TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA PERPEKTIF AL-QUR'AN.
TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL
BANGSA PERSPEKTIF AL-
QUR’AN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata
satu (S-1) dalam Progam Studi Ilmu al-Qur’an dam Tafsir
Oleh
MOH. FIRDAUS BURHANUDDIN NIM: E53212102
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(2)
TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL TERHADAP MORAL
BANGSA PERSPEKTIF AL-
QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan Kepada:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Pesyarata
n
dalam Menyelesaikan Progam Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh :
Moh. Firdaus Burhanuddin NIM: E53212102
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
ABSTRAK Nama: Moh. Firdaus Burhanuddin
NIM: E53212102
Judul: Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral Bangsa Perspektif Al-Qur’am
Penelitian ini dilakukan karena adanya fenomena tanggungjawab
intelektual terhadap moral bangsa di era zaman modern sekarang ini. Sehingga fenomena tersebut manarik untuk dikaji dengan tujuan menemukan keterkaitan
fenomena tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa dengan ayat
al-Qur’an.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana peranan
intelektual dalamg membangun moral bangsa menurut al- Qur’an. 2) Bagaimana
tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa menurut al-Qur’an.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peranan intelektual
dalam membangun moral bangsa menurut al-Qur’an dan tanggungjawab
intelektual terhadap moral bangsa perspektif al-Qur’an
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dan diskriptif analitis yaitu menggambarkan atau menjelaskan bagaimana peranan intelektual dalam membangun moral bangsa
menurut al-Qur’an dan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa
perspektif al-Qur’an bahwa intelektual seseorang yang dapat membangun moral
bangsa dan tanggungjawab terhadap moral bangsa.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa tentu saja dapat membawa dampak yang baik bagi bangsa, baik bagi individu maupun bagi bangsa. Berikut adalah beberapa pengaruh tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa: a) Membantu menyelesaikan persoalan-persoalan atual dakam kehidupan bermoral bangsa serta mampu mengambangkan
peradapan melalui pengembangan ilmu pengetahuan, b) Intelektual
bertanggungjawab atas potensi dan keilmuan masyarakat. Mengajarkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang dimiliki. Menjadikan masyarakat yang bermoral dan berguna bagi bangsa dan Negara.
(8)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBINGBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii
KATA PENGANTAR ... x
ABSRAK ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 5
C. Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
E. Kajian Pustaka ... 7
F. Metode Penelitian... 9
G. Sistematika Pembahasan ... 12 BAB II : WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB
INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA
(9)
A. Pengertian Tanggungjawab Intelektual Terhadap
Moral Bangsa ... 14
B. Jenis Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral
Bangsa ... 17
C. Dampak Tanggungjawab Intelektual Terhadap
Moral Bangsa ... 21
D. Peran intelektual terhadap pembentukan moral
bangsa ... 25 BAB III : ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL
BANGSA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A. Peran Intelektual dalam Pembentukan Moral Bangsa .. 27
B. Tanggungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa... 59
BAB IV : PENUTUP
A. Simpulan ... 74 B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA ... 76
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an al-Kari>m adalah mikjizat Islam yang kekal dan mukjizat selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an diturunkan Allah kepada
Rasulullah untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikan
al-Qur‟an itu kepada para sahabatnya – orang-orang Arab asli – sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami ketidakjelasan
dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah.1
Al-Qur‟an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang di ridha‟i Allah (hudan li al-na>s) dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan
menuju jalan terang-benderang. Fungsi ideal al-Qur‟an itu dalam realitasnya tidak
begitu saja dapat diterapkan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang
mendalam. Harus diakui ternyata tidak semua al-Qur‟an yang tertentu hukumnya
sudah siap di pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global dan mus>ha>rak yang tentunya
memerlukan pemikiran dan analisis khusus untuk menerapkannya.2
1
Manna>‟ Khali>l al-Qat{}t}an, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), 1.
2M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 25-26.
(11)
2
Dalam upaya pemutusan pemikiran dan analisis dalam menetapkan sekaligus
ketentuan hukum yang dikandung dalam al-Qur‟an itulah diperlukan penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an.
Pada hakikatnya, secara garis besar al-Qur‟an membahas 2 hal pokok, yaitu
ibadah dan muamalah. Dalam hal ibadah yaitu menjelaskan hubungan manusia dengan Allah, sedangkan dalam hal muamalah menjelaskan tentang hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan. Muamalah di sini menyangkut banyak hal dan banyak aspek yang kerkenaan dengan aktifitas yang dilakukan manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Salah satu aktifitas dalam berhubungan dengan manusia (h}ablum min an-na>s) adalah bertanggungjawab terhadap apa yang di
lakukan.3
Pada hakikatnya manusia berkewajiban terhadap apa yang dilakukanya,
sebagai makhluk yang diciptakan sangat sempurna manusia haruslah
bertanggungjawab terhadap sesama manusia baik secara moral maupun fisik, salah satu bagian dari manusia yang berkewajiban atas ini adalah manusia yang
berintelektual, manusia semacam ini bertanggung jawab terhadap moral bangsa.4
Para intelektual dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan bangsa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh
3
Ibid. 4
Tranto, Wawasan Ilmu Alamiyah Dasar, (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2006), 79.
(12)
3
perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa contoh penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya maraknya tawuran antar pelajar, perampokan, pembunuhan, pembunuhan di sertai mutilasi, korupsi, dan isu-isu moralitas yang terjadi di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, pemerkosaan, pornografi sudah sangat merugikan dan akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa. Di sinilah kunci dari urgensi dilaksanakannya tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa untuk
membentengi dari krisis multidimensi pada era globalisasi.5
Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa pada hakekatnya bersumber dari jati diri, dan kegagalan dalam moral bangsa. Dalam kontek moral, salah satu penyebabnya karena lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki moralitas yang di butuhkan bangsa. Selain itu,
sistem yang top-down, masyarakat hanya menampung apa yang di sampaikan para
intelektual tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal seleksi secara kritis, bahwa pada taraf masyarakat yang awam, pengetahuannya tentang moral masih minim sehingga masyarakat pada kehidupannya belum menyentuh pada tataran sempurna.
Moral yang cenderung kognitif intelektual bangsa, perlu di perbaiki sebagai wahana
pengembangan moral bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak, dan kepribadian
secara utuh sesuai dengan tujuan para intelektual membangun moral bangsa.6 Karena
5
Hari cahyono, dimensi-dimensi Pendidikan Moral, (Jakarta: yayasan idayu, 1980), 115. 6
Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2004), 45.
(13)
4
itu menjadi tanggungjawab intektual terhadap moral bangsa. Sebagaimana firman Allah:
Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat ini Allah memberi tugas sebagai khalifah, karena mereka memiliki akal yang mampu menangkap ilmu pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan fisiknya, sehingga mampu menjalankan tugas khalifah dengan baik.
Hal ini yang menjadi latar belakang penelitian ini diadakan, pendapat dari mufasir dapat dikaitkan dengan keadaaan modern yang terjadi seperti saat ini. Berangkat dari pemaparan di atas, persoalan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa jika di tinjau dan di analisis menggunakan kitab tafsir menarik untuk dikaji karena terdapat beberapa pendapat bagaimana sesungguhnya keadaan yang
terjadi di era globalisasi seperti saat ini kemudian dikaitkan dengan ayat al-Qur‟an.
sehubungan dengan masalah tersebut, maka penulis tergugah untuk
mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “ TANGGUNGJAWAB
INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA PERSPEKTIF AL-QUR‟AN”.
(14)
5
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Bertolak dari paparan di atas, masalah pokok yang terdapat dalam kajian ini
adalah al-Qur‟an tentang adanya fenomena yang baru yaitu tanggungjawab
intelektual terhadap moral bangsa. Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi adalah:
1. Bagaimana cara yang tepat untuk menyelesaikan peran intelektual dalam
membentuk moral bangsa yang terjadi pada di zaman modern.
2. Bagaimana cara yang tepat untuk menyelesaikan tanggungjawab intelektual
terhadap moral bangsa
3. Bagaimana solusi yang di tawarkan al-Quran dan mufassir terkait tanggungjawab
intelektual terhadap moral bangsa
Untuk memberikan arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pemahaman, maka di perlukan pembahasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini akan membahas dan difokuskan pada pendapat mufasir memyikapi ayat yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan akhirat yang berkaitan dengan adanya tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian merupakan serangkaian pertanyaan yang dijadikan dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan penelitiannya. Adapun untuk lebih operasionalnya, rumusan masalah penelitian harus ditulis dengan wujud kalimat
(15)
6
tanya dengan bahasa yang singkat dan jelas.7 Untuk memperjelas masalah yang akan
dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut
1. Bagaimana peranan intelektual dalam membangun moral bangsa menurut
al-Qur‟an?
2. Bagaimana tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa menurut
al-Quran?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian harus konsisten dengan rumusan judul, rumusan judul, rumusan masalah, serta hipotesis (jika tidak) yang diajukan. Perlu diingat, tujuan penelitian bukan tujuan peneliti dalam melaksanakan penelitian. Dalam konteks ini, tujuan penelitian tidak identik dengan tujuan subjektif si peneliti, tetapi
tujuan penelitian harus dapat menjawab mengapa peneliti tersebut dilaksanakan.8
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peranan intelektual dalam membangun moral bangsa
menurut al-Qur‟an.
b. Untuk mengetahui tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa
menurut al-Quran.
7Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Airlangga, 2013), 48. 8
Ibid, 49.
(16)
7
2. Manfaat penelitian
Sebagaimana tujuan peneliti, rumusan peneliti juga bukan sekedar manfaat yang di peroleh individu peneliti. Artinya manfaat tersebut bukan manfaat subjektif bagi si peneliti, tetapi manfaat yang diambil setelah dilakukannya penelitian tersebut. Tentu saja harus dipahami manfaat ini dalam konteks
kelembagaan ataupun bidang ilmu yang ditekuninya.9
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat merubah wawasan tentang
tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa dalam perspektif
Al-Qur‟an.
b. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi dalam memahami tanggugjawab intelektual terhadap moral
bangsa dalam perspektif Al-Qur‟an.
c. Dalam aspek agama dan sosial diharapkan hasil penelitian ini mampu
memberikan pelajaran dan pedoman kepada kita agar menjadi manusia yang tanggungjawab dalam menjalankan intelektual terhadap aspek sosial baik
dalam menjalankan syari‟ah islam.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam penelitian ini di maksudkan untuk mengetahui keorisinilan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan
9Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Airlangga, 2013), 50.
(17)
8
telaah pustaka penulis menemukan beberapa karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, yaitu:
1. Pandangan Ali Syari‟ati tentang Tanggungjawab Sosial Intlektual Muslim. Skripsi karya khairul Azhar Saragih tahun 2010. Penelitian ini membahas seorang intelektual muslim yang sadar keadaaan manusia di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya. Karena dengan kesadaran akan memberikan rasa tanggungjawab sosial.
2. Peran Intelektual dalam Membangun Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru.
Skripsi karya Wahyu Hidayat tahun 2015. Penelitian ini membahas dalam merespon demokrasi tidak dengan mempertentangkan antara Islam dengan demokrasi. Dimana pengaruh dinamika demokrasi di Indonesia yakni pendukung ideologi pancasila.
3. Pembinaan Karakter Intelektual Aceh dalam Pembangunan Masyarakat Madani.
Jurnal karya Saifullah tahun 2014. Penelitian ini membahas pembinaan karakter penting bagi pertumbuhan individu menjadi manusia yang seutuhnya dan sebaiknya dilakukan sejak dini. Namun bukan berarti jika pendidikan dasar belum mengakomodasi pembinaan karakter, perguruan tinggi juga merasa tidak perlu untuk menyelenggarakan.
4. Konsep Keadilan dalam al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Tanggung Jawab
Moral. Disertasi Karya Amiur Nuruddin tahun 1995. Penelitian ini membahas
semangat dasar al-Qur‟an adalah semangat moral. Signifikasi moral dalam al
-Qur‟an terletak pada keterkaitan keadilan dengan hari keadilan.
(18)
9
5. Peranan Modal Intelektual Dosen Dalam Menciptakan Kualitas Lulusan. Karya
Umi Narimawati. Penelitian ini membahas peluang dan tantangan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, kita melihat ada prospek yang menjanjikan berkembangnya pendidikan yang lebih di masa depan.
Dari beberapa karya di atas, menunjukkan bahwasanya belum ada yang membahas penelitian tersebut dengan keterkaitan tanggungjawab intelektual
terhadap moral bangsa dalam perspektif al-Qur‟an yang akan dijelaskan sebagaimana
dalam penelitian ini. F. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research), sehingga data yang diperoleh adalah hasil dari kajian teks atau buku-buku yang
relevan dengan pokok/ rumusan masalah di atas.10 Kegiatan riset dapat dikatakan
sebagai suatu upaya pengumpulan dan pengelolaan/ analisis data yang dilakukan
secara sistematis, teliti, dan mendalam untuk mencari jawaban dari suatu masalah.11
Dalam peneltian skripsi ini, penulis menggunakan beberapa langkah guna menyelesaikan masalah yang ada, sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang pembahasan ini. Upaya pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini di gunakan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
10
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 1995, 9. 11
HM. Sonny Sumartono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Cet I (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 95.
(19)
10
Penelitian ini bersifat kualitatif yang di maksudkan untuk mendapatkan data tentang kerangka ideologis, epistemologis, dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada literatur yang terkait.
Jenis penelitian adalah library reseach (penelitian kepustakaan) yaitu
penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data
peneliannya.12 Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian
mengelolanya memakai keilmuan tafsir.
2. Sumber Data
Penelitian ini bercorak library murni, dalam arti semua sumber datanya
berasal dari bahan-bahan yang tertulis yang berkaitan dengan topik pembahasan dibahas. Sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul
data dari objek risetnya.13 Data primer merupakan data-data yang kajian
utamanya relevan dengan penelitian data pokok yang menjadi rujukan
pembahasan skripsi ini adalah Al-Qur‟an.
1) Kitab al-Qur‟an, Mushaf yang digunakan sebagai pegangan adalah
al-Qur‟an dan Terjemahannya yang telah ditashih oleh Departemen Agama
R.I Jakarta, Tanggal 28 Februari 1990.
12
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Yogyakarta: Buku Obor, 2008), 1. 13
HM. Sonny Sumarsono, Op.cit, 69.
(20)
11
2) Sebagai dasar rujukan untuk analisis penafsiran yang berkaitan dengan
masalah yang dibahasa digunakan beberapa karya mufassir antara lain:
a) Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab
b) Tafsir Fi zilalil Qur‟an karya Sayyid Quthb
c) Tafsir AL-Azhar karya Abdul malik Karim Amrullah (Hamka)
d) Tafsir Ibnu Kasir Karya Ibnu Kasir
e) Tafsir Al-Maragi Karya Musthafa al-Maragi
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah semua data yang di peroleh secara tidak
langsung dari objek yang diteliti.14 Data sekunder merupakan buku
penunjang yang pada dasarnya sama dengan buku utama, akan tetapi dalam buku penunjang ini bukan merupakan faktor utama. Sumber data sekunder ini berupa buku-buku yang mempunyai keterkaitan, karya ilmiah, ensiklopedi, artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu: mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus pembahasan, kemudian mengklarifikasikan sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah di siapkan sebelumnya.
14Ibid.
(21)
12
4. Teknik Analisis data
Semua yang terkumpul, baik primer maupun yang sekunder diklarifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu susunan teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengelolanya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu
atau beberapa pernyataan.15 Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji
bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti. G. Sistematika Pembahasan
Untuk mengarahkan alur pembahasan secara sistematika dan mempermudah pembahasan maka penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa Bab dengan rasionalitas sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL
TERHADAP MORAL BANGSA
Pada bab ini penulis akan mengulas mengenai pengertian tanggungjawab intelektual terhadahap moral bangsa, jenis-jenis
15
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarain, 1993), 76-77.
(22)
13
tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, dampak dari tindakan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, dan peran intelektual dalam pembentukan moral bangsa.
BAB III ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‟AN
Pada bab ini melakukan deskripsi tentang Peran intelektual dalam pembentukan moral, dan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan, dan saran-saran.
(23)
BAB II
WAWASAN TENTANG TANGGUNGJAWAB INTELEKTUAL
TERHADAP MORAL BANGSA
A. Pengertian Tanggungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa
Intelektual adalah orang yang di anggap mampu menyampaikan patokan moral kepada masyarakat. Intelektual di anggap memiliki pengetahuan yang mampu merubah nasib manusia. Intelektual ada orang yang berbicara tentang kebenaran. Dalam garis pemikiran seperti ini, maju-mundurknya kehidupan sebuah masyarakat ditentukan dari seberapa jauh para intelektualnya mampu menggeluti permasalahan sekaligus menyampaikan kebenaran. Dalam bahasa sekarang, intelektual ibarat dirigen yang memimpin orkes. Tanpa mengikuti dirigen, pemain orkes akan bermain musik sendiri-sendiri. Panduan suaranya akan kacau tak beraturan. Tak dapat dinikmati secara keseluruhan. Legistimasi itu diberikan karena peran pemain orkes merasa ada dirijen yang dianggap memiliki kemampuan yang benar dalam mengomposisi musik. Demikian juga dalam masyarakat. Masyarakat memberikan legitimasi pada sekelompok orang yang dianggap mengetahui dan mampu menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan
untuk menghadapi persoalan kehidupan.1
Tanggungjawab intelektual dalam moral bangsa adalah sekelompok orang yang menanggung pengetahuan-pengetahuan tertentu yang benar dan bisa
1
Chris Harman, A People Hostry of The Word, (London: Bokkkmarks Publication, 2002). 19-22.
(24)
15
diandalkan untuk menjamin kehidupan manusia bebas dari penderitaan. Dalam bahasa Hatta intelektual mencakup dua dimensi: kerja akal dan kerja moral. Akal adalah mencari pengetahuan dan kebenaran. Sementara itu kerja otak adalah menyampaikan kebenaran itu kepada masyarakat dengan semangat membebaskan
manusia dari penderitaan.2 Maka jika ada orang yang mangaku intelektual, atau
paling tidak memiliki simbol-simbol intelektual yang melekat dalam diri intelektual, namun tidak melakukan kerja akal atau kerja moral maka ia dapat disebut sedang melakukan pengkhianatan kaum intelektual. Terkait pengertian pengkhianatan intelektual, banyak sekali pemikir atau filsuf yang memberi pengertian berbeda-beda. Namun pengertian penghianatan intelektual di atas (intelektual yang tidak melakukan kerja akal dan moral) sudah cukup mewakili
perbedaan tersebut di tataran yang paling umum.3
Kaum intelektual menentukan dan berpegang pada kebenaran atau
moralitas absolut, bukan pada kebenaran
atau
moralitas yang bersifat relatif. Olehkarena itu, kebeneran yang dimiliki oleh para kaum intelektual hendaknya mampu mengatasi kebenaran-kebenaran orang pada umumnya (suara kebanyakan). Kebenaran bagi banyak orang adalah kebenaran bagi dirinya sendiri, bagi kelompoknya sendiri, bagi bangsa sendiri, bagi agama sendiri, bagi rasnya sendiri. Tuntutan kepada kaum intelektual adalah mampu menangkap kebenaran yang menerabas moral-moral yang relatif itu. Kebenaran yang dimiliki dan
2 Mohammad Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia”, dalam Cendekiawan dan Politik, di ediy oleh Aswad Mahasin dan Ismed Nasir, (Jakarta: LP3ES, 1983). 7-8. 3
Ibid.
(25)
16
diperjuangkan oleh kaum intelektual haruslah kebenaran universal, yang berlaku
di manapun dan kapanpun.4
Hal ini bisa dipahami karena hidup dimasa perang, suatu masa saat seluruh masyarakat termasuk dituntut untuk mengabadi di masyarakat pada Negara. Dengan kata lain, kaum intelektual ikut berperan dalam peperangan, ikut menebar kebencian, mendukung bahkan melibatkan diri dalam bertambahnya penderitaan yang di alami umat manusia. Tanggungjawab yang dimiliki oleh para intelektual, adalah tanggungjawab yang mendorong adanya perdamaian bukan justru sebaliknya. Kaum intelektual harus mendamaikan umat manusia, kaum intelektual harus berkonflik dengan masyarakat kebanyakan yang pada dasarnya lebih menyukai konflik. Oleh karena itu, agar kaum intelektual yang memiliki kejernihan pikiran seharusnya memisahkan diri dari semangat masyarakat umum
yang kental dengan gairah politik.5
Kehidupan tanpa kebencian disebabkan oleh adanya „gairah politik‟ yang
menginfeksi kesadaran kaum intelektual. Dalam hal ini gairah politik ada tiga komponen gairah, yaitu gairah nasionalisme, gairah ras, dan gairah kelas. Gairah ras adalah gairah adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada berbedaan ras. Gairah nasionalisme adalah suatu kesadaran kolektif yang didasarkan pada perbedaan batas-batas nasionalis atau bangsa. Sedangkan gairah kelas adalah
4 Julien Benda, Penghianatan Kaum Cendekiawan, Terj. Winarsih P. Arifin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), 27-51.
5 Ibid.
(26)
17
suatu kesadaran kolektif yang di dasarkan pada perbedan kepemilikan modal dan
alat produksi. 6
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan…” Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat berusak, para intelektual dapat dipilah ke dalam 2 golongan pendapat. Yaitu (1) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanya menentukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang lain untuk mempergunakannnya, apakah akan digunakan untuk tujuan yag baik ataukah untuk tujuan yang buruk, (2) golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanya terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan dalam
penggunaannya harus dilandaskan nilai-nilai moral.7
B. Jenis Tanggungjawab Intelektual Terhadap Moral Bangsa
intelektual setidaknya ada dalam tiga kategori yang saling berhubungan: intelektual yang berkomitmen atau berserah diri, intelektual yang berpihak pada
kepentingan anggota masyarakat dan intelektual sebagai mediator atau penengah.8
Pertama intelektual yang berkomitmen. Ide intelektual yang berkomitmen untuk mempertanyakan, mengkritisi dan menantang praktek-praktek ketidakadilan. Menurut filsuf Prancis Jean Paul Sartre, tugas seorang intelektual adalah
6Ibid. 7
M. Adib, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2010), 231.
8
Nasar Meer, menggunakan istilah „commintted intelektuals‟, intervering intellectuals‟ dan „mediating intellectuals‟, lihat Meer, N (2006), „ Get off your Kness‟, Print Media Public Intellectuals and Muslims in Britain‟, dalam Journaliusm Studies, Vol. 7(1): 35-59.
(27)
18
mengkritisi dan menolak segala bentuk ketidakadilan.9 Atau dalam bahasa
Edward W. Said, intelektual publik. yang berkomitmen memiliki panggilan untuk menyuarakan kebenaran di hadapan penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun
ungkapan Said bisa dianggap klise seperti diutarakan Christopher Hitchens, frase
abstrak itu bisa memuat di dalamnya hal penting bahwa intelektual adalah agen keadilan. Keadilan biasanya di pahami dalam arti distribusi sumber daya dan kekayaan secara merata. Tetapi dalam hubungan dengan fungsi sosial intelektual distribusi keadilan bisa kita pahami lebih luas untuk merangkum juga hubungan
antara ide dan tindakan.10 Artinya, intelektual yang berkomitmen tidak hanya
melahirkan tetapi membuka juga ruang agar kata menjadi aksi.
Kedua, intelektual yang berpihak. Bagi Michel Foucault, komitmen intelektual untuk mempertanyakan ketidakadilan dan menyuarakan yang benar saja sebetulnya tidak cukup. Intelektual mesti mengambil langkah lanjut dengan berpihak pada korban ketidakadilan dan memainkan peran sebagai suara dari yang tak bersuara serta harapan dari yang tak memiliki harapan di hadapan kekuasaan
yang mengungkung.11 Intelektual karena itu memiliki peran khusus untuk
melakukan intervensi bukan saja ketika kekuasaan disalahgunakan tetapi
melanjutkan intervensi itu dengan pilihan jelas yakni keberpihakan pada yang
menderi dan menjadi korban. Ide yang sama dikemukakan juga oleh Edward W. Said dalam diskusinya seputar wacana dan kekuasaan. Bagi Said, intelektual ada
9
Sartre, J.P. The Writings of Jean-Paul Sartre, dalam M. Contat dan M. Rybalka (Eds), (Evanston: Northweterh University Press, 1974), 76-79.
10 Fuller, S. (2006), “The Public Intellectual as Agent of Justice: in Search for a Regine”,
dalam Philosophy and Rhetoric, Vol. 39(2): 147-156.
11
Foucanlt, M, Language, Counter-memory, Practice, (Ithaca: Cornell Universty Press, 1977), 167-170.
(28)
19
bukan untuk dirinya sendiri. Dia menulis dan berbicara atas nama suara publik khususnya mereka yang menderita. Dalam salah satu wawancaranya dengan Chistopher Lydon di tahun 2000, ia tidak ragu mengakui bahwa dirinya adalah
seorang intelektual militan: “…my tongue is very sharp.. I give and trade blows
with people…who disagree with me, I mean that‟s part of the deal”12
. Kata-kata
Said tidaklah berlebihan melihat keberpihakannya yang tegas atas hak-hak orang Palestina di satu pihak dan kritiknya yang tajam atas berbagai bentuk anti-Semitisme di pihak lain.
Ketiga, intelektual sebagai mediator atau penengah. Thomas Osborne dan Gregor McLennan, guru besar di Universitas Bristol di Inggris, adalah dua pemikir yang membahas fungsi ini dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak
gagasan “The Third Way” diluncurkan Anthony Giddens.13 Bagi Osbone dan McLennan, kita tidak lagi hidup dalam sebuah dunia yang dikendalikan oleh ide yang tampak jelas di depan mata atau yang masih merupakan teka-teki misterius. Kita sebenarnya ada dalam sebuah dunia di mana ide tampak bergerak seperti layaknya sebuah kendaraan. Dalam dunia sepreti ini, pesan, berbagai gambar dan
konsep “menyangkut” kita hanya untuk jarak tertentu dari A ke B untuk tujuan
tertentu. Itulah sebabnya ada begitu banyak „isme‟ atau aliran pemikiran yang
tumpang tindih seperti multikulturalisme dan kosmopolitanisme. Di satu pihak,
12 Singh, A. & Johnson, B.G. eds, Interviews with Edward W. Said, (Missisippi: The University Press of Mississppi, 2004), Xiii.
13
McLennan, G. & Osborne, T. (2004) “Contemporary „Vehicularity‟ and „romanticism‟. Debating the status of ideals and intellectuals”, dalam Critical Riview of International Sosial and Political Philosophy, Vol. 6(4): 51-66; Osborne, T. (2004), On Mediators Intellectuals and the ideals trade in the knowledge society‟, Economu and Society, Vol. 33(4): 430-447; McLennan, G. (2004), “Travelling with vehicular ideals the case of the Third Way”, dalam Economy and Sociery, Vol. 33(4): 484-499.
(29)
20
aliran pemikiran ini mempunyai kekuatan untuk menggerakkkan dan merangsang nalar tetapi di lain pihak sangat sulit untuk kita telaah nilai analitis dan normatif yang menjadi sendi bangunan aliran-aliran pemikiran ini. Dalam konteks ini, intelektual memainkan peran dalam memilih secara ktiris konsep tepat yang bisa dipakai untuk bangunan sosial masyarakat, termasuk fungsi kritis atas hukum dan
penataan serta pelaksanaan. Ini menghantarkan kita pada konsep „legislator‟ dan „interpreter‟ yang dibahas Zygmunt Bauman dalam Legislators and Interpreters: On Modernity, Post-Modernity and Intellectuals.14 Dalam peran „legislator‟, intelektual mengamati secara kritis alasan dan rasionalisasi hukum dan sistem perundangan yang mangatur hidup masyarakat. Peran ini tidak berhenti di sini.
Intelektual juga memainkan peran sebagai „interpreter‟ yakni menafsirkan sistem
ini dan menghantarnya ke masyarakat luas dalam bahasa yang bisa dipahami. Singkatnya intelektual adalah mediator antara sistem dan anggota masyarakat.
Memperhatikan fungsi-fungsi seperti telah dipaparkan, kiprah intelektual
berhubungan sangat erat dengan ide civil society yang sehat. Konsep civil society
mengambil tempat antara keluarga dan Negara. Bila keluarga menempati ruang, hidup individual dan hidup sosial, kepentingan pribadi dan etika, urusan pribadi
dan kehendak.15 Untuk sederhananya dan dalam konteks paparan tulisan ini, arena
civil society yang dipaparkan G.W.F. Hegel bisa dipertimbangkan di sini.16 Bagi
Hegel, civil society mengambil tempat antara keluarga dan Negara. Bila keluarga
14 Bauman, Z, Legislators and Interpreters: On Modernity, Post-Modernity and Intellectuals, (Cambridge: Polity, 1987), 35.
15
Selligman, A, The Idea of Civil Society, (New York: The Fre Press, 1992), 5. 16
Hegel, G.W.F, (1995) Lectures on Natural Right and Political Science: The First Philosophy of Right, di terjemahkan dari bahasa Jerman oleh J.M. Stewart & P.C. Hodgson, London: University of California Press, khususnya bagian III.
(30)
21
menempati ruang privasi dan wilayah Negara meliputi ruang politik, maka civil
society menempati ruang. Ruang yang merupakan wilayah civil society ini di topang oleh ide tukar menukar pikiran guna menemukan jalan bersama untuk mencapai kehendak dan kepentingan kolektif melalui komunikasi aktif dan transparan dari semua aktor yang terlibat dalam seluruh proses berbagai ide dan
pendapat.17 Itu berarti civil society yang sehat di satu pihak kritis terhadap
kekerasan Negara dan menyangkalan/ pelecehan hak-hak individual dan di pihak lain menantang dan melawan tirani berpikir yang dibangun atas dasar-dasar primordial seperti urusan atau hubungan keluarga, suku, agama atau golongan. Civil society yang sehat menjadi lebih mungkin bukan saja ketika ruang terbuka bagi intelektual tetapi ketika intelektual mengambil peran sebagai pengemudi civil society lewat komunikasi aktif para anggotanya dalam ruang.
C. Dampak Tanggaungjawab Intelektual terhadap Moral Bangsa
Tanggungjawab intelektual bila di laksanakan dengan benar. Maka akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang sangat produktif, sangat berharga dan sangat bernilai, sehingga perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar berkualitas menjadi manusia yang bermoral, manusia yang cerdas, dan manusia yang kompetitif. moral menentukan kualitas moral dan arah dari setiap generasi dan arah dari setiap generasi dalam mengambil keputusan dan tingkah laku. Karena moral merupakan bagian integritas yang harus dibangun, agar generasi sebagai harapan bangsa, sebagai penerus bangsa yang akan menentukan masa
17
Salvatore, A, The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism, Islam, (Basingstoke: Palgrave Mnmillan, 2007), 7.
(31)
22
depan harus memiliki sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh
dan benar dalam upaya membangun bangsa.18
Kecerdasan yang mampu memanipulasi unsur-unsur kondisi yang dihadapi untuk sukses mecapai tujuan. Kemampuan yaitu karakter diri individu yang ditampilkan dalam bentuk perilaku untuk memenuhi kebutuhan/ tuntutan tertentu. Manipulasi yaitu perilaku aktif dan disengaja untuk melihat dan mengorganisasikan dalam membentuk hubungan antar unsur yang ada dalam
suatu kondisi.19 Unsur-unsur yaitu hasil penilaian/ pemisahan atas bagian-bagian
dari suatu kesatuan tertentu. Tujuan yaitu kondisi yang diharapkan terjadi melalui penampilan kemampuan dalam bentuk usaha. Sukses adalah kondisi yang unsur-unsurnya sesuia dengan kriteria yang diharapkan.
Kemampuan kompetitif mampu mencapai keunggulan, memiliki daya saing dengan bangsa-bangsa lain, dan akan menunjukkkan tinggi harkat dan martabat bangsa. Akan menjadi bangsa dan Negara yang besar dan kuat disegani dan dihormati keberadaannya di tengah-tengah bangsa di dunia. Ini akan menjadi
perwujudan cita-cita bangsa.20
Para intelektual sebagai penerus bangsa yang akan menentukan masa
depan bangsa. Intelektual adalah seseorang yang mampu memandang masa depan diri dan bansganya. Merupakan hal yang pertama dan utama. Intelektual adalah seseorang yang penuh optimis dan gairah unutk maju dengan sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Intelektual adalah seseorang
18
Erest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), 45.
19 Ibid. 20
Ibid.
(32)
23
dengan visi ke depan yang cemerlang, kompetitif yang memadai, dan dengan karakter yang kokoh, kecerdasan yang tinggi, dan kompetitif merupakan produksi
yang di idam-idamkan.21
Dengan adanya tanggungjawab intelektual menjadi manusia yang bermoral yaitu:
Manusia berkarakteradalah manusia yang memiliki sifat yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan moral yang tinggi. Manusia yang memiliki sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Indikator karakter yang terwujud dalam perilaku manusia berkarakter adalah iman dan taqwa, pengendalian diri, sabar, disiplin, kerja keras, ulet, bertanggungjawab, jujur, membela kebenaran, kepatuhan, kesopanan, kesantunan, taat pada peraturan, loyal, demokratis, sikap kebersamaan, musyawarah, gotong royong, toleran, tertib, damai, anti kekerasan, hemat, konsisten. Manusia yang berperilaku berkarakter hendaknya disertai tindakan yang cerdas dan perilaku cerdas hendaknya pula di isi upaya yang cerdas. Karakter dan kecerdasan dipersatukan dalam perilaku yang berbudaya. Kehidupan yang berkarakter tanpa diserta kehidupan yang cerdas akan
menimbulkan berbagai kesenjangan dan penyimpangan serta ketidak efesien.22
Manusia cerdas adalah manusia yang cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual,
cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual , dan cerdas kinestetis. Cerdas
spiritual yaitu beraktualisasi diri melalui olah hati/ kalbu untuk menumbuhkan dan
21
Yudi Latif, intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2007), 67-69.
22 Ibid.
(33)
24
memperkuat keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosional, yaitu beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensivitas dan apresiativitas akan keharusan dan
keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.23
Cerdas sosial, yaitu beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang (i) Membina dan memupuk hubungan timbal balik, (ii) Demokratis, (iii) Empatik dan simpatik, (iv) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, (v) Ceria dan percaya diri, (vi) menghargai kesatuan dalam masyarakat dan bernegara, (vii) Berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara. Cerdas intelektual yaitu beraktualisasi diri melalui olah pikiran untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, aktualisasi
manusia intelektual yang kritis, kreatif, inovatif dan imajinatif. Cerdas kinerstetik
yaitu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan manusia sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil, dan cekatan; serta aktualisasi manusia adiguna.
Manusia kompetitif adalah manusia yang berkepribadian unggul dan senang akan keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan Pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif, dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar
sepanjang hayat, dan menjadi rahmat bagi semesta alam.24
23
ibid 24
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Terj. Amin Rais, (Jakarta: Srigunting, 2001), 134.
(34)
25
D. Peran intelektual terhadap pembentukan moral bangsa
Intelektual memiliki peran yang strategis dalam pembentukan moral bagi bangsa. Baik buruknya suatu bangsa, dapat di lihat dari kualitas intelektualnya, karena mereka adalah generasi penerus yang harus mempunyai moral baik untuk membangun bangsanya, memiliki kepribadian tinggi, semangangat nasionalisme, mampu memahami pengetahuan dan teknologi untuk bersaing secara global. Intelektual juga perlu memperhatikan bahwa mereka mempunyai fungsi sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan sehingga fungsi tersebut dapat
berguna bagi masyarakat.25
Intelektual harus berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan bangsa. Peran aktif pemuda sebagai kekuatan moral diwujudkan dengan menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas dalam bertindak pada setiap dimesi kehidupan keintelektualan, memperkuat iman dan taqwa serta ketahanan mental-spirital, dan meningkatkan
kesadaran hukum.26
Sebagai kontrol moral bangsa diwujudkan dengan memperkuat wawasan kebangsaan, membangkitkan kesadaran atas tanggungjawab, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Sebagai agen perubahan diwujudkan dengan mengembangkan pendidikan politik dan demokratisasi, sumberdaya ekonomi, kepedulian terhadap masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan
25
Smith, Antony D, Nasionalisme: Teori, Ideologi, dan Sejarah, terj.Fans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2003), 56.
26 Ibid.
(35)
26
budaya, kepedulian terhadap lingkungan hidup, pendidikan kewirausahaan, serta
kepemimpinan dan kepeloporan intelektual.27
Semangat para intelektual jangan sampai luntur tergerus globalisasi. Intelektual harus dapat mengorbankan semangat cinta Negara dan bangsa. Intelektual harus menunjukkan potensinya untuk lebih kritis dan mengubah
mental moral bangsa.28
Intelektual sebagai seseorang penerus bangsa mempunyai peran penting dalam upaya pembangunan moral bangsa, yaitu sebagai:
a. Pembangunan Kembali Moral bangsa yang positif. Esensi peran ini adalah adanya
kemauan keras dan komitmen dari intelektual untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral di atas kepentingan-kepentingan sesat sekaligus upaya kolektif untuk mengintegrasikannya pada kegiatan dan aktivitasnya sehari-hari.
b. Pemberdayaan moral. Pembangunan kembali moral bangsa tentunya tidak akan
cukup jika tidak dilakukan pemberdayaaan secara terus-menerus sehinggga intelektual yang merupakan seseorang juga dituntut unutk mengambil peran sebagai pemberdayaaan moral. Bentuknya praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat dari intelektual untuk menjadi peran model dari pengembangan karakter
bangsa yang positif.29
Perekayasa Moral sejalan dengan perlunya ada aktifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa. Peran ini menuntut intelektual sebagai intelektual penerus bangsa untuk terus melakukan pembelajaran.
27
Soedarsono, Soemarno, Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang, (Jakartaa; kompas Gramedia, 2009), 113.
28 Ibid. 29
Ibid.
(36)
BAB III
ANALISIS INTELEKTUAL TERHADAP MORAL BANGSA
DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN
A. Peran Intelektual dalam Pembentukan Moral Bangsa
1. Ayat-ayat tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa
a. Surat al-Mujadalah ayat 11
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.(al-Mujaadalah: 11)
b. Surat al-Fathir ayat 39
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. (Faathir:39)
c. Surat ar-Ra’d ayat 11
(37)
28
Sesungguhnya Allah tidak merebah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra’d: 11)
2. Penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat peran intelektual dalam membentuk
moral
a. Sayyid Quthb
1) Surat al-Mujadalah ayat 11
Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa
Allah menjanjikan kedudukan yang tinggi bagi orang yang menaati perintah. Itulah balasan atas ketawadhuan dan kepatuhan terhadap
perintah Rasul.1
Konteks di atas ialah konteks kedekatan dengan Rasulullah guna menerima ilmu di majelisnya. Ayat di atas mengajarkan kepada mereka bahwa keimananlah yang mendorong mereka menaati perintah. Ilmulah yang membina jiwa, lalu dia bermurah hati dan taat, kemudian iman dan ilmu itu mengantarkan seseorang kepada derajat yang tinggi di sisi Allah. Derajat ini merupakan imbalan atas tempat yang diberikannya dengan
suka hati dan atas kepatuhan kepada Rasulullah.2
2) Surat al-Fathir ayat 39
Dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menjelaskan berganti-ganti generasi dan datangnya generasi lain, serta satu generasi mewarisi generasi
1
Sayyid Quthb, Fi Shilalil Qur‟an, terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), jilid II, 194.
2 Ibid.
(38)
29
sebelumnya, juga runtuhnya satu Negara dan berdirinya Negara lain dan matinya satu suluh serta hidupnya suluh yang lain, kepergian dan kedatangan yang saling silih berganti-ganti sepanjang masa ini. Jika kita memperhatikan gerakan yang selalu berputar ini, niscaya kita akan dapati dalam hati kita satu pelajaran dan nasihat. Orang-orang yang ada saat ini akan merasakan bahwa mereka setelah ini juga akan merasakan bahwa mereka setelah ini juga akan mati. Kemudian orang-orang setelah mereka akan memperhatikan bekas-bekas keberadaaan mereka dan mencari-cari berita tentang mereka, sebagaimana mereka saat ini memperhatikan bekas-bekas keberadaan orang-orang sebelumnya dan mencari-cari berita
tentang mereka.3
Maka, hal itu seyogianya membangkitkan orang-orang yang lalai, dan mendorongnya untuk memperhatikan tangan yang mengatur semua umur makhluk. Juga menggerakkan perjalanan waktu, memperhatikan kedudukan, mewariskan kerajaan, dan menjadikan satu generasi sebagai pengganti generasi sebelumnya. Segala hal berjalan, kemudian berhenti dan hilang. Allahlah semata yang tetap ada selamanya, yang tak pernah
hilang dan berubah.4
Orang yang akan berakhir dan hilang, tentunya tidak akan kekal dan abadi. Orang itu seperti turis dalam sebuah perjalanan yang sudah ditentukan rentang waktunya. Nantinya ia akan digantikan oleh orang-orang setelahnya yang akan melihat apa yang ia tinggalkan daN apa yang
3 Ibid. 4
Ibid.
(39)
30
ia telah perbuat. Ia akan berpulang kepada Zat yang akan menghisabnya atas apa yang telah ia katakan dan yang ia perbuat. Orang yang seperti ini keadaannya, amat layak untuk memperbaiki sejarah hidupnya yang sedikit, meninggalkan kenangan yang indah di belakangnya, dan saat ini
melakukan apa yang bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat nanti.5
Ini adalah beberapa refleksi yang hadir dalam hati, ketika di depan matanya ditampilkan pemandangan kepergian dan kedatangan, terbit dan tenggelam, kedudukan yang lenyap, kehidupan yang lenyap, dan pewarisan yang selalu berlangsung dari satu generasi ke generasi yang lain. 6
3) Surat ar-Ra’d ayat 11
Dalam tafsir Fi Zilalil Qur’an, Sayyid Qutb menjalaskan Allah selalu mengikuti mereka dengan memerintahkan malaikat-malaikat penjaga untuk mengawasi apa saja yang dilakukan manusia untuk mengubah kondisi mereka, yang nantinya Allah akan mengubah kondisi mereka itu. sebab, Allah tidak akan mengubah nikmat atau bencana, kemuliaan atau kerendahan, kedudukan, atau kehinaan. Kecuali jika orang-orang itu mau mengubah perasaan, perbuatan, dan kenyataan hidup mereka. Maka, Allah akan mengubah keadaan diri mereka sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam diri dan perbuatan mereka sendiri. Meskipun Allah mengetahui apa yang bakal terjadi atas diri mereka itu
5 Ibid. 6
Ibid.
(40)
31
adalah sebagai akibat dari apa yang timbul dari mereka. Sejalan dengan
perubahan yang terjadi pada diri mereka.7
Ini merupakan hakikat yang mengandung konsekuensi berat yang dihadapi manusia. Maka, berlakulah kehendak dan sunnah Allah bahwa sunnah-Nya pada manusia itu berlaku sesuai dengan sikap dan perbuatan manusia itu sendiri, dan berlakunya sunnah-Nya pada mereka itu didasarkan pada bagaimana perilaku mereka dalam menyikapi sunnah ini. Nash mengenai masalah ini sangat jelas dan tidak memerlukan takwil. Di samping konsekuensi ini, maka nash ini juga sebagai dalil yang menunjukkan betapa Allah telah menghormati makhluk yang berlaku padanya kehendak-Nya bahwa dia dengan
amalannya itu sebagai sasaran pelaksanaan kehendak-Nya.8
Sesudah menetapkan prinsip ini, maka susunan redaksional ayat ini membicarakan bagaimana Allah mengubah keadaan kaum itu kepada yang buruk. Karena mereka (sesuai dengan mafhum ayat tersebut) mengubah keadaan diri mereka kepada yang lebih buruk,
maka Allah pun menghendaki keburukan bagi mereka.9
b. Quraisy Shihab
1) Surat al-Mujadalah ayat 11
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat seorang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa
7 Ibid. 8
Ibid. 9
Ibid.
(41)
32
mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggalkan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari
faktor di luar ilmu itu.10
Tentu saja yang dimaksud dengan ( علا ا ت أ ني لا) alladzina utu
al-ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandarkannya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan,
atau tulisan maupun dengan keteladanan.11
Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS. Fathir (35): 27-28 Allah menguraikan sekian banyak makhluk Ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut di tutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Ini
menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-Qur’an bukan ilmu
agama. Di sisi lain itu juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah
10
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), vol. 14, 19.
11 Ibid.
(42)
33
menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta menanfaatkannya untuk kepentingn makhluk. Rasul saw, sering
kali berdoa: “Alla>humma inni a’u>dzu bika min „ilm(in) la yanfa‟ (Aku
berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).”12
2) Surat al-Fatir ayat 39
Kelompok ayat ini kembali berbicara tentang bukti-bukti keesaan Allah swt. Di sisi lain, ayat ini mengukuhkan juga pernyataan sebelumnya yang menyatakan: “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” Ini karena siapa yang menciptakan sesuatu, pastilah dia paling mengetahui tentang ciptaannya, dan semakin teliti serta indah ciptaan itu, semakin besar pula bukti kemampuan dan kuasanya. Dari sini untuk membuktikan kuasa Allah bahkan keesaan-Nya, serta pengetahuan-Nya tentang ciptaan-Nya yang antara lain adalah manusia,
ayat di atas menegaskan bahwa: Dialah khalifah-khalifah yakni
pengganti-pengganti generasi yang lain di bumi. Itu adalah satu nikmat sekaligus bukti keesaan dan kekuasaan-Nya yang harus kamu syukuri,
bukannya kamu hadapi dengan kekufuran. Karena itu barang siapa
yang kafir, maka atas dirinya sendiri jatuh akibat kekafirannya. Allah
sedikit pun tidak akan disentuh oleh kekufuran makhluk-Nya. Dan
tidaklah menambah bagi orang-orang kafir – yang mantap kedurhakaanya - kekafiran mereka yakni kesinambungan mereka dalam
12
Ibid.
(43)
34
kekufuran – tidaklah menambah kesinambungan itu di sisi Tuhan
mereka kecuali kerugian belaka, baik di dunia maupun di akhirat.13
Kata (فئاخ) khala>‟if adalah bentuk jama dari kata ( في خ)
khali>fah. Kata ini terambil dari kata (ف خ) khalf yang berarti belakang. Dari sini kata khali>fah sering kali diartikan yang mengantikan atau yang
datang di belakang (sesudah) siapa yang datang sebelumnya.14
Ketika menafsirkan QS. al-An’am (6) :165, penulis antara lain
mengemukakan bahwa bentuk jamak yang digunakan al-Qur’an untuk
kata khali>fah adalah khala‟if dan khu>lafa. Setelah memperhatikan
konteks ayat-ayat yang menggunakan kedua bentuk jamak itu, penulis
berkesimpulan bahwa bila kata kh>ulafa digunakan al-Qur’an, maka itu
mengesankan adanya makna kekuasaan politik dalam mengelola
wilayah, sedang bila menggunakan bentuk jamak khla‟if, maka
kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam maknanya. Rujuklah ke sana
untuk memperoleh informasi tambahan!15
Dengan demikian, penulis tidak sependapat dengan Ibn „Anyur yang menjadikan ayat ini sebagai berita gembira kepada Nabi Muhammad saw, tentang akan berkuasanya umat Islam setelah sekian
banyak umat/ Negara sebelumnya yang hancur.16
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap orang bertugas membangun dunia ini dan memakmurkannya sesuai petunjuk Allah,
13Ibid. 14
Ibid. 15
Ibid. 16
Ibid.
(44)
35
apapun fungsi dan kedudukan orang itu, baik sebagai penguasa maupun rakyat biasa. Allah telah menganugerahkan kepada setiap insan sejak Adam as. Hingga kini, potensi untuk mengelola dan memakmurkan bumi sesuai dengan kadar masing-masing. Dia menganugerahkan hal
tersebut untuk menguji manusia, atau dalam bahsa QS. Al-A’raf (7):
129 17
”Meenjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana kamu bekerja.”18
Tidak digunakannya bentuk tunggal oleh ayat ini dan dalam makna yang tersebut di atas, mengesankan bahwa sukses melaksanakan tugas kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana dengan baik, kecuali dengan bantuan dan kerjasama dengan
orang lain.19
Thaba>tha>ba>’I memahami kata khali>fah sebagai pengganti yang menggantikan orang-orang sebelumnya. Yakni menggantikan dalam hal kemampuan mengelola dan manarik manfaat dari bumi, sebagaimana halnya generasi yang lain. Mereka memperoleh keistimewaan itu, melalui pengembangbiakan dan kelahiran. Dengan demikian, kekhalifahan itu berkaitan dengan pengaturan dan penciptaan Allah. Atas dasar itu, maka ayat ini membutuhkan keesaan dan
17 Ibid. 18
Ibid. 19
Ibid.
(45)
36
Nya, karena Dialah satu-satunya Pencipta dan Dia pula Pengatur dan
Pengendali semua makhluk.20
3) Surat ar-Ra’d ayat 11
Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan Allah
menjadikan para mu‟aqibat itu melakukan apa yang ditugaskan
kepadanya yaitu memelihara manusia, sebagaimana dijelaskan di atas karena Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/ sisi dalam mereka seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman
menjadi penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni‟mat
(nikmat) menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan,
kebahagiaan menjadi kesengsaraan dan seterusnya. Ini adalah satu ketetapan pasti yang kait mengaitkan. Demikian lebih kurang Thaba>tha>ba>’i.21
22“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum,” secara
panjang lebar pennulis uraikan dalam buku Secercah Cahaya Ilahi. Di
sana antara lain penulis kemukakan bahwa paling tidak ada dua ayat
20 Ibid. 21
Ibid. 22
Al-Qur’an, 13: 10.
(46)
37
dalam al-Qur’an yang sering diungkap dalam konteks perubahan sosial,
yaitu firman-Nya
23“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka” dan ayat yang kedua adalah ayat yang sedang ditafsirkan ini.
Kedua ayat di atas berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedangkan ayat kedua
yang menggunakan kata (ا ) ma>/ apa berbicara tentang perubahan apa
pun, yakni baik dari ni‟mat atau sesuatu yang positif menuju ke ni‟mat/
murka Ilahi atau sesuatu yang negatif, maupun sebaliknya dari negatif ke positif.24
Ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi menyangkut kedua ayat di atas.
Pertama, ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial,
bukan perubahan individu. Ini dipahami dari penggunaan kata ( ق)
qaum/ masyarakat pada kedua ayat tersebut. Selanjutnya dari sana
23
Al-Qur’an, 8: 53. 24
Ibid.
(47)
38
dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan moral tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari seseorang, yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat. Di sini ia bermula dari pribadi dan barakhir pada masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan itu “menular” kepada masyarakat luas, lalu sedikit demi sedikit “mewabah” kepada masyarakat luas.25
Kedua, penggunaan kata “qaum”, juga menunjukkan bahwa hukum ke-masyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslim atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan di mana pun mereka berada. Selanjutnya karena ayat karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti sunnatullah yang dibicarakan
ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan ukhrawi.
Pertanggungjawaban peribadi baru akan terjadi di akhirat kelak,26
berdasarkna firman-Nya:
27
Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.
Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua perilaku perubahan. Pelaku yang pertama adalah Allah swt, yang mengubah
25 Ibid. 26
Ibid. 27
Al-Qur’an, 19: 95.
(48)
39
nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami oleh suatu masyarakat, atau katakanlah sisi luar/ lahiriah masyarakat. Sedang perilaku kedua adalah manusia, dalam hal ini
masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau
dalam istilah kedua ayat di atas ( سفنأب ا ) ma> bi „anfusihim/ apa yang
terdapat dalam diri mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur
tangan Allah atau yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan ( قب ا ) ma>
bi qawmin menyangkut banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan atau kehinaan, persatuan atau perpecahan dan lain-lain yang berkaitan denan masyarakat secara umum, bukan secara individu. Sehingga bisa saja ada di antara anggotanya yang kaya, tetapi jika mayoritasnya miskin, maka
masyarakat tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian seterusnya.28
Keempat, kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang
dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa
perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh
saja terjadi perubahan penguasaan atau bahkan sistem, tetapi jika sisi
dalam masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, sekali lagi perlu ditegaskan
bahwa dalam pandangan al-Qur’an yang paling pokok guna
keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia,
28 Ibid.
(49)
40
karena sisi dalam manusialah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat serta corak aktivitas itulah yang
mewarnai keadaan masyarakat, apakah positif atau negatif.29
Sisi dalam manusia dinamai (سفن) nafs, bentuk jamaknya (سفنأ)
’an-nafs, bentuk jamaknya ( سج) jism yang dijamaknya ( سجأ) ’ajsam.
Sisi dalam, tidak selalu sama dengan sisi luar. Ini diketahui dan terlihat dengan jelas pada orang-orang munafik (baca QS. Al-Munafiqun (63):4.30
Jika kita diibaratkan nafs dengan sebuah wadah, maka nafs
adalah wadah besar yang di dalamnya ada kotak/ wadah berisikan
segala sesuatu yang disadari oleh manusia. Al-Qur’an menamai “kotak”
itu (ب ق) qalbu. Apa-apa yang telah dilupakan manusia namun sesekali
dapat muncul dan yang dinamai oleh ilmuwan “bawah sadar” juga
berada di dalam wadah nafs, tetapi di luar wilayah “kalbu”.31
Banyak hal yang dapat di tampung oleh nafs, namun dalam
konteks perubahan (pada nafs) penulis menggarisbawahi tiga hal
pokok.
Pertama, nilai-nilai yang dianut dan dihayati oleh masyarakat. Setiap nafs, mengandung nilai-nilai, baik positif maupun negatif paling
tidak nafs mengandung hawa nafsu yang mendorong manusia kepada
kebinasaan. Nilai-nilai yang mampu mengubah masyarakat harus
29 Ibid. 30
Ibid. 31
Ibid.
(50)
41
sedemikian jelas dan mantap. Tanpa kejelasan dan kemantapan ia tidak akan menghasilkan sesuatu pada sisi luar manusia, karena yang mengarahkan dan melahirkan aktivitas manusia, adalah nilai-nilai yang dianutnya. Dan nilai-nilai itulah yang memotivasi garak langkahnya,
dan yang melahirkan akhlak baik atau pun buruk.32
Apabila suatu masyarakat masih mempertahankan nilai-nilainya, maka perubahan sistem, apalagi sekadar perubahan penguasa tidak akan menghasilkan perubahan masyarakat. Di sisi lain, semakin luhur dan tinggi suatu nilai, semakin luhur dan tinggi pula yang dapat dicapai, sebaliknya semakin terbatas ia, semakin terbatas pula pencapaiannya. Sekularisme atau pandangan kekinian dan kedisinian, pencapaiannya sangat terbatas, sampai di sini dan kini saja, sehingga menjadikan penganutnya hanya memandang masa kini, dan pada gilirannya melahirkan budaya mumpung. Kekinian dan kedisinian juga menghasilkan kemandekan di samping menjadikan orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan dapat bertindak sewenang-wenang. Nilai yang diajarkan Islam adalah Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia sangat luhur lagi langgeng, sehingga perjuangan mencapai keluhuran tidak pernah akan mandek, apalagi Allah menjanjikan untuk menambah
anugerah-Nya untuk mereka yang telah mendapat anugerah.33
32 Ibid. 33
Hamka, Tafsir al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), Juz. 28, 30.
(51)
42
c. Tafsir al al Azhar
1) Surat al-Mujadalah ayat 11
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Sambungan ayat ini pun mengandung dua tafsir. Pertama jika seseorang di suruh melapangkan majlis, yang berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekalipun lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia berkecil hati. Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang berlapang dada itulah kelak yang akan diangkat Allah imannya dan ilmunya, sehingga derajatnya bertambah naik. Orang yang patut dan sudi memberikan
tempat kepada orang lain itulah yang akan bertambah ilmunya. Kedua,
memang ada orang yang diangkat Allah lebih tinggi daripada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya. Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut muka, pada wajah, pada sinar orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksana bahwa si fulan ini orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada mata. Iman dan ilmu membuat orang jadi mantap. Membuat orang jadi agung, walaupun tidak ada pengkat jabatan yang di sandangnya. Sebab cahaya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar. Ujung ayat ini ada patri ajaran ini. Pokok hidup utama adalah iman dan pokok pengiringnya adalah ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya terperosok
(52)
43
mengerjakan pekerjaan yang disangka menyembah Allah, padahal mendurhakai Allah. Sebaliknya orang yang berilmu saja tidak disertai atau yang tidak membawanya kepada iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi dirinya ataupun bagi sesama manusia. Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya, alangkah penting ilmu itu, itu kalau disertai iman. Karena dia akan membawa faedah yang besar bagi seluruh perikemanusiaan. Tetapi ilmu itu pun dapat dipergunakan orang untuk memusnahkan sesamanya manusia, karena jiwanya tidak dikontrol oleh
Iman kepada Allah.34
2) Surat al-Fathir ayat 39
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi.” Di
dalam al-Qur’an telah bertemu beberapa kali perkataan. Kata-kata
Khala>-if yang kita artikan khlKhala>-ifah-khalKhala>-ifah telah bertemu juga dalam Surat 10,
Yunus ayat 73, Surat al-An’am ayat 165, bertemu juga dalam Surat
Yunus sekali lagi pada ayat 14. Bertemu pula kata jama’ yang lain
dengan sebutan khulafa>‟ yang artinya hampir sama; bertemu dalam Surat
al-A’raf (Surat 7) ayat 69 dan 74.35
Bertemu pula sekali kata-kata khali>fah, pada Surat 2 al-Baqarah
ayat 30.
Asal arti khalifah ialah pengganti. Yang dalam ayat 30 Surat al-Baqarah disebut menjadi khalifah dari Allah. Niscaya tidak cocok kalau diartikan pengganti, karena tidak ada pengganti bagi Allah. Tentu
34 Ibid. 35
Ibid.
(53)
44
maksudnya di sini ialah, orang yang disuruh oleh Allah menjadi
pelaksana di muka bumi.36
Arti khala>-if yang kita maknanya khalifah-khalifah di sini,
bukanlah jadi khalifah-khalifah dari Allah, melainkan pengganti tugas dari umat yang telah terdahulu. Dalam bahasa modern kita sebut generation yang telah di pinjam dan dijadikan bahasa Indonesia zaman modern, yaitu generasi. Maka orang yang datang kemudian adalah pengganti daripada angkatan yang dahulu daripadanya, dan yang dahulu itu pun pengganti, penjawat pusaka daripada yang dahulu daripadanya. Demikianlah turun-temurun menggantikan tugas umat yang dahulunya. Ditilik kepada isi yang terkandung dalam kata, dalam ayat ini, nyatalah bahwa manusia yang datang di belakang wajib menerima dan meneruskan dan menyempurnakan apa yang ditingglkan oleh nenek-moyang yang telah terdahulu. Disusun orang sejarah, lalu perbuatan orang yang telah terdahulu dijadikan pedoman oleh orang yang datang kemudian. Sehingga orang yang sekarang adalah pengganti dari orang yang dahulu, dan akan meneruskan pula kepada orang yang datang di belakangnya. Masing-masing orang mesti mati, tetapi pusaka tidak boleh mati, melainkan diturunkan, dipusakakan dan diteruskan oleh yang
datang kemudian. 37
36 Ibid. 37
Ibid.
(54)
45
3) Surat ar-Rad ayat 11
Sesungguhnya Allah tidaklah akan mengubah apa yang ada pada satu kaum, sehingga mereka ubah apa yang ada pada diri mereka (sendiri). “inilah ayat yang terkenal tentang kekuatan dan akal budi yang dianugerahkan Allah kepada manusia sehingga manusia itu dapat bertindak sendiri dan mengendalikan dirinya sendiri di bawah naungan Allah. Dia berkuasa atas dirinya dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Sebab itu maka manusia itu pun wajiblah berusaha sendiri pula menentukan garis hidupnya, jangan hanya menyerah saja dengan tidak berikhtiar. Manusia di beri akal oleh Allah dan dia pandai sendiri mempertimbangkan dengan akalnya itu di antara yang buruk dengan yang baik. Manusia bukanlah semacam kapas yang diterbangkan angin. ke mana-mana, atau laksana batu yang terlempar di tepi jalan. Dia mempunyai akal, dan dia pun mempunyai tenaga buat mencapai yang lebih baik, dalam batas-batas yang ditenttukan oleh Allah. Kalau tidak demikian, niscaya tidaklah akan sampai manusia itu mendapat
kehormatan menjadi khalifah di bumi ini.38
38 Ibid.
(55)
46
d. Tafsir al-Maraghi
1) Surat al-Mujadalah ayat 11
Yarfa‟l „i-La>hu „l’ladzi>na „amanu>: Allah meningkatkan
kedudukan mereka pada hari kiamat39
Wa‟l-ladzi>na u>tu> „l-„ilma daraja>t: Dan Allah meningkatkan orang-orang yang berilmu di antara mereka, khususnya derajat-derajat
dalam kemuliaan dan ketinggian kedudukan.40
Apabila kalian melakukan yang demikian itu, maka Allah akan meninggalkan tempat-tempat kalian di dalam surga-surga-Nya, dan menjadikan kalian termasuk orang-orang yang berbakti tanpa
kekhawatiran dan kesedihan.41
Allah meninggikan orang-orang Mu’min dengan mengikuti
perintah-perintahnya dan perintahnya-perintah Rasul, khususnya orang-orang yang berilmu di antara mereka, derjat-derajat yang banyak dalam hal pahala dan tingkat-tingkat keridhaan.
Bahwa yang demikian merupakan peningkatan dan penambahan bagi kedekatannya disisi Tuhannya. Allah Ta’ala tidak akan menyia -nyiakan yang demikian itu, tetapi Dia akan membalasnya di dunia dan di
39
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu bakar (Bandung, CV Rosda, 1987), 23.
40 Ibid. 41
Ibid.
(1)
73
Pada ayat kedua, Allah melanjutkan dengan lafazh dengan
“wahadaynahun najdain” pada tabiatnya manusia terdapat dua potensi pada
dirinya untuk menempuh jalan yang mana saja dari kedua jalan itu.An-najd adalah jalan mendaki. Allah berkehendak memberinya kemampuan untuk menempuh jalan-jalan mana yang dikehendakinya. Diciptakan-Nya dengan pencampuran potensi-potensi ini untuk menerapkan hikmah Allah di dalam menciptakan. Juga dalam memberikan potensi kepada segala sesuatu yang diciptakan-Nya dan memudahkannya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya di alam semesta.
intelektual di beri kelebihan oleh Allah yaitu keimanan dan pengetahuan. Dengan kedua pemberian tersebut. Memberikan tanngungjawab kepada intelektual untuk mengamalkannya terhadap masyarakat, bangsa, dan Negara. Iman dan pengetahuan menghantarkan kepada jalan kebaikan. Kebaikan dapat merubahan pola pikir dan perilaku bangsa.
Para intelektual muslim haruslah mengutamakan kebaikan dari pada keburukan, kebaikan disini dimaksudkan untuk merubah moral bangsa ke arah yang lebih baik, karena para intelektual telah diberi ilmu hidayah oleh Allah maka hendaknya ia menyampaikan ilmu tersebut kepada bangsa.
(2)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan pemaparan yang telah diungkapkan pada bab terdahulu, mengenai peran intelektual terhadap membentuk moral bangsa dan tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Intelektual diharapkan lebih banyak melakukan studi, penelitian, analisis serta pembahasan-pembahasan mendalam, dan mengambil kesimpulan-kesimpulan penting dengan cara yang sistematis, seksama dan tinjauan yang komprehensif, sehinggga pemikiran-pemikirannya itu aplikasif dan merubah moral bangsa. Maka, intelektual di tuntut untuk menjalankan fungsinya sebagai khalifah selain di tuntut studi, penelitian, dll. Seorang intelektual muslim sebagai orang yang dapat merubah suatu bangsa menjadi bangsa yang baik dalam berperilaku/ moral.
2. Intelektual bertanggungjawab atas potensi dan keilmuan masyarakat. Mengajarkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang dimiliki. Menjadikan masyarakat yang bermoral dan berguna bagi bangsa dan Negara. B. Saran-saran
1. Setelah penulis melakukan penelitian terhadap tanggungjawab intelektual terhadap moral bangsa. Penulis mengakui masih banyak yang belum tercorver
(3)
75
dalam penafsiran tersebut, terutama masalah pemaknaan tanggungjawab intelektual terhadap ekonomi bangsa.
2. Karena kajian ini merupakan kajian yang sangat luas untuk di bahas. Oleh karena itu kajian ini lebih menarik jika di padukan dengan tanggungjawab intelektual terhadap ekonomi bangsa.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Amrullah, Abdul Karim, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
Benda, Julien. Pengkhianatan Kaum Cendekiawan, terj. Winarsih p. Arifin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Culla, Adi Suyadi, Masyarakat Madani, Pemikiran, Teori dan Relevansinya
dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta: Raja Grafindo, 2009.
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jakarta: Widya Cahaya, 2011. Fakih, Mansour, Jalan Lain: Manifestp Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
ASy-Syahid Quthb, Fi Zhilalil- Qur‟an. Terj. As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil.,Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan, 1995.
Katsir, Ibn. Tafsir al „Aẓ im. terj. Bahrum Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003.
Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke -20. Bandung: Mizan, 2007.
Margiono, Latifah, dan Anwar, J. 2004. Pendidikan Agama Islam, Penuntun
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Mustofa, al-Maraghi, Tafsir al Maraghi. Terj. Anshori Umar Sitanggal.Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1987.
(5)
Mutahir, Arizal. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan untuk
Melawan Domonisai. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001.
Quthb, ASy-Syahid, Fi Zhilalil- Qur‟an. Terj. As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Sardar, Zianuddin. Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains
islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Satria, Hariqo Wibawa. Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya. Jakarta: Penerbit Lingkaran, 1996.
Setya Dewata, Awan dkk. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1995.
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Ilmu Tafsir‟. Yogyakart: Teras, 2010.
Syariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim. (terj. Amin Rais). Jakarta: Srigunting, 2001.
Syariati, Ali. Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasam Islam, terj. Safiq Bashri dan Haidar Baqir. Bandung: Mizan. 1993.
Syariati, Ali. Membangun Masa Depan Islam “ Pesan untuk Para Intelektual
Muslim”. Bandung: Mizan. 1993.
Tim Editor Masika, Kebebasan Cendekiawan “Refleksi Kaum Muda”. Yogyakarta: Pustaka Republika, 1996.
W. Said, Edward. (ed Rin Hindryati P dan P. Hasudungan Sirait). Peran
Intelektual. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
(6)
Zaenuddin, Muhammad. Membangun Wacana Intelektual Perspektif Keagamaan,
Sosial-Kemasyarakatan dan politik. Batam: Yayasan Bina Adkiya, 2004.