T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Pidana Pendanaan Terorisme Sebelum dan Sesudah Berlakunya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme T1 BAB II

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Terorisme
Istilah kata terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang berasal dari kata “Terror”
dan pelakunya disebut “Terrorist”. Pengertian mengenai terorisme sangatlah banyak, yaitu
sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam
Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana
Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana
Terorisme, jika:
1) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban

19


yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan
nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional (Pasal 6).
2) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
b. Menurut Oxford Paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai “Extreme
fear ” (Ketakutan yang luar biasa), “Terrifying person of thing” (sesorang atau sesuatu

yang mengerikan). Sedangkan Terrorism” berarti “ use of violence and intimidation,
especially for political purpose” yang senada dengan pengertian di atas, Black Law

mendefinisikan terorisme sebagai “the us of threat of violence to intimidate or cause
panic, esp as a means of affecting political conduct”.1


c. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, Terorisme
merupakan pandangan yang subjektif2.
Bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan,

1

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012. h. 39.

Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam
Terorisme: Tragedi Umat Manusia, O.C. Kaligis & Associates, Jakarta, 2001, h. 35.
2

20

pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau
negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan,
perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak
yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain3.
d. Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila

memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan
dengan Terorisme yaitu:
1) Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft
(“Tokyo Convention”, 1963).
2) Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague
Convention”, 1970).
3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil
Aviation (“Montreal Convention”, 1971).
4) Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally
Protecred Persons, 1973.
5) International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages Convention”,
1979).
6) Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials
Convention”, 1980).

3

Muladi, Op.Cit., h. 1.

21


7) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving
International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of
Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.
8) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime
Navigation, 1988.
9) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms
Located on the Continental Shelf, 1988.
10) Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991.
11) International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United
Nations General Assembly Resolution).
12) International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.
e. Menurut US Central Intelligence Agency (CIA). Terorisme Internasional adalah
Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing4.
f. Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI)5. Terorisme adalah penggunaan
kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi
sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuantujuan sosial atau politik .

4

5

Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., h. 171.
Ibid., h. 172.

22

g. Menurut US Departements of State and Defense6. Terorisme adalah kekerasan yang
bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap
sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk memengaruhi audien.
Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah
lebih dari satu negara .
h. Menurut States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)
Regional Convention on Suppression of Terrorism7. Terorisme meliputi:
1) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas
Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970.
2) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas
Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970.
3) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas
Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi,

termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973.
4) Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC
adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan
ekstradisi.
5) Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan,
kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahanbahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian
atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik.
6
7

Ibid.
Ibid.

23

i. Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism, senada dengan
Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International
Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan
tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau
kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai

mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan untuk
menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai
dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga
bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan dalam rangka mencapai tujuan
teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau melawan warga negara, harta milik
atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak
kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum
diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan
tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka. Juga dianggap sebagai tindak
kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar antara lain ke 12 konvensi multilateral
yang telah disebutkan di atas.
j. Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of
Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal
yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan
merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau
menteror penduduk dan mengambil bentuk:
1) Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi
hukum.
24


2) Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek
materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain.
3) Menyebabkan

kerusakan

atas

harta

benda

atau

terjadinya

akibat

yang


membahayakan bagi masyarakat.
4) Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri
aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut.
5) Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang
dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan
orang-orang yang dilindungi secara internasional.
6) Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan
nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan
memerangi terorisme.
k. Menurut Terrorism Act 2000, UK.Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau
ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta
benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan
tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau
bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau
mengganggu sistem elektronik.
2) penggunaan atau ancaman didesain untuk memengaruhi pemerintah atau untuk
mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik.
25


3) penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau
ideologi.
4) penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan
penggunaan senjata api atau bahan peledak.
l. Menurut European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977.
1) kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas
Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague, Desember 1970.
2) kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas
Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal 23 September 1971.
3) kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau
kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen
diplomatic.
4) kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak
sah.
5) kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis, atau
surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain.
6) usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseornag
yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut.

26


7) kejahatan serius yang melibatkan tindakan kekerasan, selain dari yang tercakup dalam
artikel 1) sampai 6) jika tindakan tersebut menimbulkan bahaya kolektif bagi orang
lain.
8) usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi
sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut.
m. Menurut Muhammad Mustofa8. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung
dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan
keputusasaan massal .
n. Menurut Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and
Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para ahli

setuju bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan
menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyakbanyaknya secara tidak beraturan9.
o. Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at the
turn of 21th Century), menyatakan bahwa10: Terorisme adalah suatu aksi kekerasan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk
menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul
tanpa motif apapun .

8

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia
FISIP UI, vol 2 no III, Desember 2002, h. 30.
9

Makalah Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar, Lemdiklat
POLRI Sekolah Lanjutan Perwira, h. 5.
10
Ibid.

27

p. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tahun 1937, Terorisme adalah segala
bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas .
q. Menurut A.C Manullang11. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis
serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah,
atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.
r. Menurut The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Pasal 14 ayat 1
sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes
any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in

fear.”Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak
menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak
pelaku teror. Kegiatan Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak, bukan
langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut, diharapkan akan
didapatkan perhatian dari pihak yang dituju12.
s. Menurut Laqueur (1999)13, setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme,
menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu
bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman
kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena selain
11

A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei, Jakarta, Januari 2001, h.

151.
12

Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di
Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta 1990, h. 98.
13
Muhammad Mustofa, Op. cit., h. 33.

28

bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme
agama.

2. Pengertian Pendanaan Terorisme
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya mengenai terorisme yaitu,
terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam kedaulatan setiap
Negara, maka Negara wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana terorisme dan
aktifitas siapapun yang mendukung terorisme.
a. Pendanaan terorisme adalah penyediaan dukungan keuangan untuk terorisme baik bagi
yang memfasilitasi, merencanakan atau

melakukan terorisme. Dimana sumber

pendanaan terorisme tersebut bisa berasal dari hasil kejahatan (proceeds of crime)
maupun kegiatan yang sah. Para teroris mulai masuk dalam sektor perbankan dengan
menggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas asli dan tujuan
penggunaan dana dalam rekening. Cara yang dianggap tepat dalam mengatasi masuknya
teroris dalam sistem perbankan ialah dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan
harta teroris, seperti yang telah tercantum dalam special recommendation FATF.
Beberapa tipologi pendanaan terorisme menurut DR. Yunus Husein,14 antara lain
meliputi :
1) Rekening dibuka atas nama pelajar atau tanpa pekerjaan yang jelas yang
memiliki pola transaksi di luar profil;
2) Beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki alamat yang sama.

14

DR. Yunus Husein, SH. LL.M. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme, Jakarta 9 Februari 2011.

29

3) Rekening dormant (jika dalam suatu rekening tidak ada mutasi baik penarikan
atau penyetoran selama 6 (enam) bulan berturut-turut) yang aktif kembali dengan
adanya incoming transfer dengan nilai yang relatif besar yang kemudian ditarik
tunai atau transfer dalam beberapa kali transaksi;
4) Dana yang ditarik segera setelah terdapat setoran (transaksi pass-by), penarikan
tunai lewat ATM dengan nilai relatif kecil namun sering, hingga nilai saldo
minimal.
5) Peningkatan aktifitas transaksi setelah terjadinya

aksi terror, diduga dana

digunakan untuk membantu proses kaburnya pelaku;
6) Underlying transaction berupa donasi (ke/dari yayasan, organisasi amal, LSM),
hasil penjualan buku, investasi usaha, biaya hidup untuk anggota keluarga;
7) Beberapa wire transfer ke beneficiary yang sama.
Tipologi dalam pendanaan terorisme ini pengelompokan dalam hal tipe atau jenis
penyediaan dana dalam sektor perbankan dengan menggunakan nama samaran untuk
menyembunyikan identitas asli dan tujuan penggunaan dana dalam rekening yang cara
mengatasinya yaitu dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan harta teroris.
b. Menurut Golose dalam definisi pendanaan terorisme, secara implisit terkandung unsur
“aliran dana masuk (input)” dan “pemanfaatan dana (output)”.
c. Menurut UU No. 9 Tahun 2013 dapat diartikan bahwa ”Dana adalah semua aset atau
benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,
yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format
digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau

30

benda tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang
dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf,
dan surat pengakuan utang”.
d. Menurut UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana
Pendanaan Terorisme, Tindak pidana pendanaan terorisme adalah perbuatan apapun
yang berkaitan dana, baik langsung atau tidak langsung dengan maksud atau diketahui
untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris yang dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme pengertian pendanaan terorisme terdapat dalam Pasal 1
angka 1 berisi rumusan:
“Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan,
mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak
langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan
untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris”. 15

3. Motif dan Bentuk Pendanaan Terorisme
Input dana terorisme bisa dikategorikan dari tiga segi. Dari segi subyek pendana, pendanaan
terorisme dapat berasal dari negara, organisasi atau kelompok dan individu. Dari segi negara asal
dana, dapat dibedakan dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari segi cara perolehannya, dapat
diperoleh secara legal maupun hasil kejahatan (ilegal), baik dari sumbangan legal, hasil bisnis
yang legal maupun hasil kejahatan, termasuk hasil dari aksi teror. Kelompok teroris juga mampu
mendapatkan pendanaan terorisme melalui cara lain seperti lewat pengumpulan dana legal dan
ilegal. Salah satu sumber dana legal yang diperoleh ialah lewat hasil sumbangan masyarakat

15

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406.

31

melalui badan amal. Kelompok teroris mampu memanfaatkan sumbangan ini melalui tiga cara,
yaitu: Penyelewengan dana melalui penipuan. Contohnya sebuah badan amal yang sah
mengumpulkan dana dari masyarakat untuk amal kepada anak yatim, namun kemudian dana
tersebut diselewengkan oleh pengurus badan amal untuk pendanaan terorisme. Membuat badan
amal fiktif dan bertindak seolah-olah sebagai badan amal yang sah, padahal seluruh dana yang
terkumpul digunakan untuk mendanai terorisme. Dalam hal ini sebuah organisasi pada negara A
mengumpulkan dana di negara tersebut untuk tujuan amal. Setelah terkumpul dana tersebut
ditransfer ke organisasi lain di negara B. Oleh organisasi teroris di negara B, dana tadi digunakan
untuk pendanaan terorisme.
Terorisme kontemporer tidak lagi seperti terorisme tradisional yang umumnya ditandai
dengan adanya kelompok dengan personel komando yang jelas, organisasi sistem piramid
hirarkis, dan aktor yang terlibat penuh mulai dari perencanaan sampai pemetaan target.
Salah satu contoh pemanfaatan internet dalam pendanaan terorisme di Indonesia dengan jalan
mengekspolitasi sistem pembayaran online, adalah peretasan situs komersial. Jaringan teroris
Rizky Gunawan berhasil mendapatkan dana sejumlah Rp 5,937 miliar dari tahun 2010-2012
dengan meretas situs speedline.com. Dana tersebut ditampung di rekening bank milik Cahya
Fitrianta dan istrinya, Nurul Azmi Tibyani. Dana digunakan terkait kepentingan teroris sejumlah
Rp 667 juta untuk pembiayaan pelatihan paramiliter di Poso pada tahun 2011. Selain itu dana
juga digunakan untuk membeli beberapa aset, seperti rumah, mobil dan motor. Rizky Gunawan
diajarkan oleh Wawan Kurniawan alias Mawan untuk meretas situs dengan membuatkan
program stealer yang berfungsi untuk mencuri password dari sebuah situs, serta membuat
program code clicker complete checker (C4) yang digunakan untuk mengecek validitas login
serta mengetahui isi data (content) dari sebuah situs.
32

Teroris juga masih memerlukan infrastruktur sistem keuangan untuk memobilisasi dan
menyalurkan dananya. Tetapi yang membuat pendanaan terorisme menjadi sangat berbahaya
dibandingkan bentuk kriminal lainnya dikarenakan strategi mereka dalam menggunakan
organisasi amal atau nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuannya menginfiltrasi
sistem keuangan negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu sumber dana terorisme yang
dapat pula berasal dari sumber yang halal atau legal mempersulit penelusuran dan pembuktian
aliran dana terorisme dibandingkan dengan money laundering yang sumber dananya hanya dari
hasil tindak pidana.16

4. Pengaturan Sebelum dan Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme
Semakin berkembangnya zaman terorisme semakin lama semakin berkembang bahkan motif
tindakan pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan untuk dicapainya target-target
serta metode Terorisme kini semakin luas, canggih dan bervariasi. Sehingga ini yang
membuatnya semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif
biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.
Sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme
terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha
melakukan kebijakan kriminal yang disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif
terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme. Dengan menyadari kerugian yang
dirasakan sangat besar ditimbulkan oleh suatu tindak terorisme dan dirasakan pula dampak yang
16

http://www.neraca.co.id/article/74931/perubahan-pola-pendanaan-terorisme-di-indonesia di kunjungi pada tanggal
15 Oktober 2016 pukul 19.56.

33

secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, menjadikan pemerintah
berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme tersebut dengan
memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut yang mana menjadi hal ini
prioritas utama dalam penegakan hukum.
Peraturan yang ada saat terjadinya tragedi Bom Bali I yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas
Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
Adanya keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut di
samping telah adanya peraturan yang mengatur yaitu, KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus dalam
rangka untuk memerangi terorisme. Hal ini dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum
Pidana yang bersifat khusus dapat tercipta karena17:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena
pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu
yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan
norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu
perundang-undangan Hukum Pidana.

17

Muladi, Loc.Cit.

34

2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan
perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undangundang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan
khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam
pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur
secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara
umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex
specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
a. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan
oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
b. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang
dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Dalam konteks tindakan terorisme, ekonomi sebagai kebutuhan dasar sepadan dengan
pengadaan alat-alat untuk melancarkan aksi terror entah itu senjata ataupun bom dengan artian
bahwa upaya untuk memerangi suatu perbuatan terorisme, perlu memotong jaringan keuangan
yang digunakan untuk melakukan kejahatan terorisme. Upaya yang dilakukan dalam rangka
35

untuk memerangi terorisme bukan hanya dengan mengkriminalisasi perbuatan teror yang
dilakukan oleh para teroris, tetapi juga mengkriminalisasi kegiatan pendanaan/pembiayaan
terorisme kepada para teroris. Faktor pendanaan rupanya sudah mengkontruksi kesadaran
bangsa Indonesia yang kemudian melahirkan sebuah undang-undang sebagai perwujudan tujuan
keamanan yang juga merupakan tugas utama hukum.
Dengan pertibangan tersebut, maka pemerintah berupaya untuk mengeluarkan beberapa
PerUndang-Undang yang mencakup tentang

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pendanaan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International
Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 dan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme
tersebut diatas belum mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan
terorisme secara memadai dan komprehensif serta peraturan tersebut dirasa belum optimal dalam
mengkriminalisasi kegiatan pendanaan terorisme di Indonesia. Dengan adanya pertimbangan
tersebut maka pemerintah berupaya membuat Undang-Undang pendanaan terorisme yaitu
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme. Dengan kehadiran UU tentang pendanaan ini sangat diharapkan dapat
mencegah terjadi kembalinya tindakan-tindakan terorisme tersebut.
Pengaturan mengenai pendanaan terorisme sebelum adanya Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang

36

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, dapat dilihat dalam Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 yang isinya yaitu:
Pasal 11 : “Setiap orang yang mengumpulkan atau menyediakan sejumlah dana dengan
tujuan terorisme……..”
Pasal 12 : “Setiap orang yang menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan, dimana
harta kekayaan disini didefinisikan secara lebih luas, untuk mendukung aksi terorisme yang
terkait dengan bahan-bahan nuklir, senjata kimia dan biologis, dan lain-lain.”
Pasal 13 : “Setiap orang yang memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak
pidana terorisme, antara lain dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.”
Untuk pengaturan mengenai pendanaan terorisme setelah adanya Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dapat dilihat dalam Pasal Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan
Pasal 8 yang isinya yaitu:
Pasal 4: “Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan,
atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau
teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Pasal 5: “Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan
untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana
pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”
Pasal 6: “Setiap Orang yang dengan sengaja merencanakan, mengorganisasikan, atau
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Pasal 8: “Dalam hal tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau
Personel Pengendali Korporasi.”

B.

Pembahasan
37

1. Analisis Undang-Undang

Jika dibandingkan antara Perppu No. 1 Tahun 2002 dengan UU No. 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Dalam UU No. 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dijelaskan
dengan terperinci mengenai unsur-unsur apa saja dan siapa saja yang menjadi pelaku tindak
pidana pendanaan terorisme yang terdapat dalam Pasal 2, tetapi dalam Perppu. No.1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tidak diatur secara tersirat mengenai hal tersebut dalam
suatu pasal khusus tetapi diatur bersamaan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana pendanaan terorisme .
Ancaman pidana untuk pelaku perorangan tak jauh berbeda. Ancaman pidana bagi
penyumbang kegiatan terorisme dalam Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15
Tahun 2003 dipidana paling lama 15 tahun penjara tanpa pengaturan tentang denda sedangkan
dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak
Rp. 1 miliar. Di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, terdapat pengaturan mengenai orang yang
merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pendanaan tersebut yang dipidana seumur hidup
atau 20 tahun penjara.
38

Dalam Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tidak diatur
mengenai pemidanaan untuk setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakan orang lain
untuk melakukan aksi terorisme, atau berkontribusi dalam pelaksanaan anti terorisme yang
dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan untuk membantu kelancaran aksi terorisme
tetapi di dalam UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme mengatur hal tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut belum menjelaskan secara terperinci mengenai
pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme dan belum dapat mengkriminalisasi
kegiatan pendanaan terorisme bagi para teroris tetapi hanya menjelaskan mengenai perbuatanperbuatan yang dikategorikan dan/atau disamakan dengan hasil tindak pidana dalam pencucian
uang dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.
Untuk pidana yang dijerat kepada korporasi, pada Perppu No. 1 Tahun 2002 pidana pokok
tentang pengaturan korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme yaitu sebesar Rp. 1
Triliyun dan selain pidana denda korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme hanya
dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang, tetapi pada UU
No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
diatur lebih rinci jika dibandingkan Perppu No. 1 Tahun 2002. Pasal 8 ayat (2) UU No. 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
menyebutkan, pidana dijatuhkan terhadap korporasi jika tindak pidana pendanaan terorisme
dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka
pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau
39

pemberi perintah dalam korporasi atau dilakukan oleh personel pengendali korporasi dengan
maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Dan dalam ayat (4) disebutkan, pidana pokok yang
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak Rp100 miliar.
Selain pidana denda, korporasi yang terbukti terlibat dalam kegiatan terorisme juga dijatuhi
pidana tambahan berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi, pencabutan izin
usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, pembubaran korporasi, perampasan aset
korporasi untuk negara, pengambilalihan korporasi oleh negara dan pengumuman putusan
pengadilan. Bahkan, UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme juga mengatur bahwa jika korporasi tak mampu membayar pidana
denda, diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personel pengendali
korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan jumlah yang sama
dengan putusan pidana yang dijatuhkan. Jika penjualan harta kekayaan tersebut tak mencukupi,
pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Jadi pada dasarnya pengaturan mengenai tindak pidana terorisme sebelum adanya UU No. 9
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme belum
terperinci dan belum tegas mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan
terorisme seperti pengaturan tentang tindak pidana pendanaan terorisme yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme pengaturannya tidak hanya terbatas pada
pendekatan dengan cara mengejar pelaku sehingga dapat dijatuhi hukum sesuai peraturan
perundang-undangan yang hal tersebut tidak membuat perbuatan atau kegiatan teror ini berhenti,
40

karena jaringan yang begitu luas dan tersembunyi membuat eksistensi mereka terjaga tetapi
melakukan pendekatan follow the money dengan maksud agar kegiatan terorisme ini tidak dapat
menjalankan rencana-rencananya untuk melakukan teror itu sendiri. (lampiran I)

2. Analisis Putusan perkara
Untuk menjawab rumusan masalah, penelitian ini menganalisis 2 kasus pendanaan
terorisme, di mana satu kasus diputus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, sedangkan
satu kasus lagi diputus setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Dalam Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI tentang tindak pidana terorisme, terdakwa Cahya
Fitriyanta dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana
Terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Terdakwa melakukan hacking ke website bisnis
online yaitu untuk mengumpulkan dana guna melanjutkan perjuangan yang mereka sebut sebagai
jihad. Dengan menggunakan senjata api yang memerlukan biaya dan peralatan, membantu para
umahat (istri istri yang ditinggal oleh suaminya karena ketangkap maupun yang syahid)
sebagaimana yang diperintahkan oleh Santoso (telah meninggal dunia) selaku penyelenggara
pelatihan militer di daerah Poso dan bahwa terdakwa pada periode bulan Juli 2011 hingga awal
bulan September 2011 menempatkan uang hasil transaksi balance yang merupakan hasil dari
hacking website investasi online sebesar lima ratus juta rupiah dibeberapa rekening orang lain

lalu oleh Terdakwa ditarik dan lalu ditransferkan kebeberapa rekening milik Terdakwa dengan
nama berbeda-beda. Yang mana ini termasuk salah satu tipologi dalam pendanaan terorisme
41

menurut DR. Yunus Husein mengenai hal beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki
alamat yang sama.

Karena perbuatannya tersebut, maka terdakwa Cahya dijerat dengan Pasal 15 jo. Pasal 11
Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 18 Pasal 15
Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah
ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 berisi rumusan:
”Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidananya.”
Dan diteruskan dengan Pasal 11 Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun
2003 berisi rumusan:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan
tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, dan Pasal 10.”19
Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang berisi rumusan:

18

Putusan Mahkamah Agung No. 113/PID/2013/PT.DKI Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 15 dan Pasal 11 Perpu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003. Hukum Pidana Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4232.
19

42

“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Putusan yang kedua yaitu Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. tentang tindak
pidana terorisme. Bahwa Terdakwa Riyanto alias Ato Margono alias Abu Ulya terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme”. Terdakwa bersama dengan Farid menggunakan sepeda motor jenis Mio
JT milik Farid mengambil 1 (satu) unit sepeda motor jenis Yamaha Jupiter warna Silver Biru
yang diparkir dalam halaman sebuah rumah di Jalur Dua Parigi dengan cara terdakwa jual ke
Ustad Mualim dengan harga tiga juta tiga ratus ribu rupiah. Ustad Mualim membayar sepeda
motor Yamaha Jupiter tersebut dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada Rohim
(iparnya Arif) lalu dari uang tersebut terdakwa sisihkan sebesar tujuh ratus ribu rupiah untuk
uang kas kelompok Santoso yang dipegang oleh Jundi, Sisanya terdakwa bagi dua dengan Farid.
Sehingga masing-masing mendapat sebesar satu juta tiga ratus ribu rupiah. Lalu Yono Piti
memberikan uang kepada Terdakwa sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah hasil penjualan 1
(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu. Uang hasil penjualan 1
(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu dibagi-bagi, yang mana
uang hasil penjualan sepeda motor sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah disisihkan terlebih
dahulu oleh terdakwa dan Jundi sebesar 20 (dua puluh) persen yaitu sebesar satu juta seratus ribu
rupiah untuk uang kas kelompok Santoso yang dipegang Jundi. Setelah itu sisanya sebesar empat
juta empat ratus ribu rupiah dibagi berempat sehingga terdakwa, Jundi, Rodik dan Farid masingmasing mendapat satu juta rupiah seratus ribu rupiah. Bahwa sebagian dari hasil penjualan

43

sepeda motor - sepeda motor disisihkan untuk Santoso dan kelompok terorisnya yang digunakan
oleh Santoso untuk membiayai kegiatan Santoso dalam melakukan Tindak Pidana Teroris.
Karena Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal
5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme berisi rumusan:
“Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana
pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang berisi rumusan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau
teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Dalam memutus suatu perkara, hakim harus mempertimbangkan apakah perbuatan pidana
tersebut telah memenuhi unsur yang yang terkandung di dalam Pasal yang telah dijatuhkan atau
belum dan hakim juga perlu mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi selama proses
persidangan. Dengan hal ini, putusan yang telah dijatuhkan hakim terhadap kedua perkara
tersebut diatas telah memenuhi unsur dalam Pasal 15 jo. Pasal 11 Perppu. No.1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam putusan perkara pertama

44

serta Pasal 5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam putusan perkara yang kedua.
Dalam putusan perkara yang pertama tersebut diatas, hakim juga menjatuhkan pemidanaan
mengenai tindak pidana pencucian uang selain menjatuhkan pemidanaan mengenai tindak pidana
terorisme terhadap terdakwa Cahya Fitriyanta karena dalam perkara tersebut terdakwa telah
melakukan transaksi perbankan yang mana terdakwa telah menggunakan beberapa no. rekening
pihak lain untuk melakukan transaksi keuangan via bank agar aliran danannya tidak di curigai
yang dalam hal ini dapat disebut dengan pencucian uang sebagai perbuatan tindak pidana untuk
melakukan tindak pidana pendanaan terorisme.
Dalam putusan No. 113/PID/2013/PT.DKI pemidanaan terhadap pelaku pendanaan terorisme
masih menggunakan dasar hukum Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun
2003 dan oleh karena perbuatan tindak pidana pendanaan terorisme yang dilakukan terdakwa
Cahya Fitriyanta sebelum adanya peraturan khusus mengenai pendanaan terorisme yaitu
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme. Maka dari itu putusan hakim terhadap perkara tersebut telah sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku pada saat terjadinya tindak pidana pendanaan terorisme.
Sedangkan dalam putusan perkara yang kedua yaitu No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM,
pemidanaan terhadap perbuatan terdakwa Riyanto telah diputus menggunakan UU bersifat
khusus mengenai Pendanaan Terorisme. Oleh karena pada saat terdakwa melakukan tindak
pidana pendanaan terorisme UU tersebut telah diberlakukan. Perbuatan terdakwa tidak dapat di
jatuhi hukuman dengan Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003
45

karena mengingat bahwa terdapat asas Lex specialis derogat legi generali yang artinya adalah
asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Ada beberapa prinsip dalam asas
lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali
yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang
sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum
diberlakukan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme dalam putusan perkara pertama yaitu putusan perkara nomor No.
113/PID/2013/PT.DKI yang salah satunya dalam perkara tersebut dikenai pidana Pasal 3
Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang berisi rumusan:
“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

46

Makna kata “hasil tindak pidana” dalam rumusan pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah suatu perbuatan
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang
yang dalam perkara diatas dalam rangka untuk mendanai perbuatan terorisme harus berasal dari
hasil perbuatan tindak pidana. Jika perbuatan tersebut bukan merupakan hasil dari tindak pidana
maka tidak masalah jika uang tersebut digunakan untuk mendanai aktivitas terorisme.
Dalam perkara yang kedua hakim menjatuhkan pidana menurut Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme yang berisi rumusan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau
teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Makna kata “dengan maksud digunakan” dalam rumusan Pasal diatas mengandung arti
segala sumber dana yang digunakan dimaksudkan untuk dipakai mendanai kegiatan terorisme
maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pendanaan terorisme.
Sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor

9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, hakim dalam memutus perkara pendanaan
terorisme dalam putusan pertama diatas sala