Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo

Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki diterjemahkan oleh Nug Katjasungkana. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian sastra, Yogyakarta: Media Pressindo

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Illich,Ivan.2005. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moleong, Lexy.J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yayasan Obor Indonesia: Gadjah Mada University Press.

Rampan, Korrie Layun. 1984. Suara pancaran Sastra. Jakarta : Yayasan Arus.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya


(12)

Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press

Sugihastuti. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan;Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jacob dan Saini KM. 1999. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia

Wahyudi, Siswanto. 2008. Pengantar Teori Sastra, Jakarta :Grasindo

Watanabe, Jun’ichi. 2013. Ginko. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terjemahan oleh Budianta). Jakarta: Gramedia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi 12 nov 2013 21.49

http://id.wikipedia.org/wiki/Citra 17 nov 2013 11.57

http://id.wikipedia.org/wiki/Citra_(Hubungan_Masyarakat) 17 nov 2013 11.58

http://aimizu4869.blogspot.com/2011/11/wanita-jepang-dari-zaman-dahulu-hingga.html 19 nov 2013 20.56

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika 27 nov 2013 21.11


(13)

BAB III

ANALISIS MASALAH DISKRIMINASI GENDER DALAM NOVEL ‘GINKO’ KARYA JUN’ICHI WATANABE

3.1 Sinopsis Cerita

Novel Ginko merupakan novel yang menyentuh tentang dokter perempuan pertama di Jepang. Ceritanya bermula saat seorang perempuan desa Tarawase yang sudah menikah tiba-tiba kembali ke kampung halamannya tanpa alasan yang jelas. Perempuan itu bernama Gin Ogino, seorang putri bungsu keluarga kelas atas Ogino yang terkenal cantik dan cerdas. Tak berapa lama, tersiar kabar mengenai perceraian Gin, tetapi hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa penyebab sebenarnya perceraian itu karena Gin tertular penyakit kelamin dari suaminya. Dan karena penyakit yang ditularkan suaminya Gin tidak bisa lagi memiliki anak. Saat suaminya meminta Gin untuk kembali, Gin dengan berani menolak kembali kepada suaminya. Hal yang tak lazim pada masa itu dimana perempuan tidak boleh secara sepihak meminta cerai.

Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh Gin, Dr. Mannen yang merupakan dokter di desanya menyarankan agar Gin dirawat di rumah sakit yang ada di Tokyo. Gin dibawa ke Rumah Sakit Juntendo di Tokyo pada pertengahan Desember 1970. Gin yang menanggung malu akibat perceraian menjadi semakin terpuruk ketika penyakit yang dianggapnya sebagai aib hanya bisa ditangani oleh dokter laki-laki karena saat itu belum ada dokter perempuan di Jepang. Namun, peristiwa itu pula yang memicu Gin untuk bangkit dari kesedihan dan


(14)

keterpurukannya. Mulai saat itu Gin bertekad untuk menjadi dokter demi rasa solidaritasnya terhadap sesama kaum perempuan.

Gin pun menyampaikan tekadnya untuk menjadi dokter kepada ibunya. Gin sudah menduga ibunya akan terkejut dengan keinginannya. Dan seperti dugaannya, ibunya hanya ternganga saat mendengar impian Gin. Ibunya tentu saja tidak mengizinkan Gin untuk menempuh pendidikan kedokteran. Pada masa awal pemerintahan Meiji, untuk meraih gelar dokter merupakan hal yang sulit bagi kaum laki-laki, apalagi Gin yang perempuan. Impiannya terbilang mustahil untuk terwujud. Namun kenyataan itu tidak membuat Gin gentar. Diawali denan mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang mendera perempuan, dia memulai perjuangan untuk menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Gin akhirnya mendapatkan izin dari ibunya dan berangkat ke Tokyo pada April 1873, dia diterima sebagai siswi di sekolah Yorikuni, hingga akhirnya di pindah ke sekolah Guru Perempuan. Setelah lulus dari sekolah itu Ginko berencana untuk masuk ke Universitas Kojuin dan belajar ilmu kedokteran.

Rencananya membuat banyak orang termasuk gurunya menggelengkan kepala, karena Gin seorang perempuan, dan perempuan tidak berhak untuk mengenyam pendidikan kedokteran. Namun akhirnya Gin bisa kuliah di Universitas Kedokteran Kojuin dan semenjak hari pertamanya Gin hanya mendapat perlakuan kasar dari mahasiswa Kojuin yang semuanya adalah laki-laki. Hampir setiap saat Gin mendapatkan penghinaan dan tindak pelecehan dari mahasiswa Kojuin. Namun karena itulah Gin bisa bertahan. Gin akhirnya lulus dari Universitas Kedokteran Kojuin setelah tiga tahun menempuh pendidikan.


(15)

Setelah lulus Gin bekerja sementara waktu sambil menunggu kesempatan untuk ikut ujian lisensi kedokteran.

Pada 23 Oktober 1883, Dewan Besar Negara menetapkan sistem baru peraturan lisensi kedokteran yang diberlakukn sejak 1 Januari 1884. Sejak tanggal tersebut, semua orang yang ingin mendirikan usaha praktik medis harus mengikuti ujian lisensi dari pemerintah dan hanya mereka yang lulus yang akan diizinkan untuk melakukan praktik kedokteran.

Gin adalah perempuan pertama yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian lisensi kedokteran itu. Tanpa ragu, Gin mengirimkan surat permohonannya. Seperti yang diduganya, permohonan itu ditolak dengan ketus bersama sebuah pesan: “Belum ada preseden seorang perempuan menerima lisensi kedokteran”. Tahun berikutnya dia mencoba lagi hasilnya tetap sama, Gin gagal. Tahun berikutnya pun dia mencoba lagi namun hasilnya tetap gagal. Ditambah lagi Gin mendapatkan kabar bahwa ibunya telah meninggal. Hal itu membuat Gin semakin bersedih. Gin pun mencoba sekali lagi mengikuti ujian itu namun dengan surat pengantar dari seorang direktur rumah sakit bedah tentara.

Daftar kandidat yang berhasl lulus ditempel pada taggal 20 maret 1885. Gin menemukan namanya “No. 135: Ginko Ogino.” Maka demikianlah, Gin menjadi dokter perempuan pertama yang mendapat sertifikasi dari pemerintah Jepang. Pada mei 1885 Gin membuka Klinik Obsentri dan Ginekolgi Ginko di Tokyo. Ginko juga mulai memeluk agama Kristen. Seorang pendeta membaptisnya pada November 1885.

Ginko pun akhirnya menikah dengan Yukiyoshi Shikata. Mereka menikah pada tanggal 25 November 1890 di Kutami, Prefektur Kumamoto dan


(16)

dinikahkan oleh Pendeta O.H. Gulick. Shikata adalah lelaki yang lebih muda 13 tahun dari Gin. Selama pernikahannya dengan Shikata, Ginlah yang membiayai smua kebutuhan hidup mereka. Maka dari itu Shikata memutuskan untuk pergi ke Hokkaido dan membuka lahan baru disana serta membangun komunitas Kristen.

Pada Juni 1894, Gin memutuskan untuk menyusul Shikata ke Hokkaido. Dia menutup kliniknya dan membagi semua perabotan kepada suster dan staf kliniknya yang lain.

Pada 23 September 1905 Shikata meninggal dunia. Gin menguburkan jenazah Shikata di sebuah bukit di ujung utara Emmanuel. Setelah kematian Shikata, Gin menjadi semakin pendiam. Tak lama setelah kematian suaminya Gin terserang flu dan agak demam. Penyakitnya memang ringan saja, tetapi disertai dengan nyeri di perut bawahnya.

Tahun 1906, tak yakin lagi dengan kekuatan fisiknya, Gin akhirnya kembali ke Tokyo ditemani Tomi, anak angkatnya. Di sana dia membuka klinik dan berpraktik sampai akhirnya meninggal pada 23 Juni 1913, dalm usia enam puluh tiga tahun.


(17)

3.2 Masalah Gender dalam Novel Ginko Karya Jun’ichi Watanabe 3.2.1 Ketidakadilan Gender Berupa Subordinasi

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk subordinasi atau penomorduaan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 81

Dari waktu ke waktu,Ogie dan Gin membahas persoalan itu semakin dalam, dan akhirnya Gin memberitahu ibunya mengenai impiannya itu pada akhir musim panas. Seperti yang sudah diduga, Kayo hanya ternganga.

“Apa kau sudah gila?”

“Tentu saja tidak. Aku hanya meminta izin kepada Ibu agar mengizinkanku pergi ke Tokyo.” Mata Gin tampak berbinar-binar saat mengajukan permintaan itu.

Kayo memang sudah cemas karena selama ini Gin hanya berdiam diri di dalam kamar, dan sekarang dia yakin bahwa Gin meracau karena depresi. Dengan hati kalut, dia memandangi putrinya yang berlutut di hadapannya. “Kumohon jangan bicara seperti orang tolol begitu.”

“Aku tidak tolol”

“Di dunia tempat kita hidup sekarang, ada beberapa hal yang mungkin, ada pula yang tidak mungkin. Bercerminlah pada kenyataan.” Kayo berpikir mungkin Gin kerasukan siluman rubah yang menyihirnya hingga kacau seperti ini. Waktu pasti akan memperbaiki keadaan ini dan putrinya akan kembali waras seperti biasanya.

Namun, Gin tidak menyerah begitu saja. “Bagaimana Ibu tahu mana yang bisa dan tidak bisa kulakukan kalau Ibu tidak mengizinkanku mencobanya?”


(18)

“Tidak.”

Bahkan untuk membuka buku pun, perempuan itu tidak pantas. Selama mengurus proses perceraian, Kayo merasa bersimpati kepada keluarga Inamura yang mengeluh bahwa Gin gemar belajar. Kayo sengaja tidak mengungkit-ungkit hal itu, tetapi sekarang rasa simpatinya kepada mantan besan itu semakin besar. Gin telah merusak kesempatannya dalam kehidupan pernikahan, ditambah lagi dia tidak punya sedikit pun penyesalan, bahkan dia sekarang mengaku ingin menjadi dokter!

“Dimana letak memalukannya niat seseorang yang ingin membantu orang lain yang menderita?” Gin tetap bersikeras.

“Itu tugas dokter laki-laki. Memotong bagian-bagian tubuh dan melihat darah bukanlah pekerjaan perempuan. Ada banyak hal lain yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan.”

“Seperti mengurus rumah tangga dan merawat keluarga bukan?” “Ya, itu salah satunya.” kata Kayo, ibu Gin.

Analisis :

Pada cuplikan diatas terlihat dari ucapan Kayo, bahwa pada saat itu Gin sebagai seorang perempuan posisinya jauh lebih rendah dari pada laki-laki. Hal ini terlihat dari cuplikan berikut ini, Bahkan untuk membuka buku pun, perempuan itu tidak pantas. Selama mengurus proses perceraian, Kayo merasa bersimpati kepada keluarga Inamura yang mengeluh bahwa Gin gemar belajar. Cuplikan ini menunjukkan adanya indeksikal diskriminasi gender secara subordinasi kepada kaum perempuan. Hal ini diakibatkan oleh asumsi yang berasal dari kultur dan budaya yang telah terbentuk dan melekat pada masyarakat Jepang bahwa


(19)

kedudukan perempuan jauh di bawah laki-laki. Di masa ini masih ada konsep ryousai kenbou, yakni bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana.

“Itu tugas dokter laki-laki. Memotong bagian-bagian tubuh dan melihat darah bukanlah pekerjaan perempuan.”, pada kalimat ini menunjukkan indeksikal bahwa di zaman ini perempuan dinomorduakan posisinya.

Meskipun sejak tahun 1872 sudah ada pengakuan persamaan hak pria dan wanita dalam berbagai hukum sipil dan kesempatan untuk menjalani dunia pendidikan, namun pada kenyataannya kesetaraan itu tidak langsung bisa diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, karena hukum kuno tentang keluarga tradisional yang patriarki masih banyak mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan masyarakat. Begitulah yang terjadi pada Gin, ibunya masih saja beranggapan bahwa posisi perempuan tidak layak untuk sama dengan posisi laki-laki.

2. Cuplikan hal. 85

Gin tahu bahwa pintu untuk mencapai impiannya tidak akan pernah terbuka jika hanya berbicara kepada ibunya. Oleh karena itu, dia mencoba mencari kesempatan pada awal musim semi itu untuk membicarakan persoalan ini dengan Dr. Mannen.

“Ibuku menolak untuk memberikanku izin.” Gin mengadu, air mata memenuhi pelupuk matanya ketika dia menceritakan tentang perbincangannya dengan Kayo. “Apakah Anda bersedia bicara kepadanya?”

“Kau mau aku melakukannya?” Mannen terkejut. “Ya, dia pasti akan percaya kalau anda yang bicara.”


(20)

Mannen mengeluh. Dia ingin menolong Gin. Dari sekian banyak siswa yang belajar di bawah bimbingannya selama bertahun-tahun ini, Gin-lah yang paling menonjol karena kecerdasan dan kecantikannya. Lagi pula, Gin masih muda~~kesehatannya telah pulih dan sekarang usianya juga baru dua puluh lebih sedikit.

“Aku memohon kepada anda! Aku tidak akan pernah meminta apapun lagi dari anda!” Gin memohon.

Mannen harus mengakui bahwa dia pernah mendorong Gin agar selalu memiliki harapan yag tinggi. Namun di satu sisi, dia juga sangat mengkhawatirkan reaksi Kayo. Kayo tidak akan memaafkannya kalau sampai mengira dialah yang membuat Gin jadi seperti ini. Lagi pula, dia juga tidak dapat mengabaikan fakta bahwa perempuan memang terhalang untuk bisa menjadi dokter. Permintaan Gin sama sekali tidak sederhana, hal ini akan berpengaruh kepada hal lainnya, tetapi bila dia pikirkan kembali, Mannen tahu dia tidak boleh membuat Gin kecewa.

“Untuk sementara ini, sebaiknya lupakan dulu keinginanmu untuk menjadi dokter.”

Namun, Gin sudah putus asa. Mannen adalah harapannya yang terakhir. “Lebih baik aku mati! Tujuanku tidak untuk kepentingan pribadi, aku sudah sangat lama sakit dan aku sudah mengalami sendiri betapa dibutuhkannya seorang dokter perempuan. Aku harus belajar kedokteran. Aku ingin menolong perempuan-perempuan sakit seperti aku. Dirawat oleh seorang laki-laki sama jahatnya dengan penyakit itu sendiri. Hanya itu yang ingin kulakukan. Tidak lebih dan tidak kurang. Apa yang salah?”


(21)

“Tidak pernah ada perempuan yang menjadi dokter sebelumnya. Karena tidak boleh. Mengejar cita-citamu ini sama saja dengan melanggar hukum. Kalau kau pergi ke Tokyo sekarang dan mengatakan kai ingin menjadi dokter, kau tetap tidak bisa melakukannya, kau tidak punya koneksi dan jalan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan dokter tidak ada.”

Analisis :

Tidak pernah ada perempuan yang menjadi dokter sebelumnya. Karena tidak boleh. Pada kalimat ini menunjukkan bahwa Manen, guru Gin, pun beranggapan bahwa tidak pernah ada yang menjadi dokter perempuan sebelumnya. Dan jika Gin tetap ingin menjadi seorang dokter, dia harus memiliki koneksi yang kuat untuk bisa meluluskannya di sekolah kedokteran. Ini salah satu indeksikal yang menunjukkan bahwa Gin sebagai kaum perempuan berada di posisi yang kurang beruntung, yakni di posisi subordinat.

Memang di masa ini, pendidikan bagi wanita setelah sekolah wajib dasar enam tahun pertama, maka selanjutnya pendidikan pria dan wanita dibedakan. Di sekolah menengah pertama, wanita hanya cukup sekolah menengah saja yang menempuh waktu selama 4 atau 5 tahun, dan setelah itu wanita boleh melanjutkan, tetapi hanya boleh memilih satu pilihan ke sekolah khusus. Namun tidak ada sekolah khusus untuk bidang kedokteran, sepeti yang diinginkan oleh Gin. Tetap saja pada sistem pendidikan yang seperti ini mengakibatkan peranan pria lebih mendominasi.


(22)

3. Cuplikan hal. 155

Para laki-laki memang memiliki pandangan progresif , tetapi pandangan mereka belum sejauh menerima seorang peempuan di dalam profesi medis yangg secara ekslusif merupakan profesi laki-laki.

Ginko diterima di universitas itu berdasarkan izin pribadi, yang diberikan dengan enggan, dari Rektor universitas. Rektor terpaksa setuju karena permintaan itu datang dari Tadanori Ishiguro, dan terus terang dia tidak senang dengan gesekan yang ditimbulkan penerimaan Ginko dengan para mahasiswa lain. Sungguh rawan menyatukan para mahasiswa dn mahasiswi universitas kedokteran yang sejak kecil telah dipisahkan menurut jeniskelamin.

Tidak akan ada orang yang mau membantuku.

Di pinggiran ruang kuliah, Ginko menanggung semuanya sendirian. Dan, satu-satunya alasan yang membuatnya diasingkan itu karena dia adalah perempuan. Ginko belum pernah merasa sepahit ini tentang nasibnya. Zaman itu, jika hendak makan perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai, berjalan beberapa langkah di belakang mereka, dan selalu berbicara hormat ketika menghadapi mereka. Kalau seorang laki-laki mengatakan sesuatu, jawaban yang diharapkan dari perempuan adalah “Ya, saya mengerti”. Persoalan perempuan diharuskan terbatas pada pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak saja.

Analisis :

Di pinggiran ruang kuliah, Ginko menanggung semuanya sendirian. Dan, satu-satunya alasan yang membuatnya diasingkan itu karena dia adalah


(23)

perempuan memang berada di posisi subordinat. Sistem diskriminasi ini berlandaskan pada sebuah sikap yang terungkap pada pepatah feodal “Pendidikan tak perlu bagi kaum wanita” yang berlanjut dalam versi baru yang berbunyi “Tiada memiliki pendidikan bagi kaum wanita merupakan kebaikan.” (Masu, 1983: 54).

Zaman itu, jika hendak makan perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai, berjalan beberapa langkah di belakang mereka, dan selalu berbicara hormat ketika menghadapi mereka. Kalau seorang laki-laki mengatakan sesuatu, jawaban yang diharapkan dari perempuan adalah “Ya, saya mengerti”, dan dari kalimat ini ditunjukkan bahwa posisi perempuan memang masih berada jauh di bawah laki-laki. Kepercayaan dan tradisi masyarakat feodal yang berlaku pada zaman Tokugawa dan Meiji menyatakan bahwa kebahagiaan seorang wanita adalah harus memajukan pendidikan di rumahnya. Sehingga jika ditinjau dari sudut agama dan tradisi yang telah lama berlaku dari zaman Tokugawa dan terbawa ke zaman berikutnya khususnya zaman Meiji. Hal ini yang menyebabkan kedudukan wanita tidak mengalami perubahan, dan dalam bidang pendidikan pun posisi wanita tetap berada dibawah laki-laki.

4. Cuplikan hal. 153

Ketika Ginko duduk, para mahasiswa berkerumun disekelilingnya. Lalu tiba-tiba seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berambut gimbal melompat ke podium guru dan mulai teriak.

“Saudara-saudara sekalian, ini benar tak tertahankan ... benar-benar buruk ... universitas kedokteran kita yang mulia, yang dikelola oleh dokter


(24)

Kekaisaran yang ditunjuk, hari ini menerima seorang mahasiswi kedokteran. Mengapa? Profesi terhormat kita telah turun martabat menjadi pekerjaan perempuan dan anak-anak. Rupanya belum cukup bahwa perempuan berpendidikan merusak rumah tangga, sekarang mereka melanjutkan untuk menghancurkan profesi medis. Ini keterlaluan!”

Analisis:

Profesi terhormat kita telah turun martabat menjadi pekerjaan perempuan dan anak-anak. Rupanya belum cukup bahwa perempuan berpendidikan merusak rumah tangga, sekarang mereka melanjutkan untuk menghancurkan profesi medis. Ini keterlaluan!”. Pada kalimat ini terlihat jelas bahwa memang disaat itu posisi perempuan sangatlah tidak memungkinkan untuk menjadi dokter. Ini juga salah satu indeksikal yang menunjukkan diskriminasi gender secarasubordinasi yang dialami oleh tokoh Gin. Posisi Gin disini sangat direndahkan, bahkan mereka para mahasiswa laki-laki di kelas Gin sampai beranggapan bahwa jika perempuan belajar ilmu kedokteran makan derajat mereka telah diturunkan sampai pada tingkat perempuan. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi gender dalam bentuk subordinasi pada kaum perempuan. Disini laki-laki mendapatkan prioritas utama untuk berpendidikan lebih tinggi dari pada perempuan.


(25)

3.2.2 Ketidakadilan Gender Berupa Marginalisasi

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi atau peminggiran yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 103

Musim semi tiba. Gin mengganti pakaiannya dengan kimono yang ringan. Dia meninggalkan Tarawase membawa empat kimono dan belum membeli kimono baru sejak tiba di Tokyo.

Masalah makanan jauh lebih memdesak dari pada pakaian. Meskipun Gin pernah menghadapi banyak masalah sebelumnya, kelaparan tidak pernah menjadi masalah baik di rumah orangtuanya ataupun di rumah suaminya---keduanya adalah keluarga kaya. Namun, sekarang keadannya berbeda. Gin makan dengan berhemat, biasanya makan sup miso dan sayuran untuk sarapan sekaligus makan siang, serta ikan kering atau sayuran untuk makan malam. Bagaimanapun, berangsur-angsur uang untuk makanan semacam ini pun mulai habis.

Gin telah menghabiskan separuh dari dananya untuk menyewa rumah di Tokyo dan sekarang dia hanya memiliki kurang dari sepertiga bekalnya. Kakaknya Yasuhei telah berjanji untuk menghidupinya selama satu tahun, tetapi Gin tidak mendengar kabar apa-apa darinya dan dia menjadi semakin gelisah. Gin tahu betul bahwa, setelah dia pergi meskipun sudah dilarang keluarganya, dia tidak boleh mengeluh walaupun tidak pernah mendengar berita dari siapapun di rumah itu lagi.

Analisis:

Kakaknya Yasuhei telah berjanji untuk menghidupinya selama satu tahun, tetapi Gin tidak mendengar kabar apa-apa darinya dan dia menjadi semakin


(26)

gelisah. Gin tahu betul bahwa, setelah dia pergi meskipun sudah dilarang keluarganya, dia tidak boleh mengeluh walaupun tidak pernah mendengar berita dari siapapun di rumah itu lagi. Kalimat ini menunjukan indeksikal bahwa Gin mengalami diksriminasi secara marginalisasi yang berakibat pemiskinan pada hidup Gin. Saat Gin memutuskan untuk belajar di Tokyo, dia tahu bahwa keluarganya tidak ada yang memberikan izin. Akibatnya saat Gin hidup di Tokyo dan kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, dia hanya bisa berhemat dari sisa uang yang sebelumnya diberi oleh kakaknya, Yasuhei. Disini Gin mengalami diskriminasi gender berupa pemiskinan, karena dia perempuan dan pergi ke Tokyo unutk belajar, anggota keluarganya tidak memberikan bantuan uang untuk biaya hidupnya lagi disana.

2. Cuplikan hal. 449

Ginko hanya menatap lantai dan diam seribu bahasa. Dia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Muya telah mengingatkan sesuatu yang tak pernah terpikir olehnya. Aku begitu ceroboh. Aku terperangkap dalam bayangan kepuasan diriku yang semu.

“Aku terpaksa mengatakannya, tapi fakta bahwa kau mahasiswi kedokteran teladan duapuluh tahun yang lalu tidaklah cukup.” Muya adlah salah satu dosennya dulu, jadi dia tidak perlu berbasa-basi lagi dengan Ginko.

“Kau benar. Rencanaku ini memang belum matang.”

Ginko benar-benar malu karena telah mengutarakan rencananya kepada Muya sampai akhirnya dia harus diingatkan dengan cara seperti ini.


(27)

“Bukan begitu. Aku bukannya melarangmu untuk membuka praktik disini. Di Sapporo juga masih ada dokter-dokter lain yang menerapkan cara lama. Namun, sewajarnya saja, masyarakat akan mulai meninggalkan mereka. Lalu, keberadaanmu sebagai seorang perempuan mengalami kemunduran. Belakangan ini dokter semakin bersifat ilmiah, dan kaum perempuan tak lagi ragu seperti dulu untuk memeriksakan dirinya kepada dokter laki-laki, jadi tak banyak keuntungan yang bisa kau raih lagi sebagai seorang dokter perempuan.”

Analisis:

Pada cuplikan di atas menunjukkan masalah diskriminasi secara marginalisasi yang dialami oleh Gin. Gin tersingkir dari arus pekerjaan utamanya, karena keberadaan Gin sebagai dokter perempuan sudah mengalami kemunduran.

Aku bukannya melarangmu untuk membuka praktik disini. Di Sapporo juga masih ada dokter-dokter lain yang menerapkan cara lama. Namun, sewajarnya saja, masyarakat akan mulai meninggalkan mereka. Lalu, keberadaanmu sebagai seorang perempuan mengalami kemunduran. Belakangan ini dokter semakin bersifat ilmiah, dan kaum perempuan tak lagi ragu seperti dulu untuk memeriksakan dirinya kepada dokter laki-laki, jadi tak banyak keuntungan yang bisa kau raih lagi sebagai seorang dokter perempuan. Dari kalimat ini terlihat indeksikal yang menunjukkan bahwa sebagai perempuan, Gin mengalami pemiskinan dari arus pekerjaan utama. Walaupun sebagai dokter perempuan, posisi Gin memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pekerjaan, akan tetapi karena budaya patriarki yang berkembang di masyarakat, sehingga menempatkan pekerjaan perempuan yang tidak seimbang dengan laki-laki, dan masih dinilai


(28)

sebagai pekerjaan yang tidak produktif, sehingga mengalami pemunduran dari arus pekerjaannya.

3. Cuplikan hal. 312

Pemerintah konstitusional hanya sebatas nama. Tidak hanya itu, hukum yang memungkinkan terpilihnya pejabat tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dengan sewenang-wenang melarang perempuan untuk menyatakan pandangan politik mereka juga. Sebagian besar penduduk menganggap hal ini biasa saja.

Namun, selama persiapan untuk memilih Dewan Kekaisaran yang sudah lama ditunggu tersebut, terungkaplah bahwa hukum baru telah diberlakukan untuk melarang perempuan mengamati sesi pemilihan anggota dewan. Ginko yang marah karena gagal memperoleh hak memilih bagi perempuan, ketika mengetahui tentang peraturan baru ini, langsung pergi ke Kementrian Kehakiman untuk mendapatkan penjelasan resmi. Namun, Mentri hanya menegaskan bahwa kaum perempuan tidak diizinkan untuk menyaksikan proses pemilihan anggota dewan.

Setelah itu Ginko pergi menemui Kajiko Yajima dan mengadakan rapat pimpinan Organisasi Perempuan Kristen untuk memberi tahu mereka tentang informasi yang baru saja diketahuinya. “Semua laki-laki boleh menghadirinya, tidak peduli mereka guru atau pelajar, penjaga kandang, atau penjual keliling atau buruh tani. Tidak seorang pun ditolak. Satu-satunya laki-laki yang ridak boleh masuk hanyalah laki-laki yang mabuk atau membawa senjata. Perempuan dilarang tanpa alasan, selain karena jenis kelamin mereka. Secara logika, ini


(29)

berarti bahwa seluruh perempuan dianggap tidak lebih dari pemabuk atau preman pembawa senjata”.

Ginko melanjutkan,”Perempuan tidak boleh memilih, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Perempuan yang meraih pendidikan akademis dan pengaruh tidak dihargai.”

Analisis:

Cuplikan diatas menunjukkan diskriminasi gender yang dialamioleh Gin. Sebagai perempuan, Gin tidak diizinkan untuk melaksanakan dan menyaksikan pemilihan anggota dewan. Terlihat dari cuplikan berikut, Pemerintah konstitusional hanya sebatas nama. Tidak hanya itu, hukum yang memungkinkan terpilihnya pejabat tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dengan sewenang-wenang melarang perempuan untuk menyatakan pandangan politik mereka juga dan Namun, selama persiapan untuk memilih Dewan Kekaisaran yang sudah lama ditunggu tersebut, terungkaplah bahwa hukum baru telah diberlakukan untuk melarang perempuan mengamati sesi pemilihan anggota dewan. Kalimat tersebut menunjukkan indeksikal adanya diskriminasi gender secara marginalisasi atau peminggiran yang dialami oleh Gin.

Walaupun Gin memiliki pendidikan yang cukup tinggi namun karena dia perempuan, keberadannnya tidak dihargai. Bahkan untuk menyaksikan pemilihan dewan saja kaum perempuan dipinggirkan.


(30)

Ginko melanjutkan,”Perempuan tidak boleh memilih, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Cuplikan ini juga menunjukkan adanya indeksikal diskriminasi gender secara marginalisasi. Posisi perempuan mengalami peminggiran dalam bidang politik. Budaya patriarki juga menjadi penyebab dipinggirkannya perempuan dalam bidang ini.

3.2.3 Ketidakadilan Gender Berupa Stereotipe

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk stereotipe atau pelabelan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 19

“Tak peduli betapa pun kecilnya kesalahan suamiku atau meskipun hanya dilakukan sekali seumur hidup, yang jelas dia telah memberiku penyakit ini.”

“Tidak pantas perempuan bicara seperti itu!”

“Lalu kalau seorang perempuan mendapatkan penyakit dari seorang laki-laki dan tak bisa memiliki anak, dia harus menerimanya begitu saja ? Meskipun aku menderita demam, aku tetap harus bangun dari tempat tidur, mematuhi segala perintah Ibu Mertua kepadaku, dan melakukan segalanya semampuku untuk membuat suamiku tetap senang?”

Tomoko tak kuasa menjawab. Tadi dia mengira bahwa bakal lebih bisa memahami permasalahan ini ketimbang ibunya, tapi sekarang, meskipun tak secara langsung menghendakinya, ternyata dia juga ingin memaksa Gin


(31)

menjalankan aturan usang tentang apa itu perempuan dan apa yang harus dikerjakannya.

“Kau sendiri sudah tahu bagaimana nanti kata orang.” Tomoko mencoba memberi alasan yang masuk akal.

“Sayang sekali kalau begitu.” Gin berpaling dan memandang ke luar ke arah pohon gardenia putih di kebun. Pohon itu sudah semakin besar semenjak dia menikah dan meninggalkan rumah.

“Coba pikirkan, kau adalah pengantin perempuan sebuah keluarga kaya raya.” Tomoko sadar bahwa dia sedang mengeluh.dari kelima orang bersaudari itu, Ginlah yang menikah dengan keluarga terkaya. Semua saudarinya merasa iri dengan perjodohan itu, sama seperti semua orang lainnya. Sakit atau tidak, tak seorang pun akan mmilih untuk meninggalkan keluarga semacam itu atas kehendaknya sendiri. Tomoko jengkel kalau membayangkan apa kata penduduk desa.

“Kenapa kau bahkan tak mau mempermbangkan untuk kembali kesana?” Tomoko thu pernyataannya bakal sia-sia, tapi dia harus mencoba.

“Aku tak peduli sekaya apa mereka, aku tak sudi menghabiskan hidupku hanya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”

“Mengerjakan pekerjaan rumah tangga?”

Gin berpaling kembali ke kebun. Kilau dedaunan hijau memantul ke wajah Gin hingga membuat warna kulitnya semakin menonjolkan derita akibat penyakitnya.

Tomoko bicara lagi. “Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.”


(32)

“Aku tidak mau.” Gin berbalik menghadap ke kakaknya. “Menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi....sama sekali tak ada waktu untuk membaca.”

“Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Dimana-mana tak ada istri petani yang membaca buku. Memangnya apa yang ada dikepalamu?

Analisis :

Cuplikan diatas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminasi secara stereotipe atau pelabelan. Tomoko, kakak perempuan Gin, menyatakan bahwa perempuan tidak layak untuk membaca buku dan tugas perempuan hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kakaknya juga secara tak langsung ingin memaksa Gin untuk menjalankan peraturan usang tentang apa itu perempuan dan apa saja yang harus dikerjakan oleh perempuan. Hal ini memberikan pelabelan yang negatif pada perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk membaca buku mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan.

Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.”

“Aku tidak mau.” Gin berbalik menghadap ke kakaknya. “Menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi....sama sekali tak ada waktu untuk membaca.”

“Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Dimana-mana tak ada istri petani yang membaca buku. Memangnya apa yang ada dikepalamu?. Kalimat ini meunjukkan indeksikal bahwa di sini Gin mengalami ketidakadilan gender berupa pelabelan. Walaupun


(33)

pada saat itu Gin hidup di zaman Meiji, yakni zaman dimana Jepang sudah memasuki zaman modernnya, namun kedudukan perempuan belumlah mengalami perubahan. Dalam kehidupan keluarga Jepang masih ada anggapan bahwa orbit istri adalah rumah tangga dan anak-anaknya. Hal inilah yang membuat kedudukan wanita tidak bisa setara dengan laki-laki dan mengakibatkan adanya diskriminasi gender secara stereotipe seperti halnya yang terjadi pada Gin.

2. Cuplikan hal. 127

Dalam suasana yang begitu memusuhi pendidikan bagi perempuan, hampir suatu keajaiban bahwa Sekolah Guru, atau yang sekarang disebut sebagai sekolah pelatihan guru bagi perempuan, akhirnya berhasil didirikan. Namun sekolah itu memang benar-benar dibuka, meskipun pada awalnya tidak memakai pakaian seragam atau lencana bagi para muridnya dan sebagian besar siswinya masuk sekolah dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari katun atau sutra biasa dan membawa barang-barang mereka dalam kain pembungkus.

Tanpa kecuali, semua perempuan muda yang mendaftar pada tahun – tahun awal, termasuk Gin, mendapat tentangan dari keluarga mereka. Zaman itu dipuji sebagai zaman peradaban dan pencerahan, tapi hal ini hanya terlihat dibagian-bagian tertentu masyarakat Tokyo dan Yokohama. Di sepanjang dataran Jepang selain di kedua kota tersebut, cara berpikir lama masih mengakar dengan kuat.

Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran”


(34)

dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”. Oleh karena itu, sekolah yang melatih pendidik perempuan akan selalu menghasilkan tipe perempuan yang tidak terpikirkan sampai sekarang.

Karena alasan-alasan semacam itulah, gadis-gadis itu melawan keinginan orang tua mereka dan akibatnya berapa bahkan tidak lagi diakui oleh kelurga mereka.

Analisis:

Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran” dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”, cuplikan ini menunjukkan indeksikal bahwa memang saat itu perempuan Jepang dilabeli secara negatif oleh masyarakat. Perempuan di zaman itu tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan yang tinggi, apalagi pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Hal tersebut diatas termasuk ketidakdilan gender secara stereotipe. Pencitraan yang negatif terhadap perempuan berakibat pada pembatasan terhadap perempuan dalam sektor pendidikan, seperti yang dialami oleh Gin dan perempuan lain yang juga ingin berpendidikan lebih tinggi. Selama masyarakat masih tetap berpegang kepada kepercayaan tradisional bahwa seorang wanita toh akan menikah, meninggalkan keluarga, bergantung kepada suaminya dan memperoleh kebahagiaan dengan suaminya, maka selama itu sistem pendidikan wanita yang sekarang berlaku akan tetap demikian.


(35)

3.2.4 Ketidakadilan Gender Berupa Violence

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 151

Hari pertama, setelah menyelesaikan berkas-berkas pendaftarannya, Ginko melihat sekelilingnya bertanya-tanya apa yang harus dilakukan berikutnya, tapi tak seorang menawarkan bimbingan atau arahan. Ketika dia bertanya kepada staf kantor kemana dia harus pergi, jawabannya hanya”hmm, tidak tahu” yang dingin. Terlihat jelas dari ekspresi mereka bahwa bagi mereka, kehadirannya menodai reputasi sekolah itu. Tanpa pilihan lain, Ginko pergi sendirian untuk melihat-lihat. Sekolah itu hanya terdiri dari gedung berdinding putih, beratap genteng dengan beberapa ruang kelas dan laboratorium berjajar di koridor. Ginko melongok kedalam melalui pintu salah satu kelas, di tempat sejumlah besar mahasiswa berkumpul.

Tiba-tiba seseorang berteriak, “Ada boneka!” seisi ruangan itu berdiri, bertepuk tangan dan mengentak-entakkan sendal geta kayu mereka di lantai. Ginko buru-buru lari ke luar ruangan itu karena ketakutan, tapi para mahasiswa itu membuntutinya sambil bersiul-siul.

“Cantik, ya?”

“Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga!”

Godaan dan hinaan menyerbu Ginko.


(36)

Pada cuplikan diatas terlihat bahwa tokoh Gin mengalami diskriminasi gender secara violence atau kekerasan.

“Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga!”

Godaan dan hinaan menyerbu Ginko. Kalimat ini menunjukkan indeksikal ketidakadilan gender berupa kekerasan atau violence yang dialami oleh tokoh Gin. Kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki itu tidak berupa kekerasan fisik, namun berbentuk kekerasan nonfisik. Ketidakdilan gender yang dialami Gin ini termasuk dalam kategori pelecehan seksual, dimana laki-laki yang membuntuti Gin menyampaikan kata-kata yang cukup vulgar dan membuat Gin malu. Ucapan yang disampikan oleh mahasiswa laki-laki tersebut membuat Gin merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitasnya sebagai mahasiswa baru.

2. Cuplikan hal. 156

Pada pertengahan Mei, satu setengah bulan setelah Ginko mulai masuk kuliah, dia bergegas seperti biasa ke kamar mandi pada akhir kuliah tengah hari. Sekitar sepuluh orang laki-laki di depannya, berbaris dan berbicara keras-keras. Ginko mempercepat langkahnya untuk melewati mereka dan menuju ke WC, ketika tiba-tiba salah seorang berbalik menghadapnya. Menyadari gerakan itu, Ginko mendongak dan mendapati laki-laki itu memperlihatkan kemaluannya sendiri.

“Oh!” Ginko tercekat dengan sendirinya dan menutupi matanya dengan kedua tangannya, berjongkok di tempat.


(37)

“Tidak, lihatlah! Aku laki-laki!”

Tawa vulgar para laki-laki itu memenuhi seisi kamar mandi.

“Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat.

Analisis:

Pada cuplikan diatas jelas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminai gender dalam bentuk kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh Gin merupakan kekerasan dalam bentuk nonfisik yang mengarah kekerasan dalam bentuk pornografi.

“Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat. Kalimat ini menunjukkan indeksikal adanya kekerasan yang dialami oleh Gin sebagai perempuan. Tindakan mereka yang telah mempermalukan Ginko di dalam toilet dengan menunjukkan kemaluan mereka merupakan tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang berkembang di masyarakat.


(38)

3. Cuplikan hal. 158

Mereka berencana menyerangnya seperti preman pada umumnya. Jadi Ginko mulai menangis, semuanya akan berakhir baginya. Jadi, Ginko mati-matian mengendalikan diri dan membalas mendelik.

“Kami mau bergiliran, mengerti?”

Ginko berbalik lagi, tapi mereka menghalangi jalan di belakangnya. “Kami tidak akan memberi tahu siapapun, jadi kau tidak perlu sok jual mahal.”

Ginko menoleh ke belakang mereka sejauh-jauhnya, tapi tidak ada orang yang terlihat.

“Lepaskan pakaianmu!”raung si kumis tebal, matanya merah. Mereka semua akan memerkosanya.

“Cepat!”

Ginko tiba-tiba berjongkok, menghindar ke kanan dan kemudian melesat ke kiri bawah lengan yang ada di depannya.

“Tolong!” Ginko berlari secepatnya, buku-bukunya yang terbungkus kain dia jepit di bawah lengannya. Namun kakinya tidak sebanding dengan mereka. Mereka dengan cepat menangkapnya dan menarik kerah bajunya ke belakang.

Analisis:

Cuplikan diatas menunjukkan tindakan kekerasan yang dialami oleh Ginko sebagai perempuan. Kekerasan yang dialami oleh Ginko berupa kekerasan dalam bentuk fisik. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki itu merupakan kekerasan secara langsung.


(39)

“Lepaskan pakaianmu!”raung si kumis tebal, matanya merah. Mereka semua akan memerkosanya. “Cepat!”. Kalimat ini menunjukkan indeksikal adanya diskriminasi gender secara violence atau kekerasan yang dialami oleh Gin. Hal ini dapat terjadi karena berasal dari asumsi bahwa laki-laki dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga memiliki legitimasi untuk menaklukkan dan memaksa perempuan. Selain itu juga berasal dari asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang kuat sehingga bisa saja laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan kekuatan yang dimilikinya. Hal inilah yang terjadi pada tokoh Ginko, dia mengalami diskriminasi gender berupa kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa laki-laki dari universitasnya.

4. Cuplikan hal. 251

Pemilik rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah. Kata-kata itu tertulis di seluruh dinding disertai dengan karikatur Ginko yang memegang pisau bedah dengan satu tangan dan wajah setan setengah tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan.

“Bersihkan saja,” kata Ginko enteng, dan kembali ke dalam rumah. Tulisan tersebut sudah dihapus, tapi dua hari kemudian ada lagi. Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan!

Analisis:

Pada kalimat “Pemilik rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah. Kata-kata itu tertulis di seluruh dinding disertai dengan karikatur


(40)

Ginko yang memegang pisau bedah dengan satu tangan dan wajah setan setengah tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan.” Dan pada kalimat ini “Tulisan tersebut sudah dihapus, tapi dua hari kemudian ada lagi. Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan!” menunjukkan indeksikal adanya ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan.

Dari kalimat diatas erlihat bagaimana Ginko mengalami diskriminasi gender secara violence atau kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh Ginko tidak dalam bentuk serangan terhadap fisik, namun serangan terhadap psikologisnya. Dengan menuliskan kata-kata yang menjatuhkan martabat Ginko sebagai seorang dokter perempuan. Memang di zaman ini masyarakat Jepang belum bisa menerima kehadiran seorang dokter perempuan, sehingga masih banyak yang menjelek-jelekkan perempuan yang berprofesi dokter, seperti halnya yang dialami oleh Ginko.


(41)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Novel ‘Ginko’ adalah novel karya Jun’ichi Watanabe yang menggambarkan keadaan sejarah Jepang para awal zaman Meiji yang berkisar tahun 1870-1913, terutama kehidupan masyarakat pada zaman itu. Khususnya adalah kehidupan kaum wanita Jepang di masa ini serta kedudukan wanita dari segi peran sosialnya.

2. Melalui novel ‘Ginko’ dapat diketahui bagaimana kedudukan dan status wanita dalam masyarakat Jepang pada saat itu. Wanita di zaman Meiji sebenarnya sudah memperoleh persamaan hukum dengan pria dan tidak boleh diadakan diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial berdasarkan ras, kepercayaan, gender, status sosial atau keturunan. Namun diskriminasi terhadap wanita tetap terjadi di masa ini, yakni pada tokoh Gin dalam novel ini.

3. Diskriminasi yang dialami oleh Gin terjadi sepanjang hidupnya. Yakni diskriminasi secara marginalisasi. Pemiskinan yang dialami Gin terjadi saat dia kuliah ke Tokyo, sehingga keluarganya tidak lagi menanggung biayanya karena dia seorang wanita. Dan dialaminya juga saat Gin sudah menjadi seorang dokter, keberadaannya sebagai seorang dokter perempuan sudah mengalami kemunduran dan membuat Gin mengalami peminggiran dari arus pekerjaan utamanya.


(42)

4. Diskriminasi secara stereotipe juga dialami oleh Gin. Di masa ini masih berlaku anggapan bahwa tugas wanita hanyalah melayani dan mengurus rumah tangga. 5. Diskriminasi secara subordinasi yakni kedudukan wanita yang dianggap lebih

rendah dibandingkan pria yang terjadi dalam sektor pendidikan juga menimpa Gin.

6. Violence atau diskriminasi dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik juga dialami Gin sebagai kaum wanita.

7. Novel Ginko ini mengungkapkan bahwa malaupun posisi perempuan di zaman Meiji sudah mengalami perubahan dan sudah mendapatkan persamaan hak dengan laki-laki, namun ternyata hal itu tidak bisa terealisasi. Masih ada perempuan di zaman Meiji yang mengalami diskriminasi gender. Hal ini terjadi karena adanya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat dan asumsi yang berasal dari kultur dan budaya yang telah terbentuk dan melekat di masyarakat Jepang.

4.2 Saran

1. Bagi siapa saja yang menganalisis sebuah karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sisi diskriminasi gendernya, sebaiknya terlebih dahulu harus mengumpulkan referensi bik mengenai novel yang akan diteliti maupun teori-teori pendukung pada penelitian, serta harus mamahami betul konsep gender dan jenis kelamin (sex).

2. Di dalam novel Jepang tentu terdapat unsur kebudayaan Jepang. Sebaiknya untuk dapat memberi pemahaman yang baik terhadap kebudayaan tersebut


(43)

mendalam agar tidak terjadi kesalah pahaman khususnya bagi pemabaca yang bukan orang Jepang.

3. Mempelajari bagaimana kedudukan wanita di Jepang juga merupakan hal yang baik, karena tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk belajar dari pengalaman atau sejarah bangsa lain sebagai studi perbandingan yang bisa menajadi dasar kita berpikir dalam membuat kebijakan.

4. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan masukan terhadap pemahaman tentang karya sastra yang ditinjau dari pendekatan perspektif gender.


(44)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN GENDER

2.1 Defenisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa Jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:694), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Prosa dalam kesusastraan juga disebut sebagai karya fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2).

Menurut Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur suspensi dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan dari fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4) digolongkan sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) yang terbagi atas (1) fiksi historical / historical fiction atau novel histori, jika menjadi dasar penulisan fakta


(45)

sejarah, (2) fiksi biografis / biographical fiction atau novel biografi, jika yang menjadi dasar penulisanfakta biografi seseorang, dan (3) fiksi sains / science fiction atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya adalah fakta mengenai ilmu pengetahuan.

Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Ginko” ini ke dalam novel biografi karena novel ini ditulis berdasarkan fakta biografi seseorang yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.

Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu novel populer dan novel serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.

1. Novel Populer

Novel populer sering juga disebut sebagai novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiyantoro (1981:82) mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens dan tidak berusaha meresapi masalah kehidupan, karena akan dapat membuat novel ini menjadi berat dan berubah menjadi novel serius.


(46)

Novel populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan kembali pengalaman itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena novel populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak berpotensi mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.

2. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra sanggup memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkap sesuatu yang baru dengan cara yang baru juga. Karena adanya unsur pembaharuan tersebut teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat ketinggalan karena pengarang akan berusaha untuk menghindarinya.


(47)

Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga menyebabkan pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan pola harapan pembaca, disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini justru menjadikan teks yang bersangkutan menjadi suatu cerita yang memiliki kualitas kesusastraan.

Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya, novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.

2.2 Setting Novel Ginko

Setiap karya sastra disusun dari unsur-unsur yang menjadikannya sebuah kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra adalah unsur intrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra dalam hal ini adalah novel.

Menurut Abraham dalam Nurgiantoro (1995: 216) setting atau latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.


(48)

Setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: waktu, tempat, dan sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya setting berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Setting berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan setting cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Setting cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan setting cerita sebagai simbol atau lambang bagi peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan latar/ setting cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi pembaca, latar cerita bisa membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.

1. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan denngan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel ‘Ginko’ karya Jun’ichi Watanabe mengambil setting pada awal zaman Meiji yakni sekitar tahun 1870-1913.


(49)

2. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisia tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel ‘Ginko’ mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang, seperti di Kanto, Tokyo, Kofu, Hokkaido, Sapporo dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di tempat-tempat seperti di tepi sungai, rumah sakit, asrama mahasiswa, kuil, klinik, gereja dan lain-lain.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menensgah atau atas.

Sama halnya juga dalam novel “Ginko” ini terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Setting peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel ini seluruhnya terjadi di Jepang dan berlangsung pada tahun 1870-1913.

Pada zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep ryousaikenbo yang mengatakan “bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana”. Oleh karena itu, bagi para perempuan pada


(50)

zaman Meiji seperti Ogino Gin dalam novel ini untuk berpendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dokter wanita merupakan hal yang hampir mustahil.

Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari pandangan wanita Jepang modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji, para wanita hanya berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak diperbolehkan mengurus anaknya sendiri. Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai diterapkan pada zaman meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam mendidik anak. Bahkan, konsep ryousaikenbo ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai rumah. Dengan maksud bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan dirawat secara penuh kasih sayang oleh istri atau ibu.

Meskipun wanita Jepang telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun, tetap saja dilakukan pemisahan kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu pekerjaan bagi wanita Jepang sangat dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya dapat sampai SMU. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konsep

ryousaikenbosebagai awal dari dimulainya ketidakadilan atau diskriminasi gender bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh terhadap segala keputusan suami.

Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua hal tersebut menjadi prioritas utama


(51)

Tidak peduli bagaimanapun terdidiknya perempuan kelas menengah tapi mereka tidak ada peluang di dalam masyarakat untuk menggunakan pendidikan mereka dalam berbagai cara yang efektif. Seperti halnya, Gin yang hidup di zaman Meiji yakni zaman dimana perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut karena ada paham dalam masyarakat yakni paham yang menganggap bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak dan suami. Sehingga Gin harus berjuang untuk bisa kuliah dan menjadi dokter wanita pertama.

2.3 Biografi Jun’ichi Watanabe

Jun’ichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang, pada tahu 1933. Dia mulai tertarik menulis saat menempuh sekolah menengah. Ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia bereksperimen dengan tulis menulis dan mulai mempublikasikan tulisannya di sejumlah majalah sastra.

Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai ahli bedah ortopedi, tapi kemudian dia mengundurkan diri dan hijrah ke Tokyo untuk menekuni dunia kepenulisan. Sejal tahun 1969, dia merintis karir sebagai penulis seutuhnya

Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan terkadang berlatar dunia kedokteran. Selain Hanauzumi yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia yang judulnya menjadi Ginko, novelnya yang populer adalah Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepangdan berbagai negara di Asia. Dia telah menulis lebih dari 50 novel dan banyak diantaranya yang telah difilmkan.


(52)

Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam bidang sastra dan kepenulisan, antara lain hadiah Naoki 1970 untuk novel Hikari to kage dan hadiah Eiji Yoshikawa tahun 1979 untuk novel Toki rakujitsu.

2.4 Pengertian Gender 2.4.1 Konsep Gender

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Perbedaan ini sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan bukan kodrat (gender).

Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin (Sugiarti, 2008: 4). Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Secara sruktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak bekumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu, (2008: 4). Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda.


(53)

Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (Sugiarti, 2008: 5).

Konsep gender menurut Sugihastuti tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Fakih, yakni konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, (2004: 8). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Dengan demikian gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dilekatkan masyarakat dalm suatu kultur. Namun berhubung kultur dalam masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan, maka sifat-sifat yang dilekatkan oleh masyarakat juga mengalami perubahan dan perkembangan.


(54)

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks

No Karakteristik Seks Gender

1 Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2 Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3 Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan.

Harkat, martabat dapat dipertukarkan.

5 Dampak Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan, kedamaian yang menguntungkan kedua belah pihak.

Terciptanya norma/ ketentuan tentang pantas/ tidak pantas dan sering merugikan salah satu pihak.

6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal perbedaan kelas.

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas.

Selain yang dicantumkan diatas, perbedan gender dan jenis kelamin juga dapat dilihat sebagai berikut: kemampuan wanita untuk melahirkan anak dan menyusui, dan kemampuan pria unuk menghasilkan sperma, merupakan ciri-ciri biologis wanita dan pria yang dicakup oleh konsep jenis kelamin. Sebaliknya, perbedaan-perbedaan yang lazim berlaku dalam banyak masyarakat di muka bumi ini, seperti pria bekerja di luar rumah dan wanita menjaga rumah, pria encari


(55)

nafkah dan wanita mengurus anak, merupakan perbedaan-perbedaan yang diciptakan oleh kebudayaan, sehingga hal-hal ini dapat berubah mengikuti perubahan perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai suatu konsep teoritis, ada dua aspek konsep gender yang perlu diperhatikan. Pertama, gender merupakan konsep relasional. Seperti dikatakan oleh Melani Budianta (1998: 6), gender sebagai suatu konsep relasional artinya gagasan tentang pria tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang wanita.pendekatan yang berwawasan gender akhirnya mengoreksi kecenderungan sementara kaum feminis yag memfokuskan perhtian pada masalah wanita saja.

Kedua, seperti dikatakan oleh Tamanoi (1990: 17), gender sebagai konsep relasional mencakup hubungan antara pria dan wanita dalam setiap lapisan maupun kelompok masyarakat. Maksudnya, hubungan antara pria dan wanita bisa saja berbeda pada lapisan masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

2.4.2 Ideologi Gender

Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan orang untuk menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah lakunya serta menafsirkan dan menilai tingkah laku orang lain. Ideologi gender merupakan seperangkat keyakinan yang mengatur partisipasi orang-orang dalam orde gender (Sugihastuti dan Hadi, 2007: 49). Orde gender merupakan sistem alokasi yang didasarkan pada ketentuan jenis kelamin mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan larangan, batasan dan kemungkinan, serta kekuatan dan subordinasi. Dengan ideologi gender pula orang-orang menjelaskan dan membenarkan apa yang mereka lakukan.


(56)

Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender.

Menurut Saptari dan Holzner, ideologi gender adalah seperangkat aturann nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Ideologi ini terbentuk di berbagai tingkat, negara, komunitas dan disosialisasikan melalui pranata-pranata sosial yang dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa (1997: 202).

Melalui konstruksi sosial, ideologi gender kemudian dijadikan sebuah norma yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap, berpenampilan, berprilaku dan mengatur kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dengan prinsip yang lebih equal. Artinya, jika ada ideologi dalam budaya masyarakat yang memihak kepada yang “serba laki-laki” atau yang “serba perempuan”, maka disebut ideologi bias gender.

Ideologi bias gender adalah ideologi dimana norma, keyakinan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai lazimnya masih serba laki-laki atau serba perempuan, sehingga ketika menemuka fenomena yang tidak sesuai norma yang “serba laki-laki” (patriarkhi), dianggap menyimpang. Inilah kesalahan mengukur perempuan dari perspektif laki-laki, bukan perspektif manusia. Ideologi gender saat ini sedang menjadi warna perjuangan para feminis melalui kerangka budaya kelompok masyarakat secara kelembagaan maupun melalui kerangka budaya secara perorangan.

Gerakan gender tidak hanya medekonstruksi posisi perempuan yang hanya bekerja di rumah (sektor domestik), tapi gerakan ini juga menawarkan suatu


(57)

konsep bahwa perempuan dapat bekerja di sektor publik. Sektor publik dimaksud baik menyangkut sektor ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.

2.4.3 Ketidakadilan Gender

Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara, laki-laki maupun perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan akhirnya berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif atau ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin. Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu kepada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan status tadi bik secara sosial maupun budaya.

Aplikasi dan implikasi gender di masyarakat belum sesuai dengan yang diharapkan, karena masih sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya setempat. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, perbedaan gender ini dalam beberapa hal akan mengantarkan pada ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih, 2004: 12). Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan gender yang ada.


(58)

Berikut berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dingkapkan oleh Fakih (2004: 13-23).

a. Peminggiran / Marginalisasi

Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi dimana terjadinya peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus pekerjaan utama yang berakibat pemiskinan. Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi.

Proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.

b. Anggapan tidak penting / Subordinasi

Subordinasi atau anggapan tidak penting adalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga


(59)

perempuan tidak bisa memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis pekerjaan tertentu.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Misalnya saja diskriminasi secara subordinasi yang diderita oleh kaum perempuan pada sektor, pekerjaan misalnya presentase jumlah pekerja perempuan, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki. Keyakinan gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi perempuan disegala bidang pekerjaan.

c. Pelabelan / Stereotipe

Secara umum stereotipe atau pelabelan merupakan suatu penandaan atau pelabelan terhadap kelompok tertentu. Biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan sehingga dinamakan pelabelan negatif. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Misalnya saja penandaan bahwa laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa, sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional dan keibuan.


(60)

Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipe yang dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.

Masyarakat juga memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

d. Beban kerja berlebih / Double Burden

Double burden atau beban kerja berlebih adalah perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.

Dengan berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun perkembangan perempuan tidaklah mengubah peranan yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga. Maka dari itu perkembangan peranan perempuan ini sifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan. Untuk itu maka beban kerja perempuan terkesan berlebih.

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Terlebih lagi jika si


(61)

perempuan harus bekerja lebih untuk mencari nafkah, maka ia memikul beban kerja ganda atau berlebih.

e. Kekerasan / Violence

Violence atau kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan sering kali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang berkembang di masyarakat (Sugiarti, 2008: 18). Menurut Fakih (2004: 17-20) banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya:

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan

dalam perkawinan. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan paksan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah


(62)

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation).

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran

merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juag menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.

Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis

kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.

Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga

Berencana. KB dibanyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan.

Ketujuh, jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang taau menyentuh bagian tubuh tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dn kesempatan tanpa kerelaan dari si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum.

Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum

dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassement. Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual, yakni :


(63)

1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar kepada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.

2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.

3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau pribadinya.

4. Menyentuh atau menyenggol bagian dari tubuh seseorang.

Dalam penelitian ini digunakan analisis gender agar penulis lebih memahami suatu bentuk ketidakadilan dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas. Di dalam menganalisis dengan menggunakan kajian gender, penulis harus mampu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut.

Oleh sebab itu berdasarkan atas metode penelitian tersebut diatas penulis berusaha menjadikannya pedoman untuk dapat menganalisis pembahasan pada bab III yang didalamnya mencakup tentang bagaimana bentuk diskriminasi gender yang dialami oleh tokoh utama dalam novel.


(64)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Selain itu karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat, setelah mengalami pengendapan secara intensif dalam imajinasi pengarang, maka lahirlah pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra.

Menurut Semi dalam Wahyudi (2008: 67) sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Dengan hadirnya karya sastra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Mencermati hal tersebut, jelaslah manusia berperan sebagai pendukung yang sangat menentukan dalam kehidupan sastra.

Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain itu, karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya dari pada karya fiksi (Wellek dan Werren, 1995: 3-4).


(65)

Sebagai hasil imajinatif, sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan, juga guna menambah pengalaman batin bagi para pembacanya. Sastra terdiri atas tiga jenis (genre), yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel.

Novel sebagai salah satu produk karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan ide-idenya. Sebagai media, karya sastra menjadi jembatan untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Karya sastra sebagai media untuk merefleksikan pandangan si pengarang terhadap berbagai masalah yang diamatinya. Realitas sosial yang terjadi diramu dengan sedemikian rupa menjadi sebuah teks yang memungkinkan menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris. Dengan demikian, realitas sosial yang terjadi di masyarakat dihadirkan kembali oleh pengarang melalui teks cerita dalam bentuk dan pencitraan yang berbeda. Dalam karya sastra, hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat bisa berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin diantara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin antara keduanya merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji.

Dalam sistem yang lebih kompleks, hubungan antara laki-laki dan perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk pola dan prilaku yang mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki dan perempuan terhadap kedudukan tiap jenis kelamin. Proses ini dikuatkan oleh realitas dalam banyak


(66)

kebudayaan bahwa secara struktural posisi lelaki lebih tinggi dari pada kaum perempuan.

Saat membahas masalah perempuan, salah satu konsep penting yang tidak bisa dilupakan adalah permasalahan gender. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Kalau dilihat dalam kamus, tidak dijelaskan secara jelas pengertian antara kata sex dan gender. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan— seolah-olah bersifat biologis, yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami secara kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.


(1)

Pengesaha Diterima O Panitia Uj melengkap Fakultas I Pada Tanggal Hari Fakultas I Universita Dekan, Drs, Syahr NIP: 195 Panitia Uj No. 1. 2. 3. an Oleh : jian Fakult pi salah satu lmu Budaya : : : lmu Budaya as Sumatera

ron Lubis, M 11013 1976

ian

Nama

tas Ilmu Bu u syarat Uji a Universita

a a Utara

M.A 603 1 001

udaya Univ ian Sarjana as Sumatera versitas Sum dalam bida a Utara. matera Uta ang Ilmu Sa

Tanda Tan ( ( ( ara Medan astra Jepang ngan untuk g pada ) ) )


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, karunia, kasih sayang dan ridho-Nya atas apa yang telah dan apa yang terjadi, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa pula shalawat beriring salam kepada Junjungan dan Panutan penulis Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat manusia.

Penulisan skripsi yang berjudul “DISKRIMINASI GENDER YANG DIALAMI OLEH TOKOH GIN DALAM NOVEL ‘GINKO’ KARYA JUN’ICHI WATANABE” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Sastra pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang mana dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak


(3)

waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini dari awal hingga akhir ujian skripsi ini selesai.

4. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A, selaku Dosen Pembimbing II, yang mana dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini, dari awal hingga ujian skripsi ini selesai.

5. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A selaku dosen penasehat akademik.

6. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan menguji skripsi ini. Tak lupa pula penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang, Pak Nandi, Pak Puji, Pak Zul, Pak Narita, Pak Amin, Pak Erizal, Bu Adriana, Bu Rospita, Bu Khaira, Bu Diah, Bu Hani, Bu Murni, Bu Sri, Bu Ines, Bu Muhibah, Muto Sensei, Mayumi Sensei, dan Tomo Sensei yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sebagai bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat bagi banyak orang.

7. Bang Joko selaku Staf administrasi Departemen Sastra Jepang yang telah membantu menyelesaikan berbagai surat menyurat dan berkas-berkas penulis.

8. Seseorang yang selalu memberikan dukungan, telah membesarkan dan memperjuangkan pendidikan anak-anaknya sejak sekolah dasar hingga saat ini, selalu mendoakan keberhasilan anak-anaknya, dan mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, yaitu Mama ku, Darmina Lie, serta Papa, Ponidi,


(4)

adikku Fikri Abdul Rahman dan Muhammad Yusuf, yang selalu memberikan dukungan dan keluarga besar di Kisaran dan Padang Sidempuan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka.

9. Untuk teman-temanku Dila, Cia, Savit, Fitri, Ila, Restik, Martha, Puti, Echa, Liska, Linda, Epik, dan seluruh teman-teman AOTAKE angkatan 2010 A Sastra Jepang S-1 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Senang bisa belajar bersama kalian selama ±4 tahun ini.

10.Untuk sahabat di Departemen Bahasa Jepang khususnya Parasatyanda Putra yang senantiasa bersedia direpotkan oleh penulis saat di rumah dan di kampus.

11.Dan kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis kembalikan segala persoalan serta berserah diri dan selalu meminta petunjuk agar senantiasa dalam lindungan-Nya dan penulis menyadari bahwa tulisan ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tulisan ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi masyarakat luas pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, Oktober 2014 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 7

1.3Ruang Lingkup Pembahasan ... 9

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka ... 10

1.4.2 Kerangka Teori ... 13

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian ... 19

1.5.2 Manfaat Penelitian ... 19

1.6Metode Penelitian ... 20

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN GENDER 2.1 Defenisi Novel ... 21

2.2 Setting Novel Ginko ... 24

2.3 Biografi Jun’ichi Watanabe ... 28

2.4 Pengertian Gender ... 29

2.4.1 Konsep Gender ... 29

2.4.1 Ideologi Gender ... 32


(6)

BAB III ANALISIS MASALAH DISKRIMINASI GENDER DALAM NOVEL ‘GINKO’ KARYA JUN’ICHI WATANABE

3.1 Sinopsis Cerita Novel Ginko ... 41

3.2 Masalah Gender dalam Novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe ... 45

3.2.1 Ketidakadilan Gender Berupa Subordinasi ... 45

3.2.2 Ketidakadilan Gender Berupa Marginalisasi ... 53

3.2.3 Ketidakadilan Gender Berupa Stereotipe ... 58

3.2.4 Ketidakadilan Gender Berupa Violence ... 63

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 70

4.2 Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA