Bisnis dan Politik Bisnis dan Politik
MAKALAH
BISNIS DAN POLITIK DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
(Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Politik
Indonesia)
Dosen: Ruhenda S. Ag., MM
Disusun oleh:
Diyas
Elga Siti Mardiyani
Elgan Briliaji
Elis Mardiana
Elva Salimah
Fachrirrizal M R
Fitrianty Rohimatunisa
Kelas II/C
Jurusan Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
BAB I
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Politik dan bisnis mempunyai pola hubungan yang saling terkait.
Layaknya hubungan timbal balik antar individu, aktifitas politik seharusnya dapat
menunjang kegiatan bisnis dalam sebuah lingkup Negara. Hal yang sama terjadi
dengan bisnis yang dapat mendukung kegiatan politik untuk mempertahankan
kedaulatan Negara.
Tidak heran, jika kita lihat para pelaku bisnis sangat dekat dengan dunia
politik. Bahkan, beberapa di antaranya juga merupakan figur politik yang sangat
dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan mereka dapat kita rasakan saat pemilihan
kepala daerah maupun pemilihan anggota legislative baik di tingkat nasional
maupun tingkat daerah. Mereka menyadari bahwa para elit politik ini memegang
peranan penting dalam membuat kebijakan yang nantinya akan menentukan iklim
perekonomian di daerah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari bisnis dan politik?
2. Bagaimana teori hubungan Bisnis dan Politik?
3. Bagaimana perkembangan Bisnis dan Politik pada masa pemerintahan
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2
A. PENGERTIAN BISNIS
Terdapat dua pengertian pokok mengenai bisnis, pertama, bisnis
merupakan kegiatan-kegiatan, dan kedua, bisnis merupakan sebuah perusahaan.
Para ahli pun mendefinisikan bisnis dengan cara berbeda. Definisi E. Glos dalam
bukunya ”Business: Its Nature and Environment: An Introduction”, dianggap
memiliki cakupan yang paling luas, yakni:
“Bisnis merupakan seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang-orang
yang berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan
barang dan jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki standar
serta kualitas hidup mereka."
Dalam suatu perekonomian yang kompleks saat ini, orang harus
menghadapi tantangan dan risiko untuk mengkombinasikan tenaga kerja, material,
modal, dan manajemen secara baik sebelum memasarkan suatu produk. Orangorang demikian itu dikenal sebagai pengusaha. Motivasi utama kegiatan bisnis
adalah laba yang didefinisikan sebagai perbedaan antara penghasilan dan biayabiaya yang dikeluarkan. Dalam bisnis, para pengusaha harus dapat melayani
pelanggan dengan cara yang menguntungkan untuk kelangsungan hidup
perusahaan dalam jangka panjang, selain harus selalu mengetahui kesempatankesempatan baru untuk memuaskan keinginan pembeli.[1]
B. PENGERTIAN POLITIK
Kata “politik” Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang
akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia,
politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga
negara suatu bangssa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip,
keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
tertentu yang kita kehendaki.[2]
1[ ] Husen Umar, 2003, Business An Introduction, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal. 3.
2[ ] S. Sumarsono, [et. All], 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Hal. 137.
3
Menurut Aristoteles politik adalah sebagai suatu asosiasi warga negara
yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut
kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat.3
Menurut Mirchell dalam Political Analiysis and Public Policy: “Politics is
collective decision making or the making of public policies for an entire society”
(politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan
atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya”).4
C. TEORI HUBUNGAN BISNIS DAN POLITIK
Hubungan bisnis dengan politik merupakan hubungan yang sangat erat
kaitannya dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Politik akan
memberikan pengaruh yang sangat besar untuk perjalanan bisnis anda. Situasi
politik yang tidak stabil akan mengakibatkan perekonomian yang merosot
sehingga memiliki dampak besar terhadap bisnis yang sedang anda jalani.
Maka dari itu jika anda akan melakukan sebuah bisnis maka anda
seharusnya memiliki kepekaan dan pengetahuan terhadap politik yang sedang
terjadi sehingga anda mampu untuk membaca dan memprediksi perkembangan
bisnis yang akan terjadi dimasa yang akan datang sehingga anda harus
mempersiapkan strategi bisnis yang terbaik untuk mengatasinya. Apalagi bisnis
yang anda jalani merupakan bisnis lintas negara yang sedang mengalami konflik
politik, anda harus bersiap siap jika sesuatu hal pecah yang mengakibtkan sebuah
konflik yang sangat besar yang akan berdampak negatif pada bisnis anda seperti
konflik perang, konflik pemboikotan atas sebuah produk tertentu, atau perubahan
kebijakan pemerintah dan konflik konflik politik lainnya yang mungkin akan
mengakibatkan dampak negatif dan kerugian terhadap bisnis anda. Karena politik
yang berlaku disuatu negara akan mempengaruhi lingkung perekonomian atau
kinerja bisnis yang mungkin akan memanas.
3[ ] Sahid gentara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hal. 44..
4[ ] Sahid gentara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hal. 47.
4
Permasalahan politik yang ada juga akan berpengaruh terhadap bisnis
bisnis yang kecil hingga menengah. Bisnis bisnis dengan level menengah ke
bawah akan merasakan dampak dari politik yang ada, makanya anda harus
mengetahui perubahan apa yang akan terjadi dari sebuah politik pemerintahan
atau sebuah kebijakan pemerintahan, apakah mendukung atau bahkan merugikan.
Anda harus menyadarinya dan harus selalui mencari informasi politik terutama
yang akan mempengaruhi untuk bisnis anda sehingga anda tidak terkena resiko
yang akan ditimbulkan dari dampak politik yang tidak bersahabat dengan bisnis
yang anda jalani. Karena hubungan bisnis dengan politik merupakan sesuatu yang
bisa berjalan dengan saling berdampingan untuk mencapai sebuah tujuan sesuai
dengan rencana bisnis dan rencana politik untuk menghasilkan sebuah
perekonomian yang lebih baik, tapi hubungan bisnis dengan politik juga akan
berjalan dengan saling berlawanan yang mengakibatkan terjadi ketidak
sepahaman sehingga menimbulkan dampak negatif dari salah satu bidang, baik itu
dampak negatif bagi bidang politik atau dampak negatif bagi perjalanan bisnis.
Ada beberapa aspek lingkungan politik yang harus anda ketahui dan harus
anda pertimbangkan ketika anda melakukan bisnis yaitu :
1.
Stabilitas Pemerintahan. Stabilitas pemerintahan akan sangat penting untuk
sebuah bisnis, karena masa depan bisnis akan bergantung pada politik yang
sedang berlangsung. Ketidak stabilan politik akan membuat anda kesulitan
untuk menjalankan sebuah bisnis, sebuah perubahan politik yang mendadak
akan mengakibatkan anda kehilangan modal dan kerugian yang besar dan
2.
risiko kehilangan bisnis yang besar.
Hubungan Internasional. Hubungan suatu pemerintahan antara negara yang
satu dengan yang lainya tidak selalu stabil, bisa saja terjadi keburukan situasi
politik yang akan mengakibatkan dampak terutama bagi anda yang
melakukan bisnis online. Biasanya dampak politik yang tidak baik terhadap
bisnis online berada pada proses pembayaran yang tidak berjalan dengan
sempurna karena kebanyakan proses pembayaran di bisnis online
menggunakan Paypal atau dengan Clickbank sehingga akan berakibat
5
berkurangnya penjualan bagi negara negara tertentu yang sedang mengalami
3.
konflik politik karena proses pembayaran yang mengalami hambatan.
Birokrasi Pemerintahan. Lingkungan politik seperti ini akan menghambat
sebuah bisnis yang dibangun secara lintas negara. Investor dan pengusaha
asing akan mengalami kesulitan untuk membuka bisnis karena pemerintahan
setempat akan mencegah untuk tumbuhnya perusahaan asing yang potensial
untuk tumbuh disuatu negara.
D. BISNIS DAN POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA
a. Bisnis Dan Politik Pada Masa Soekarno
1. Ekonomi dan Bisnis pada masa pemerintahan Soekarno.
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk,
antara lain disebabkan oleh :
a.
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata
uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai
sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
b.
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
c.
d.
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, Proklamator sekaligus Presiden
pertama Indonesia, perekonomian Indonesia tidak dapat lepas dari sosok Ir.
Soekarno. Sebagai orang yang pertama memimpin Indonesia boleh dibilang
6
Soekarno adalah peletak dasar perekonomian Indonesia. Beberapa kebijakan yang
diambil dibawah pemerintahan Soekarno diantaranya :
1. Nasionalisasi Bank Java menjadi Bank Indonesia
2. Mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak
3. Berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan eksporimpor
4. Serta beberapa kebijakan lainya yang ditujukan untuk memajukan
perekonomian indonesia.
Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya
Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik
Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah. Setelah kemerdekaan
hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit,
karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang
sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan
ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu
merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing,
dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial-politik dan
keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.
Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance
development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with
Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam
mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini
tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik
dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersamasama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah
terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965. Pada masa
pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem
ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi.
Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam
beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal
7
tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan
pada ekonomi negara.
2.
Politik pada masa pemerintahan Soekarno (Orde Lama).
Di bawah kepemimpinan Soekarno, politik luar negeri RI pasca awal
kemerdekaan lebih difokuskan ke arah upaya memperoleh pengakuan dari dunia
internasional. Sejak diberlakukannya Dekrit Presiden tahun 1959, sistem
pemerintahan negeri ini pun beralih ke Demokrasi Terpimpin. Dikeluarkannya
dekrit ini dipengaruhi oleh berbagai situasi politik domestik saat itu, antara lain
karena kabinet yang ada seringkali tidak berjalan lama, adanya disintegrasi –
terjadi karena adanya ketidakpuasan daerah terhadap pengelolaan sumber daya
alam yang mayoritas hasilnya dinikmati penduduk ibukota, sehingga
memunculkan gerakan pemberontakan lokal−, dan perdebatan di konstituante –
penyerahan mandat oleh Ali Sastroamijoyo kepada Presiden Soekarno yang
mengusung ide Demokrasi Terpimpin, yang selanjutnya disusul dengan
pengunduran Hatta sebagai wakil presiden−. Di tahun 1960an, politik luar negeri
RI dalam masa Demokrasi Terpimpin juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat
itu Indonesia menentang keras adanya nekolim –imperialisme, kolonialisme, dan
neokolonialisme− (Bunnell, 1966:37). Di sini konfrontasi merupakan jalan utama
yang diambil Indonesia terkait kebijakan politik luar negerinya. Politik luar negeri
masa Demokrasi Terpimpin marupakan aktualisasi dari doktrin-doktrin Soekarno
yang dicetuskan lewat pidato-pidato politiknya.
Penolakan terhadap nekolim ini bisa dilihat dari upaya pemerintah dalam
pembebasan Irian Barat yang saat itu berada di bawah naungan Belanda.
Indonesia juga begitu bersemangat dalam mencari dukungan internasional demi
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Dalam masa
pemerintahannya, Soekarno sebagai sosok yang kharismatik memiliki peran yang
sangat signifikan terhadap kebijakan terkait politik luar negeri RI. Kebijakan
Soekarno dalam politik luar negeri –konfrontasi− didasarkan pada dua faktor
utama, yakni ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut
8
paham neo-Marxis Leninis yang menentang hegemoni negara kapitalis Barat
(Bunnell, 1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat kolonialisme
yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan politik
konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya. Soekarno pun
cenderung condong kepada komunis, hal ini termanifestasikan dalam ide
pembentukan NEFOS (New Establishment Forces) yang terdiri dari negara-negara
progresif sebagai tandingan OLDEFOS (Old Establishment Forces) yang terdiri
dari negara-negara kekuatan lama (negara kapitalis). Kemunculan poros serupa
seperti Poros Jakarta-Peking juga semakin menegaskan bahwa Indonesia condong
ke komunis.
Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat diantaranya melalui
perjanjian. Puncaknya adalah ketika dihelatnya KMB pada tahun 1949 di Den
Haag, Belanda. Dalam perundingan tersebut, terjadi kebuntuan antarsesama
anggota, sehingga akhirnya diputuskan bahwa pembahasan selanjutnya akan
diadakan setahun mendatang. Perjanjian tersebut membawa dampak yang
merugikan terhadap Indonesia, karena banyak poin dalam perjanjian yang
dilanggar oleh Belanda. Soekarno akhirnya menggunakan jalan “keras” dalam
membebaskan Irian Barat, diantaranya dengan strategi kekuatan bersenjata,
misalnya aksi massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di Irian
Barat dengan bantuan senjata dari Uni Soviet, karena pada saat itu Amerika
Serikat menolak untuk memberi bantuan senjata kepada Indonesia. Aksi yang
dilakukan Indonesia ini menarik perhatian Amerika Serikat, sehingga Amerika
Serikat pun mendesak Belanda untuk segera berunding dengan Indonesia dengan
menitikberatkan pada syarat-syarat perundingan yang menguntungkan Indonesia.
Amerika Serikat melakukan ini karena ia khawatir terhadap kemungkinan
terjadinya konflik bersenjata. Setelah perjuangan yang begitu lama, akhirnya Irian
Barat resmi kembali ke pangkuan Indonesia tanggal 5 September 1963 setelah
pengesahan Persetujuan New York tanggal 15 Agustus 1962.
Di samping persengketaan Irian Barat, Indonesia juga terlibat dalam
Konfrontasi Malaysia rentang tahun 1962 hingga 1966 yang dipicu oleh
pembentukan Federasi Malaysia. Hal ini memunculkan konsepsi “Ganyang
9
Malaysia” sebagai wujud penolakan dan perlawanan terhadap neokolonialisme
yang terjadi di Malaysia. Saat itu, Inggris berupaya memasuki negara tersebut
untuk melakukan ekspansi. Soekarno merasa bahwa Federasi Malaysia
merupakan ancaman baru kolonialisme dan imperialisme di kawasan Asia
Tenggara, karena nilai-nilai yang ada dalam Federasi Malaysia bertolak belakang
dengan asas politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia. Federasi
Malaysia, menurut pandangan Soekarno, merupakan negara boneka buatan
Inggris. Konflik kian memanas, ditandai dengan penolakan Indonesia untuk
mengakui Malaysia yang dibentuk September 1963. Indonesia akhirnya
memutuskan untuk mundur dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965 setelah
PBB menetapkan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanannya.
Soekarno menganggap PBB tidak adil dan mengutamakan kepentingan negara
besar, yang umumnya adalah Blok Barat. Keputusan ini membuat pembangunan
dan modernisasi di Indonesia sedikit terhambat, karena menjauhkan Indonesia
dari pergaulan internasional.
Pasca keluar dari PBB, Soekarno mengusung ide untuk membentuk
NEFOS (New Establishment Forces) untuk menandingi OLDEFOS (Old
Establishment Forces). NEFOS merupakan kumpulan negara-negara progresif
yang di satu sisi berusaha mempertahankan kolonialisme, namun di sisi lain juga
memberlakukan neokolonialisme (negara boneka). Sedangkan OLDEFOS
merupakan kumpulan dari negara-negara kokoh kapitalis, bersifat dominan tetapi
tidak progresif. Ide Soekarno ini semakin menguatkan pendapat bahwa ia
memihak komunis dan begitu gencar melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme Barat. Indonesia pun mendukung GANEFO
sebagai upaya untuk membentuk solidaritas antarnegara dunia ketiga lewat Politik
Mercusuar. Indonesia juga tidak segan-segan untuk mempererat hubungannya
dengan negara-negara komunis dengan menjalin kerjasama di berbagai bidang,
misalnya seperti yang tertuang dalam Poros Jakarta-Peking (Jakarta-PyongyangHanoi-Peking). Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena
konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan
militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris,
10
Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan
bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, posisi Indonesia
sebagai negara muda membuatnya banyak membutuhkan dana asing untuk
membiayai pembangunannya, namun jika bergantung pada negara-negara kuat
seperti AS maupun Inggris, maka akan lebih sulit bagi Indonesia karena bunga
dan persyaratan yang diajukan memberatkan Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia
perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dengan persyaratan yang
mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Ketiga, kerjasama Indonesia dengan
China dan Uni Soviet yang notabene anggota Dewan Keamanan PBB, dirasa
sangat menguntungkan bagi posisinya di PBB, karena akan membuat aspirasinya
lebih didengar.
Dari pemaparan di atas, kita tahu bahwa Soekarno sangat anti terhadap
kolonialisme dan imperialisme, terbukti dengan politik konfrontasi yang
dijalankannya. Politik konfrontasi ini berhasil mengembalikan Irian Barat ke
pangkuan ibu pertiwi. Namun, kita bisa melihat bahwa Soekarno tidak konsisten
dalam menjalankan politik luar negerinya, yang dahulu bersifat bebas aktif.
Secara tidak langsung politik konfrontasi ini juga membuat Indonesia sedikit jauh
dari pergaulan internasional karena keputusannya untuk mundur dari PBB.
b. Bisnis Dan Politik pada Masa Soeharto
1. Bisnis Pada Masa Pemerintahan Soeharto
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang
bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang
luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing. Pada era tahun
1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai
ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar
7% antara tahun 1968 sampai 1981. Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang
akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan
pelemahan nilai rupiah yang terkendali, selanjutnya mengalirkan investasi asing
ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada tahun
1989 sampai 1997 Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun
11
1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,
yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden
Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
2.
a.
Politik Pada Masa Pemerintahan Soeharto
Sistem Otoritarianisme Orde Baru
Di dalam system orde baru model negara Indonesia merupakan model
negara kapitalis, model ini mensyaratkan adanya negara yang kuat yang mampu
menjamin stabilitas politik dan keamanan yang berkelanjutan. Stabilitas politik
yang kuat ini diorientasikan untuk memberi rasa aman bagi investasi dan
implementasi kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh negara. Oleh karena
itu, negara Orde baru secara intensif memelihara stabilitas politik melalui dua
srategi yaitu strategi diskursif pembangunan institusional. Strategi diskursif yang
telah dilaksanalkan meiputi pemikiran mengenai diskontiniutas historis dan
konstituisionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana
pengembangan hagemoni kekuasaan dibangun, melainkan sebagai justifikasi
untuk menghalalkan “penindasan fisik, pelarangan, dan penggusuran orang-orang
yang tidak sepaham”. Pada level institusioal pemikiran mengenai negara yang
kuat diimplementasikan melalui rancangan koporatis terhadap organisasiorganisasi sosial-politik dan kelompok-kelompok di masyrakat yang memiliki
pengaruh besar dalam penggalangan politik seperti organisasi buruh,kelompok
industri,kelompok keagamaan,serta organisasi kepemudaan.
Dalam masyarakat politik Orde Baru seperti ini, mobilisasi massa yang
melibatkan sebagian besar rakyat hanya diijinkan oleh pemerintah dalam proses
implementasi kebjakan dibandingkan dengan pengambilan keputusan di tingkat
nasional.Selama Orde Baru,berbagai actor yang menjadi penyeimbang dan
pengawas lembaga-lembaga publik seperti kelompok-kelompok kepentingan,
LSM, dan organisasi-organisasi profesi yang tumbuh dalam masyarakat telah
dikooptasi oleh rezim.Partai politik telah ”dimandulkan” melalui kebijakan massa
mengembang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja, kondisi ini diperparah
dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga partai-partai politik tidak dapat
12
menggunakan ikatan ideoogisnya untuk mengikat konstituennya. Akibatnya,
birokrasi benar-benar menjadi institusi yang dominan dalam system politik
Indonesia. Hal ini mendorong individu-individu di dalamnya berprilaku korup,
nepotism, dan kolusif. Kuatnya dominasi Negara dan birokrasi dalam mengontrol
kehidupan masyarakat membuat pembangunan politik pada Orde Baru tidak
berjalan dengan baik.Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tehadap masa depan
Indonesia pasca-Soeharto. Begitu kuatnya kekuasaan politik Soeharto yang di
topang oleh birokrasi dan militer membuat struktur politik tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya, ini telah memandulkan fungsi-fungsi sruktur politik
”demokrasi “ hingga menjadi hanya sebagai pelayan atas keinginan-keinginan
Soeharto.
Kemandulan struktur politik dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang di
embannya juga dapat dilihat dari ketidakmampuan lembaga legislatif dalam
melakukan checks and balance terhadap lembaga eksekutif.Proses screening yang
dilakukan pada masa pemilihan umum guna memilih lembaga ini mandul secara
politik.Pada tataran tertentu mereka hanya menjadi “tukang stempel” atas
kebijakan dan produk yang diajukan oleh kalangan eksekutif.Ini juga yang terjadi
pada lembaga tertiggi Negara yaitu MPR.Selama enam kali pemilihan umum
sejak tahun 1971 hingga tahun 1997 lembaga ini hanya mampu bertindak sebagai
pengabsah Soeharto sebagai presiden.Kegagalan partai-partai politik dalam
melakukan pendidikan dan recruitment politik sebagai akibat pemandulan yang
sistematis telah membuat Soeharto menjadi tokoh sentral yang tidak mempunyai
pesaing dalam arena perebuta kursi presiden.Tokoh-tokoh alternatif dihancurkan
dalam arena persaingan kekuasaan,bahkan ketika di kalangan masyarakat mulai
muncul desakan yang kuat untuk menolak Soeharto sebagai presiden untuk
keenam kalinya,lembaga tertinggi Negara masih tetap memilihnya sebagai
presiden.
Sementara itu pemberlakuan SIUPP yang dapat mengancam keberadaan
pers sewaktu-waktu telah membuat pilar demokrasi yang penting ini tidak mampu
berbuat banyak selain sebagai ‘pendukung’ kebijakan rezim yang setia.Akibatnya
mereka lebih banyak meliput hal-hal yang berbau human interest,kriminalitas,dan
13
pornografi dibanding dengan bertindak sebagai pengawas dalam sistem politik
Indonesia.Dalam situasi ini nyaris komunikasi politik yang seharusnya mengalir
secara timbale balik antara masyarakat dengan Negara tidak berjalan dengan baik.
b. Penopang Kekuasaan Orde Baru
Betapa kuatnya kekuasaan Orde Baru itu sehingga menarik untuk
dianalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penopangnya. Secara umum
sedikitnya ada empat sumber utama yang menjadi penopang kekuasaan Orde
Baru.
Pertama, represi politik. Sejak Orde Baru melakukan konsolidasi politik
pada awal 1970an,tindakan kekerasan dan represif merupakan instrument utama
yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai stabilitas politik.Organisasi militer
yang ditempatkan hingga ke desa-desa dalam bentuk Bantara Pembina Desa
(Babinsa),sementara dalam waktu bersamaan pemerintahan Orde Baru telah
mendirikan banyak instrument guna melakukan represi terhadap warga negaranya.
Kedua, klientelisme ekonomi. Ini dilakukan seiring dengan melmpahnya
sumber ekonomi yang berasal dari hasil ekspor minyak dan hasil alam
lainnya.Dengan sumber inilah Soeharto berhasil secara efektif membeli dukungan
elit dan masyarakat luas.
Ketiga, wacana partikularistik.Dalam kaitan ini Orde Baru telah
mengembangkan banyak wacana partikularistik yang diorientasikan untuk
memapankan Orde Baru seperti wacana tentang demokrasi Pancasila , tanggung
jawab sosial warga negara,Hak Asasi Manusia(HAM) dan lain sebagainya.Dengan
demikian jika politik represi dan klientelsme ekonomi adalah meknisme control
terhadap perilaku politik maka politik wacana merupakan mekanisme kotrol
terhadap persepsi dan pola pikir partisipan politik
Keempat, korporatisme negara. Korporatisme Negara dilakukan terhadap
organisasi masyarakat yang diarahkan sebagai sumber mobilisasi
massa.Korporatisme ini mewujud dalam bentuk penunggalan kelompokkelompok profesi dan kepentingan yang kebawah menempati posisi penting di
hadapan anggotanya, tetapi sangat rentan terhadap intervensi negara.Beberapa
14
oganisasi korporatis di antaranya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI),Persatuan
Guru Republik Indonesia(PGRI),Kamar Dagang dan Industri(KADIN),dan
sebagainya.
c.
Peran dan Posisi Militer
Pada masa Orde Baru tidak dapat disangkal lagi bahwa militer mempunyai
peran yang cukup signifkan dalam menopang kekuasaan otoriter Orde Baru. Oleh
karenanya pembahasan system otoriter Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari
peran militer dalam menopang kekuasaan melalui paradigm dwifugsi
ABRI.Dwifungsi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut dua peran
yang dikejakan oleh militer yakni fungsi tempur dan fungsi pembinaan wilayah
atau masyarakat.
Namun sayangnya konsep dwifungsi semacam ini telah membuka peluang
bagi penyalahgunaan tentara sebagai alat Negara menjadi sekedar alat kekuasaan
yang digunakan untuk menopang kekuasaan Soeharto. Oleh karena itu tentara
lebih diorientasikan untuk menjaga kelanggenga kekuasaan soeharto melalui
kekerasan terhadap warga negaranya dibandingkan dengan di orientasikan untuk
mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan eksternal.Dalam situasi
separti ini para tentara lebih gemar memerangi rakyatnya sendiri yang tidak
sepaham dengan penguasa dibandingkan menjadi tentara professional yang
menjaga intregritas kdeaulatan rakyat.Dalam kaitannya dengan dwifungsi ABRI
setidaknya ada tiga peran yang mereka mainkan dalam usaha untuk menopang
kekuasaan Soeharto.
Pertama, militer menepati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur,
bupati, anggota Golkar dan duduk di anggota DPR. Misalnya pada tahun 1966
anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dan 27 anggota kabinet,
di DPR 75 anggota militer menduduki kursi DPR. Di tingkat daerah pada tahun
1968 sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer dan meningkat menjadi
92% pada tahun 1970.
Kedua, militer menghagemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti dalam kasus
pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan kassospol ABRI
15
Letjend Syarwan Hamid yang mengumpulkan para guru besar dari seluruh
Indonesia di Bogor pada tahun 1997 yang bertujuan untuk “memberi informasi”
mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik dan bangkitanya komunisme baru.
Ketiga, militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.
Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini diantaranya adalah Orde Baru
melakukan pembunuhan pada ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno
serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971);
pembunuhan missal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984)
dan masih banyak lainnya.
Selain peran di atas implikasi kuatnya peran militer pada masa Orde Baru
adalah membudayanya bisnis militer. Dalaam hal ini, George Junus Aditjandra
mengungkapkan ada tiga bisnis militer yakni pertama, bisnis institusional ABRI
yang berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung yayasan militer dan
polisi. Kedua,adalah bisnis nonistitusional ABRI yakni bisnis milik punawirawan
ABRI dan kelurga mereka yang sudah berkembang menjadi konglomerat yang
kuat.Hubungan bisnis institusional dan noninstitusional ini sudah sangat
jelas.Kerabat dan koroni Soeharto sudah lama memiliki kebiasaan merekrut bekas
komandan TNI dan Polri ke dalam perusahaan mereka dalam posisi sebagai
komosaris Sebaliknya banyak para perwira dan mantan perwira yang dikaryakan
ke badan-badan usaha milik Negara(BUMN),yang ternyata sangat lihai menguras
perusahaan tersebut untuk kepentingan pribadi.Ketiga,criminal economy atau
disebut “bisnis kelabu” militer. Menurut Aditjandra kaki ketiga bisnis militer ini
cukup luas cakupannya mulai dari pemungutan biaya proteksi dan perusahaanperusahaan raksasa yang ingin dilidungi, dan jarahan kelompok-kelompok
perusuh bersenjata api maupun bersenjata tajam, dan punya massa yang cukup
banyak untuk melakukan intimidasi sampai dengan penjualan senjata secara
iliegal,petdagangan narkoba, perdagangan PSK, sampai dengan perdagangan flora
dan fauna langka.
d. Krisis dan Keretakan Sistem Orde Baru
16
Kejatuhan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari krisis moneter yang
melanda Indonesia pada pertengahan 1997. Krisis ini telah membuat tekanan
masyarakat berkembang semakin kuat. Dalam kaitan ini, organisasi serta tokohtokoh politik kemudian dapat mengubah berbagai tuntutan dan kepentingan
masyarakat menjadi tekanan unttuk perubahan yang bersifat terpusat. Dengan kata
lain,krisis menjadi katalisator penting bagi tuntutan perubahan di Indonesia.
Kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi€€€ krisis tersebut
membuat legimitasi pemerintahan Soeharto hancur berantakan.Bahkan lebih
parahnya lagi, rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi, dan akibatnya krisis ekonomi berkembang menjadi
krisis politik. Krisis ekonomi telah mendorong kehancuran kredibilitas
pemerintah, kehancuran kredibilitas pemerintah di mata masyarakat luas dan
dunia internasional tersebut telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan(thrust)
yang dapat dilihat dari pernyataan pejabat represntatif Bank Dunia untuk
Indonesia, Dennis de Tray ketika pemerintah meminta pertolongan IMF.
Menurutnya Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi melainka mengalami
krisis kepercayaan. Krisis keperayaan masyarakat terhadap pemerintahan dapat
dilihat dari respon masyarakat yang sering kali brlawanan dengan tujuan dan arah
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selama ini legimitasi utama pemerintahan Orde Baru adalah pada
pembangunan ekonomi. Di luar itu, keberhasilan ekonomi rezim ini tidak
mempunyai basis legimitasi apapun. Pembangunan (developementalism) telah
menjadi ideologi rezim yang di propagandakan ke seantero Indonesia. Pihakpihak yang menentang disingkirkan dan dianggap subversif. Bahkan krisis
ekonomi juga telah menyadarkan banyak pihak bahwa pembangunan ekonomi
yang katanya kokoh ternyata tidak mampu menahan gejolak ekonomi global.
Sebaliknya Indonesia menjadi negara yang paling lama keluar dari krisis ekonomi
jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga yang mengalami krisis yang
sama.Selanjutnya akibat dari krisis moneter yang sangat parah adalah pilar-pilar
ekonomi Indonesia mengalami keguncangan.Sektor ekonomi modern seperti
industry, kontruksi, dan keuangan telah hancur berantakan. Dampak yang
17
ditimbulkannya adalah jutaan kaum pekerja telah kehilangan lahan kehidupanya
sehingga menambah jumlah orang yang masuk dalam bariasan pengagguran.
Ringkasnya tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis moneter yang berujung
pada krisis multidimensi telah membuat kondisi kemiskinan semakin memburuk.
Penyakit pembangunan yang muncul sebagai akibat dari pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan yang dilaksanakan sejak tahun 1960 telah merajarela
dan bertambah parah seiring ketersediaan laapangan pekerjaan,pendidikan untuk
kaum miskin, akses layanan kesehatan gizi balita, dan jaminan lingkungan yang
semakin buruk ataupun korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bertambah luas serta
amburadulnya penegakan hukum
E. Bisnis Dan Politik Pada Paska Pemerintahan Soeharto (Orde Baru
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada medio 1997- 1998
menimbulkan implikasi multidimensi. Pengunduran diri presiden Soeharto pada
21 Mei 1998, tidak hanya dimaknai sebagai momentum tabula rasa, melainkan
momentum perubahan bagi banyak aspek di Indonesia. Bisnis dan politik pasca
Orde Baru memperlihatkan perbedaan pola dibandingkan era Soeharto berkuasa.
Bagaimanakah pergeseran pola hubungan bisnis dan politik pasca Orde Baru?
Untuk menjawabnya menurut hemat saya dapat dilihat dengan melihat era orde
Baru dan era Reformasi.
1.
Orde Baru
Orde Baru mewarisi kondisi ekonomi yang buruk dari Orde Lama, hal ini
dapat dilihat pada sejumlah data sebagai berikut cadangan devisa menciut sampai
nol (pada 1965), inflasi meningkat sampai 650% (pada 1966); daerah pedesaan
Jawa tergolong sangat miskin, menyebabkan Nathan Keyfitz menggambarkannya
sebagai “sesak napas karena kekurangan tanah”. Fokus di awal pemerintahan ialah
menyelamatkan perekonomian nasional. Masa Orde Baru untuk kemudian
menyusun blue print pembangunan melaui pembangunan lima tahun dan
Pembangunan jangka panjang (25 tahun). Kalangan teknokrat yang dipimpin
18
Widjojo Nitisastro memberikan landasan ilmiah dan merancang bangun
perekonomian nasional.
Orde Baru menggunakan konsep stabilisasi politik dan pembangunan
ekonomi. Konsep tersebut berimbas langsung pada bisnis dan politik.
Pembangunan ekonomi yang dikembangkan mengandalkan pada pertumbuhan
ekonomi, sedangkan stabilisasi politik berupa penguatan Negara dari segala
bentuk oposisi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada Orde Baru menurut
Perkins tidak bisa dilepaskan dari bias delusi yang dilakukan pihak barat untuk
menopang keuntungan sejumlah korporat. Pertumbuhan ekonomi yang
mengandalkan pada konglomerasi secara kritis dimaknai sebagai ersatz
kapitalisme oleh Yoshihara Kunio.
Yoshihara Kunio menuturkan pola hubungan bisnis dan politik di
Indonesia ialah ersatz capitalism. Secara asal kata ersatz (bahasa Jerman) berarti
subtitusi atau pengganti, kata ini digunakan dalan bahasa Inggris berarti pengganti
yang lebih inferior. Secara etimologis kapitalisme ersatz berarti bukan
kapitalisme yang tulen. Ada dua hal yang menyebabkan kapitalisme menjadi
ersatz; pertama campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu
prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis, kedua
kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang
memadai.
Kapitalisme Asia Tenggara (termasuk Indonesia) disebut semu karena ia
didominasi oleh para pemburu rente (rent seekers).Bersifat semu dikarenakan
didominasi oleh kaum kapitalis Cina. Sebenarnya, terdapat jenis- jenis kapitalis
yang janggal seperti kapitalis konco dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada
pemimpin- pemimpin politik, anak- anak dan sanak keluarga mereka, dan
keluarga keraton terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya
proteksi terhadap kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi,hak monopoli, dan
subsidi pemerintah ( dalam bentuk pinjaman berbunga rendah dari lembagalembaga keuangan pemerintah). Sebagai akibatnya, telah tumbuh dengan subur
segala macam penyelewengan.
19
Kapitalisme yang tumbuh berupa konglomerat yang dimanjakan dan
dibesarkan oleh Negara. Negara dan pemerintah di era tersebut teramat
menentukan dalam bidang ekonomi dan politik. Liddle bahkan menyebutkannya
dengan Soeharto deterministik. Suatu istilah yang tidak berlebihan mengingat
kalangan konglomerat yang tumbuh berkembang memperoleh rente dari
kedekatannya dengan penghuni Cendana ini. Dalam buku Kunio dijelaskan di
bagian lampiran mengenai profil singkat konglomerat yang tumbuh dari rahim
penguasa seperti Sukamdani Sahid, Probosutedjo, Sudwikatmono, putera- puteri
presiden, Ciputra, Bob Hasan, Sudono Salim, dan sebagainya.
Berkaitan dengan campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dapat
dilihat pada kasus mobil nasional pada tahun 1996. Campur tangan berlebihan
dapat dilihat pada pembebasan bea berupa pajak barang mewah 35 %, PT Timor
Putra Nasional (pemiliknya Tommy Soeharto) menjadi satu satunya perusahaan
yang mendapat keistimewaan mobil nasional. Penyikapan seperti inilah yang
menjadi potret dari pola hubungan bisnis- politik di era Orde Baru. Peraturan
disesuaikan agar menguntungkan bagi kongsi yang sealiran dengan pemerintahan.
Harapan melihat munculnya kelas menengah dan kalangan kapitalis tulen
tereduksi secara serius. Kalangan kapitalis justru menjadi penikmat status quo
dikarenakan pemburuan rente yang dilakukan, sehingga menjelaskan stabilisasi
politik yang terjadi dengan merangkul kekuatan modal ke dalam pilar penyangga
kekuasaan.
Berkaitan dengan perkembangan teknologi yang memadai. Arah kebijakan
teknologi Indonesia yang mengarah pada tingkat tinggi berupa pembuatan
pesawat terbang, helikopter, namun abai terhadap teknologi pertanian, tekstilmenimbulkan ambivalensi ekonomi. Di satu sisi Indonesia terlihat maju dengan
membangun industri dalam skala high cost, yang memerlukan keahlian tinggi dan
modal besar; namun di sisi lain teknologi fundamental dan merakyat serta
menyangga perekonomian bangsa tidak berkembang dengan optimal.
Orde Baru dalam kaitannya dengan korporat asing juga menerapkan pola
rente. Pembangunan infrastrukur, pertambangan, listrik, dan teknologi tinggi
lainnya membawa pemodal asing masuk ke Indonesia. Kontrak jangka panjang
20
(seperti Kontrak Karya Pembangunan Freeport), dikarenakan besarnya modal dan
diharapkan dapat terjadi alih teknologi di kemudian hari. Korporat asing di Orde
baru pun menikmati pola bisnis- politik yang diterapkan. Model kolusi
memungkinkan bagi pengabaian aspek lingkungan, corporate social
responsibility, dan rendahnya upah buruh sebagai keunggulan komparatif
Indonesia. Pola ini yang membawa implikasi pada kronisnya krisis ekonomi yang
menghantam Indonesia dan membawa implikasi sosial politik yang rumit. Pada
bagian reformasi dapat dilihat bagaimana pola ini mengalami pergeseran.
2.
Masa Reformasi
Masa reformasi menggenggam harapan bagi perbaikan Indonesia ke
depannya dibanding era pendahulunya. Namun harapan terkadang bersebrangan
dengan kenyataan. Melihat masa reformasi konsep korporatokrasi yang digagas
John Perkins layak untuk diutarakan sebagai analisa. Korporatokrasi
menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai
korporasi besar, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan
finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak
mereka. Istilah korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan betapa
korporasi atau perusahaan besar dalam kenyataannya dapat mendikte, bahkan
kadang- kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka.
Meredupnya peran Negara dikarenakan sorotan publik yang begitu besar
dan arus tuntutan reformasi yang menghendaki pembagian kekuasaan. Pemerintah
yang berkuasa sepanjang era Reformasi merupakan aliansi koalisi sehingga dalam
menjalankan kekuasaannya tidak bisa serta merta apa yang diinginkan itu yang
dilakukan.Masa Habibie(era transisi-dengan dukungan dari Golkar & militer)
Masa Abdurahman Wahid (poros tengah- kalangan partai Islam), Masa Megawati
(PDIP ) Masa Susilo Bambang Yudhoyono (koalisi besar ;Demokrat-7,45% suara
nasional, Golkar, PKS, PBB), memperlihatkan bagaimana pemerintah harus
melakukan kompromi dalam menjalankan roda kekuasaannya.
Masa Reformasi memperlihatkan bagaimana kepentingan bisnis mampu
mempengaruhi domain politik. Konglomerat yang dibesarkan oleh Orde Baru,
21
tumbuh sendiri, ataupun korporat besar asing mampu mempengaruhi pemerintah
yang memerlukan pilar ekonomi untuk menunjang kepemimpinannya. Contoh
dari korporatokrasi dapat dilihat pada Peraturan Presiden No 77/ 2007 tentang
kepemilikan modal, pihak asing diperbolehkan memiliki 95 % kepemilikan di
bidang pembangkit tenaga listrik, jasa pengeboran minyak dan gas bumi,
pengusahaan air minum. Peraturan ini memberi aturan legal bagi perusahaan asing
untuk menguasai sendi- sendi vital bangsa.
Korporatokrasi ini jika ditilik dari bisnis dan politik merupakan konsep
destruktif bagi keduanya. Dari sisi bisnis, korporat raksasa dengan bantuan
economic hit man akan membuat ekuilibrium bisnis semakin timpang. Korporatkorporat besar akan semakin mengglobal dan menghegemonik dalam penguasaan
modal, di samping itu ciri kapitalisme sejati berupa persaingan bebas tidak terjadi
lagi. Dari sisi politik , kedaulatan pemerintah akan dipertanyakan, ataukah sekedar
komprador korporat besar.
Menilik pola hubungan bisnis dan politik pada era Orde Baru dan masa
Reformasi maka kita belum melihat tertujunya pola menuju kesejahteraan
bersama. Kemakmuran hanya dinikmati segelintir saja dan gagal terdistribusi ke
masyarakat secara keseluruhan. Masa reformasi terlebih menjelang pemilihan
presiden memiliki momentum politik untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam
melihat pola bisnis- politik. Alternatif ekonomi kerakyatan, jalan ketiga Giddens,
ekonomi syariah, merupakan sekian opsi yang tersedia untuk membawa Indonesia
ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
[ ] Husen Umar, 2003, Business An Introduction, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal. 3.
[ ] S. Sumarsono, [et. All], 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Hal. 137.
[ ] Sahid gentara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hal. 44..
22
23
BISNIS DAN POLITIK DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
(Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Politik
Indonesia)
Dosen: Ruhenda S. Ag., MM
Disusun oleh:
Diyas
Elga Siti Mardiyani
Elgan Briliaji
Elis Mardiana
Elva Salimah
Fachrirrizal M R
Fitrianty Rohimatunisa
Kelas II/C
Jurusan Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
BAB I
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Politik dan bisnis mempunyai pola hubungan yang saling terkait.
Layaknya hubungan timbal balik antar individu, aktifitas politik seharusnya dapat
menunjang kegiatan bisnis dalam sebuah lingkup Negara. Hal yang sama terjadi
dengan bisnis yang dapat mendukung kegiatan politik untuk mempertahankan
kedaulatan Negara.
Tidak heran, jika kita lihat para pelaku bisnis sangat dekat dengan dunia
politik. Bahkan, beberapa di antaranya juga merupakan figur politik yang sangat
dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan mereka dapat kita rasakan saat pemilihan
kepala daerah maupun pemilihan anggota legislative baik di tingkat nasional
maupun tingkat daerah. Mereka menyadari bahwa para elit politik ini memegang
peranan penting dalam membuat kebijakan yang nantinya akan menentukan iklim
perekonomian di daerah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari bisnis dan politik?
2. Bagaimana teori hubungan Bisnis dan Politik?
3. Bagaimana perkembangan Bisnis dan Politik pada masa pemerintahan
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2
A. PENGERTIAN BISNIS
Terdapat dua pengertian pokok mengenai bisnis, pertama, bisnis
merupakan kegiatan-kegiatan, dan kedua, bisnis merupakan sebuah perusahaan.
Para ahli pun mendefinisikan bisnis dengan cara berbeda. Definisi E. Glos dalam
bukunya ”Business: Its Nature and Environment: An Introduction”, dianggap
memiliki cakupan yang paling luas, yakni:
“Bisnis merupakan seluruh kegiatan yang diorganisasikan oleh orang-orang
yang berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan
barang dan jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki standar
serta kualitas hidup mereka."
Dalam suatu perekonomian yang kompleks saat ini, orang harus
menghadapi tantangan dan risiko untuk mengkombinasikan tenaga kerja, material,
modal, dan manajemen secara baik sebelum memasarkan suatu produk. Orangorang demikian itu dikenal sebagai pengusaha. Motivasi utama kegiatan bisnis
adalah laba yang didefinisikan sebagai perbedaan antara penghasilan dan biayabiaya yang dikeluarkan. Dalam bisnis, para pengusaha harus dapat melayani
pelanggan dengan cara yang menguntungkan untuk kelangsungan hidup
perusahaan dalam jangka panjang, selain harus selalu mengetahui kesempatankesempatan baru untuk memuaskan keinginan pembeli.[1]
B. PENGERTIAN POLITIK
Kata “politik” Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang
akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia,
politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga
negara suatu bangssa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip,
keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
tertentu yang kita kehendaki.[2]
1[ ] Husen Umar, 2003, Business An Introduction, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal. 3.
2[ ] S. Sumarsono, [et. All], 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Hal. 137.
3
Menurut Aristoteles politik adalah sebagai suatu asosiasi warga negara
yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut
kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat.3
Menurut Mirchell dalam Political Analiysis and Public Policy: “Politics is
collective decision making or the making of public policies for an entire society”
(politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan
atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya”).4
C. TEORI HUBUNGAN BISNIS DAN POLITIK
Hubungan bisnis dengan politik merupakan hubungan yang sangat erat
kaitannya dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Politik akan
memberikan pengaruh yang sangat besar untuk perjalanan bisnis anda. Situasi
politik yang tidak stabil akan mengakibatkan perekonomian yang merosot
sehingga memiliki dampak besar terhadap bisnis yang sedang anda jalani.
Maka dari itu jika anda akan melakukan sebuah bisnis maka anda
seharusnya memiliki kepekaan dan pengetahuan terhadap politik yang sedang
terjadi sehingga anda mampu untuk membaca dan memprediksi perkembangan
bisnis yang akan terjadi dimasa yang akan datang sehingga anda harus
mempersiapkan strategi bisnis yang terbaik untuk mengatasinya. Apalagi bisnis
yang anda jalani merupakan bisnis lintas negara yang sedang mengalami konflik
politik, anda harus bersiap siap jika sesuatu hal pecah yang mengakibtkan sebuah
konflik yang sangat besar yang akan berdampak negatif pada bisnis anda seperti
konflik perang, konflik pemboikotan atas sebuah produk tertentu, atau perubahan
kebijakan pemerintah dan konflik konflik politik lainnya yang mungkin akan
mengakibatkan dampak negatif dan kerugian terhadap bisnis anda. Karena politik
yang berlaku disuatu negara akan mempengaruhi lingkung perekonomian atau
kinerja bisnis yang mungkin akan memanas.
3[ ] Sahid gentara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hal. 44..
4[ ] Sahid gentara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hal. 47.
4
Permasalahan politik yang ada juga akan berpengaruh terhadap bisnis
bisnis yang kecil hingga menengah. Bisnis bisnis dengan level menengah ke
bawah akan merasakan dampak dari politik yang ada, makanya anda harus
mengetahui perubahan apa yang akan terjadi dari sebuah politik pemerintahan
atau sebuah kebijakan pemerintahan, apakah mendukung atau bahkan merugikan.
Anda harus menyadarinya dan harus selalui mencari informasi politik terutama
yang akan mempengaruhi untuk bisnis anda sehingga anda tidak terkena resiko
yang akan ditimbulkan dari dampak politik yang tidak bersahabat dengan bisnis
yang anda jalani. Karena hubungan bisnis dengan politik merupakan sesuatu yang
bisa berjalan dengan saling berdampingan untuk mencapai sebuah tujuan sesuai
dengan rencana bisnis dan rencana politik untuk menghasilkan sebuah
perekonomian yang lebih baik, tapi hubungan bisnis dengan politik juga akan
berjalan dengan saling berlawanan yang mengakibatkan terjadi ketidak
sepahaman sehingga menimbulkan dampak negatif dari salah satu bidang, baik itu
dampak negatif bagi bidang politik atau dampak negatif bagi perjalanan bisnis.
Ada beberapa aspek lingkungan politik yang harus anda ketahui dan harus
anda pertimbangkan ketika anda melakukan bisnis yaitu :
1.
Stabilitas Pemerintahan. Stabilitas pemerintahan akan sangat penting untuk
sebuah bisnis, karena masa depan bisnis akan bergantung pada politik yang
sedang berlangsung. Ketidak stabilan politik akan membuat anda kesulitan
untuk menjalankan sebuah bisnis, sebuah perubahan politik yang mendadak
akan mengakibatkan anda kehilangan modal dan kerugian yang besar dan
2.
risiko kehilangan bisnis yang besar.
Hubungan Internasional. Hubungan suatu pemerintahan antara negara yang
satu dengan yang lainya tidak selalu stabil, bisa saja terjadi keburukan situasi
politik yang akan mengakibatkan dampak terutama bagi anda yang
melakukan bisnis online. Biasanya dampak politik yang tidak baik terhadap
bisnis online berada pada proses pembayaran yang tidak berjalan dengan
sempurna karena kebanyakan proses pembayaran di bisnis online
menggunakan Paypal atau dengan Clickbank sehingga akan berakibat
5
berkurangnya penjualan bagi negara negara tertentu yang sedang mengalami
3.
konflik politik karena proses pembayaran yang mengalami hambatan.
Birokrasi Pemerintahan. Lingkungan politik seperti ini akan menghambat
sebuah bisnis yang dibangun secara lintas negara. Investor dan pengusaha
asing akan mengalami kesulitan untuk membuka bisnis karena pemerintahan
setempat akan mencegah untuk tumbuhnya perusahaan asing yang potensial
untuk tumbuh disuatu negara.
D. BISNIS DAN POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA
a. Bisnis Dan Politik Pada Masa Soekarno
1. Ekonomi dan Bisnis pada masa pemerintahan Soekarno.
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk,
antara lain disebabkan oleh :
a.
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata
uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu)
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai
sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
b.
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
c.
d.
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, Proklamator sekaligus Presiden
pertama Indonesia, perekonomian Indonesia tidak dapat lepas dari sosok Ir.
Soekarno. Sebagai orang yang pertama memimpin Indonesia boleh dibilang
6
Soekarno adalah peletak dasar perekonomian Indonesia. Beberapa kebijakan yang
diambil dibawah pemerintahan Soekarno diantaranya :
1. Nasionalisasi Bank Java menjadi Bank Indonesia
2. Mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak
3. Berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan eksporimpor
4. Serta beberapa kebijakan lainya yang ditujukan untuk memajukan
perekonomian indonesia.
Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya
Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik
Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah. Setelah kemerdekaan
hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit,
karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang
sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan
ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu
merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing,
dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial-politik dan
keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.
Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance
development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with
Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam
mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini
tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik
dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersamasama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah
terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965. Pada masa
pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem
ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi.
Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam
beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal
7
tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan
pada ekonomi negara.
2.
Politik pada masa pemerintahan Soekarno (Orde Lama).
Di bawah kepemimpinan Soekarno, politik luar negeri RI pasca awal
kemerdekaan lebih difokuskan ke arah upaya memperoleh pengakuan dari dunia
internasional. Sejak diberlakukannya Dekrit Presiden tahun 1959, sistem
pemerintahan negeri ini pun beralih ke Demokrasi Terpimpin. Dikeluarkannya
dekrit ini dipengaruhi oleh berbagai situasi politik domestik saat itu, antara lain
karena kabinet yang ada seringkali tidak berjalan lama, adanya disintegrasi –
terjadi karena adanya ketidakpuasan daerah terhadap pengelolaan sumber daya
alam yang mayoritas hasilnya dinikmati penduduk ibukota, sehingga
memunculkan gerakan pemberontakan lokal−, dan perdebatan di konstituante –
penyerahan mandat oleh Ali Sastroamijoyo kepada Presiden Soekarno yang
mengusung ide Demokrasi Terpimpin, yang selanjutnya disusul dengan
pengunduran Hatta sebagai wakil presiden−. Di tahun 1960an, politik luar negeri
RI dalam masa Demokrasi Terpimpin juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat
itu Indonesia menentang keras adanya nekolim –imperialisme, kolonialisme, dan
neokolonialisme− (Bunnell, 1966:37). Di sini konfrontasi merupakan jalan utama
yang diambil Indonesia terkait kebijakan politik luar negerinya. Politik luar negeri
masa Demokrasi Terpimpin marupakan aktualisasi dari doktrin-doktrin Soekarno
yang dicetuskan lewat pidato-pidato politiknya.
Penolakan terhadap nekolim ini bisa dilihat dari upaya pemerintah dalam
pembebasan Irian Barat yang saat itu berada di bawah naungan Belanda.
Indonesia juga begitu bersemangat dalam mencari dukungan internasional demi
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Dalam masa
pemerintahannya, Soekarno sebagai sosok yang kharismatik memiliki peran yang
sangat signifikan terhadap kebijakan terkait politik luar negeri RI. Kebijakan
Soekarno dalam politik luar negeri –konfrontasi− didasarkan pada dua faktor
utama, yakni ideologi dan psikologi. Dari segi ideologi, Soekarno menganut
8
paham neo-Marxis Leninis yang menentang hegemoni negara kapitalis Barat
(Bunnell, 1966:38). Sedangkan dalam segi psikologi, trauma akibat kolonialisme
yang begitu lama membuat Soekarno perlu untuk mencantumkan politik
konfrontasi sebagai arah kebijakan politik luar negerinya. Soekarno pun
cenderung condong kepada komunis, hal ini termanifestasikan dalam ide
pembentukan NEFOS (New Establishment Forces) yang terdiri dari negara-negara
progresif sebagai tandingan OLDEFOS (Old Establishment Forces) yang terdiri
dari negara-negara kekuatan lama (negara kapitalis). Kemunculan poros serupa
seperti Poros Jakarta-Peking juga semakin menegaskan bahwa Indonesia condong
ke komunis.
Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat diantaranya melalui
perjanjian. Puncaknya adalah ketika dihelatnya KMB pada tahun 1949 di Den
Haag, Belanda. Dalam perundingan tersebut, terjadi kebuntuan antarsesama
anggota, sehingga akhirnya diputuskan bahwa pembahasan selanjutnya akan
diadakan setahun mendatang. Perjanjian tersebut membawa dampak yang
merugikan terhadap Indonesia, karena banyak poin dalam perjanjian yang
dilanggar oleh Belanda. Soekarno akhirnya menggunakan jalan “keras” dalam
membebaskan Irian Barat, diantaranya dengan strategi kekuatan bersenjata,
misalnya aksi massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di Irian
Barat dengan bantuan senjata dari Uni Soviet, karena pada saat itu Amerika
Serikat menolak untuk memberi bantuan senjata kepada Indonesia. Aksi yang
dilakukan Indonesia ini menarik perhatian Amerika Serikat, sehingga Amerika
Serikat pun mendesak Belanda untuk segera berunding dengan Indonesia dengan
menitikberatkan pada syarat-syarat perundingan yang menguntungkan Indonesia.
Amerika Serikat melakukan ini karena ia khawatir terhadap kemungkinan
terjadinya konflik bersenjata. Setelah perjuangan yang begitu lama, akhirnya Irian
Barat resmi kembali ke pangkuan Indonesia tanggal 5 September 1963 setelah
pengesahan Persetujuan New York tanggal 15 Agustus 1962.
Di samping persengketaan Irian Barat, Indonesia juga terlibat dalam
Konfrontasi Malaysia rentang tahun 1962 hingga 1966 yang dipicu oleh
pembentukan Federasi Malaysia. Hal ini memunculkan konsepsi “Ganyang
9
Malaysia” sebagai wujud penolakan dan perlawanan terhadap neokolonialisme
yang terjadi di Malaysia. Saat itu, Inggris berupaya memasuki negara tersebut
untuk melakukan ekspansi. Soekarno merasa bahwa Federasi Malaysia
merupakan ancaman baru kolonialisme dan imperialisme di kawasan Asia
Tenggara, karena nilai-nilai yang ada dalam Federasi Malaysia bertolak belakang
dengan asas politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia. Federasi
Malaysia, menurut pandangan Soekarno, merupakan negara boneka buatan
Inggris. Konflik kian memanas, ditandai dengan penolakan Indonesia untuk
mengakui Malaysia yang dibentuk September 1963. Indonesia akhirnya
memutuskan untuk mundur dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965 setelah
PBB menetapkan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanannya.
Soekarno menganggap PBB tidak adil dan mengutamakan kepentingan negara
besar, yang umumnya adalah Blok Barat. Keputusan ini membuat pembangunan
dan modernisasi di Indonesia sedikit terhambat, karena menjauhkan Indonesia
dari pergaulan internasional.
Pasca keluar dari PBB, Soekarno mengusung ide untuk membentuk
NEFOS (New Establishment Forces) untuk menandingi OLDEFOS (Old
Establishment Forces). NEFOS merupakan kumpulan negara-negara progresif
yang di satu sisi berusaha mempertahankan kolonialisme, namun di sisi lain juga
memberlakukan neokolonialisme (negara boneka). Sedangkan OLDEFOS
merupakan kumpulan dari negara-negara kokoh kapitalis, bersifat dominan tetapi
tidak progresif. Ide Soekarno ini semakin menguatkan pendapat bahwa ia
memihak komunis dan begitu gencar melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme Barat. Indonesia pun mendukung GANEFO
sebagai upaya untuk membentuk solidaritas antarnegara dunia ketiga lewat Politik
Mercusuar. Indonesia juga tidak segan-segan untuk mempererat hubungannya
dengan negara-negara komunis dengan menjalin kerjasama di berbagai bidang,
misalnya seperti yang tertuang dalam Poros Jakarta-Peking (Jakarta-PyongyangHanoi-Peking). Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena
konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan
militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris,
10
Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan
bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, posisi Indonesia
sebagai negara muda membuatnya banyak membutuhkan dana asing untuk
membiayai pembangunannya, namun jika bergantung pada negara-negara kuat
seperti AS maupun Inggris, maka akan lebih sulit bagi Indonesia karena bunga
dan persyaratan yang diajukan memberatkan Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia
perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dengan persyaratan yang
mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Ketiga, kerjasama Indonesia dengan
China dan Uni Soviet yang notabene anggota Dewan Keamanan PBB, dirasa
sangat menguntungkan bagi posisinya di PBB, karena akan membuat aspirasinya
lebih didengar.
Dari pemaparan di atas, kita tahu bahwa Soekarno sangat anti terhadap
kolonialisme dan imperialisme, terbukti dengan politik konfrontasi yang
dijalankannya. Politik konfrontasi ini berhasil mengembalikan Irian Barat ke
pangkuan ibu pertiwi. Namun, kita bisa melihat bahwa Soekarno tidak konsisten
dalam menjalankan politik luar negerinya, yang dahulu bersifat bebas aktif.
Secara tidak langsung politik konfrontasi ini juga membuat Indonesia sedikit jauh
dari pergaulan internasional karena keputusannya untuk mundur dari PBB.
b. Bisnis Dan Politik pada Masa Soeharto
1. Bisnis Pada Masa Pemerintahan Soeharto
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang
bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang
luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing. Pada era tahun
1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai
ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar
7% antara tahun 1968 sampai 1981. Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang
akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan
pelemahan nilai rupiah yang terkendali, selanjutnya mengalirkan investasi asing
ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada tahun
1989 sampai 1997 Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun
11
1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,
yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden
Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
2.
a.
Politik Pada Masa Pemerintahan Soeharto
Sistem Otoritarianisme Orde Baru
Di dalam system orde baru model negara Indonesia merupakan model
negara kapitalis, model ini mensyaratkan adanya negara yang kuat yang mampu
menjamin stabilitas politik dan keamanan yang berkelanjutan. Stabilitas politik
yang kuat ini diorientasikan untuk memberi rasa aman bagi investasi dan
implementasi kebijakan pembangunan yang diprakarsai oleh negara. Oleh karena
itu, negara Orde baru secara intensif memelihara stabilitas politik melalui dua
srategi yaitu strategi diskursif pembangunan institusional. Strategi diskursif yang
telah dilaksanalkan meiputi pemikiran mengenai diskontiniutas historis dan
konstituisionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana
pengembangan hagemoni kekuasaan dibangun, melainkan sebagai justifikasi
untuk menghalalkan “penindasan fisik, pelarangan, dan penggusuran orang-orang
yang tidak sepaham”. Pada level institusioal pemikiran mengenai negara yang
kuat diimplementasikan melalui rancangan koporatis terhadap organisasiorganisasi sosial-politik dan kelompok-kelompok di masyrakat yang memiliki
pengaruh besar dalam penggalangan politik seperti organisasi buruh,kelompok
industri,kelompok keagamaan,serta organisasi kepemudaan.
Dalam masyarakat politik Orde Baru seperti ini, mobilisasi massa yang
melibatkan sebagian besar rakyat hanya diijinkan oleh pemerintah dalam proses
implementasi kebjakan dibandingkan dengan pengambilan keputusan di tingkat
nasional.Selama Orde Baru,berbagai actor yang menjadi penyeimbang dan
pengawas lembaga-lembaga publik seperti kelompok-kelompok kepentingan,
LSM, dan organisasi-organisasi profesi yang tumbuh dalam masyarakat telah
dikooptasi oleh rezim.Partai politik telah ”dimandulkan” melalui kebijakan massa
mengembang dan disederhanakan menjadi tiga partai saja, kondisi ini diperparah
dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga partai-partai politik tidak dapat
12
menggunakan ikatan ideoogisnya untuk mengikat konstituennya. Akibatnya,
birokrasi benar-benar menjadi institusi yang dominan dalam system politik
Indonesia. Hal ini mendorong individu-individu di dalamnya berprilaku korup,
nepotism, dan kolusif. Kuatnya dominasi Negara dan birokrasi dalam mengontrol
kehidupan masyarakat membuat pembangunan politik pada Orde Baru tidak
berjalan dengan baik.Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tehadap masa depan
Indonesia pasca-Soeharto. Begitu kuatnya kekuasaan politik Soeharto yang di
topang oleh birokrasi dan militer membuat struktur politik tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya, ini telah memandulkan fungsi-fungsi sruktur politik
”demokrasi “ hingga menjadi hanya sebagai pelayan atas keinginan-keinginan
Soeharto.
Kemandulan struktur politik dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang di
embannya juga dapat dilihat dari ketidakmampuan lembaga legislatif dalam
melakukan checks and balance terhadap lembaga eksekutif.Proses screening yang
dilakukan pada masa pemilihan umum guna memilih lembaga ini mandul secara
politik.Pada tataran tertentu mereka hanya menjadi “tukang stempel” atas
kebijakan dan produk yang diajukan oleh kalangan eksekutif.Ini juga yang terjadi
pada lembaga tertiggi Negara yaitu MPR.Selama enam kali pemilihan umum
sejak tahun 1971 hingga tahun 1997 lembaga ini hanya mampu bertindak sebagai
pengabsah Soeharto sebagai presiden.Kegagalan partai-partai politik dalam
melakukan pendidikan dan recruitment politik sebagai akibat pemandulan yang
sistematis telah membuat Soeharto menjadi tokoh sentral yang tidak mempunyai
pesaing dalam arena perebuta kursi presiden.Tokoh-tokoh alternatif dihancurkan
dalam arena persaingan kekuasaan,bahkan ketika di kalangan masyarakat mulai
muncul desakan yang kuat untuk menolak Soeharto sebagai presiden untuk
keenam kalinya,lembaga tertinggi Negara masih tetap memilihnya sebagai
presiden.
Sementara itu pemberlakuan SIUPP yang dapat mengancam keberadaan
pers sewaktu-waktu telah membuat pilar demokrasi yang penting ini tidak mampu
berbuat banyak selain sebagai ‘pendukung’ kebijakan rezim yang setia.Akibatnya
mereka lebih banyak meliput hal-hal yang berbau human interest,kriminalitas,dan
13
pornografi dibanding dengan bertindak sebagai pengawas dalam sistem politik
Indonesia.Dalam situasi ini nyaris komunikasi politik yang seharusnya mengalir
secara timbale balik antara masyarakat dengan Negara tidak berjalan dengan baik.
b. Penopang Kekuasaan Orde Baru
Betapa kuatnya kekuasaan Orde Baru itu sehingga menarik untuk
dianalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penopangnya. Secara umum
sedikitnya ada empat sumber utama yang menjadi penopang kekuasaan Orde
Baru.
Pertama, represi politik. Sejak Orde Baru melakukan konsolidasi politik
pada awal 1970an,tindakan kekerasan dan represif merupakan instrument utama
yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai stabilitas politik.Organisasi militer
yang ditempatkan hingga ke desa-desa dalam bentuk Bantara Pembina Desa
(Babinsa),sementara dalam waktu bersamaan pemerintahan Orde Baru telah
mendirikan banyak instrument guna melakukan represi terhadap warga negaranya.
Kedua, klientelisme ekonomi. Ini dilakukan seiring dengan melmpahnya
sumber ekonomi yang berasal dari hasil ekspor minyak dan hasil alam
lainnya.Dengan sumber inilah Soeharto berhasil secara efektif membeli dukungan
elit dan masyarakat luas.
Ketiga, wacana partikularistik.Dalam kaitan ini Orde Baru telah
mengembangkan banyak wacana partikularistik yang diorientasikan untuk
memapankan Orde Baru seperti wacana tentang demokrasi Pancasila , tanggung
jawab sosial warga negara,Hak Asasi Manusia(HAM) dan lain sebagainya.Dengan
demikian jika politik represi dan klientelsme ekonomi adalah meknisme control
terhadap perilaku politik maka politik wacana merupakan mekanisme kotrol
terhadap persepsi dan pola pikir partisipan politik
Keempat, korporatisme negara. Korporatisme Negara dilakukan terhadap
organisasi masyarakat yang diarahkan sebagai sumber mobilisasi
massa.Korporatisme ini mewujud dalam bentuk penunggalan kelompokkelompok profesi dan kepentingan yang kebawah menempati posisi penting di
hadapan anggotanya, tetapi sangat rentan terhadap intervensi negara.Beberapa
14
oganisasi korporatis di antaranya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI),Persatuan
Guru Republik Indonesia(PGRI),Kamar Dagang dan Industri(KADIN),dan
sebagainya.
c.
Peran dan Posisi Militer
Pada masa Orde Baru tidak dapat disangkal lagi bahwa militer mempunyai
peran yang cukup signifkan dalam menopang kekuasaan otoriter Orde Baru. Oleh
karenanya pembahasan system otoriter Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari
peran militer dalam menopang kekuasaan melalui paradigm dwifugsi
ABRI.Dwifungsi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut dua peran
yang dikejakan oleh militer yakni fungsi tempur dan fungsi pembinaan wilayah
atau masyarakat.
Namun sayangnya konsep dwifungsi semacam ini telah membuka peluang
bagi penyalahgunaan tentara sebagai alat Negara menjadi sekedar alat kekuasaan
yang digunakan untuk menopang kekuasaan Soeharto. Oleh karena itu tentara
lebih diorientasikan untuk menjaga kelanggenga kekuasaan soeharto melalui
kekerasan terhadap warga negaranya dibandingkan dengan di orientasikan untuk
mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan eksternal.Dalam situasi
separti ini para tentara lebih gemar memerangi rakyatnya sendiri yang tidak
sepaham dengan penguasa dibandingkan menjadi tentara professional yang
menjaga intregritas kdeaulatan rakyat.Dalam kaitannya dengan dwifungsi ABRI
setidaknya ada tiga peran yang mereka mainkan dalam usaha untuk menopang
kekuasaan Soeharto.
Pertama, militer menepati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur,
bupati, anggota Golkar dan duduk di anggota DPR. Misalnya pada tahun 1966
anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dan 27 anggota kabinet,
di DPR 75 anggota militer menduduki kursi DPR. Di tingkat daerah pada tahun
1968 sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer dan meningkat menjadi
92% pada tahun 1970.
Kedua, militer menghagemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti dalam kasus
pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan kassospol ABRI
15
Letjend Syarwan Hamid yang mengumpulkan para guru besar dari seluruh
Indonesia di Bogor pada tahun 1997 yang bertujuan untuk “memberi informasi”
mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik dan bangkitanya komunisme baru.
Ketiga, militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.
Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini diantaranya adalah Orde Baru
melakukan pembunuhan pada ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno
serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971);
pembunuhan missal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984)
dan masih banyak lainnya.
Selain peran di atas implikasi kuatnya peran militer pada masa Orde Baru
adalah membudayanya bisnis militer. Dalaam hal ini, George Junus Aditjandra
mengungkapkan ada tiga bisnis militer yakni pertama, bisnis institusional ABRI
yang berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung yayasan militer dan
polisi. Kedua,adalah bisnis nonistitusional ABRI yakni bisnis milik punawirawan
ABRI dan kelurga mereka yang sudah berkembang menjadi konglomerat yang
kuat.Hubungan bisnis institusional dan noninstitusional ini sudah sangat
jelas.Kerabat dan koroni Soeharto sudah lama memiliki kebiasaan merekrut bekas
komandan TNI dan Polri ke dalam perusahaan mereka dalam posisi sebagai
komosaris Sebaliknya banyak para perwira dan mantan perwira yang dikaryakan
ke badan-badan usaha milik Negara(BUMN),yang ternyata sangat lihai menguras
perusahaan tersebut untuk kepentingan pribadi.Ketiga,criminal economy atau
disebut “bisnis kelabu” militer. Menurut Aditjandra kaki ketiga bisnis militer ini
cukup luas cakupannya mulai dari pemungutan biaya proteksi dan perusahaanperusahaan raksasa yang ingin dilidungi, dan jarahan kelompok-kelompok
perusuh bersenjata api maupun bersenjata tajam, dan punya massa yang cukup
banyak untuk melakukan intimidasi sampai dengan penjualan senjata secara
iliegal,petdagangan narkoba, perdagangan PSK, sampai dengan perdagangan flora
dan fauna langka.
d. Krisis dan Keretakan Sistem Orde Baru
16
Kejatuhan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari krisis moneter yang
melanda Indonesia pada pertengahan 1997. Krisis ini telah membuat tekanan
masyarakat berkembang semakin kuat. Dalam kaitan ini, organisasi serta tokohtokoh politik kemudian dapat mengubah berbagai tuntutan dan kepentingan
masyarakat menjadi tekanan unttuk perubahan yang bersifat terpusat. Dengan kata
lain,krisis menjadi katalisator penting bagi tuntutan perubahan di Indonesia.
Kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi€€€ krisis tersebut
membuat legimitasi pemerintahan Soeharto hancur berantakan.Bahkan lebih
parahnya lagi, rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat untuk dapat mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi, dan akibatnya krisis ekonomi berkembang menjadi
krisis politik. Krisis ekonomi telah mendorong kehancuran kredibilitas
pemerintah, kehancuran kredibilitas pemerintah di mata masyarakat luas dan
dunia internasional tersebut telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan(thrust)
yang dapat dilihat dari pernyataan pejabat represntatif Bank Dunia untuk
Indonesia, Dennis de Tray ketika pemerintah meminta pertolongan IMF.
Menurutnya Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi melainka mengalami
krisis kepercayaan. Krisis keperayaan masyarakat terhadap pemerintahan dapat
dilihat dari respon masyarakat yang sering kali brlawanan dengan tujuan dan arah
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selama ini legimitasi utama pemerintahan Orde Baru adalah pada
pembangunan ekonomi. Di luar itu, keberhasilan ekonomi rezim ini tidak
mempunyai basis legimitasi apapun. Pembangunan (developementalism) telah
menjadi ideologi rezim yang di propagandakan ke seantero Indonesia. Pihakpihak yang menentang disingkirkan dan dianggap subversif. Bahkan krisis
ekonomi juga telah menyadarkan banyak pihak bahwa pembangunan ekonomi
yang katanya kokoh ternyata tidak mampu menahan gejolak ekonomi global.
Sebaliknya Indonesia menjadi negara yang paling lama keluar dari krisis ekonomi
jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga yang mengalami krisis yang
sama.Selanjutnya akibat dari krisis moneter yang sangat parah adalah pilar-pilar
ekonomi Indonesia mengalami keguncangan.Sektor ekonomi modern seperti
industry, kontruksi, dan keuangan telah hancur berantakan. Dampak yang
17
ditimbulkannya adalah jutaan kaum pekerja telah kehilangan lahan kehidupanya
sehingga menambah jumlah orang yang masuk dalam bariasan pengagguran.
Ringkasnya tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis moneter yang berujung
pada krisis multidimensi telah membuat kondisi kemiskinan semakin memburuk.
Penyakit pembangunan yang muncul sebagai akibat dari pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan yang dilaksanakan sejak tahun 1960 telah merajarela
dan bertambah parah seiring ketersediaan laapangan pekerjaan,pendidikan untuk
kaum miskin, akses layanan kesehatan gizi balita, dan jaminan lingkungan yang
semakin buruk ataupun korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bertambah luas serta
amburadulnya penegakan hukum
E. Bisnis Dan Politik Pada Paska Pemerintahan Soeharto (Orde Baru
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada medio 1997- 1998
menimbulkan implikasi multidimensi. Pengunduran diri presiden Soeharto pada
21 Mei 1998, tidak hanya dimaknai sebagai momentum tabula rasa, melainkan
momentum perubahan bagi banyak aspek di Indonesia. Bisnis dan politik pasca
Orde Baru memperlihatkan perbedaan pola dibandingkan era Soeharto berkuasa.
Bagaimanakah pergeseran pola hubungan bisnis dan politik pasca Orde Baru?
Untuk menjawabnya menurut hemat saya dapat dilihat dengan melihat era orde
Baru dan era Reformasi.
1.
Orde Baru
Orde Baru mewarisi kondisi ekonomi yang buruk dari Orde Lama, hal ini
dapat dilihat pada sejumlah data sebagai berikut cadangan devisa menciut sampai
nol (pada 1965), inflasi meningkat sampai 650% (pada 1966); daerah pedesaan
Jawa tergolong sangat miskin, menyebabkan Nathan Keyfitz menggambarkannya
sebagai “sesak napas karena kekurangan tanah”. Fokus di awal pemerintahan ialah
menyelamatkan perekonomian nasional. Masa Orde Baru untuk kemudian
menyusun blue print pembangunan melaui pembangunan lima tahun dan
Pembangunan jangka panjang (25 tahun). Kalangan teknokrat yang dipimpin
18
Widjojo Nitisastro memberikan landasan ilmiah dan merancang bangun
perekonomian nasional.
Orde Baru menggunakan konsep stabilisasi politik dan pembangunan
ekonomi. Konsep tersebut berimbas langsung pada bisnis dan politik.
Pembangunan ekonomi yang dikembangkan mengandalkan pada pertumbuhan
ekonomi, sedangkan stabilisasi politik berupa penguatan Negara dari segala
bentuk oposisi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada Orde Baru menurut
Perkins tidak bisa dilepaskan dari bias delusi yang dilakukan pihak barat untuk
menopang keuntungan sejumlah korporat. Pertumbuhan ekonomi yang
mengandalkan pada konglomerasi secara kritis dimaknai sebagai ersatz
kapitalisme oleh Yoshihara Kunio.
Yoshihara Kunio menuturkan pola hubungan bisnis dan politik di
Indonesia ialah ersatz capitalism. Secara asal kata ersatz (bahasa Jerman) berarti
subtitusi atau pengganti, kata ini digunakan dalan bahasa Inggris berarti pengganti
yang lebih inferior. Secara etimologis kapitalisme ersatz berarti bukan
kapitalisme yang tulen. Ada dua hal yang menyebabkan kapitalisme menjadi
ersatz; pertama campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu
prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis, kedua
kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang
memadai.
Kapitalisme Asia Tenggara (termasuk Indonesia) disebut semu karena ia
didominasi oleh para pemburu rente (rent seekers).Bersifat semu dikarenakan
didominasi oleh kaum kapitalis Cina. Sebenarnya, terdapat jenis- jenis kapitalis
yang janggal seperti kapitalis konco dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada
pemimpin- pemimpin politik, anak- anak dan sanak keluarga mereka, dan
keluarga keraton terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya
proteksi terhadap kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi,hak monopoli, dan
subsidi pemerintah ( dalam bentuk pinjaman berbunga rendah dari lembagalembaga keuangan pemerintah). Sebagai akibatnya, telah tumbuh dengan subur
segala macam penyelewengan.
19
Kapitalisme yang tumbuh berupa konglomerat yang dimanjakan dan
dibesarkan oleh Negara. Negara dan pemerintah di era tersebut teramat
menentukan dalam bidang ekonomi dan politik. Liddle bahkan menyebutkannya
dengan Soeharto deterministik. Suatu istilah yang tidak berlebihan mengingat
kalangan konglomerat yang tumbuh berkembang memperoleh rente dari
kedekatannya dengan penghuni Cendana ini. Dalam buku Kunio dijelaskan di
bagian lampiran mengenai profil singkat konglomerat yang tumbuh dari rahim
penguasa seperti Sukamdani Sahid, Probosutedjo, Sudwikatmono, putera- puteri
presiden, Ciputra, Bob Hasan, Sudono Salim, dan sebagainya.
Berkaitan dengan campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dapat
dilihat pada kasus mobil nasional pada tahun 1996. Campur tangan berlebihan
dapat dilihat pada pembebasan bea berupa pajak barang mewah 35 %, PT Timor
Putra Nasional (pemiliknya Tommy Soeharto) menjadi satu satunya perusahaan
yang mendapat keistimewaan mobil nasional. Penyikapan seperti inilah yang
menjadi potret dari pola hubungan bisnis- politik di era Orde Baru. Peraturan
disesuaikan agar menguntungkan bagi kongsi yang sealiran dengan pemerintahan.
Harapan melihat munculnya kelas menengah dan kalangan kapitalis tulen
tereduksi secara serius. Kalangan kapitalis justru menjadi penikmat status quo
dikarenakan pemburuan rente yang dilakukan, sehingga menjelaskan stabilisasi
politik yang terjadi dengan merangkul kekuatan modal ke dalam pilar penyangga
kekuasaan.
Berkaitan dengan perkembangan teknologi yang memadai. Arah kebijakan
teknologi Indonesia yang mengarah pada tingkat tinggi berupa pembuatan
pesawat terbang, helikopter, namun abai terhadap teknologi pertanian, tekstilmenimbulkan ambivalensi ekonomi. Di satu sisi Indonesia terlihat maju dengan
membangun industri dalam skala high cost, yang memerlukan keahlian tinggi dan
modal besar; namun di sisi lain teknologi fundamental dan merakyat serta
menyangga perekonomian bangsa tidak berkembang dengan optimal.
Orde Baru dalam kaitannya dengan korporat asing juga menerapkan pola
rente. Pembangunan infrastrukur, pertambangan, listrik, dan teknologi tinggi
lainnya membawa pemodal asing masuk ke Indonesia. Kontrak jangka panjang
20
(seperti Kontrak Karya Pembangunan Freeport), dikarenakan besarnya modal dan
diharapkan dapat terjadi alih teknologi di kemudian hari. Korporat asing di Orde
baru pun menikmati pola bisnis- politik yang diterapkan. Model kolusi
memungkinkan bagi pengabaian aspek lingkungan, corporate social
responsibility, dan rendahnya upah buruh sebagai keunggulan komparatif
Indonesia. Pola ini yang membawa implikasi pada kronisnya krisis ekonomi yang
menghantam Indonesia dan membawa implikasi sosial politik yang rumit. Pada
bagian reformasi dapat dilihat bagaimana pola ini mengalami pergeseran.
2.
Masa Reformasi
Masa reformasi menggenggam harapan bagi perbaikan Indonesia ke
depannya dibanding era pendahulunya. Namun harapan terkadang bersebrangan
dengan kenyataan. Melihat masa reformasi konsep korporatokrasi yang digagas
John Perkins layak untuk diutarakan sebagai analisa. Korporatokrasi
menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai
korporasi besar, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan
finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak
mereka. Istilah korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan betapa
korporasi atau perusahaan besar dalam kenyataannya dapat mendikte, bahkan
kadang- kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka.
Meredupnya peran Negara dikarenakan sorotan publik yang begitu besar
dan arus tuntutan reformasi yang menghendaki pembagian kekuasaan. Pemerintah
yang berkuasa sepanjang era Reformasi merupakan aliansi koalisi sehingga dalam
menjalankan kekuasaannya tidak bisa serta merta apa yang diinginkan itu yang
dilakukan.Masa Habibie(era transisi-dengan dukungan dari Golkar & militer)
Masa Abdurahman Wahid (poros tengah- kalangan partai Islam), Masa Megawati
(PDIP ) Masa Susilo Bambang Yudhoyono (koalisi besar ;Demokrat-7,45% suara
nasional, Golkar, PKS, PBB), memperlihatkan bagaimana pemerintah harus
melakukan kompromi dalam menjalankan roda kekuasaannya.
Masa Reformasi memperlihatkan bagaimana kepentingan bisnis mampu
mempengaruhi domain politik. Konglomerat yang dibesarkan oleh Orde Baru,
21
tumbuh sendiri, ataupun korporat besar asing mampu mempengaruhi pemerintah
yang memerlukan pilar ekonomi untuk menunjang kepemimpinannya. Contoh
dari korporatokrasi dapat dilihat pada Peraturan Presiden No 77/ 2007 tentang
kepemilikan modal, pihak asing diperbolehkan memiliki 95 % kepemilikan di
bidang pembangkit tenaga listrik, jasa pengeboran minyak dan gas bumi,
pengusahaan air minum. Peraturan ini memberi aturan legal bagi perusahaan asing
untuk menguasai sendi- sendi vital bangsa.
Korporatokrasi ini jika ditilik dari bisnis dan politik merupakan konsep
destruktif bagi keduanya. Dari sisi bisnis, korporat raksasa dengan bantuan
economic hit man akan membuat ekuilibrium bisnis semakin timpang. Korporatkorporat besar akan semakin mengglobal dan menghegemonik dalam penguasaan
modal, di samping itu ciri kapitalisme sejati berupa persaingan bebas tidak terjadi
lagi. Dari sisi politik , kedaulatan pemerintah akan dipertanyakan, ataukah sekedar
komprador korporat besar.
Menilik pola hubungan bisnis dan politik pada era Orde Baru dan masa
Reformasi maka kita belum melihat tertujunya pola menuju kesejahteraan
bersama. Kemakmuran hanya dinikmati segelintir saja dan gagal terdistribusi ke
masyarakat secara keseluruhan. Masa reformasi terlebih menjelang pemilihan
presiden memiliki momentum politik untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam
melihat pola bisnis- politik. Alternatif ekonomi kerakyatan, jalan ketiga Giddens,
ekonomi syariah, merupakan sekian opsi yang tersedia untuk membawa Indonesia
ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
[ ] Husen Umar, 2003, Business An Introduction, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal. 3.
[ ] S. Sumarsono, [et. All], 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Hal. 137.
[ ] Sahid gentara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hal. 44..
22
23