sama. Misalnya, sinetron “Nur Kasih” di Malaysia dibandingkan dengan
ilm-ilm Yasmin Ahmad yang acap dianggap kurang
atau bahkan tidak “islami”, atau Sang Pencerah dan
Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo dihadapkan dengan tiga ilm bertema Islam
dari duet Chaerul Umam-Asrul Sani. Untuk kasus

kedua ini, penulis teringat dengan wacana Islam kultural dan Islam ideologis Gus Dur dan Cak Nur di
atas.
Untuk kasus-kasus kategori yang pertama,
berkaitan dengan kesalehan, ada dua modus seniman, atau pengkajinya, dalam “membela diri” atau
bersikap. Pertama, mengaitkan kesenian dengan
konsep kesalehan keislaman, dalam konteks ini, suisme dan budaya lokal. Misalnya, dalam kasus Topeng Cirebon. Dengan gaya bertutur yang menarik
dan banyak berbagi pengetahuan trivial, sang penu-

Jurnal Komunikasi Indonesia, Volume II, Nomor 2, Oktober 2013

lis, Laurie Margot Ross mengaitkan Tari Topeng
Cirebon dengan suisme (dan membedakannya dengan Tari Topeng Malang yang lebih kepada bisnis
keluarga, h. 14) dan dakwah Walisongo dan bahkan
Syeikh Siti Jenar, mengingat pencipta topeng, menurut sang penulis bab ini, adalah Pangeran Panggung,
yang adalah murid Siti Jenar. Walaupun harus dikritisi lagi apa benar Siti Jenar dihukum mati karena
dituduh sebagai pengikut syiah ekstrem seperti yang
tertulis (h. 14).
Yang menarik, disebutkan bahwa sejak gebrakan
aliran Wahabi tahun 1924 dan juga pengaruh Orde
Baru, terjadi proses sekularisasi dan membuat Tari

Topeng sedikit banyak tercabut dari semangat spiritualisme Islam, khususnya di tanah Jawa yang mempunyai dinamikanya sendiri (h. 16-17). Di masa Orde
Baru, jenis tari ini dianggap jauh dari islami karena
profesi ronggeng acap disamakan dengan pelacuran
dan banyak yang mengonsumsi alkohol yang terlarang dalam Islam (h. 26). Hal lainnya adalah, upaya
sang penulis bab ini mengaitkan menguatnya kembali Topeng Cirebon 40 tahun setelah G30S justru
di Pesantren Al-Zaytun (h. 20) yang secara ideologis
adalah keturunan DI/TII, tetapi sepertinya kurang
menjabarkan apa dan bagaimana DI/TII berinteraksi
dengan seni tari tersebut—mengingat gerakan itu
lebih kepada politis daripada suistis.
Mak Yong, pentas drama Melayu di Kelantan
yang dilarang Parti Islam Se-Malaysia (PAS) sejak
1991, adalah kasus lainnya yang menarik, dan diulas Patricia Hardwick (h. 77). Bentuk kesenian yang
berakar dari budaya pra-Islam ini dilarang karena
dianggap condong kepada syirik dan merendahkan
wanita. Di sisi lain, banyak pihak menyatakan bahwa dalam setiap gerakan Mak Yong mengandung
spiritualisme Islam (dan Mandala, dalam perspektif
Hindu-Budha), misalnya menyimbolkan empat elemen kehidupan seperti bumi, angin, api, air, rukun
Islam, dan salat lima waktu (h. 84-88).
Sikap kedua yang dilakukan para seniman adalah

menyatakan tidak mencampur urusan kesenian dengan keagamaan. Umumnya mereka menjalankan
ritual kesalehan, seperti salat, tetapi tetap melakukan pekerjaan yang dianggap tidak atau kurang islami. Misalnya, beberapa seniman di Malang, seperti
ditulis Christina Sunardi, memisahkan seni dengan
kehidupan religius. Mereka tetap menjalankan ritual keagamaan, dan juga berbusana dan berdandan
bak lawan jenis dalam menari Beskalan, Ngremo,
dan Tari Topeng—sesuatu yang lumrah terjadi di
atas panggung (h. 137). Langkah ini diambil karena
di Malang, kaum Islam fanatik menganggap musik
dan pertunjukan lintas gender sebagai hal yang haram (h. 146-147). Inul juga melakukan tindakan yang
sama (h. 170), tapi ia mendapatkan advokasi dari tokoh agama seperti Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib.
Kontradiksi Dua Kesalehan
Pola dan modus lainnya hadir dalam kasus-kasus yang mengandung tema keislaman secara langsung, misalnya dalam ilm-ilm Hanung Bramantyo
atau sinetron “islami” di Malaysia, dan membenturkannya dengan kasus-kasus dengan jenis kesalehan
yang berbeda. Kebetulan, keduanya bukan seni
pertunjuk-an, dan masuk dalam kategori budaya

pop. Sebagai contoh, dalam tulisan Eric Sasono, ilmilm Hanung dibenturkan dengan ilm-ilm karya
Chairul Umam yang skenarionya ditulis Asrul Sani.
Atau antara sinetron “islami” dengan ilm-ilm Yasmin Ahmad. Dari dua tulisan di atas, pembaca bisa
mengambil kesimpulan adanya, katakanlah, dua macam kesalehan yang kontradiktif. Di satu sisi, ada

kesalehan formalistik-skriptualis dan di sisi lainnya
ada kesalehan kultural-substansial—senafas dengan
dikotomi Gus Dur dan Cak Nur.
Eric Sasono, misalnya, membedah bagaimana Asrul Sani sebagai penulis skenario sering membenturkan kesalehan konvensional/formalistis dengan jenis
kesenian berbeda dari sang protagonis, yaitu kesalehan yang progresif/substansial. Dan sang tokoh utama
selalu direpresentasikan dengan orang dari luar desa
atau daerah setempat dan melakukan pembaruan.
Hal ini memang jelas terlihat dari al-Kautsar (1977),
Titian Serambut Dibelah Tujuh (1983), dan Nada dan
Dakwah (1991). Singkat kata, dalam ilm-ilm itu,
Islam adalah agen perubahan dan kemajuan melawan elite-elite yang korup (termasuk para pemimpinnya), dan berupaya menyelamatkan masyarakat
yang dekaden dan tereksploitasi dan dimanipulasi
penguasa. Ini jelas berbeda dengan ilm bertema
Islam pasca-1998 semisal Ayat-Ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih yang lebih berkonsetrasi pada
problematika personal dan seakan enggan mengangkat isu kemasyarakatan seperti judi, pelacuran dan
minuman keras, dan seolah-olah tak punya hubungan langsung dengan umat (h. 52-53).
Untuk ilm selepas Orde Baru yang mempunyai
semangat kesalehan yang sama dengan Umam/Sani,
Eric mengambil kasus Perempuan Berkalung Sorban
(2009) dan Sang Pencerah (2010). Misalnya, di Sang

Pencerah ada adegan otokritik seputar pengrusakan
rumah ibadah, yang mengingatkan penonton pada
kejadian yang serupa terhadap jemaat Ahmadiyah
tak lama sebelum ilm dirilis. Masalahnya, berbeda
dengan ketiga ilm pendahulunya, kedua ilm Hanung Bramantyo itu diliputi kontroversi dan punya sedikit perbedaan dalam hal solusi. Misalnya,
di Perempuan Berkalung Sorban, banyak kalangan
pesantren yang protes termasuk MUI karena ilm
itu tidak berimbang dalam menggambarkan Islam
dan dunia pesantren, dan solusinya adalah, alihalih menyajikan Islam yang ramah terhadap perempuan semisal karya-karya Fatimah Mernissi atau
Annemarie Schimmel, buku-buku karya penulis
“kiri” semisal Pramoedya Ananta Toer. Sementara,
di Sang Pencerah, adalah kontroversi seputar simpliikasi kasus Siti Jenar yang dianggap mencemarkan
kemurnian Islam dan intervensi pemegang otoritas
politik (Sri Sultan) dalam menyelesaikan sengketa
(h. 67).
Kasus kedua, tulisan Timothy Daniels, adalah sinetron “islami” (atau “islamic” TV drama) Nur Kasih
yang mengudara di TV3 mulai bulan Mei 2009 (h.
89), disusul oleh Stanza Cinta dan Tahajjud Cinta.
Nur Kasih menggambarkan ekspresi dan perwujudan norma, nilai, dan motif Islam, lengkap dengan
adegan salat di masjid dan rumah, penggambaran tanah suci, baju takwa, dialog yang berorientasi religius (h. 106), yang mayoritas adegan hanya memperlihatkan etnis Melayu. Dan kali ini, drama televisi
ini dikontradiksikan dengan ilm-ilm Yasmin Ahmad
139

Ekky Imanjaya, Mengurai Ketegangan antara Kesalehan dan Seni-Budaya
yang kurang dianggap menggarap tema dan nilai
islami oleh masyarakat Malaysia (h. 116), dan bahkan melanggar aturan agama, seperti penggundulan
perempuan pada muallaf (h. 117). Bagi penulis, ilmilm Yasmin adalah idealisme sang sutradara untuk
hidup dengan saling menenggang dan berdampingan
dengan etnis dan agama lain di Malaysia, dengan
kesalehan yang memang “nyeleneh” karena sifatnya
yang inklusif, pluralis, dan berbeda dengan arus utama. Di sini, lagi-lagi ada dua macam jenis “kesalehan”, yang satu lebih eksklusif/skriptualis/normatif,
dan lainnya cenderung ke arah kesalehan yang bersifat kultural-substansial dan lebih terbuka.
Sayangnya, LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang merupakan organisasi di bawah NU, sedikit sekali dibahas di sini.
Padahal, seperti disebut oleh Choirotun Chisaan di
Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan, organisasi

yang diotaki oleh Usmar Ismail-Asrul Sani-Djamaluddin Malik ini bergelut dengan upaya mendamaikan
kaum ulama (yang resah akan ulah seniman yang
berpotensi melanggar hukum Islam dengan karyakaryanya) dan kaum seniman (yang gelisah kepada
ulama yang cenderung melarang-larang kreativitas)
pada tahun 1960an. Mungkin karena semangat buku
ini adalah mencari ekspresi alternatif dan non-arusutama, maka Lesbumi tidak dikaji mendalam.
Lepas dari itu, buku ini sangat bermanfaat bagi
siapa saja yang ingin mendalami hubungan (kesalehan) Islam dengan seni pertunjukan dan budaya
pop. Semoga ada volume berikutnya yang mengkaji
teater, komik, animasi (misalnya superhero berjilbab
dalam The 99 dan serial TV Boboi Boy), ilm ber-genre
populer (seperti Jaka Sembung yang acap dianggap
islami), dan hal-hal lain yang tak tercakup dalam
buku ini.

Daftar Pustaka
Eriyanto. (2001). Analisis wacana: Pengantar analisis teks media. Yogyakarta:
LKiS.
Eriyanto. (2003). Analisis framing: Konstruksi, ideology, dan politik media.
Yogyakarta: LKiS.
Gerbner, G. (1970). Cultural indicators: The case of violence in television
drama. The ANNALS of the American Academy of Political and
Social Science, 388(1), 69-81. doi: 10.1177/000271627038800108
Grifin, E. (2012). Communication Communication Communication. New

140

York: McGraw-Hill. 366-377.
Guba, E.G. & Lincoln, Y.S. (1994). Competing paradigm in qualitative
research. Dalam Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (Eds.), Handbook of
qualitative research. California: Sage Publications, Inc.
Hayes, A. F., & Krippendorff, K. (2007). Answering the call for a standard
reliability measure for coding data. Communication Methods
and Measures, 1, 77-89. Retrieved from http://www.unc.edu/
courses/2007fall/jomc/801/001/HayesA