Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN
GENDER
2.1 Defenisi Novel
Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah
berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita
pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa
Jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel,
istilah inilah yang kemudian masuk dalam bahasa Indonesia.
Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:694), novel diartikan sebagai
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang
dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku. Prosa dalam kesusastraan juga disebut sebagai karya fiksi. Karya fiksi
menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat
rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh
sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2).
Menurut Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang berupa
cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur suspensi
dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.
Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan

dari fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4)
digolongkan sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) yang terbagi atas (1) fiksi
historical / historical fiction atau novel histori, jika menjadi dasar penulisan fakta

Universitas Sumatera Utara

sejarah, (2) fiksi biografis / biographical fiction atau novel biografi, jika yang
menjadi dasar penulisanfakta biografi seseorang, dan (3) fiksi sains / science
fiction atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya adalah fakta
mengenai ilmu pengetahuan.
Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Ginko”
ini ke dalam novel biografi karena novel ini ditulis berdasarkan fakta biografi
seseorang yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.
Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
novel populer dan novel serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia
merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan
hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel
adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.

1.


Novel Populer
Novel populer sering juga disebut sebagai novel pop. Kata pop erat

diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiyantoro (1981:82)
mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel ini menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat
permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara
intens dan tidak berusaha meresapi masalah kehidupan, karena akan dapat
membuat novel ini menjadi berat dan berubah menjadi novel serius.

Universitas Sumatera Utara

Novel

populer

adalah


perekam

kehidupan

dan

tidak

banyak

memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan
kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal
kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan
kembali pengalaman itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel populer
yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.
Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena novel
populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak berpotensi
mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.


2.

Novel Serius
Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra sanggup

memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra
diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.
Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini
disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.
Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan
memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk
meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan
yang dikemukakan.
Novel serius biasanya berusaha mengungkap sesuatu yang baru dengan
cara yang baru juga. Karena adanya unsur pembaharuan tersebut teks kesastraan
menjadi mengesankan. Oleh karena itu, novel serius tidak akan terjadi sesuatu
yang bersifat ketinggalan karena pengarang akan berusaha untuk menghindarinya.

Universitas Sumatera Utara


Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut
pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut
merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks
kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga menyebabkan
pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks
cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan
pola harapan pembaca, disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini
justru menjadikan teks yang bersangkutan menjadi suatu cerita yang memiliki
kualitas kesusastraan.
Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit
disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan
sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya,
novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya.
Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.

2.2 Setting Novel Ginko
Setiap karya sastra disusun dari unsur-unsur yang menjadikannya sebuah
kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra
adalah unsur intrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat
dalam karya sastra dalam hal ini adalah novel.

Menurut Abraham dalam Nurgiantoro (1995: 216) setting atau latar yang
disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.

Universitas Sumatera Utara

Setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: waktu, tempat,
dan sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang
berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya setting berkaitan
dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Setting berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan setting cerita
dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Setting cerita dapat digunakan
sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh.
Sastrawan juga bisa menggunakan setting cerita sebagai simbol atau lambang bagi
peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan
latar/ setting cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau
atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi pembaca, latar cerita bisa membantu
untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh.
Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita,

alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.

1. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan denngan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel
‘Ginko’ karya Jun’ichi Watanabe mengambil setting pada awal zaman Meiji yakni
sekitar tahun 1870-1913.

Universitas Sumatera Utara

2. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempattempat dengan nama tertentu, inisia tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas. Dalam novel ‘Ginko’ mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang,
seperti di Kanto, Tokyo, Kofu, Hokkaido, Sapporo dan lain sebagainya. Peristiwaperistiwa tersebut terjadi di tempat-tempat seperti di tepi sungai, rumah sakit,
asrama mahasiswa, kuil, klinik, gereja dan lain-lain.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi
maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan
bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh
yang bersangkutan, misalnya rendah, menensgah atau atas.
Sama halnya juga dalam novel “Ginko” ini terdapat ruang lingkup tempat
dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam
hidupnya. Setting peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel ini seluruhnya
terjadi di Jepang dan berlangsung pada tahun 1870-1913.
Pada zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep
ryousaikenbo yang mengatakan “bahwa seorang perempuan harus menjadi istri
yang baik dan ibu yang bijaksana”. Oleh karena itu, bagi para perempuan pada

Universitas Sumatera Utara

zaman Meiji seperti Ogino Gin dalam novel ini untuk berpendidikan tinggi dan
berprofesi sebagai dokter wanita merupakan hal yang hampir mustahil.
Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari pandangan wanita Jepang
modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji, para wanita hanya

berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak diperbolehkan mengurus
anaknya sendiri. Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai diterapkan pada zaman
meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam mendidik anak. Bahkan,
konsep ryousaikenbo ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai
rumah. Dengan maksud bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan
dirawat secara penuh kasih sayang oleh istri atau ibu.
Meskipun wanita Jepang telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun,
tetap saja dilakukan pemisahan kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu
pekerjaan bagi wanita Jepang sangat dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya
dapat

sampai

SMU.

Sehingga

dapat

dikatakan


bahwa,

konsep

ryousaikenbo sebagai awal dari dimulainya ketidakadilan atau diskriminasi
gender bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan
memiliki anak harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta
patuh terhadap segala keputusan suami.
Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan
sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan
keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam
menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua hal tersebut
menjadi prioritas utama

Universitas Sumatera Utara

Tidak peduli bagaimanapun terdidiknya perempuan kelas menengah tapi
mereka tidak ada peluang di dalam masyarakat untuk menggunakan pendidikan
mereka dalam berbagai cara yang efektif. Seperti halnya, Gin yang hidup di zaman

Meiji yakni zaman dimana perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih tinggi. Hal tersebut karena ada paham dalam masyarakat yakni paham yang
menganggap bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan
rumah tangga dan merawat anak dan suami. Sehingga Gin harus berjuang untuk
bisa kuliah dan menjadi dokter wanita pertama.

2.3 Biografi Jun’ichi Watanabe
Jun’ichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang, pada tahu 1933. Dia
mulai tertarik menulis saat menempuh sekolah menengah. Ketika menjadi
mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia bereksperimen dengan tulis
menulis dan mulai mempublikasikan tulisannya di sejumlah majalah sastra.
Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai ahli bedah
ortopedi, tapi kemudian dia mengundurkan diri dan hijrah ke Tokyo untuk
menekuni dunia kepenulisan. Sejal tahun 1969, dia merintis karir sebagai penulis
seutuhnya
Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan terkadang berlatar dunia
kedokteran. Selain Hanauzumi yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa
termasuk Indonesia yang judulnya menjadi Ginko, novelnya yang populer adalah
Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepangdan berbagai
negara di Asia. Dia telah menulis lebih dari 50 novel dan banyak diantaranya yang
telah difilmkan.

Universitas Sumatera Utara

Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam bidang sastra dan
kepenulisan, antara lain hadiah Naoki 1970 untuk novel Hikari to kage dan hadiah
Eiji Yoshikawa tahun 1979 untuk novel Toki rakujitsu.

2.4 Pengertian Gender
2.4.1

Konsep Gender
Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan

perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan
dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil.
Perbedaan ini sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur adukan
ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan bukan kodrat (gender).
Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau
perbedaan jenis kelamin (Sugiarti, 2008: 4). Untuk memahami kata gender, harus
dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Secara sruktur biologis atau jenis
kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing
memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan.
Laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ
peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak bekumis, karena
keduanya memiliki hormon yang berbeda.
Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis
melekat pada jenis kelamin tertentu, (2008: 4). Seks berarti perbedaan laki-laki dan
perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi
organisme yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki
dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga
lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan
(Sugiarti, 2008: 5).
Konsep gender menurut Sugihastuti tidak jauh berbeda dengan yang
diungkapkan oleh Fakih, yakni konsep gender adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun kultural, (2004: 8). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang
dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
Dengan demikian gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang dilekatkan masyarakat dalm suatu
kultur. Namun berhubung kultur dalam masyarakat mengalami perubahan dan
perkembangan, maka sifat-sifat yang dilekatkan oleh masyarakat juga mengalami
perubahan dan perkembangan.

Universitas Sumatera Utara

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks
No

Karakteristik

Seks

Gender

1

Sumber Pembeda

Tuhan

Manusia (masyarakat)

2

Visi, Misi

Kesetaraan

Kebiasaan

3

Unsur Pembeda

Biologis (alat reproduksi)

Kebudayaan (tingkah
laku)

4

5

Sifat

Dampak

Kodrat, tertentu, tidak

Harkat, martabat dapat

dapat dipertukarkan.

dipertukarkan.

Terciptanya nilai-nilai

Terciptanya norma/

kesempurnaan, kedamaian

ketentuan tentang pantas/

yang menguntungkan

tidak pantas dan sering

kedua belah pihak.

merugikan salah satu
pihak.

6

Keberlakuan

Sepanjang masa, dimana

Dapat berubah, musiman

saja, tidak mengenal

dan berbeda antar kelas.

perbedaan kelas.

Selain yang dicantumkan diatas, perbedan gender dan jenis kelamin juga
dapat dilihat sebagai berikut: kemampuan wanita untuk melahirkan anak dan
menyusui, dan kemampuan pria unuk menghasilkan sperma, merupakan ciri-ciri
biologis wanita dan pria yang dicakup oleh konsep jenis kelamin. Sebaliknya,
perbedaan-perbedaan yang lazim berlaku dalam banyak masyarakat di muka bumi
ini, seperti pria bekerja di luar rumah dan wanita menjaga rumah, pria encari

Universitas Sumatera Utara

nafkah dan wanita mengurus anak, merupakan perbedaan-perbedaan yang
diciptakan oleh kebudayaan, sehingga hal-hal ini dapat berubah mengikuti
perubahan perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sebagai suatu konsep teoritis, ada dua aspek konsep gender yang perlu
diperhatikan. Pertama, gender merupakan konsep relasional. Seperti dikatakan
oleh Melani Budianta (1998: 6), gender sebagai suatu konsep relasional artinya
gagasan tentang pria tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang wanita.pendekatan
yang berwawasan gender akhirnya mengoreksi kecenderungan sementara kaum
feminis yag memfokuskan perhtian pada masalah wanita saja.
Kedua, seperti dikatakan oleh Tamanoi (1990: 17), gender sebagai konsep
relasional mencakup hubungan antara pria dan wanita dalam setiap lapisan
maupun kelompok masyarakat. Maksudnya, hubungan antara pria dan wanita bisa
saja berbeda pada lapisan masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
2.4.2

Ideologi Gender
Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan orang untuk

menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah lakunya serta menafsirkan
dan menilai tingkah laku orang lain. Ideologi gender merupakan seperangkat
keyakinan yang mengatur partisipasi orang-orang dalam orde gender (Sugihastuti
dan Hadi, 2007: 49). Orde gender merupakan sistem alokasi yang didasarkan pada
ketentuan jenis kelamin mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan larangan,
batasan dan kemungkinan, serta kekuatan dan subordinasi. Dengan ideologi gender
pula orang-orang menjelaskan dan membenarkan apa yang mereka lakukan.

Universitas Sumatera Utara

Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat
alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender.
Menurut Saptari dan Holzner, ideologi gender adalah seperangkat aturann
nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih
dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Ideologi ini
terbentuk di berbagai tingkat, negara, komunitas dan disosialisasikan melalui
pranata-pranata sosial yang dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok-kelompok
yang berkuasa (1997: 202).
Melalui konstruksi sosial, ideologi gender kemudian dijadikan sebuah
norma yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap,
berpenampilan, berprilaku dan mengatur kesetaraan antara perempuan dan lakilaki dengan prinsip yang lebih equal. Artinya, jika ada ideologi dalam budaya
masyarakat yang memihak kepada yang “serba laki-laki” atau yang “serba
perempuan”, maka disebut ideologi bias gender.
Ideologi bias gender adalah ideologi dimana norma, keyakinan, adat
kebiasaan, dan nilai-nilai lazimnya masih serba laki-laki atau serba perempuan,
sehingga ketika menemuka fenomena yang tidak sesuai norma yang “serba lakilaki” (patriarkhi), dianggap menyimpang. Inilah kesalahan mengukur perempuan
dari perspektif

laki-laki, bukan perspektif manusia. Ideologi gender saat ini

sedang menjadi warna perjuangan para feminis melalui kerangka budaya
kelompok masyarakat secara kelembagaan maupun melalui kerangka budaya
secara perorangan.
Gerakan gender tidak hanya medekonstruksi posisi perempuan yang hanya
bekerja di rumah (sektor domestik), tapi gerakan ini juga menawarkan suatu

Universitas Sumatera Utara

konsep bahwa perempuan dapat bekerja di sektor publik. Sektor publik dimaksud
baik menyangkut sektor ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.

2.4.3

Ketidakadilan Gender
Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara, laki-laki maupun

perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama.
Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya
saling melengkapi. Namun dalam perjalanan manusia, banyak terjadi perubahan
peran dan status atas keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama
kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan akhirnya berdampak pada
terciptanya perlakuan diskriminatif atau ketidakadilan terhadap salah satu jenis
kelamin. Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu kepada perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran
dan status tadi bik secara sosial maupun budaya.
Aplikasi dan implikasi gender di masyarakat belum sesuai dengan yang
diharapkan, karena masih sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya setempat.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Namun, perbedaan gender ini dalam beberapa
hal akan mengantarkan pada ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih, 2004: 12).
Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan
gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan gender yang ada.

Universitas Sumatera Utara

Berikut berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dingkapkan oleh Fakih (2004:
13-23).
a.

Peminggiran / Marginalisasi
Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi dimana terjadinya

peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus pekerjaan utama yang
berakibat pemiskinan. Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi.
Proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan sesungguhnya
banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki
dan perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin
tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Banyak studi telah
dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang
menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga
terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.
Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi di rumah tangga dalam bentuk
diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi
juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.

b.

Anggapan tidak penting / Subordinasi
Subordinasi atau anggapan tidak penting adalah anggapan bahwa salah satu

jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan
dengan jenis kelamin lainnya.
Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap
perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga

Universitas Sumatera Utara

perempuan tidak bisa memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis
pekerjaan tertentu.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk
yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Misalnya saja
diskriminasi secara subordinasi yang diderita oleh kaum perempuan pada sektor,
pekerjaan misalnya presentase jumlah pekerja perempuan, penggajian, pemberian
fasilitas, serta beberapa hak-hak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya
belum terpenuhi.
Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa
semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan
menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki.
Keyakinan gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi
perempuan disegala bidang pekerjaan.

c.

Pelabelan / Stereotipe
Secara umum stereotipe atau pelabelan merupakan suatu penandaan atau

pelabelan terhadap kelompok tertentu. Biasanya pelabelan ini selalu berakibat
pada ketidakadilan sehingga dinamakan pelabelan negatif. Salah satu jenis
stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Misalnya saja
penandaan bahwa laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa,
sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional dan
keibuan.

Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak
stereotipe yang dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial
tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.
Masyarakat juga memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan
adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum
perempuan dinomorduakan.

d.

Beban kerja berlebih / Double Burden
Double burden atau beban kerja berlebih adalah perlakuan terhadap salah

satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
Dengan

berkembangnya

wawasan

kemitrasejajaran

berdasarkan

pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan
mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun perkembangan perempuan
tidaklah mengubah peranan yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga.
Maka dari itu perkembangan peranan perempuan ini sifatnya menambah, dan
umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan
pembangunan. Untuk itu maka beban kerja perempuan terkesan berlebih.
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua
pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama
untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Terlebih lagi jika si

Universitas Sumatera Utara

perempuan harus bekerja lebih untuk mencari nafkah, maka ia memikul beban
kerja ganda atau berlebih.

e.

Kekerasan / Violence
Violence atau kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun

integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada
dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu
jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang
disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya,
kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena budaya
dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk
memenangkan perbedan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan sering
kali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.
Kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang
berkembang di masyarakat (Sugiarti, 2008: 18). Menurut Fakih (2004: 17-20)
banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan
gender, diantaranya:
Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan
dalam perkawinan. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan paksan untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.
Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah
tangga maupun di luar lingkungan rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin
(genital mutilation).
Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran
merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh
suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat
dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di
satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara
juag menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh
masyarakat, namun pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.
Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis
kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan
nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan
dijadikan objek demi keuntungan seseorang.
Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga
Berencana. KB dibanyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap
perempuan.
Ketujuh, jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang taau
menyentuh bagian tubuh tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dn
kesempatan tanpa kerelaan dari si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi
di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum.
Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum
dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual
and emotional harassement. Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan sebagai
pelecehan seksual, yakni :

Universitas Sumatera Utara

1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar kepada seseorang dengan cara
yang dirasakan sangat ofensif.
2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.
3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau
pribadinya.
4. Menyentuh atau menyenggol bagian dari tubuh seseorang.
Dalam penelitian ini digunakan analisis gender agar penulis lebih
memahami suatu bentuk ketidakadilan dan kaitannya dengan sistem sosial yang
lebih luas. Di dalam menganalisis dengan menggunakan kajian gender, penulis
harus mampu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur
yang tidak adil, dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan
mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut.
Oleh sebab itu berdasarkan atas metode penelitian tersebut diatas penulis
berusaha menjadikannya pedoman untuk dapat menganalisis pembahasan pada bab
III yang didalamnya mencakup tentang bagaimana bentuk diskriminasi gender
yang dialami oleh tokoh utama dalam novel.

Universitas Sumatera Utara