Perbandingan Penerapan Model CAPM dan AP (2)
Perbandingan Penerapan Model CAPM dan APT Dalam Memprediksi Return
dan Risk di Bursa Efek Indonesia
Ismawatih
Latar Belakang
Dalam krisis ekonomi juga sangat dirasakan oleh para pelaku pasar modal di Bursa Efek
Jakarta. Ketidakstabilan ekonomi pada masa krisis membuat para pelaku pasar modal terutama
para investor mengalami kesulitan dalam menganalisis dan memprediksi pendapatan saham
perusahaan. Faktor non ekonomi (politik, sosial, keamanan dll) yang sukar sekali diprediksi
seringkali menjadi penyebab ketidakstabilan harga saham perusahaan-perusahaan, sehingga
analisis dan prediksi pendapatan saham perusahaan-perusahaan, sehingga analisis dan prediksi
pendapatan saham perusahaan yang dilakukan oleh para investor pada masa krisis tidak lebih baik
dibandingkan pada masa sebelum krisis (kondisi perekonomian stabil).
Dalam memprediksi pendapatan saham yang diharapkan, ada dua model yang seringkali
digunakan para investor, yaitu Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing
Theory (APT). Kedua model ini sampai saat ini masaih menjadi perdebatan para ahli manajemen
keuangan tentang ketepatan model tersebut dalam memprediksi tingkat pendapatan suatu saham.
Capital Assets Pricing Model yang diperkenalkan oleh Sharp (1964) dan Lintner (1965)
merupakan model untuk menentukan harga suatu assets pada kondisi equilibrium. Dalam keadaan
equilibrium tingkat keuntungan yang disyaraktan oleh pemodal untuk suatu saham akan
dipengaruhi oleh risiko saham tersebut (Tande Lilin, 2001 : 90). Dalam hal ini risiko yang
diperhitungkan adalah risiko sistematis yang diwakili oleh beta, karena risiko yang tidak
sistematik bisa dihilangkan dengan cara diversifikasi.
Kelemahan-kelemahan empiris yang terjadi pada model CAPM mendorong para ahli
manajemen keuangan untuk mencari model alternatif yang menerangkan hubungan pendapatan
dengan risiko saham. Pada tahun 1976 Stephen A. Ross merumuskan sebuah teori yang disebut
dengan Arbitrage Pricing Theory (APT). Meskipun model ini tidak bisa secara keseluruhan
memecahkan kekurangan yang terjadi pada model CAPM, tetapi model inilah yang pertama kali
dikembangkan untuk mencoba mengeliminir kekurangan-kekurangan yang terjadi pada model
CAPM dan mempunyai kesempatan untuk menggantikan model tersebut.
APT menyatakan bahwa harga suatu aktiva bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya
satu faktor (portofolio pasar) seperti yang telah dikemukakan pada teori CAPM.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Apakah terdapat perbedaan akurasi antara model
CAPM dengan APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur di Bursa Efek
Jakarta sebelum krisis ekonomi
Literatur
Dalam penelitian ini keakuratan suatu model diukur dengan menggunakan Mean Absolut
Deviation (MAD), model yang mempunyai MAD yang lebih kecil berarti lebih akurat
dibandingkan model yang mempunyai MAD yang lebih besar. Besarnya MAD model CAPM dan
APT untuk masing-masing perusahaan sebelum krisis dari 16 perusahaan manufaktur yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. MAD Industri Manufaktur Sebelum Krisis
No.
Nama
MAD-CAPM
MAD-APT
1.
Sampoerna
0.1068
0.1626
2.
Gudang Garam
0.1103
0.1160
3.
Great River
0.0934
0.1159
4.
Eratex Djaja
0.1123
0.1487
5.
BAT Indonesia
0.0946
0.1910
6.
APAC Centertex
0.1858
0.2016
7.
Jaya Pari Steel
0.1548
0.1995
8.
Indocement
0.0788
0.1007
9.
Goodyear
0.0774
0.1179
10.
Unggul Indah
0.0828
0.1473
11.
PAN Brother
0.1539
0.1749
12.
Astra Internasional
0.0991
0.1258
13.
Branta Mulia
0.1006
0.1297
14.
Unilever
0.0429
0.0574
15.
United Tractor
0.0737
0.1352
16
Astra Graphia
0.1211
0.1248
Rata-Rata
0.1055
0.1406
Standar Deviasi
0.0354
0.0386
Thitung
-2.68
Ttabel
±2.042
Berdasarkan hasil uji t dengan menggunakan program minitab versi 13 diperoleh nilai t
hitung sebesar -2,68. Nilai t tabel dengan menggunakan α= 5% dan degree of freedom (DF)
16+16-2=30 adalah -2,042 karena -2,68 < -2,042 maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan
yang signifikan antara akurasi model CAPM dengan model APT dalam memprediksi pendapatan
saham industri sebelum krisis.
Rata-rata MAD model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur
sebelum krisis adalah sebesar 0,1055 dengan standar deviasi 0,0354. Adapun rata-rata MAD
model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis adalah
0,1406 dengan standar deviasi 0,0386. Secara deskriptif menunjukkan bahwa model CAPM lebih
akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur
sebelum ekonomi. Hal ini dapat disebabkan oleh :
1. Variabel-variabel makro pembentuk model APT (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat
inflasi yang tidak diharapkan dan perubahan kurs yang tidak diharapkan) dalam penelitian ini
kecil sekali kontribusi terhadap variasi pendapatan saham industri manufaktur, dengan kata
lain variabel-variabel ini kurang sesuai dimasukkan sebagai variabel pembentuk model APT
untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur di bursa efek Jakarta. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh M.Syaichu (2001) yang telah
memasukkan beberapa variabel makro (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat inflasi
yang tidak diharapkan dan tingkat pertumbuhan yang tidak diharapkan) kedalam model APT
untuk memprediksi pendapatan di bursa efek Jakarta. Kesimpulan dalam penelitian tersebut
juga menyatakan bahwa variabel-variabel makro tersebut kurang cocok sebagai pembentuk
model APT. Berbeda dengan model CAPM yang menggunakan pendapatan pasar saham
(Return market portofolio) sebagai variabel pembentuk model. Pendapatan pasar saham dalam
penelitian ini mampu menjelaskan variasi dari pendapatan saham industri manufaktur lebih
baik dibandingkan dengan variabel-variabel pembentuk model APT yang digunakan dalam
penelitian ini.
Rekomendasi
Investor sebaiknya memperhatikan dan menganalisis kondisi ekonomi sebelum akhirnya
memutuskan untuk bermain di pasar modal, karena ada kemungkinan berinvestasi pada tabungan,
lebih memberikan keuntungan jika dibandingkan dengan berinvestasi di pasar modal. Untuk para
akademisi, hal ini di harapkan menjadi masukan dimana perlu di kaji kembali mengenai
perbandingan model CAPM dengan APT dalam memprediksi return saham, pada perusahaan
yang berbeda atau tahun berbeda sehingga dapat dijadikan pegangan.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan yang signifikan antara keakuratan model CAPM dengan model APT
dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis ekonomi, dimana
model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT.
Referensi
1. Tandelilin, Eduarus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi pertama.
Yogyakarta: BPFE.
2. Syaichu, Mohammad. 2000. Perbandingan Keakuratan Capital Aset Pricing Model (CAPM)
dan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam Memprediksi Pendapatan Saham Di Bursa Efek
Jakarta, Tesis, Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga.
3. Hidayati, Aisyi Anggun. Suhadak. & Sudjana, Nengah. Analisis Capital Aset Pricing Model
(CAPM) Terhadap Keputusan Investasi Saham.
dan Risk di Bursa Efek Indonesia
Ismawatih
Latar Belakang
Dalam krisis ekonomi juga sangat dirasakan oleh para pelaku pasar modal di Bursa Efek
Jakarta. Ketidakstabilan ekonomi pada masa krisis membuat para pelaku pasar modal terutama
para investor mengalami kesulitan dalam menganalisis dan memprediksi pendapatan saham
perusahaan. Faktor non ekonomi (politik, sosial, keamanan dll) yang sukar sekali diprediksi
seringkali menjadi penyebab ketidakstabilan harga saham perusahaan-perusahaan, sehingga
analisis dan prediksi pendapatan saham perusahaan-perusahaan, sehingga analisis dan prediksi
pendapatan saham perusahaan yang dilakukan oleh para investor pada masa krisis tidak lebih baik
dibandingkan pada masa sebelum krisis (kondisi perekonomian stabil).
Dalam memprediksi pendapatan saham yang diharapkan, ada dua model yang seringkali
digunakan para investor, yaitu Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing
Theory (APT). Kedua model ini sampai saat ini masaih menjadi perdebatan para ahli manajemen
keuangan tentang ketepatan model tersebut dalam memprediksi tingkat pendapatan suatu saham.
Capital Assets Pricing Model yang diperkenalkan oleh Sharp (1964) dan Lintner (1965)
merupakan model untuk menentukan harga suatu assets pada kondisi equilibrium. Dalam keadaan
equilibrium tingkat keuntungan yang disyaraktan oleh pemodal untuk suatu saham akan
dipengaruhi oleh risiko saham tersebut (Tande Lilin, 2001 : 90). Dalam hal ini risiko yang
diperhitungkan adalah risiko sistematis yang diwakili oleh beta, karena risiko yang tidak
sistematik bisa dihilangkan dengan cara diversifikasi.
Kelemahan-kelemahan empiris yang terjadi pada model CAPM mendorong para ahli
manajemen keuangan untuk mencari model alternatif yang menerangkan hubungan pendapatan
dengan risiko saham. Pada tahun 1976 Stephen A. Ross merumuskan sebuah teori yang disebut
dengan Arbitrage Pricing Theory (APT). Meskipun model ini tidak bisa secara keseluruhan
memecahkan kekurangan yang terjadi pada model CAPM, tetapi model inilah yang pertama kali
dikembangkan untuk mencoba mengeliminir kekurangan-kekurangan yang terjadi pada model
CAPM dan mempunyai kesempatan untuk menggantikan model tersebut.
APT menyatakan bahwa harga suatu aktiva bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya
satu faktor (portofolio pasar) seperti yang telah dikemukakan pada teori CAPM.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Apakah terdapat perbedaan akurasi antara model
CAPM dengan APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur di Bursa Efek
Jakarta sebelum krisis ekonomi
Literatur
Dalam penelitian ini keakuratan suatu model diukur dengan menggunakan Mean Absolut
Deviation (MAD), model yang mempunyai MAD yang lebih kecil berarti lebih akurat
dibandingkan model yang mempunyai MAD yang lebih besar. Besarnya MAD model CAPM dan
APT untuk masing-masing perusahaan sebelum krisis dari 16 perusahaan manufaktur yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. MAD Industri Manufaktur Sebelum Krisis
No.
Nama
MAD-CAPM
MAD-APT
1.
Sampoerna
0.1068
0.1626
2.
Gudang Garam
0.1103
0.1160
3.
Great River
0.0934
0.1159
4.
Eratex Djaja
0.1123
0.1487
5.
BAT Indonesia
0.0946
0.1910
6.
APAC Centertex
0.1858
0.2016
7.
Jaya Pari Steel
0.1548
0.1995
8.
Indocement
0.0788
0.1007
9.
Goodyear
0.0774
0.1179
10.
Unggul Indah
0.0828
0.1473
11.
PAN Brother
0.1539
0.1749
12.
Astra Internasional
0.0991
0.1258
13.
Branta Mulia
0.1006
0.1297
14.
Unilever
0.0429
0.0574
15.
United Tractor
0.0737
0.1352
16
Astra Graphia
0.1211
0.1248
Rata-Rata
0.1055
0.1406
Standar Deviasi
0.0354
0.0386
Thitung
-2.68
Ttabel
±2.042
Berdasarkan hasil uji t dengan menggunakan program minitab versi 13 diperoleh nilai t
hitung sebesar -2,68. Nilai t tabel dengan menggunakan α= 5% dan degree of freedom (DF)
16+16-2=30 adalah -2,042 karena -2,68 < -2,042 maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan
yang signifikan antara akurasi model CAPM dengan model APT dalam memprediksi pendapatan
saham industri sebelum krisis.
Rata-rata MAD model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur
sebelum krisis adalah sebesar 0,1055 dengan standar deviasi 0,0354. Adapun rata-rata MAD
model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis adalah
0,1406 dengan standar deviasi 0,0386. Secara deskriptif menunjukkan bahwa model CAPM lebih
akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur
sebelum ekonomi. Hal ini dapat disebabkan oleh :
1. Variabel-variabel makro pembentuk model APT (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat
inflasi yang tidak diharapkan dan perubahan kurs yang tidak diharapkan) dalam penelitian ini
kecil sekali kontribusi terhadap variasi pendapatan saham industri manufaktur, dengan kata
lain variabel-variabel ini kurang sesuai dimasukkan sebagai variabel pembentuk model APT
untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur di bursa efek Jakarta. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh M.Syaichu (2001) yang telah
memasukkan beberapa variabel makro (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat inflasi
yang tidak diharapkan dan tingkat pertumbuhan yang tidak diharapkan) kedalam model APT
untuk memprediksi pendapatan di bursa efek Jakarta. Kesimpulan dalam penelitian tersebut
juga menyatakan bahwa variabel-variabel makro tersebut kurang cocok sebagai pembentuk
model APT. Berbeda dengan model CAPM yang menggunakan pendapatan pasar saham
(Return market portofolio) sebagai variabel pembentuk model. Pendapatan pasar saham dalam
penelitian ini mampu menjelaskan variasi dari pendapatan saham industri manufaktur lebih
baik dibandingkan dengan variabel-variabel pembentuk model APT yang digunakan dalam
penelitian ini.
Rekomendasi
Investor sebaiknya memperhatikan dan menganalisis kondisi ekonomi sebelum akhirnya
memutuskan untuk bermain di pasar modal, karena ada kemungkinan berinvestasi pada tabungan,
lebih memberikan keuntungan jika dibandingkan dengan berinvestasi di pasar modal. Untuk para
akademisi, hal ini di harapkan menjadi masukan dimana perlu di kaji kembali mengenai
perbandingan model CAPM dengan APT dalam memprediksi return saham, pada perusahaan
yang berbeda atau tahun berbeda sehingga dapat dijadikan pegangan.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan yang signifikan antara keakuratan model CAPM dengan model APT
dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis ekonomi, dimana
model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT.
Referensi
1. Tandelilin, Eduarus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi pertama.
Yogyakarta: BPFE.
2. Syaichu, Mohammad. 2000. Perbandingan Keakuratan Capital Aset Pricing Model (CAPM)
dan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam Memprediksi Pendapatan Saham Di Bursa Efek
Jakarta, Tesis, Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga.
3. Hidayati, Aisyi Anggun. Suhadak. & Sudjana, Nengah. Analisis Capital Aset Pricing Model
(CAPM) Terhadap Keputusan Investasi Saham.