EKONOMI MAKRO INDONESIA program studi

EKONOMI MAKRO INDONESIA
TAHUN 2013

DISUSUN OLEH
SUZKA ADIRATNA NOVITHA
14030113140095

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PENGANTAR ILMU EKONOMI / KELAS 09

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latara Belakang
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal utama yang menjadi pokok pemikiran,
pertama pertumbuhan ekonomi, kedua inflasi, dan ketiga pengangguran. Pengangguran
bukan hanya dialami oleh negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara
maju, namun pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan dari pada
di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle
dan bukan karena faktor kelangkaan investasi, ledakan penduduk, ataupun sosial politik di

negara tersebut. Pada umumnya negara sedang berkembang seperti Indonesia juga
mengalami masalah semakin tingginya tingkat pengangguran, jumlah tenaga kerja yang
semakin tinggi yang terus bertambah dan tidak sebanding dengan lapangan kerja yang
tersedia. Sebagai akibatnya muncul masalah pengangguran diberbagai kota yang ada di
Indonesia. khususnya dengan adanya krisis ekonomi jumlah pengangguran semakin
meningkat, untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah mengupayakan agar industri dapat
bertambah dan dikembangkan terutama industri kecil, mengingat sektor usaha inilah yang
dapat bertahan dari goncangan krisis ekonomi, sementara industri besar melakukan PHK
terhadap para pekerjanya karena pengaruh guncangan krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Industri dengan teknologi berskala besar tidak lagi sesuai untuk diterapkan, sedangkan sektor
industri kecil dan menengah, kini mampu bertahan walaupun berada di tengah-tengah krisis
moneter dan ekonomi. Dilihat dari kemampuan dalam menyerap tenaga kerja, maka industri
secara modern yang padat modal kurang dapat menyerap angkatan kerja dibandingkan
dengan industri yang padat karya.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, saya merumuskan beberapa masalah yang akan
dikaji sebagai berikut :
1. Apa itu ekonomi makro?
2. Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia tahin 2013?
3. Bagaimana ekonomi makro di Indonesia tahun 2013 dilihat dari indikator ekonomi?


BAB II
PEMABAHASAN
A. Ekonomi Makro
Ekonomi makro adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan. Ekonomi
makro menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak masyakarakat,
perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik
untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas
harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
Meskipun ekonomi makro merupakan bidang pembelajaran yang luas, ada dua area
penelitian yang menjadi ciri khas disiplin ini: kegiatan untuk mempelajari sebab dan
akibat dari fluktuasi penerimaan negara jangka pendek (siklus bisnis), dan kegiatan untuk
mempelajari faktor penentu dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang (peningkatan
pendapatan nasional). Model makro-ekonomi yang ada dan prediksi-prediksi yang ada
jamak digunakan oleh pemerintah dan korporasi besar untuk membantu pengembangan
dan evaluasi kebijakan ekonomi dan strategi bisnis. Ekonomi makro meliputi berbagai
konsep dan variabel, tetapi selalu ada tiga topik utama untuk penelitian ekonomi makro.
Teori-teori

ekonomi


makro

biasanya

terhubung

dengan

fenomena

keluaran,

pengangguran dan inflasi. Diluar teori ekonomi makro, topik-topik tersebut juga
sangatlah penting untuk semua agen ekonomi termasuk pekerja, konsumen dan produsen.
B. Pertumbumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2013
Perekonomian

Indonesia


dalam triwulan I tahun 2013 tumbuh
sebesar

6,02

persen

atau

relatif

melambat jika dibandingkan dengan
pertumbuhan
sebelumnya

ekonomi
maupun

triwulan


pertumbuhan

ekonomi pada periode yang sama
tahun 2012 yang masing-masing mencapai 6,1 persen dan 6,3 persen (lihat Grafik 2.1).
Kondisi itu antara lain dipengaruhi oleh melambatnya permintaan domestik, terutama
konsumsi pemerintah dan investasi. Sementara itu, kinerja ekspor pada triwulan I 2013 mulai

menunjukkan perbaikan meskipun masih terbatas, sedangkan impor mengalami perlambatan
sejalan dengan melambatnya konsumsi dan investasi. Dari sisi lapangan usaha, secara umum
kinerja sektoral pada triwulan I masih menunjukkan kinerja yang baik. Tiga sektor utama
dengan pertumbuhan tertinggi yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi (tumbuh 10,0
persen), sektor keuangan, real estate, serta jasa perusahaan (tumbuh 8,4 persen), dan sektor
konstruksi (tumbuh 7,2 persen). Di sisi lain, sector pertambangan tercatat mengalami
pertumbuhan negatif (-0,4 persen) sejalan dengan penurunan alamiah produksi minyak di
dalam negeri. Melihat perkembangan tersebut, pada triwulan II tahun 2013, perekonomian
Indonesia diperkirakan tumbuh pada kisaran yang lebih baik namun tidak berbeda jauh dari
realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan I. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi
semester I tahun 2013 diperkirakan dapat mencapai hingga 6,1 persen.
Pada triwulan I tahun 2013, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,2 persen, lebih tinggi
bila dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang

mencapai 4,9 persen, namun relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan sebelumnya yang mencapai 5,4 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga
didorong oleh meningkatnya konsumsi makanan dan nonmakanan. Konsumsi makanan
tumbuh 4,3 persen, sedangkan konsumsi nonmakanan tumbuh sebesar 5,9 persen. Peran atau
distribusi konsumsi rumah tangga
masih relative tinggi yaitu sebesar 55,6
persen,

sedangkan

terhadap

pertumbuhan

kontribusinya
(share

to

growth) mencapai 2,9 persen (lihat

Grafik 2.2). Sementara itu, konsumsi
pemerintah pada triwulan I tumbuh 0,4
persen,

atau

lebih

rendah

dari

pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan I tahun 2012 yang tumbuh 6,4 persen, ini
disebabkan oleh masih rendahnya realisasi anggaran pemerintah terutama pada belanja
barang dan jasa. Pertumbuhan PDB belanja barang dan jasa pemerintah pada triwulan I tahun
2013 sebesar negatif 7,08 persen atau jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan
realisasi belanja barang triwulan I tahun 2012 yang mencapai 15,3 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat pada triwulan I 2013 juga dipengaruhi oleh
melambatnya kinerja investasi. Investasi pada triwulan I tahun 2013 tumbuh 5,9 persen atau

lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasinya pada triwulan I tahun 2012 yang tumbuh
9,97 persen. Sebagian besar jenis investasi seperti bangunan, investasi mesin dan
perlengkapan dalam negeri, serta alat angkutan dalam negeri, masih tumbuh positif. Investasi
transportasi domestik tumbuh cukup tinggi, yaitu sebesar 21,34 persen, investasi mesin dan
perlengkapan dalam negeri tumbuh 0,17 persen, dan investasi bangunan yang merupakan
komponen terbesar dari keseluruhan investasi tumbuh 7,19 persen. Sebaliknya, investasi alat
angkutan luar negeri dan investasi mesin dan perlengkapan luar negeri tumbuh negatif,
masing-masing sebesar -0,09 persen dan -0,06 persen.
Pada sisi eksternal, peningkatan kinerja ekspor masih terbatas mengingat masih
lemahnya perekonomian global. Ekspor mencatat pertumbuhan 3,4 persen, meningkat bila
dibandingkan dengan realisasinya dalam periode sebelumnya sebesar 0,5 persen, namun
masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2012 yang
tumbuh 8,2 persen. Kinerja ekspor yang mulai membaik tersebut antara lain didorong oleh
perbaikan permintaan negara mitra dagang utama, khususnya Amerika Serikat dan Cina.
Pada sisi lain, kinerja impor mengalami pertumbuhan negatif sebesar -0,4 persen, lebih
rendah bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya maupun triwulan
sebelumnya. Kinerja impor yang negatif itu dipengaruhi oleh pertumbuhan negatif impor jasa
yang mencapai -2,8 persen, sedangkan impor barang mengalami pertumbuhan positif namun
di level yang rendah, yaitu sebesar 0,2 persen. Pada triwulan II tahun 2013, pertumbuhan
ekonomi diperkirakan akan didorong oleh membaiknya konsumsi pemerintah dan kinerja

ekspor.
Konsumsi rumah tangga diperkirakan sedikit lebih rendah dari triwulan I namun
diperkirakan masih dapat tumbuh sekitar 5,0 persen. Sementara itu, konsumsi pemerintah
diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan I 2013, yaitu mencapai
sekitar 1,0 persen, seiring dengan meningkatnya serapan anggaran belanja negara.
Selanjutnya investasi pada triwulan II diperkirakan dapat tumbuh 4,5 persen, melambat jika
dibandingkan dengan pencapaian triwulan sebelumnya. Kondisi tersebut antara lain
merupakan imbas dari melambatnya impor barang modal, bahan baku, dan aliran modal
asing. Di sisi lain, permintaan global yang diprediksi membaik pada triwulan II diharapkan

akan mendorong peningkatan ekspor. Ekspor pada triwulan II diperkirakan dapat tumbuh 5,9
persen atau relatif lebih tinggi daripada kinerja triwulan sebelumnya. Di sisi lain, impor
diperkirakan masih mengalami kontraksi sebesar -0,1 persen sejalan dengan proyeksi
melemahnya konsumsi. Dengan perkembangan di atas, pada semester I tahun 2013, secara
keseluruhan pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat mencapai 6,1 persen atau relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan kinerjanya pada periode yang sama tahun sebelumnya yang
mencapai 6,3 persen. Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga pada semester I
diperkirakan mencapai 5,1 persen, sedangkan konsumsi pemerintah pada semester I
diperkirakan mampu tumbuh positif pada level 0,8 persen. Sementara itu, investasi
diperkirakan tumbuh 5,2 persen. Pada sisi eksternal, ekspor dan impor pada semester I 2013

diperkirakan tumbuh masingmasing sebesar 4,7 persen dan -0,3 persen.
C. Indikator Ekonomi Makro
a. Lapangan Usaha
Hampir semua sektor ekonomi mencatat pertumbuhan positif pada
triwulan I 2013, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Dari delapan
sektor ekonomi yang tumbuh positif, tercatat empat di antaranya mengalami
percepatan, dua sektor tumbuh pada tingkat yang sama, dan dua sektor lagi
mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan kinerjanya pada triwulan
I 2012. Empat sektor yang mengalami percepatan adalah sektor industri
pengolahan, sektor listrik, air bersih, dan gas, sektor jasa keuangan, jasa
perusahaan, dan real estate, dan sektor jasa lainnya. Dua sektor yang
tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sektor konstruksi serta sektor
transportasi dan komunikasi. Sementara itu, dua sektor yang mengalami
perlambatan pertumbuhan adalah sektor pertanian dan sektor perdagangan,
hotel, serta restoran
(lihat
Dalam

Tabel


2.1).

triwulan

2013,

I

sektor

pertanian

tumbuh

sebesar 3,7 persen,
lebih

rendah

jika

dibandingkan
dengan

realisasinya

pada triwulan I tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,3 persen.
Pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan pada triwulan I 2013
mencapai 2,1 persen yang didorong antara lain oleh faktor panen raya yang
terjadi pada periode tersebut. Subsektor lain yang ikut mendorong sektor
pertanian adalah subsektor perkebunan dan subsektor perikanan yang
tumbuh masing-masing sebesar 6,9 persen dan 7,3 persen. Sementara itu,
subsektor kehutanan hanya tumbuh 1,4 persen. Peran atau distribusi sektor
pertanian dalam pembentukan PDB menempati urutan kedua yaitu sebesar
15,0 persen, sedangkan kontribusinya terhadap pertumbuhan mencapai 0,5
persen. Sektor industri pengolahan pada triwulan I 2013 tumbuh sebesar
5,8 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama pada
tahun lalu yang tumbuh sebesar 5,5 persen. Industri nonmigas masih tetap
menjadi pendorong utama kinerja sektor industri dengan pertumbuhan
sebesar 6,7 persen. Beberapa industri yang mendorong pertumbuhan
industry nonmigas antara lain adalah industri logam dasar besi dan baja
(tumbuh 13,1 persen), industry produk pupuk, kimia, dan karet (tumbuh
11,4 persen), serta industri peralatan, mesin, dan perlengkapan transportasi
(tumbuh 10,5 persen). Peran sektor industri pengolahan menempati urutan
pertama

dalam

pembentukan

PDB

yaitu

sebesar

23,6

kontribusinya

persen,

dan

terhadap

pertumbuhan mencapai sebesar
1,5 persen.

b. Inflasi
Di awal tahun 2013 tekanan
inflasi

relative

meningkat.

Inflasi

Indeks

Harga

Konsumen

(IHK)

triwulan I 2013 tercatat 2,43 persen
atau 5,90 persen, relatif lebih tinggi dari rata-rata historisnya (lihat Grafik 2.3).
Tingginya inflasi pada triwulan I 2013, terutama didorong oleh kenaikan harga volatile
food. Inflasi volatile food pada triwulan I tercatat sebesar 8,77 persen atau 14,20 persen,
meningkat signifikan bila dibandingkan dengan realisasinya pada triwulan yang sama
tahun sebelumnya sebesar 0,65 persen atau 4,45 persen. Relatif tingginya inflasi volatile
food pada triwulan I tersebut antara lain disebabkan oleh kenaikan harga komoditas

bahan pangan akibat gangguan distribusi serta dampak kebijakan pengaturan impor
komoditas hortikultura. Pada sisi lain, inflasi inti dan inflasi administered prices selama
triwulan I 2013 masih cukup terkendali. Inflasi inti secara triwulanan relatif stabil di level
0,79 persen atau 4,21 persen, sedikit lebih rendah dari realisasinya pada triwulan yang
sama tahun sebelumnya yang mencapai 0,97 persen atau 4,25 persen. Inflasi inti yang
relatif terkendali tersebut antara lain dipengaruhi oleh menurunnya tekanan inflasi inti
kelompok non-makanan seiring dengan penurunan harga emas di pasar internasional
meskipun dari sisi inflasi inti kelompok makanan mengalami peningkatan. Inflasi inti
non-makanan pada triwulan I tahun 2013 tercatat 3,60 persen atau lebih rendah dari
realisasi triwulan sebelumnya yang mencapai sebesar 3,92 persen. Sementara itu, inflasi
inti kelompok makanan tercatat sebesar 5,80 persen. atau lebih tinggi dari realisasi
triwulan sebelumnya yang mencapai 5,52 persen, didorong antara lain oleh dampak
kenaikan inflasi volatile food. Dari sisi inflasi administered prices, terjadi kenaikan
terutama untuk barang-barang yang dipengaruhi oleh dampak kenaikan tarif tenaga listrik
(TTL). Selain itu, kenaikan inflasi administered prices juga dipengaruhi oleh kenaikan
harga komoditas rokok sejalan dengan pengaruh kenaikan tarif cukai rokok. Inflasi
administered price pada triwulan I 2013 mencapai 1,17 persen atau 2,91 persen, relatif
lebih tinggi dari inflasi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 0,92
persen atau 2,92 persen. Setelah mengalami tekanan inflasi pada tiga bulan pertama tahun
2013, pada bulan April 2013, indeks harga konsumen mengalami deflasi sebesar 0,1
persen dan pada bulan Mei 2013 IHK kembali mengalami deflasi sebesar 0,03 persen.
Deflasi yang terjadi tersebut terutama didorong oleh membaiknya pasokan komoditas
bahan makanan, baik yang berasal dari domestik karena musim panen, maupun yang
berasal dari impor. Sementara itu, pada bulan Juni 2013 IHK kembali mencatat inflasi
sebesar 1,03 persen. Inflasi tersebut dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan kenaikan
harga BBM bersubsidi yang dilaksanakan mulai 22 Juni 2013, yang membawa dampak
lanjutan ke sektor transportasi dan harga bahan pangan, sehingga mendorong peningkatan
ekspektasi inflasi masyarakat. Dengan perkembangan itu, jika dilihat dari inflasi tahunan,
pada bulan Juni 2013 tercatat inflasi sebesar 5,90 persen atau relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan inflasi pada periode yang sama tahun 2012 yang tercatat sebesar
4,53 persen. Dengan demikian, dalam semester I tahun 2013, BPS mencatat laju inflasi

kumulatif

mencapai 3,35 persen,

relatif lebih tinggi bila dibandingkan
dengan inflasi pada periode yang
sama tahun 2012 yang mencapai 1,79
persen.

Berdasarkan

kelompok

pengeluaran, hingga akhir Juni 2013,
hampir
pengeluaran

seluruh
mengalami

kelompok
inflasi,

kecuali kelompok pengeluaran sandang. Kelompok pengeluaran bahan makanan
mengalami laju inflasi kumulatif tertinggi selama enam bulan pertama tahun 2013
sebesar 7,19 persen, diikuti oleh kelompok transportasi dan telekomunikasi (3,94 persen);
kelompok perumahan, listrik, air, dan gas (2,99 persen); kelompok makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau (2,68 persen); kelompok kesehatan (1,79 persen); serta
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga (0,61 persen). Sementara itu, kelompok
sandang menjadi satu-satunya kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi sebesar
3,64 persen (lihat Grafik 2.4).
c. Nilai Tukar Rupiah
Sejak akhir tahun 2012 hingga memasuki paruh pertama tahun 2013, tekanan
terhadap nilai tukar rupiah masih berlanjut. Sepanjang semester I tahun 2013, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bergerak dinamis dengan kecenderungan
melemah. Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut di satu sisi merupakan pengaruh dari
sentimen global terkait perkembangan ekonomi global yang diproyeksikan akan
terkoreksi ke bawah. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi adanya
goncangan pasar keuangan global yang disebabkan adanya rencana Bank Sentral
Amerika Serikat untuk mengakhiri kebijakan quantitative easing. Goncangan di pasar
keuangan global tersebut menyebabkan penarikan aliran modal asing dari negara-negara
emerging market yang juga diikuti oleh pelemahan nilai tukar negara-negara di kawasan
regional. Dari sisi domestik, pelemahan nilai tukar rupiah antara lain berasal dari kondisi
transaksi berjalan yang mengalami defisit terutama disebabkan melambatnya kinerja
ekspor dan meningkatnya impor, terutama impor bahan bakar minyak (BBM). Di sisi
lain, pelemahan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan di pasar

valuta asing (valas) domestic akibat tingginya permintaan atas valas dalam rangka
pembayaran utang di tengah terbatasnya pasokan. Nilai tukar rupiah pada paruh pertama
tahun 2013 ditutup pada
posisi Rp9.937 per dolar
AS, atau melemah sekitar
1,05

persen

dibandingkan

apabila
point

to

point dengan posisi pada
akhir tahun 2012 yang
mencapai sebesar Rp9.670 per dolar AS. Sementara itu, secara rata-rata selama semester I
tahun 2013, nilai tukar rupiah berada pada level Rp9.742 per dolar AS atau melemah
sekitar 1,01 persen bila dibandingkan dengan rata-rata nilai tukar triwulan IV tahun 2012
yang mencapai Rp9.624 per dolar AS. Meskipun nilai tukar rupiah tertekan hingga di atas
10.000 per dolar AS pada akhir bulan Juni, namun stabilitas nilai tukar rupiah sepanjang
semester I tahun 2013 secara keseluruhan dapat terjaga dengan baik (lihat Grafik 2.7).
Terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah sepanjang semester I tahun 2013 tidak terlepas
dari respon kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia. Bank Indonesia telah melakukan
langkahlangkah kebijakan yang dianggap perlu dalam rangka menjaga kecukupan
likuiditas di pasar valas dan melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan
kondisi fundamentalnya. Selain itu, koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia
terus ditingkatkan dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan, serta
persepsi pasar terhadap perekonomian Indonesia.
d. Suku Bunga SPN3 Bulan
Suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tenor 3 bulan merupakan suku
bunga obligasi pemerintah yang digunakan sebagai acuan dalam menetapkan tingkat
bunga obligasi pemerintah jenis bunga mengambang (variable rate bond). Kondisi
fundamental ekonomi domestik yang cukup baik, yang ditandai dengan masih tingginya
aliran modal masuk ke dalam negeri, menjadi salah satu faktor yang mendorong suku
bunga SPN3 bulan stabil berada pada kisaran yang ditargetkan. Hal tersebut ditunjukkan
oleh relatif rendahnya realisasi suku bunga SPN3 bulan dari 6 kali hasil lelang, yang telah
dilakukan sampai dengan semester I tahun 2013. Lelang SPN3 bulan pada bulan Februari

2013 menghasilkan tingkat suku bunga sebesar 3,08 persen. Sementara itu, selama
periode triwulan I tahun 2013, rata-rata suku bunga SPN3 bulan mencapai 3,56 persen.
Selanjutnya, tingkat suku bunga
SPN3
bergerak

bulan

secara

perlahan

meningkat

mencapai

sebesar 4,10 persen pada lelang 3
Juni 2013. Peningkatan suku bunga
tersebut

antara

lain

dipengaruhi

dinamika pemulihan perekonomian
global dan juga persepsi pasar
keuangan atas rencana the Fed AS yang akan mengurangi stimulus moneter. Dengan
perkembangan tersebut, realisasi suku bunga SPN3 bulan dalam semester I 2013
mencapai rata-rata 3,75 persen, relative lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat
suku bunga rata-rata SPN3 bulan periodeyang sama tahun 2012 sebesar 2,87 persen.
Namun, apabila dibandingkan dengan asumsi suku bunga SPN3 bulan dalam APBNP
2013 sebesar 5,0 persen, realisasi tersebut masih lebih rendah. Perkembangan suku bunga
SPN3 bulan disajikan pada Grafik 2.8.
e. Harga Minyak Mentah Indonesia
Memasuki awal tahun 2013, volatilitas pergerakan harga minyak mentah dunia
relatif

lebih

stabil

dengan

kecenderungan menurun. Ratarata harga minyak WTI dalam
bulan

Maret

2013

mencapai

US$93,0 per barel atau lebih
rendah

1,8

persen

bila

dibandingkan dengan harganya
pada

awal tahun.

Sebaliknya,

harga rata-rata minyak Brent meningkat 0,3 persen menjadi US$109,5 per barel pada
bulan Maret 2013. Sejalan dengan pergerakan harga minyak dunia, harga minyak mentah
Indonesia (ICP) pada awal tahun 2013 juga menunjukkan tren menurun. Dalam triwulan I

tahun 2013, rata-rata ICP mencapai sebesar US$111,1 per barel, dengan harga tertinggi
mencapai US$114,9 per barel pada bulan Februari 2013 (lihat Grafik 2.9). Rata-rata ICP
triwulan I tahun 2013 tersebut relative lebih rendah apabila dibandingkan dengan ratarata ICP triwulan I tahun 2012 yang mencapai US$122,1 per barel. Memasuki triwulan
kedua 2013, harga minyak dunia masih cenderung menurun bila dibandingkan dengan
triwulan I tahun 2013. Harga rata-rata minyak WTI pada bulan April dan Mei 2013
mencapai masing-masing US$92,1 per barel dan US$94,7 per barel, sedangkan harga
minyak Brent mencapai rata-rata sebesar US$103,5 per barel dan US$103,2 per barel.
Sejalan dengan pergerakan harga minyak dunia, ICP pada bulan April dan Mei turun
masingmasing menjadi rata-rata sebesar US$100,2 per barel dan US$99,0 per barel. Tren
penurunan ICP diproyeksi kembali berlanjut pada bulan Juni 2013, yaitu ICP
diperkirakan masih pada kisaran US$100,0 per barel. Beberapa hal yang mendorong
penurunan harga minyak dunia yaitu masih lemahnya permintaan minyak mentah dunia
sejalan dengan masih terbatasnya pemulihan ekonomi dunia di tengah pasokan minyak
terutama dari negara-negara OPEC yang masih cukup besar. Faktor lain yang turut
mendorong penurunan harga minyak mentah dunia adalah meredanya ketegangan politik
di

Timur

Tengah

dan

meredamnya aksi spekulasi di
pasar komoditas. Berdasarkan
pergerakan ICP sampai dengan
bulan Juni tahun 2013, rata-rata
ICP selama semester I tahun
2013 mencapai US$105 per
barel, relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan realisasi semester I tahun 2012 yang mencapai rata-rata sebesar
US$117,3 per barel.
f. Lifting Minyak dan Gas Bumi
Realisasi produksi minyak mentah siap jual (lifting) Indonesia dalam semester I tahun
2013 (periode Desember 2012-Mei 2013) mencapai rata-rata sebesar 827 ribu barel
per hari. Jumlah tersebut relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasinya
dalam periode yang sama tahun 2012 yang mencapai 868 ribu barel per hari (lihat

Grafik 2.10). Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya realisasi lifting tersebut
antara lain adalah penurunan kapasitas produksi sumur-sumur migas, dan beberapa
permasalahan teknis meliputi cuaca buruk, adanya pemunduran jadwal produksi dari
rencana semula oleh beberapa kontraktor, serta permasalahan perijinan lahan.
Sementara itu, rata-rata realisasi lifting gas bumi dalam semester I tahun 2013
(Desember 2012-Mei 2013) mencapai 1.205 MBOEPD atau relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan realisasinya dalam periode yang sama tahun 2012 sebesar
1.289,9 MBOEPD. Secara kumulatif, lifting minyak dan gas bumi dalam semester I
tahun 2013 sekitar 2,04 juta barel per hari.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makro ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak
rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro Indonesia saat ini jauh
lebih kuat untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dibandingkan dengan kondisi
ekonomi pada 1997. Kebijakan makro ekonomi ditujukan untuk memperbaiki dan
menjaga kestabilan perekonomian Negara. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah
tidak hanya sekadar mengejar target inflasi yang rendah guna memperbaiki kondisi
keuangan negara. Seharusnya tidak demikian karena kebijakan ekonomi makro
menyangkut pada banyak hal seperti bagaimana mendorong sektor riil, bagaimana
memperbesar kesempatan kerja, bagaimana menjaga kestabilan nilai tukar rupiah (bukan
penguatan nilai tukar) dan bagaimana menjaga keseimbangan perdagangan luar negeri
(ekspor dan impor). Makro ekonomi mencakup pada kegiatan yang luas dan tidak hanya
dengan memperhatikan satu elemen saja.
B. Saran
Dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak
yang terkait seharusnya menganalisis terlebih dahulu dampak jangka panjang yang akan
terjadi di masyarakat. Kebijakan-kebijakan makro ekonomi yang baik seharusnya
memperkuat perekonomian Negara secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA
Boediono, DR. 1993. Ekonomi Makro. Yogyakarta : BPFE
Mankiw, N. Gregory. 2000. Pengantar Ekonomi Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=957