Threshold dan Penyederhanaan Partai Poli

Threshold dan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia
Ali Nurdin
alinurdin@unmabanten.ac.id
Universitas Mathla’ul Anwar Banten
A. Latar Belakang
Isu mengenai penerapan threshold dalam pemilihan umum kembali mencuat
dalam beberapa minggu terakhir ini sejalan dengan upaya merevisi Undang-Undang
Pemilu yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Partai Golongan Karya
mengusulkan parliamentary threshold (ambang batas minimum untuk memperoleh
kursi di parlemen) ditingkatkan dari sebelumnya 2,5% menjadi 5% kursi di DPR.
Alasannya adalah untuk lebih menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia.
Di lain pihak, sejumlah partai lain seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Gerindra menolak
ambang batas 5%. Angka itu dinilai terlalu tinggi, dapat membunuh partai-partai
kecil, dan hanya menguntungkan partai politik besar. Namun demikian, partai-partai
selain Golkar pada umumnya setuju bahwa partai politik di Indonesia terlalu banyak
dan harus disederhanakan.
B. Identifikasi Masalah
Kontroversi mengenai parliementary threshold selama ini lebih terfokus ada
persoalan angka: apakah 2,5%, 3% atau 5%. Posisi partai politik dalam persoalan
angka threshold ini diduga terkait dengan kalkulasi politik pada pemilihan umum

mendatang, apakah lebih menguntungkan atau merugikan bagi mereka. Simulasi
berdasarkan hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa penerapan parliamentary
threshold 5% akan memberikan

tambahan kursi yang signifikan terutama bagi

Partai Golkar dan Demokrat. Agaknya atas dasar perhitungan inilah kedua partai
tersebut mendukung angka ambang batas 5%.
Padahal sejatinya persoalan threshold harus dikaitkan dengan upaya
menyederhanaan partai politik untuk jangka panjang, sehingga diperoleh sistem
kepartaian yang stabil yang memungkinkan terjadinya sirkulasi kekuasaan politik

secara lancar. Karena itu, pertanyaannya bukan sekadar berapa persen angka
threshold yang akan diberlakukan, melainkan juga: kapan diterapkan dan untuk
jangka waktu berapa lama.
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah penerapan threshold di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota yang selama ini belum banyak dibicarakan. Apakah
penerapan threshold sudah saatnya menyentuh kepartaian di daerah? Apa
dampaknya dampaknya bagi sistem kepartaian dan konfigurasi politik Indonesia di
masa yang akan datang?

C. Threshold di Negara Lain
Pengertian threshold yang sering dipergunakan adalah ambang batas
minimum perolehan dukungan atau suara yang dibutuhkan suatu partai politik
untuk mendapatkan perwakilan – a minimum level of support which a party needs
to gain representation (Reynolds, 2004: 83). Ambang batas ini dapat diterapkan
secara legal melalui peraturan (formal threshold) atau berlaku secara alamiah
(natural threshold).
Diskursus mengenai penerapan threshold dalam pemilihan umum sebetulnya
bukan hal baru. Negara yang tercatat pertama kali menerapkan parliamentary
threshold adalah Belanda dalam pemilihan umum majelis rendah tahun 1918. Anga
threshold yang ditetapkan pada waktu itu adalah antara 0,5% sampai 0,75%. Di
Costa Rica, tahun 1923 terjadi perdebatan seru ketika pada

pemilihan umum

preiden tahun itu Rafael Jimenez hanya memperoleh suara mayoritas 42 persen.
Tiga tahun kemudian Costa Rica menerapkan sistem dua putaran dalam pemilihan
presiden, dan tahun 1936 mulai menerapkan ambang batas minimum 40% bagi
seorang kandidat untuk menduduki jabatan presiden (Colomer, 2004: 113).
Dalam perkembangannya kemudian, threshold lebih banyak digunakan

dalam pemilu legislatif yang menggunakan sistem proporsional representatif
ketimbang

pemilu

presiden.

Tujuannya

penerapan

threshold

adalah

untuk

mengurangi jumlah partai politik dan fragmentasi suara di parlemen, agar
pemerintahan dapat berjalan secara efektif (Reynolds, 2004: 84). Di Eropa Barat,
negara-negara yang menerapkan parliemantary thershold antara lain adalah Jerman

(sejak tahun 1949), Prancis (1951), Denmark (1953), Swedia (1970), Austria (1971),
Spanyol (1977) dan Turki (1983). Di Amerika Latin, Argentina menerapkan threshold
sejak 1963 dan Meksiko sejak 1964.

Sedangkan Israel tercatat sebagai negara yang pertama kali menerapkan
parliamentary threshold di kawasan Asia-Ocenia, yakni sejak tahun 1951. Disusul
kemudian oleh Korea Selatan (1963), Sri Langka (1989), Taiwan (1992), Selandia
Baru (1996), Filipina (1998), Thailand (2001) dan Indonesia (2004). Parliemantary
threshold juga banyak digunakan di sejumlah negara demokrasi di Eropa Timur
seperti Albania, Bulgaria, Kroasia, Republik Czeck, Moldova, Estonia, Hungaria,
Latvia dan Russia.
Persentase ambang batas minimum yang diterapkan di sejumlah negara
berbeda-beda satu sama lain. Threshold terendah diterapkan di Belanda yakni
0,67%, sedangkan yang tertinggi di Turki yakni 10%. Jerman dan Prancis
menerapkan threshold 5%, sedangkan Norwegia, Swedia, Austria masing 4%.
Spanyol 3% dan Denmark 2%. Di Argentina ambang batas minimum ditetapkan 3%
untuk tingkat nasional dan 8% untuk tingkat distrik. Korea, Taiwan, Thailand, dan
Srilangka masing-masing 5%. Filipina 2% dan Israel 1,5%.
Tinggi-rendahnya tingkat prosentase parliamentary threshold pada umumnya
berpengaruh terhadap prosentasi suara yang terbuang atau


tidak terwakili di

parlemen. Secara hipotetis makin tinggi angka ambang batas maka making tinggi
pula jumlah suara yang tidak terwakili. Pada pemilu 1993 di Polandia yang
menerapkan angka threshold 5% untuk partai tunggal dan 8% untuk partai koalisi
terdapat sekitar 35% suara yang tidak terwakili di parlemen. Pada pemilu 1995 di
Rusia terdapat 45% suara terbuang padahal ambang batasnya hanya 5%. Di
Ukraina pada pemilu 2006 dengan threshold 3% tercatat sebanyak 22% suara tidak
terwakili.

Sedangkan pada pemilu 2002 di Turki yang mematok threshold 10%

terdapat 46% suara yang terbuang (Reynolds, 2004: 83).
Otoritas pemilu di Turki pernah digugat ke Pengadilan HAM Eropa tahun 2004
gara-gara tingginya jumlah suara yang terbuang pada setiap pemilu dan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap HAM. Pengadilan memutus bahwa pemerintah Turki
dianggap tidak melanggar HAM. Namun gara-gara kasus tersebut Parlemen Uni
Eropa mengeluarkan Resolusi 1547 (State of human rights and democracy in
Europe) yang salah satu paragrafnya menyatakan:

“In well-established democracies, there should be no thresholds higher than
3% during the parliamentary elections. It should thus be possible to express
a maximum number of opinions. Excluding numerous groups of people from
the right to be represented is detrimental to a democratic system. In wellestablished democracies, a balance has to be found between fair

representation of views in the community and effectiveness in parliament
and government.”
“Di negara-negara demokrasi yang mapan, seharusnya tidak ada ambang
batas yang melebihi 3% pada pemilu parlemen. Angka tersebut
memungkinkan untuk menyatakan jumlah maksimum pendapat. Kekecualian
terhadap sekelompok orang atas hak untuk terwakili (di parlemen -- pen)
adalah akan merugikan sistem demokrasi. Di negara-negara demokrasi
mapan, harus ditemukan keseimbangan antara keterwakilan pandangan yang
wajar dalam masyarakat dan efektivitas di parlemen dan pemerintah.”
(Paragraf 58, Resolusi 1547, 2007)
D. Penerapan Threshold di Indonesia
Diskursus mengenai threshold di Indonesia dimulai pada tahun 1998 pada
saat penyusunan UU Pemilihan Umum. Pasal 39 Ayat UU No 3 Tahun 1999
menyatakan bahwa partai politik bisa mengikuti pemilihan umum berikutnya
apabila memiliki sedikitnya 2% jumlah kursi di DPR RI atau 3% jumlah kursi di DPRD

I dan DPRD II. Artinya ketentuan tersebut baru berlaku pada pemilu berikutnya,
yakni Pemilu 2004. Maka menjelang Pemilu 2004 sejumlah partai politik yang
perolehan kursinya tidak mencapai 2% pada Pemilu 1999 ramai-ramai berganti
nama agar bisa mengikuti Pemilu 2004.
Ketentuan mengenai ambang batas tersebut kemudian diubah menjadi 3%
kursi DPR RI dan 4% kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten sebagaimana
tercantum dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif. Masa
berlakunya adalah pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2009. Namun menjelang Pemilu
2009 dilakukan perubahan lagi dimana partai politik harus memperoleh sekurangkurangnya 2,5% suara jika ingin diikutsertakan dalam penghitungan kursi di DPR RI
(Pasal 202 Ayat 1 UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legislatif). Dengan
demikian, Pemilu 2009 merupakan awal penerapan parliamentary threshold di
Indonesia.
Dengan ambang batas 2,5% jumlah partai politik yang memperoleh kursi di
DPR pada Pemilu 2009 hanya 9 partai saja (Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, PKS,
PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura), menurun jauh dibandingkan Pemilu 2004
dimana jumlah kursi terbagi kepada 16 partai politik. Memang terdapat sekitar
18,2% suara pemilih yang tidak terkonversi ke dalam kursi, yang merupakan
gabungan dari jumlah suara pemilih yang tidak mencapai ambang batas 2,5%.
Namun jumlah suara yang tidak terwakili ini sebetulnya masih ada dalam batas


yang wajar, mengingat sejauh ini tidak ada satupun sistem pemilihan umum yang
mampu mengkonversi seluruh suara pemilih menjadi kursi di parlemen.
Jika angka parliamentary threshold ditingkatkan menjadi 5% maka simulasi
dengan menggunakan hasil Pemilu 2009 secara hipotetis akan ada sekitar 31,5%
suara pemilih yang tidak terwakili (lihat tabel di bawah). Angka ini sebetulnya masih
terbilang wajar jika dibandingkan dengan jumlah suara terbuang di negara-negara
lain yang menerapkan parliamentary threshold sebagaimana dijelaskan di atas.
Namun demikian, rencana penerapan parliementary threshold sebesar 5% masih
perlu dipertimbangkan karena beberapa alasan.
Pertama, selama ini ketentuan mengenai Pemilu Legislatif di Indonesia masih
terkesan coba-coba dan tidak konsisten, terlihat dari seringnya ketentuan-ketentuan
tersebut diubah setiap menjelang pemilu. Sudah saatnya Indonesia memiliki UU
Pemilu yang komprehensif dan dapat berlaku dalam jangka panjang, sehingga
dapat menjadi pedoman bagi partai politik dalam mengambangkan visi jangka
panjang mereka.

Kedua, pertentangan antara partai yang menghendaki threshold 5% dan
2,5% bisa berlangsung cukup lama dan keras, sehingga menelan ongkos politik
yang relatif tinggi. Jalan kompromi diperkirakan akan mampu menurunkan tensi
politik nasional. Diskursus masalah ini tidak perlu menyita perhatian publik yang

tidak semestinya.
Ketiga, peningkatan electoral threshold akan lebih realistis dilakukan secara
gradual, sambil menumbuhkan budaya politik yang sesuai dengan sistem yang
dikembangkan. Sistem atau aturan yang tidak didukung oleh budaya yang
kompatibel tidak akan bisa berjalan dengan baik. Jika DPR bisa menyepakati
peningkatan threshold dari 2,5% menjadi 5% dalam tiga kali pemilu mendatang,
aturan tersebut membawa implikasi bahwa desain politik Indonesia tidak akan
banyak berubah setidaknya dalam 15 tahun ke depan. Desain politik jangka
panjang ini diperkirakan mampu membuat sistem kepartaian Indonesia lebih stabil
dalam dan efektif.
Keempat,

penerapan

threshold

sejatinya

dikaitkan


dengan

upaya

penyederhanaan sistem pemilu. Skema parliamentary threshold tidak mengurangi
jumlah partai politik yang ikut dalam pemilu, sehingga dengan peserta pemilu yang
berjumlah puluhan sistem pemilu kita masih tetap rumit. Jumlah partai peserta
pemilu yang banyak berimplikasi langsung terhadap format dan ukuran surat suara,
juga dalam tatacara rekapitulasi hasil pemilu. Penerapan threshold yang pasti
dalam beberapa pemilu ke depan kemungkinan akan menurunkan hasrat partaipartai politik kecil untuk memaksakan diri ikut pemilu, yang secara probabilitas
peluangnya relatif kecil untuk memperoleh kursi.
Kelima, perlu kajian yang matang dan tahapan yang terencana untuk
menerapkan

parliementary

threshold

di


tingkat

daerah:

provinsi

dan

kabupaten/kota. Tanpa threshold konfigurasi politik di parlemen daerah akan sama
kompleksnya

dengan

parlemen

nasional

hasil

pemilu

1999,

namun

bisa

disederhanakan dengan threshold yang terukur dan terencana. Partai politik yang
tidak lolos threshold di tingkat nasional tetapi memiliki dukungan kuat di daerah
tertentu dapat berkembang menjadi partai lokal. Partai politik lokal dapat diberi
ruang secara permanen, atau diharuskan bergabung dengan partai politik nasional
agar bisa mengikuti pemilu berikutnya.

E. Kesimpulan
Indonesia perlu memiliki desain sistem kepartaian jangka panjang untuk
mendorong terciptanya konfigurasi politik yang stabil dan mendukung sirkulasi
kekuasaan secara lancar. Karena itu penerapan parliamentary threshold yang naik
secara

gradual

(misalnya

dari

3%

menjadi

4%

kemudian

5%)

perlu

dipertimbangkan untuk membangun kepastian dan konsistensi aturan kepartaian
setidaknya dalam tiga pemilihan umum ke depan.
Adanya suara yang tidak terwakili merupakan konsekuensi penerapan
ambang batas di parlemen. Sepanjang prosentasenya ada dalam batas wajar
sebagaimana yang terjadi di negara-negara demokrasi lain, katakanlah maksimum
30% dari total suara sah, maka kenaikan angka parliamentary threshold dapat
dipertimbangkan.

Daftar Pustaka

Colomer, Josep Maria (ed). 2004. Handbook of Electoral System Choice. Palgrave
Macmillan, New York
Klingenmann, Hans-Dieter (ed). 2009. The Comparative Study of Electoral System.
Oxford University Press, Oxford
Lijphart, Arend dan Bernard Grofman (eds). 2003. Electoral Laws and Their Political
Consequences. Agathon Press Inc, New York
Reynolds, Andrew, dkk. 2004. Electoral System Design: The New International IDEA
Handbook. Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm
Schneider, Friedrich dan Charles K. Rowley. 2004. The Encyclopedia of Public Choice
Volume I. Kluwer Academic Publisher, New York
Szajkowski, Bogdan (ed). 2005. Political Parties of The World, 6th Edition. John
Harper Publishing, London
Webb, Paul dan Stephen White (eds). 2007. Party Politics in New Democracies:
Comparative Politics. Oxford University Press, Oxford
Weingast, Barry R (ed). 2006. The Oxford Handbook of Political Economy. Oxford
University Press, Oxford