Eksekusi mati terhadap orang murtad dalam perspektif hadis nabi dan deklarasi universal hak asasi manusia: studi komparasi.

(1)

EKSEKUSI MATI TERHADAP ORANG MURTAD DALAM

PERSPEKTIF HADIS NABI DAN DEKLARASI UNIVERSAL

HAK ASASI MANUSIA

(Studi Komparasi)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi SebagianSyarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi IlmuHadis

Oleh:

Aziz Miftahus Surur NIM. F02815167

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Aziz Miftahus Surur “Eksekusi Mati Terhadap Orang Murtad dalam

Perspektif Hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”. Program Studi Ilmu Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Pembimbing: Dr. H. Muhid, M.Ag.

Hukuman mati terhadap orang murtad yang terdapat dalam hadis Nabi kerap menjadi bahan perdebatan dikalangan umat Islam. Di satu sisi ada yang setuju dengan hukuman tersebut dengan alasan Islam benar-benar memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memilih Islam atau agama lain, jika ia telah memilih Islam, ia harus menjadi Muslim selama-lamanya. Pendapat ini ditentang oleh pendapat yang kontra dengan alasan hubungan antar manusia didasarkan pada prinsip saling menghormati, bukan saling meniadakan. Selain diatur dalam hadis Nabi, Hukuman mati dan murtad juga telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), namun beberapa pasal dalam deklarasi tersebut juga masih diperdebatkan, sehingga pada tahun 1990 negara-negara yang

tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan Cairo

Declaration of Human Rights in Islam.

Berangkat dari wacana tersebut di atas, penulis tertarik untuk membandingkan eksekusi mati terhadap orang murtad dalam pandangan hadis Nabi dan DUHAM yang telah disepakati pada tanggal 10 Desember 1948.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian

yang sumber datanya diambil dari benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiyah atau dokumen tertulis lainnya sebagai sumber utama. Metode penelitian

ini bersifat deskriptif, komparatif, content analysis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hadis yang mengintruksikan eksekusi mati orang murtad hanya dispesifikkan terhadap orang murtad yang benar-benar memusuhi, memerangi, serta berusaha menyebar fitnah yang dapat mengancam stabilitas keamanan umat Islam. Sedangkan DUHAM sejak awal tidak memberlakukan hukuman mati terhadap pelaku murtad. DUHAM memberikan hak kebebasan dalam beragama, termasuk kebebasan berganti agama. Selain itu, dalam HAM juga menyatakan bahwa eksekusi mati dianggap sebagai hukuman yang paling kejam dan tidak manusiawi karena hukum tersebut menyangkut hidup matinya seseorang.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 15

C. Rumusan Masalah ... 16

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Manfaat Penelitian ... 17

F. Kerangka Teoritik ... 17

G. Penelitian Terdahulu ... 26

H. Metode Penelitan ... 28

I. Sistematika Pembahasan ... 32

BAB II : MURTAD DAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKUNYA A. Pengertian Murtad ... 34

B. Pembagian Orang Murtad ... 37

C. Syarat-syarat Hukuman Mati Bagi Orang Murtad ... 42

D. Pendapat Ulama tentang Eksekusi Mati Orang Murtad ... 53


(8)

BAB III : HUKUMAN MATI ORANG MURTAD MENURUT HADIS NABI DAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA

A. Eksekusi Mati Orang Murtad dalam Pandangan Hadis Nabi ... 67

1. Hadis-hadis tentang Ancaman Eksekusi Mati bagi Pelaku Murtad ... 67

2. Kritik Hadis ... 71

3. Asba>b al-Wuru>d al-H}adi>th ... 80

4. Perdebatan Ulama dalam Memahami Hadis Hukuman Mati terhadap Orang Murtad ... 84

B. Eksekusi Mati Orang Murtad dalam Pandangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) ... 86

1. Konsepsi HAM dalam Deklarasi Universal HAM ... 86

2. Pandangan HAM tentang Hukuman Mati Orang Murtad ... 91

3. Pro Kontra Hukuman Mati atas Nama Agama dan HAM ... 94

4. Dampak Penerapan Hukuman Mati bagi Orang Murtad di Indonesia ... 98

BAB IV : KOMPARASI TENTANG EKSEKUSI MATI ORANG MURTAD DALAM PERSPEKTIF HADIS DAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA A. Eksekusi Mati bagi Orang Murtad dalam Pandangan Hadis Nabi ... 105

B. Eksekusi Mati bagi Orang Murtad dalam Pandangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ... 128

C. Persamaan dan Perbedaan Hukuman Mati bagi Orang Murtad Menurut Hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). ... 140

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 148


(9)

BAB I

EKSEKUSI MATI TERHADAP ORANG MURTAD DALAM

PERSPEKTIF HADIS NABI DAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang rah}mah li al-‘a>lami>n (rahmat bagi seluruh

alam), agama yang mengajarkan kepada kedamaian, persatuan dan kesejahteraan. Rasulullah saw sebagai Rasul yang berlaku lemah lembut kepada setiap insan tidak membedakan antara kaya maupun miskin, tua maupun muda selalu mendapatkan perlakuan yang sama dan istimewa dari Rasulullah saw. Allah berfirman dalam kitabnya:

















Tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi

semesta alam.1

Imam al-T}abari> berpendapat bahwasanya rahmat di sini tidak hanya

diperuntukkan orang mukmin saja, akan tetapi orang kafir pun juga memperoleh rahmat dari Allah swt. Adapun rahmat bagi orang mukmin adalah Allah telah menunjukkan hidayah baginya, dan telah memasukkan keimanan dan amal sebagai bekal untuk masuk ke surga. Adapun bagi orang kafir, azab mereka tidak disegerakan sebagaimana umat-umat terdahulu sebelum di utusnya Nabi


(10)

2

Muhammad saw.2 Ini merupakan salah satu karakteristik dam keistimewaan umat

Nabi saw dibandingkan dengan umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi saw, keistimewaan ini tentu tidak terlepas dari semangat perjuangan serta kecintaan Nabi saw terhadap umatnya.

Ayat di atas diperkuat dengan hadis s}ah}i>h} yang menegaskan bahwa rah}mah

li al-‘a>lami>n telah menjadi karakteristik Nabi Muhammad saw dalam menyampaikan dakwahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Muslim dalam kitab s}ah}i>h-nya:

ََاَق َرَمُع َِِأ ُنْباَو ٍدابَع ُنْب ُدمَُُ اََ ثدَح

دَح

ََ ث

ُناَوْرَم ا

َ ي

يِراَزَفْلا ِناَيِْع

َناَسْيَك ُنْبا َوَُو َديِزَي ْنَع

َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ٍمِزاَح َِِأ ْنَع

وُسَر ََ َليِق َلاَق

ا َل

َِ

ىَلَع ُعْدا

ِإ َلاَق َِْكِرْشُمْلا

ًَاعَل ْثَعْ بُأ َْل ِ ِ

ًةََْْر ُتْثِعُب اََِإَو

Telah menceritakan kepada kami Muh}ammad bin ‘Abba>d dan Ibn Abu>

‘Umar keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Marwa>n yaitu

al-Faza>ri dari Yazi>d yaitu Ibn Kaisa>n dari Abu> H}a>zim dari Abu> Hurairah

dia berkata; “Seseorang pernah berkata;Ya Rasulallah, do'akanlah untuk

orang-orang Musyrik agar mereka celaka! Mendengar itu, Rasulullah saw. menjawab: Sesungguhnya aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, tetapi

aku diutus sebagai rahmat.”3

Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan: Allah telah berfirman:















































































Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan uli> al-amr di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

2Muha}mmad bin Jari>r al-T}abari>, Tafsi>r al-T}abari> (Mesir: Da>r al-Sala>m, 2012), 5785. 3Muslim ibn H{ajja>j, S}ah}i>h} Muslim (Stuttgart: Jam‘iyyatu al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000), 1102.


(11)

3

kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya.4

Allah swt memerintahkan taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Ia mengulang kata kerjanya untuk menunjukkan bahwa taat kepada Rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah taat kepada Alquran. Bahkan bila Rasul saw memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati secara mutlak, baik perintahnya tersebut terdapat dalam Alquran atau pun tidak. Karena ia diberi al-kitab dan semisalnya bersamanya. Namun Allah swt tidak memerintahkan taat

kepada u>li al-amr secara mandiri, justru dengan membuang kata kerjanya dan

menjadikan perintah taat kepada mereka dalam koridor perintah taat kepada Rasul saw. Keterangan ini menunjukkan bahwa mereka ditaati karena perintah taat kepada Rasul. Maka barang siapa di antara mereka yang memerintahkan taat kepada Rasul, maka ia harus ditaati. Dan barang siapa di antara mereka yang memerintahkan menyimpang dari apa yang dibawa oleh Rasul saw, maka tidak

perlu didengar dan ditaati.5 Untuk mengetahui semua ajaran Rasul, baik yang

berupa perintah ataupun larangan, secara keseluruhan terdapat dalam hadis Nabi saw yang sudah menjadi kesepakatau umat Islam sebagai sumber utama dalam ajaran Islam setelah Alquran.

Hadis Nabi, seperti yang diungkapkan oleh Syuhudi Ismail, merupakan salah satu sumber agama Islam di samping Alquran. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan Alquran. Untuk Alquran, semua periwayatan

ayat-ayatnya berlangsung secara mutawa>tir, sedang untuk hadis Nabi, sebagian

periwayatannya berlangsung secara mutawa>tir dan ah}ad. Karenanya, Alquran

4 Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, 88.


(12)

4

dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qat}’iy al-wuru>d,

dan sebagian lagi, bahkan yang terbanyak berkedudukan sebagai z}anni al-wuru>d.

Dengan demikian, dilihat dari segi periwayatannya, seluruh Alquran tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedang hadis Nabi, dalam hal ini

yang kategorikan ah}ad diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan

diketahui, apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertangggungjawabkan

periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak.6 Jika telah diadakan penelitian

dan terbukti hadis tersebut berasal dari Nabi saw, maka hadis tersebut dapat

dijadikan sebagai h}ujjah.

Nabi saw selain sebagai pemberi penjelas Alquran, ia juga sebagai panutan bagi umat Islam, semua bisa diketahui melalui ucapan, perbuatan dan perjalanan sejarahnya, saat ia berada di rumah atau di luar, di tempat kediaman atau saat dalam bepergian, di waktu terjaga maupun tidur, dalam kehidupannya pribadi dan masyarakat, hubungannya dengan Allah atau pun mausia, bersama sanak keluarga yang dekat maupun jauh, bersama kawan dan lawan, dalam masa damai maupun

perang, dan dalam keadaan sejahtera atau ketika cobaan.7 Ditinjau dari cakupan

pembahasannya, hadis membahas berbagai problematika dan persoalan dalam kehidupan manusia, semua permasalahan yang dianggap remeh hingga yang dianggap rumit semuanya terdapat dalam hadis Nabi saw.

Pada ranah praktis, dalam perjalanan umat Islam, hadis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka di samping karena secara teologis untuk memahami Islam dengan benar harus berdasar hadis-hadis Nabi juga telah terjadi

6 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), 3.

7Yu>suf al-Qard}a>wi>,


(13)

5

tradisi yang menguat akar di kalangan umat muslim sebagaimana terlihat dalam ritual peribadatan ataupun aktifitas keseharian mereka yang diwarnai oleh ajaran

dalam hadis-hadis Nabi itu.8 Yu>suf al-Qard}awi> juga mengatakan barang siapa

yang ingin mendalami dan mengetahui tentang metodologi karakteristik dan pokok-pokok ajaran Islam, maka itu semua bisa dipelajari secara rinci dalam sunnah nabawiyah, yaitu ucapan dan perbuatan serta persetujuan Nabi saw.9

Dengan diutusnya Rasul saw, tentu menjadi suatu anugurah besar bagi umat Islam. Segala persoalan agama, politik maupun sosial, semuanya telah diatur oleh Nabi saw.

Tuduhan media masa Barat mengenai radikalisme yang bersumber dari ajaran agama, terutama Islam, sudah tidak asing lagi, kalangan orientalisnya juga ikut memperkuat tuduhan melalui sejarah dinamika Islam, yang menurut konklusinya, bahwa Islam itu dibesarkan melalui radikalisme. Radikalisme-radikalisme telah ditempatkan sebagai bukti-bukti yang berhasil mengantarkan Islam menjadi agama popular dan menjajah. Islam yang begitu dikenal dunia menurut mereka adalah berkat jasa-jasa kaum radikalnya yang berani melakukan intervensi, aneksasi dan pembantaian terhadap manusia yang menolak beragama

Islam.10 Jika menengok sejarah perkembangan umat Islam, semua tuduhan yang

dilontarkan media Barat terhadap umat Islam tidaklah mempunyai dasar yang kuat serta tidak bisa dibuktikan secara ilmiyah. Pendapat mereka jauh dari prinsip ajaran Islam.

8 Idri, Metodologi Kritik Hadis; Kajian Epistimologis tentang Kritik Hadis-Hadis Bermasalah

(Surabaya: PMN, 2011), 2.

9Yu>suf al-Qard}a>wi>, Kaifa Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah, 23.

10 Abdul Wahid, Islam dan Idealitas Manusia; Dilema Anak, Buruh dan Wanita Modern


(14)

6

Selain itu, dewasa ini banyak sekali oknum-oknum yang berusaha untuk menghancurkan Islam. tidak seperti zaman dahulu, peperangan hanya dilakukan dengan pedang, tetapi zaman sekarang lebih dahsyat lagi, yaitu dengan menimbulkan benih-benih keraguan kedalam setiap Muslim. Baik dalam hal

aqidah maupun syari’ah. Salah satu yang menjadi sasaran empuk adalah hadis membunuh orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam). Dengan hadis tersebut musuh-musuh Islam berusaha untuk menjadikan kesan bahwa Islam adalah agama yang anarkis, sehingga menjadikan orang-orang Islam sebagai musuh bersama. Dengan begitu, Islam akan sulit berkembang dan diterima baik di belahan bumi Timur maupun Barat.

Berikut adalah salah satu hadis s}ahi>h} yang diriwayatkan oleh Imam

al-Bukha>ri> terkait hukuman mati terhadap orang murtad (berpindah agama dari Islam):

َع ُناَيْفُس اََ ثدَح َِا ِدْبَع ُنْب يِلَع اََ ثدَح

َأ ْن

َبوي

ِرْكِع ْنَع

َر اًيِلَع نَأ َةَم

اًمْوَ ق َقرَح ُهَْع َُا َيِض

ِ رَحُأ َْل َََأ ُتُْك ْوَل َلاَقَ ف ٍسابَع َنْبا َغَلَ بَ ف

ُهْ ق

َِل ْم

ِِ لا ن

َُا ىلَص

ْيَلَع

اوُبِ ذَعُ ت ََ َلاَق َملَسَو ِه

لَص ِِ لا َلاَق اَمَك ْمُهُ تْلَ تَقَلَو َِا ِباَذَعِب

ا ى

َُ

َو ِهْيَلَع

ِد َلدَب ْنَم َملَس

ُوُلُ تْ قاَف ُهَي

Telah bercerita kepada kami ‘Ali> bin ‘Abdullah telah bercerita kepada kami

Sufya>n dari Ayyu>b dari ‘Ikrimah bahwa ‘Ali> ra membakar suatu kaum lalu

berita itu sampai kepada Ibn ‘Abba>s maka dia berkata: “Seandainya aku

ada, tentu aku tidak akan membakar mereka karena Nabi saw telah

bersabda: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api)”. Dan aku hanya akan membunuh mereka sebagaimana Nabi saw telah

bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhah dia”.11

Jika kita perhatikan, hadis tersebut di atas hanya menyebutkan seorang murtad harus dihukum mati, tidak menjelaskan secara rinci terkait latar belakang

11Abi> ‘Abdillah Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-S}ah}ih (Stuttgart: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000), 584.


(15)

7

serta dalam konteks apa Nabi saw bersabda. Hadis ini yang dijadikan musuh-musuh Islam sebagai senjata untuk menyerang ideologi serta menimbulkan benih-benih keraguan terhadap umat Islam. Selain itu, mereka ingin memberikan kesan bahwa Islam adalah agama yang intoleran, anarkis, memaksa, dan tidak memberikan jaminan kebebasan beragama. Ketika seorang yang tidak mendalami kajian hadis dihadapkan pada permasalahan di atas, tentu hal itu dapat menimbulkan benih-benih keraguan terhadap umat Islam.

Jika hadis tentang perintah membunuh orang murtad dikomparasikan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tentu hadis tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah memberikan kebebasan dalam berfikir, berkeyakinan dan beragama. Namun demikian, ada beberapa persamaan dan perbedaan antara hadis membunuh orang murtad dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah disepakati sejak tanggal 10 desember 1948 pada dasarnya telah memberikan jaminan hak hidup, hak berfikir, dan hak berkeyakinan, serta memberikan kebebasan dalam beragama, temasuk di kebebasan untuk berpindah agama.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human

Rights) diumumkan sebagai suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara, hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat pengajaran pendidikan serta lewat langkah-langkah progresif secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan dan kepatuhan yang bersifat universal


(16)

8

dan efektif terhadapnnya.12 Tujuan sejumlah besar partisipasi Deklarasi adalah

untuk menampilkan hak-hak dalam sistem hukum domestik maupun

internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak umum (legal rights)

melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral

rights).13 Hak-hak tersebut telah melekat pada diri setiap manusia, karena merupakan fitrah pada diri setiap manusia.

Dari 30 pasal yang termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terdapat pasal yang menyebutkan hak untuk hidup dan hak dalam beragama,

sebagaimana yang dikutip dalam pasal 3 “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi”.14 Pasal 18 “Setiap orang berhak atas

kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum

maupun secara pribadi.15 Dua pasal tersebut yang secara tegas menjamin

kebebasan hidup dan kebebasan dalam beragama.

Hak setiap individu pada dasarnya menjadi sesuatu yang tertinggi nilainya dalam kehidupan umat manusia di muka bumi, yang paling dihormati. Prinsip paham iniah yang kemudian melahirkan paham individualism (paham yang sangat mendewakan individu) yang sebagai konsekuensinya, dalam bidang kehidupan

12 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia; Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia, terj. Titis Eddy Arini (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 3.

13 Ibid., 6.

14 Mujaid Kumkelo, dkk, Fiqh HAM: Ortodoks dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam

(Malang: Setara Press), 172.


(17)

9

politik dan ekonomi, telah melahirkan paham liberalism dan kapitalisme. Setiap

anggota masyarakat dibenarkan untuk melakukan persaingan sebebas-bebasnya (free fight competition), siapa yang kuat dialah yang akan menang.16 Demikian jika salah dalam mengartikan HAM sebagai kebebasan individu secara mutlak.

Permasalahan belum akan berakhir, bila paham tentang HAM tersebut dijadikan dasar seluruh tatanan kehidupan umat manusia. Bila tiap-tiap pihak menjadikan hak sebagai dasar perjuangannya yang merupakan tuntutan yang wajib dipenuhi oleh pihak lainnya (baik individu atau masyarakat), maka yang akan terjadi adalah konflik-konflik yang tidak akan pernah berakhir. Atau ringkasnya, perlombaan menuntut hak oleh setiap individu dalam masyarakat

akan melahirkan konflik tanpa akhir.17 Tentu ini tidak sesuai dengan prinsip dasar

HAM.

Berbicara mengenai prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM internasional, maka akan terkait degan prinsip-prinsip umum hukum internasional (general principles of law) yang juga merupakan salah satu sumber hukum

internasional yang utama (primer), di samping perjanjian internasional (treaty),

hukum kebiasaan internasional (customary international law), yurisprudensi dan

doktrin. Agar suatu prinsip dapat dikategorikan sebagai prinsip-prinsip umum hukum Internasional, maka diperlukan dua hal, yaitu adanya penerimaan (acceptance) dan pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional. Dengan demikian, prinsip-prinsip HAM yang telah memenuhi kedua syarat tersebut memiliki kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum. Pada kenyataannya, hal

16 Ibid. 17 Ibid., 38.


(18)

10

itu kemudian dielaborasi ke dalam berbagai instrument hukum HAM

internasional, misalnya perjanjian internasional.18

Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bangsa Indonesia sudah sejak awal mendukung HAM, dan secara eksplisit disebutkan dalam UUD1945, yang notabene dirumuskan tiga tahun sebelum Deklarasi HAM pada 1948. Hanya saja pelaksanaan HAM ini mengalami pasang surut sejalan dengan sistem pemerintahan dan demokrasi yang diterapkan. Pada masa demokrasi parlementer (1945-1959), penghormatan HAM cukup baik, sementara pada masa demokrasi terpimpim atau orde lama (1959-1966) dan masa orde baru (1966-1998), penghormatan HAM mengalami banyak hambatan. Namun pada era reformasi (1998-sekarang), komitmen penghormatan HAM

sangat kuat, meski kadang-kadang juga muncul persolan pelanggara HAM.19

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia.20 Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lainnya

18 Mujaid Kumkelo, dkk, Fiqh HAM., 35.

19 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2011), 14.

20 Undang-undang RI No 39 Tahun 1999 dan PPRI Tahun 2010 Tentang Hak Asasi Manusia


(19)

11

mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.21

Dalam UUD 1945 telah tertulis jelas pada pasal 28A tentang hak asasi

manusia yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.22 Dalam pasal 28D ayat 1 juga dijelaskan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.23 Dan begitu juga dalam pasal 28I ayat 1 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan fikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun.24

Bukan hanya UUD 1945 yang menjamin hak asasi manusia, sebab hak-hak asasi manusia lebih dirinci dengan munculnya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM), di mana dalam undang-undang tersebut dalam pasal 4 yang

menjelaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapapun”.25 Kemudian

21 Ibid., 2.

22 Panduan Pemasyarakatan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Ketetapan MPR RI, Cet. 12 (Jakarta: Sektretariat Jenderal MPR RI, 2013), 176.

23 Ibid., 176. 24 Ibid., 178.


(20)

12

dalam pasal 9 ayat (1) bahwa “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan

hidup dan meningkatkan taraf kehidupan.”26 Pasal 22 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.27 Pasal 33 ayat (2) bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.”28 Pasal 35 bahwa “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan

kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang merhormat, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia

sebagaiana diatur dalam undang-undang ini”.29

Tentang hak asasi manusia (HAM) sudah merupakan “universal wisdom” atau kearifan universal yang diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah lembaga dunia yang menghimpun seluruh negara-negara merdeka jauh sebelum munculnya fenomena kebangkitan agama-agama. Ada sejumlah negara yang masih menyimpan rasa keberatan untuk menerima substansi HAM secara penuh dan utuh. termasuk sebagian masyarakat Indonesia. Karena itu walaupun pemerintah Republik Indonesia telah menerima Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia namun kebebesan beragama masih belum bisa dinikmati sepenuhnya oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama kalangan minoritas atau mereka yang menganut paham yang dianggap sesat oleh kalangan arus besar mayoritas. Masih ada pihak yang lain masih ada ganjalan, terutama bagi kalangan umat Islam, untuk menerima keseluruhan dan keutuhan isi Demokrasi Universal

26 Ibid., 6. 27 Ibid., 10. 28 Ibid., 12. 29 Ibid., 13.


(21)

13

tersebut. Sebab kebebasan beragama dalam arti yang penuh dan utuh mencakup kebebasan memilih agama, kebebasan pindah agama, kebebasan mengikuti sekte atau aliran agama dan bahkan kebebasan perspektif HAM adalah kebebasan yang penuh dan utuh. Sebab kebebasan yang disertai persyaratan bukan lagi kebebasan. Satu-satunya persyaratan yang bisa diterima adalah bahwa kebebasan itu tidak

boleh melanggar kebebasan orang lain.30

Dalam sejarah teori politik, demokrasi berasal dari ide-ide hak asasi

manusia, dan hak asasi manusia berasal dari hak-hak alamiah (natural right).

Hak-hak alamiah ini dirumuskan berdasarkan kebutuhan dasar manusia (human basic

needs). Hak-hak alamiah ini sering dikaitkan dengan konsep tentang hukum alam, sebagaimana diperkenalkan oleh John Locke (1632-1705). H.J.M. Milne dalam

bukunya, Human Right and Human Diversity mendefinisikan hak-hak asasi

manusia sebagai “Gagasan adalah hak-hak tertentu yang apakah diakui atau tidak, menjadi milik seluruh umat manusia sepanjang waktu dan disemua tempat. Ini adalah hak-hak yang mereka miliki hanya dalam sifat menjadi manusia, terlepas dari kebagsaan, agama, jenis kelamin, status sosial, jabatan, kekayaan, atau

perbedaan karakteristik etnis, kultur atau sosial lainnya.31

Debat pro dan kontra tentang adanya lembaga hukuman mati telah lama berlangsung. Dan rasanya, debat itu tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun. Pandangan yang kontra menganggap, bahwa hukuman mati tidak manusiawi, dan bukan merupakan hukuman yang akan memperbaiki tingkah laku seseorang. Bagi kalangan yang pro, tentu saja alasan-alasan itu tidak dapat diterima. Mereka

30 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beagama (Yogyakarta: Institut DIAN/Interdidei),

85.


(22)

14

berpendapat bahwa anggapan tidak manusiawi itu jangan dilihat dari sudut kepentingan seorang yang harus dihukum saja. Tetapi juga harus dilihat dari sudut kepentingan si korban dan para anggota keluarganya, bahkan juga kepentingan

masyarakat secara luas.32 Perdebatan hukuman mati ini terus berlangsung meski

dalam HAM telah menghapus hukuman mati.

Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai hukuman eksekusi mati terhadap orang murtad, meski hukuman itu telah diatur dalam hukum Islam namun bukan berarti bagi sebagian orang bisa menerima hukuman itu begitu saja, sebab banyak yang beranggapan bahwa eksekusi mati terhadap orang murtad sangatlah bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 18 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.33 Sedangkan

eksekusi mati terhadap orang murtad dinilai telah melanggar undang-undang HAM tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud membahas secara mendalam mengenai masalah tersebut dalam sebuah tesis dengan judul

EKSEKUSI MATI TERHADAP ORANG MURTAD DALAM

PERSPEKTIF HADIS NABI DAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI

MANUSIA”.

32 Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan,. 112.

33


(23)

15

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dengan mencermati latar belakang di atas dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang timbul, di antaranya adalah:

1. Eksekusi mati bagi orang murtad dalam perspektif hadis Nabi.

2. Eksekusi mati bagi orang murtad dalam perspektif Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (DUHAM).

3. Persamaan dan perbedaan tentang hukuman mati bagi orang murtad menurut

hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

4. Latar belakang sejarah hukuman mati terhadap orang murtad dikalangan umat

Islam.

5. Hakikat murtad dalam Alquran

6. Eksekusi mati bagi orang murtad dalam perspektif fuqaha>’

7. Konsep murtad dalam pemikiran hukum Islam

8. Pandangan Islam Liberal terhadap orang yang murtad.

Dari masalah-masalah yang teridentifikasi tersebut, perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam tesis ini dapat lebih dispesifikasikan mengenai bagaimana eksekusi mati terhadap orang murtad dalam perspektif hadis Nabi dan hak asasi manusia (HAM). Batasan masalah tersebut adalah:

1. Eksekusi mati bagi orang murtad dalam perspektif hadis Nabi.

2. Eksekusi mati bagi orang murtad dalam perspektif Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (DUHAM).

3. Persamaan dan perbedaan tentang hukuman mati bagi orang murtad menurut


(24)

16

C. Rumusan Masalah

Dengan mencermati penjelasan yang telah disebutkan dalam latar belakang di atas, tentu diperlukan rumusan masalah yang bisa menjelaskan permasalahan apa saja sebenarnya yang hendak dikaji sesuai rencana. Adapun rumusan masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perspektif hadis Nabi terhadap eksekusi mati bagi orang murtad?

2. Bagaimana perspektif Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terhadap

hukuman mati orang murtad?

3. Apa persamaan dan perbedaan tentang hukuman mati bagi orang murtad

menurut hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan bagaimana perspektif hadis Nabi terhadap eksekusi mati bagi

orang murtad.

2. Menjelaskan bagaimana perspektif Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

terhadap hukuman mati orang murtad.

3. Menjelaskan persamaan dan perbedaan tentang hukuman mati bagi orang


(25)

17

E. Manfaat Penelitian

Selanjutnya penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat, antara lain sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu

tambahan ilmu pengetahuan mengenai hukuman mati terhadap orang murtad dalam perspektif hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

2. Secara praktis, memberikan suatu gambaran apabila hukuman mati terhadap

orang murtad diterapkan di Indonesia dengan melihat beberapa segi, terutama dilihat dari peraturan di Indonesia yang berasaskan UUD 1945 sebagai aturan dasar negara.

3. Mampu menjelaskan persamaan dan perbedaan hukuman mati terhadap orang

murtad dalam perspektif hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

F. Kerangka Teoritik

Untuk mengkaji hadis terkait hukuman mati terhadap orang murtad, langkah pertama kali yang digunaka penulis adalah melakukan pemahaman hadis serta menjelaskan dan mengkomparasikannya dengan ayat-ayat Alquran, hadis-hadis

yang lain dan pendapat para ulama. Setelah itu penulis melakukan kritik sanad,

matan dan asba>b al-wuru>d dari hadis yang dimaksud. Selanjutnya hadis tersebut

dikomparasikan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Menurut al-‘Azady, Riddah secara etimologis adalah ئيشلا نع عوجرلا, yaitu


(26)

18

لوحتلا, yakni berubah.34 Sedangakan pengertian secara terminologis, mengutip dari

pendapat Qulyu>by> yaitu memutuskan keislaman dengan niat kafir, atau perkataan

kekafiran atau perbuatan, baik itu untuk mengolok-olok, melawan, ataupun secara

kepercayaan.35

Seseorang dikatakan murtad apabila keluar dari agama Islam dan berpindah kepada kekafiran. Seperti orang yang tidak mempercayai adanya Allah, tidak percaya atau durhaka kepada Rasulallah. Menghalalkan sesuatu yang haram

secara ijma>’ seperti zina, meminum khamr, dan berbuat z}alim. Atau

mengharamkan yang halal, seperti jual beli, nikah. Atau menafikan perkara-perkara yang wajib, seperti meniadakan salah satu shalat fardhu, mewajibkan puasa shawal, niat menjadi kafir. Atau melakukakan perbuat kekafiran dengan

meletakkan Mush}af atau hadis Nabi ditempat kotor, sujud kepada berhala dan

matahari.36 Sehingga untuk mengetahui kemurtadan seseorang selain dengan

mendengar pengakuan langsung dari pelaku, hal itu juga bisa dilihat dari beberapa prilakunya.

Ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menghukum mati orang murtad. Hal ini sebagaimana dalam hadis yang diriwatkan Imam al-Bukha>ri>:

34 Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q, Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah (Riya>d}: Da>r al-‘Ulu>m, 1983), 19.

35 Ibid., 37.

36Akram Rid}a> Mursi>,al-Riddah wa al-H}urriyah al-Diniyyah (Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’, 2016),


(27)

19

ِإ اََ ثدَح ٍلَبْ َح ِنْب ِدمَُُ ُنْب ُدََْْأ اََ ثدَح

َْس

ُليِع

ْب

ِاَرْ بِإ ُن

ويَأ َََرَ بْخَأ َمي

اًيِلَع نَأ َةَمِرْكِع ْنَع ُب

َرْحَأ م ََسلا ِهْيَلَع

ِم ََْسِْْا ْنَع اودَتْرا اًسََ َق

َ ف

َغَلَ ب

َنْبا َكِلَذ

َْل َلاَقَ ف ٍسابَع

ِرا لِِ ْمُهَ قِرْحُِل ْنُكَأ

َلاَق َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا َلوُسَر نِإ

ََ

ُ ت

ِ ذَع

اَذَعِب اوُب

اَق ُتُْكَو َِا ِب

َِا ِلوُسَر ِلْوَقِب ْمُهَلِت

لَص َِا َلوُسَر نِإَف َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص

ا ى

َُ

َو ِهْيَلَع

دَب ْنَم َلاَق َملَس

َكِلَذ َغَلَ بَ ف ُوُلُ تْ قاَف ُهَيِد َل

ٍسابَع ِنْبا َحْيَو َلاَقَ ف م ََسلا ِهْيَلَع اًيِلَع

Telah bercerita kepada kami ‘Ali> bin ‘Abdullah telah bercerita kepada kami

Sufya>n dari Ayyu>b dari ‘Ikrimah bahwa ‘Ali> ra membakar suatu kaum lalu

berita itu sampai kepada Ibn ‘Abba>s maka dia berkata: Seandainya aku ada,

tentu aku tidak akan membakar mereka karena Nabi saw telah bersabda:

“Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api)”. Dan aku

hanya akan membunuh mereka sebagaimana Nabi saw telah bersabda:

“Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhah dia”.37

Dalam Sah}i>h} Muslim juga disebutkan,yaitu dalam kitab qasa>mah wa

al-muh}a>ribi>n wa al-qis}a>s} wa al-diya>t,bab ma> yuba>h}u bih dam al-muslim:

ُصْفَح اََ ثدَح َةَبْ يَش َِِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اََ ثدَح

ْب

ُن

ِغ

ٍثاَي

َعُم وُبَأَو

َيِوا

ْنَع ٌعيِكَوَو َة

ْنَع ِشَمْعَْلا

َِا ِدْبَع ْنَع ٍقوُرْسَم ْنَع َةرُم ِنْب َِا ِدْبَع

اَق

اَق َل

ا ُلوُسَر َل

َع َُا ىلَص َِ

ُمَد لََِ ََ َملَسَو ِهْيَل

ِ َِأَو َُا َِإ َهَلِإ ََ ْنَأ ُدَهْشَي ٍمِلْسُم ٍئِرْما

َر

ُلوُس

َِا

َِإ

ا ٍث َََث ىَدْحِِِ

ُسْف لاَو ِِازلا ُبِ ي ثل

ِةَعاَمَجْلِل ُقِراَفُمْلا ِهِيِدِل ُكِراتلاَو ِسْف لِِ

Telah menceritakan kepada kami Abu> Bakr bin Abi> Syaibah telah

menceritakan kepada kami Hafs} bin Ghiya>th dan Abu Mu’awiyah dan

Waki>’ dari al-A’mash dari ‘Abdullah bin Murrah dari Masru>q dari

‘Abdullah dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal darah seorang

muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali satu dari tiga orang berikut ini; seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang keluar dari agamanya, memisahkan diri dari Jama'ah

(murtad).”38

Mengutip dari pendapat Wahbah al-Zuh}aili>, seorang yang murtad tidak

dihukum mati kecuali jika ia sudah baligh, berakal, enggan bertaubat dan

37Abi> 'Abdillah Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h, 584.

38Muslim bin al-H}ajja>j, Sah}i>h Muslim,

Jilid. 2 (Stuttgart: Jam’iyyah al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000), 726.


(28)

20

kemurtadannya sudah ditetapkan dengan pengakuan atau dengan adanya saksi. Para ulama juga sudah sepakat bahwa seorang yang murtad harus dikenai hukuman mati, begitu juga dengan perempuan murtad menurut mayoritas ulama

selain ulama H}anafiyah. Keterangan ini berdasarkan pada hadis Nabi yang

menceritakan Ummu Marwan yang telah murtad dari Islam, kemudian berita itu sampai kepada Nabi saw dan Naabi pun memintanya untuk bertaubat, jika ia

bertaubat maka taubatnya diterima, jika tidak maka ia dibunuh. Kejadian ini

diceritakan dalam hadis Mu’a>dh:

امأ :هل لاق ،نميلا َإ هلسرا ام ملسو هيلع ه ىلص ِ لا نأ

ر

ا لج

نع دتر

داف مَسْا

،هع

مأو ،هق ع برضاف َإو ،داع نإف

،اهعداف مَسْا نع تدترا ةأرما ا

و ،تداع نإف

إَ

اهق ع برضاف

.

Sesungguhnya Rasulullah saw ketika mengutusnya ke Yaman, beliau

berpesan “jika ada seorang laki-laki yang murtad dari Islam, maka ajaklah ia

untuk kembali kepada Islam, jika ia kembali maka biarkan, namun jika menolak maka bunuhlah. Dan jika ada seorang perempuan yang murtad dari Islam maka ajaklah ia ia untuk kembai, jika ia kembali maka biarkan,

namun jika menolak maka bunuhlah.39

Ulama H}anafiyah mengatakan bahwa seorang perempuan yang murtad tidak

dikenai hukuman mati, tetapi ia harus dipaksa untuk kembali kepada Islam, ada kalanya ia dipenjara hingga ia kembali kepada Islam atau dipenjara seumur hidup, hukuman ini dikenakan karena ia telah melakukan kejahatan yang sangat berat. Setiap tiga hari sekali ia dipukul dengan tujuan memaksanya kembali kepada Islam. Adapun dalil yang dijadikan dasar pendapat mereka ini adalah sabda

Rasulullah saw “la> taqtulu> imra’ah (janganlah kamu membunuh perempuan).”

Dalam hadis sah}i>h} yang lain Nabi juga melarang membunuh perempuan yang


(29)

21

murtad. Karena dilihat dari tujuan eksekusi mati yaitu untuk mencegah bahaya peperangan bukan karena sebab kekafiran. sehingga hukumannya lebih berat dari pada membunuh, maka hukuman mati hanya dikhususkan bagi orang murtad yang memiliki kemampuan berperang, yaitu orang laki-laki bukan perempuan, karena

perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam berperang.40 Namun apabila

terdapat perempuan yang terbukti mempunyai kemampuan dalam berperang dan ikut serta bergabung dengan tentara kafir serta dianggap membahayakan stabilitas keamanan umat Islam, maka hukum membunuhnya adalah diperbolehkan.

Seseorang yang dengan terpaksa secara terang-terangan mengatakan murtad atau kafir, maka ia tidak keluar dari agamanya selama keimanan masih tertancap dalam hatinya. Akan tetapi seorang muslim yang melapangkan hatinya untuk berpindah agama, maka baginya azab yang sangat pedih di akhirat. Keterangan ini sesuai firman Allah dalam kitabnya:









































Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah

menimpanya dan baginya azab yang besar.41

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan, seseorang bisa dinyatakan murtad apabila secara terang-terangan ia keluar dari agama Islam dan berpindah

kepada agama non Islam. Ulama fiqh sepakat bahwa pelaku murtad harus dikenai

40 Ibid., 187.


(30)

22

hukuman mati, menurut mereka murtad merupakan suatu kejahatan yang paling besar. Ketentuan hukuman mati ini menurut jumhur berlaku bagi laki-laki atau pun perempuan, sedangkan ulama Hanafiyah hanya mengkhususkan kaum laki-laki. Seseorang yang dengan terpaksa melafalkan kalimat murtad atau kafir maka ia tidak dikategorikan sebagai orang murtad selama hatinya masih dalam keadaan iman.

Ketentuan di antara para ahli hukum Islam bahwa tindak pidana murtad diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang. Tentunya pengkajian

permasalahan itu tidak terlepas dari kajian ilmu asba>b al-wuru>d al-h}adith. Asba>b

al-wuru>d al-h}adith adalah ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya

hadis. Beberapa manfaat dan faedah mengetahui kajian ilmu asba>b wuru>d

al-h}adith ialah:

1. Untuk menolong memaham dan menafsirkan hadis. Sebab sebagaimana

diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu

merupakan sarana untuk mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkannya.

Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadis secara tepat tanpa mengetahui sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang. Nabi bersabda, berbuat atau mengakui perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan beliau. Ia merupakan sarana yang kuat untuk memahami dan menafsirkan hadis.

2. Sebagaimana diketahui bahwa lafaz} nas} itu kadang-kadang dilukis dalam

kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk mengambil isinya memerlukan


(31)

23

lahirnya nas} itu, maka takhsi>s yang menggunakan selain sebab, harus

disingkirkan. Sebab memasukkan takhsi>s yang berbentuk sebab ini adalah

qat}’iy, sedang mengeluarkan takhsi>ssebab adalah terlarang secara ijma>’.

3. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan shariat (hukum).

4. Untuk mengkhususkan hukum, bagi orang yang berpedomann kaidah us}u>l

al-fiqh “al-‘ibrah bikhusu>s al-sabab” (mengambil suatu ibarat itu hendaknya

berdasarkan pada lafadz yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).42

Ketika kita meneliti tentang hadis Nabi yang menganjurkan hukuman mati terhadap orang yang murtad (mengganti agamanya), dengan menggunakan kajian

ilmu asba>b al-wuru>d al-h}adith, kita dapat mengetahui dan menyimpulkan bahwa

pernyataan Nabi terkait hukuman mati bagi orang murtad terjadi pada musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam berjiwa munafik melakukan tindakan desersi (penghianatan negara), maka orang yang melakukan desersi diperintahkan untuk dibunuh. Itupun diawali dengan upaya untuk menyadarkan pelaku agar ia

kembali kepada Islam.43 Sehingga Nabi saw tidak serta merta membunuh orang

murtad kecuali kemurtadannya diiringi dengan peperangan, permusuhan serta fitnah yang dapat mengancam dan merugikan umat Islam.

Pada awal kekhali>fahan Abu> bakar, hal yang menjadi perhatian sang

khali>fah adalah memerangi orang-orang yang murtad. Namun perlu diketahui,

bahwa perang tersebut adalah perang melawan kaum murtad yang

membangkang dan mengancam stabilitas dan keamanan negara. Diantaranya adalah Musailamah al-Kadhdha>b yang telah mempersiapkan empat puluh ribu

42 Fathchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits (Bandung: Alma’arif: 1974), 326.


(32)

24

prajurit untuk memerangi kaum muslimin. Bahkan sebagian dari mereka,seperti

suku ‘Abba>s dan Dhibyan yang menyerang terlebih dahulu.44 Sehingga murtad

bukan satu-satuny alasan seseorang dikenai hukuman mati.

Pilihan dan hak orang Islam untuk keluar atau pun memilih agama selain dari Islam tidak menjadi persoalan jika seseorang itu telah memeluk Islam atau pun dia lahir dari keluarga yang beragama Islam. Ini karena apabila dia menjadi seseorang yang beragama Islam, dia telah berjanji, bersumpah dengan nama Tuhan dan Rasul-Nya bahwa dia akan mematuhi seluruh ajaran Islam serta ada larangan yang keras untuk keluar dari Islam. Jika orang tersebut keluar dari Islam berarti mengingkari janjinya. Sebagaimana dalam kehidupan manusia, jika ada

orang mengingkari janji maka dianggap khianat, apalagi janji dengan Tuhan.45

Meskipun keduanya merupakan bentuk pengkhianatan, namun pengkhianatan terhadap Tuhan hukumanya lebih berat.

Pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah disepakati pada tanggal 10 Desember 1948 yaitu pasal 18 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di

muka umum maupun secara pribadi.46 Kebebasan merupakan dasar Hak Asasi

Manusia yang tidak dapat dicabut maupun dirubah. Setiap orang diberi hak

44 M. Robith Fuadi Abdullah, “Meninjau Hukuman Mati Bagi Murtad: Kajian Hadis Tematik”, de

Jure, Vol. 4, No. 1 (t.th), 32.

45 Ibid.


(33)

25

kebebasan yang sama baik dalam berfikir, berkeyakinan atau pun beragama serta kebebasan berpindah agama.

Materi kebebasan beragama dalam pasal 18 Deklarasi Universal dapat diurai sebagai berikut:

1. Kebebasan menyatakan agama dan kebebasan

2. Kebebasan cara mengajarkan

3. Kebebasan melakukan ajaran agama, mencakup:

a. Beribadah

b. Menepatinya

4. Mengejarkan, melakukannya, beribadah dan menepatinya, dapat dilakukan:

a. Sendiri atau bersama-sama dengan orang lain

b. Di tempat umum atau tersendri.47

Hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Kebebasan ini menurut pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bukan hanya meliputi kebebasaan berganti agama atau keyakinan, tetapi juga kebebasan untuk menyatakan dengan jelas agama atau keyakinannya, baik secara perorangan atau bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannya sendiri untuk mengajarkan, menerapkan, beribadah dan

pengabdian pada pemerintah dan peraturan-peraturan agamanya.48 Sehingga tidak

ada ancaman atau pun hukuman dalam hal menyatakan berpindah agama, hal tersebut merupakan hak setiap individu secara mutlak.

47 Moh Zahid, Agama dan Hak Asasi Manusia dalam Kasus di Indonesia (Jakarta: Balai Penelitian

dan Penembangan Agama, 2007), 15.


(34)

26

G. Penelitian terdahulu

Sejauh pegetahuan penulis, ada beberapa karya ilmiyah yang mengkaji permasalahan murtad. Di bawah ini penulis akan memaparkan beberapa kajian yang telah diteliti oleh peneliti lain yang nantinya untuk dijadikan sandaran teori dan sebagai perbandingan dalam mengupas berbagai permasalahan ini. Diantaranya penulis paparkan sebagai berikut:

1. Ah}ka>m al-Murtad fi al-Isla>m, Tesis ‘Abdullah H}alim tahun1982, Jurusan al-Fiqh wa Us}ulih, Fakultas al-Shari’ah wa al-Dira>sat al-Isla>miyyah Universitas Umm al-Qura> Makkah al-Mukarramah.49 Penelitian ini hanya memfokuskan pada konsekuensi dan hukuman yang pantas bagi orang yang murtad.

2. Pemikiran Islam Liberal Tentang Tindak Pidana Murtad; skripsi Yusuf

Mahdani, tahun 2008, Jurusan Kepidanaan Islam, Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.50 Penelitian ini

hanya memfokuskan pemikiran Islam Liberal terhadap murtad.

3. Studi Pemikiran Jamal al-Banna Tentang Konsep Murtad dalam Pidana Islam;

Skripsi Cahyono tahun 2015, Jurusan Siyasah Jinayah, Fakultas Syari’ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.51 Penelitian skripsi ini

hanya memfokuskan solusi yang ditawarkan Jamal al-Banna terkait hukuman bagi orang murtad.

49 ‘Abdullah H}alim, Ah}ka>m al-Murtad fi al-Isla>m (Tesis- Univ. Umm Qura> Makkah

al-Mukarramah, 1982).

50 Yusuf Mahdani, Pemikiran Islam Liberal Tentang Tindak Pidana Murtad (Skripsi- UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2008).

51 Cahyono, Studi Pemikiran Jamal al-Banna Tentang Konsep Murtad dalam Pidana Islam


(35)

27

4. Gerakan Riddah di Madinah Masa Khalifah Abu Bakr; Skripsi Bambang

Hadiyanto tahun 2014, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab

dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.52

Penelitian skripsi ini hanya memfokuskan peristiwa riddah dilihat dari kondisi

Islam pada masa khalifah Abu Bakr al-Siddi>q.

5. Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo;

Skripsi Bahrul Haq al-Amin tahun 2009, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas

ushuluddin dan Filsarat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.53

Penelitian skripsi ini hanya memfokuskan konsep kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo.

6. Kontekstualisasi hukum Murtad dalam Perspektif Sejarah Sosial Hadis; karya

ilmiyah Ja’far Assagaf. Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol.

14, No. 1, Juni 2014.54 Tulisan ini memaparkan akar permasalahan hukuman

mati terhadap orang murtad melalui konteks dan historis tentang hadis-hadis terkait dengan tindakan dan hukuman bagi pelaku murtad di masa Nabi saw.

Meskipun karya di atas berkaitan dengan objek kajian yang sama, akan tetapi penelitian ini memiliki perhatian yang berbeda dengan penelitian di atas, bahwa penelitian ini lebih menitik beratkan pada sisi pemahaman hadis tentang hukuman mati orang murtad dan kemudian di komparasikan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

52 Bambang Hadiyanto, Gerakan Riddah di Madinah Masa Khalifah Abu Bakr, (Skripsi- UIN

Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

53 Bahrul Haq al-Amin, Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam

Raahardjo (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009).

54 Ja’far Assagaf, “Kontekstualisasi hukum Murtad dalam Perspektif Sejarah Sosial Hadis”. Jurnal


(36)

28

H. Metode Penelitian

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model kualitatif untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang hukuman mati terhadap orang murtad dalam pandangan hadis dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

2. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian non-empirik yang menggunakan

metode library research (penelitian kepustakaan). Oleh karena itu,

sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis, baik dari literatur bahasa Arab, Inggris maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian.

3. Sumber Data

Suber-sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain yaitu:

a. Sumber-sumber yang bersifat primer

1. S}ah}i<h al-Bukha>ri>, karya Abu> Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>’i>l al -Bukhari>

2. Sunan Abi> Da>wud, karya Abu> Da>wud al-Sijista>ni 3. Sunan Tirmidhi>,karya Muh}ammad bin ‘Isa> al-Tirmidhi> 4. Sunan al-Nasa>’i>,karya Ah}mad bin Shuai>b al-Nasa>’i 5. Sunan Ibn Ma>jah,karya Ibn Ma>jah al-Quzwaini>

6. Musnad Ah}madkarya Ah}mad bin H}anbal


(37)

29

8. Hak Asasi Manusia; Refleksi Filosofis atas Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia karya James W. Nickel

b. Sedangkan sumber-suber yang bersifat sekunder:

1. Fath} al-Ba>ri>,karya Ibn H}jar al-’Asqala>ni> 2. Sharh s}ah}i>h Muslim karya al-Nawawi

3. ‘Aun al-Ma’bu>d ‘ala Sunan Abi> Da>wu>d, karyaMuhammad Ashra>f bin Ami>r al-’Adhi>m A>badi>

4. Tuh}fah al-Ahwadhikarya Muba>rakfu>ri

5. Subul al-Sala>m Sharh} Bulu>gh al-Mara>m karya Ibn H}ajr al-‘Asqa>lani’

6. Hak Asasi Manusia karya Scott Davidson

7. Undang-undang Dasar 1945

8. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

c. Sumber terier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan primer dan sekunder, antara lain:

1. Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>’ah al-Isla>miyah karya Nu’ma>n Abd al-Razza>q al-Samirriy.

2. Al-Riddah wa al-H}urriyah al-Di>niyahkarya Akram Ridha> Mursi>. 3. Al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuh karya Wahbah al-Zuh}aili>

4. Al-Fiqh al-Sunnah karya Sayyid al-Sa>biq

5. Al-Isla>m ’Aqidah wa Shari>’ahkarya Mah}mu>d Shaltu>t

6. Al-Tashr>i’ al-Jina>’i al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nun al-Wad’i karya ‘Abd Qadir Audah.


(38)

30

8. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia karya Todung Mulya Lubis

9. Fiqh HAM; Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Isam

karya Mujaid Kumkelo, dkk.

10. Agama dan Hak Asasi Manusia dalam Kasus di Indonesia karya Moh.

Zahid.

4. Metode Pengumpula Data

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode literasi. Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiyah atau dokumen tertulis lainnya.

5. Analisis Data

metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Metode deskriptif , yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok

manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar

fenomena yang diselidiki.55 Dalam penelitian ini, penulis berusaha

mengumpulkan teks-teks hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Hadis-hadis yang telah ditemukan selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan mukharij dan kemudian dicari asba>>b al-wuru>d-nya. Setelah melalui proses


(39)

31

analisis, penulis akan mengambil kesimpulan maksud dari beberapa hadis tersebut.

b. Metode komparatif, yaitu sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari

jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat. Dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu.

Metode penelitian komparataif bersifat ex post facto. Artinya, data

dikumpulkan setelah semua kejadian yang dikumpulkan telah selesai berlangsung. Peneliti dapat melihat akibat dari suatu fenomena dan menguji

hubungan sebab akibat dari data-data yang tersedia.56 Data yang sudah

penulis kumpulkan, baik dari hadis Nabi, Deklarasi Universal Hak asasi Manusia, serta data-data lain yang berkaitan dengan hukuman mati terhadap orang murtad, penulis mencoba untuk mengkomparasikan dan kemudian

mengambil nati>jah atau kesimpulan dari pemahamaham hukuman eksekusi

mati dari sudut pandang hadis dan hak asasi manusia.

c. Analisis isi (conten analysis), yaitu penelitian yang bersifat pembahasan

mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Dalam bukunya, penulis mengutip dari Klaus Kripendorff bahwa analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi

yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan

konteksnya.57 Dalam kitab Kaifa Nata’a>mal ma’a al-Sunnah Yusuf

Qardhawi mengatakan; Diantara cara-cara yang baik untuk memahami hadis

Nabi ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang

56 Ibid., 46.

57 Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Pustaka setia,


(40)

32

melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu

‘illat (alasan) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau

disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang

menyertainya.58

I. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih mempermudah secara utuh isi tesis ini, maka disusun konsep sistematika bahasan sebagai berikut:

Bab pertama, sebagai pendahuluan yang meliputi latar bekang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan pembahasan tentang murtad dan hukuman mati bagi

pelakunya, bab ini terdiri atas 5 (lima) sub-bab, yaitu; Pertama, Pengertian murtad

yang ditinjau dari perspektif bahasa dan istilah. Kedua, Pembagian orang Murtad.

Ketiga, Syarat-syarat hukuman mati orang murtad. Keempat, Pendapat para ulama

tentang eksekusi mati orang murtad. Kelima, Pengertian Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia.

Bab ketiga membahas tentang hukuman mati orang murtad menurut hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pembahasan pada eksekusi mati terhadap orang murtad dalam pandangan hadis Nabi meliputi; Pertama, Hadis-hadis tentang ancaman eksekusi mati bagi pelaku murtad. Kedua,

Kritik hadis, yang mencakup kritik sanad dan matan. Ketiga,Asba>b wuru>d


(41)

33

h}adi>th. Keempat, Perdebatan ulama dalam memahami hadis eksekusi mati terhadap orang murtad. Sedang pembahasan seputar eksekusi mati terhadap orang murtad dalam pandangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),

meliputi; Pertama, Konsepsi HAM dalam Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia. Kedua, Pandangan HAM tentang hukuman mati orang murtad. Ketiga,

pro kontra hukuman mati atas nama agama dan HAM. Keempat, Dampak

penerapan hukuman mati terhadap orang murtad di Indonesia.

Bab keempat membahas tentang komparasi tentang eksekusi mati orang murtad dalam perspektif hadis dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Bab

ini terdiri atas 3 (tiga) sub-bab, yaitu; Pertama, Eksekusi mati bagi orang murtad

dalam pandangan hadis Nabi. Kedua, Eksekusi mati bagi orang murtad dalam

pandangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ketiga, Persamaan dan

perbedaan hukuman mati bagi orang murtad menurut hadis Nabi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Bab kelima adalah penutup. Bab ini membahas kesimpulan dari penelitian ini dan diakhiri dengan saran-saran.


(42)

BAB II

MURTAD DAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKUNYA

A.Pengertian Murtad

Al-Riddah secara etimologis mempunyai beberapa makna, menurut Ibn

Manz}ur dalam kitab Lisa>n al-‘Arabmemberi makna riddahلوحتلا, yakni berubah.1

Menurut al-‘Azady, Riddah adalah ئيشلا نع عوجرلا, yaitu kembali dari sesuatu.2

Sedangkan menurut Wahbah Zuh}aili> riddah adalah ْغ َإ ئيشلا نع عوجرلا, yaitu

kembali dari suatu kondisi kepada kondisi yang lain.3

Sedangakan pengertian riddah secara terminologis para ulama

mendefinisikannya sebagai berikut:

1. Menurut Imam ‘Ala>’ al-Di>n Abi> Bakr ibn Mas’u>d al-Ka>sa>ni al-H}anaf>i>:

نامْا دوجو دعب ناسللا ىلع رفكلا ةملك ءارجا ةدرلا

Riddah adalah mengucapkan kalimat kufur setelah beriman.4

2. al-Samarqandi> dari H}anafiyyah:

نامْا نع عوجرلا ةرابع ةدرلا

Riddah adalah istilah yang digunakan untuk kembali (berpaling) dari

keimanan.5

1Abi> al-Fad}l Jama>luddi>n Muh}ammad ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab (Bairut: Da>r S}a>dir, 2008), 133. 2Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q, Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah (Riya>d}: Da>r al-‘Ulu>m,

1983), 19.

3 Wahbah Zuhaili>, Fiqh alIsla>mi> wa Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1984), 183.

4 ‘Ala>’ al-Di>n Abi> Bakr ibn Mas’u>d al-Ka>sa>ni>, Bada>l al-S}ana>i’ fi> Tarti>b al-Shara>i’, Jilid 7(Bairut:

Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1986), 134.

5Wiza>rah al-Awqa>f Kuwaitiyyah, Mausu> ’ah Kuwaitiyyah

, Jilid 22 (Kuwait: Wiza>ratu al-Auqa>f


(43)

35

3. Al-Qarra>fi:

َسْا عطق نع ةرابع ةدرلا

فلكما نم م

Riddah adalah istilah yang digunakan untuk terputusnya Islam dari seorang

mukallaf.6

4. ‘Ali>sh al-Ma>liki> dan Ah}mad al-Dardi>r:

ه مضتي لعفبوأ هيضتقي ظفلوأ حيرص لوقب ملسما رفك ةدرلا

Riddah adalah kafirnya seorang Muslim dengan perkataan yang s}ari>h} atau

dengan lafaz} yang menunjukkan hal tersebut atau kekafiran yang

mengandung kekafiran.7

5. Pendapat Qulyu>biy dari Sha>fi’iyyah:

عف وأ رفك لوق وأ رفك ةي ب مَسْا عطق ي ةدرلا

وأ ادا عوأ ءازهتسْا هلاق ءاوس ل

اداقتعا

memutuskan keislaman dengan niat kafir, atau perkataan kekafiran atau perbuatan, baik itu untuk mengolok-olok, melawan, ataupun secara

kepercayaan.8

Dari beberapa pengetian di atas, menurut Nu’man Abd al-Razza>q definisi

yang ja>mi’ ma>ni’ adalah yang diberikan oleh Qulyu>biy dari Sha>fi’iyyah. Oleh karenanya, seseorang dikatakan murtad karena empat sebab:

a. Murtad dalam aqidah. Para ulama besepakat bahwa barang siapa yang

mempersekutukan Allah swt, mengingkarinya, menolak salah satu sifat yang tetap dari sifatnya, atau menganggap Allah swt mempunyai anak, maka dihukumi kafir. Begitu juga seseorang yang mengatakan bahwasanya alam itu

6 Ibid.

7 Nu‘ma>n ‘Abdurrazza>q, Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah (Riya>d}: Da>r al-‘Ulu>m,

1983), 37, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ah}mad al-Dardi>r, Al-Sharh} al-S}aghi>r ‘Ala aqrab al

-Masa>lik ila Maz}hab al- Ima>m Ma>lik, Juz IV (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), 431.


(44)

36

kekal, tidak mempercayai Alquran sebagian atau keseluruhan, tidak mempercayai sebagian risalah yang telah disampaikan Nabi, maka kesemuanyanya itu dikategorikan sebagai orang murtad.

b. Murtad dalam perkataan. Yaitu dengan menghina Allah swt dan rasul-Nya. Hal

ini sesuai firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 65:

































Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan

itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah

bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan

Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”9

Seseorang dapat menjadi kafir apabila ia mengatakan bahwa Allah bukanlah Tuhan, Allah tidak Esa, Allah memiliki tandingan, pasangan, dan anak, malaikat dan Nabi itu tidak ada, Alquran berisi kebohongan, hari kiamat tidak pernah terjadi, syahadat itu dusta, syariat Islam tidak untuk mengatur kehidupan manusia, tidak perlu diterapakan disetiap situasi dan kondisi dan

permasalahan, shariat bukanlah hukum yang tetap, sebagian atau semuanya

menyesuaikan dengan keadaan dan zaman tertentu, syariat tidak bisa diterapan sekarang, menurutnya hukum positif yang dibuat manusia lebih baik dan lebih

bisa diterima.10 Sehingga semua perkataan yang mengandung unsur

merendahkan atau menistakan syariat dan aqidah Islam termasuk dalam koridor murtad dalam perkataan.

9 Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya (Bandung: al-Juma@>natul ‘Ali>@, 2004), 198. 10 ‘Abd al-Qadir Audah, al-Tashr>i’ al-Jina>’i al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nun al-Wad’i, Jilid 2


(1)

149

3. Persamaan dan Perbedaan Hukuman Mati bagi Orang Murtad Menurut Hadis Nabi dan HAM

a. Persamaan hukuman bagi orang murtad menurut hadis Nabi dan HAM 1) Keduanya mempersoalkan murtad (berpindah agama)

2) Mempunyai maksud dan tujuan yang sama

3) Aturan diberlakukan saat negara sedang tidak stabil 4) Bersifat universal

b. Perbedaan bagi orang murtad menurut hadis Nabi dan HAM

1) Ancaman hukuman mati terhadap orang murtad hanya terdapat pada hadis Nabi saw

2) Hadis sejak awal telah memberlakukan hukuman mati, sedangkan HAM tidak.

3) Intruksi hukuman mati terhadap orang murtad bersumber pada hadis Nabi, sedang yang menjadi sumber utama HAM adalah deklarasi universal hak asasi manusia.

4) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memberikan hak kebebasan beragama, sedangkan hadis tidak.


(2)

150

B.Saran

Berdasarkan uraian tentang eksekusi mati terhadap orang murtad dalam deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM), maka diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan terhadap para pelajar dan mahasiswa. Penulis sadar bahwa hasil akhir dari penelitian ini belum sempurna, dan masih banyak sekali kekurangan. Hal ini karena keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis. Penulis mengharapkan penelitian ini dapat dilanjutka dan dikaji ulang yang lebih mendalam, teliti dan kritis.


(3)

151

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Abdullah, M. Robith Fuadi. “Meninjau Hukuman Mati Bagi Murtad: Kajian Hadis Tematik”, de Jure, Vol. 4, No. 1, Juli, 2012.

‘Abdurrazza>q, Nu‘ma>n. Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah. Riya>d}: Da>r al-‘Ulu>m, 1983.

Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka setia, 2012.

Amin (al), Bahrul Haq. Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Raahardjo. Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.

Asnawi, Habib Shulton. “Hak Asasi Manusia Islam dan Barat: Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati”, Supremasi Hukum, Vol. 1, No. 1, Juni 2012, 29.

‘Asqala>ni (al), Ibn H}ajar. Fath} al-Ba>ri. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989. Assegaf, Ja’far. “Kontekstualisasi hukum Murtad dalam Perspektif Sejarah Sosial

Hadis”. Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 14, No. 1, Juni 2014.

Audah, ‘Abd al-Qadir. Tashr>i’ Jina>’i Isla>mi> Muqa>ranan bi Qa>nun al-Wad’i. Bairut: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, t.th.

Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Basuki, Singgih. “Kebebasan Beragama dalam Masyarakat, Studi Tentang Pindah Agama dan Konsekuensinya Menurut Pemikir Muslim Kontemporer”, Religi, VOl. IX, No. 1 (Januari 2013).

Bukha>ri (al), Abi> ‘Abdillah Muh}ammad bin Isma>’il. al-Ja>mi’ al-S}ah}ih. Stuttgart: Jam’iyyah al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000.

Cahyono. Studi Pemikiran Jamal al-Banna Tentang Konsep Murtad dalam Pidana Islam. Skripsi- UIN Walisongo, Semarang, 2015.

Dahlan, Abd. Rahman. “Murtad; Antara Hukuman Mati dan Kebebasan Beragama”, Miqot, Vol. XXXII, No. 2, Juli-Desember 2008.

Dardi>r (al), Ah}mad bin Muh}ammad bin Ah}mad, Al-Sharh} al-S}aghi>r ‘Ala aqrab al-Masa>lik ila Maz}hab al- Ima>m Ma>lik. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, t.th.

Departemen Agama. Alquran dan Terjemahnya. Bandung: al-Juma@>natul ‘Ali>, 2004.

Effendi, Djohan. Pluralisme dan Kebebasan Beragama. Yogyakarta: Institut DIAN/Interdidei, 2013.


(4)

152

Faisol, M, dkk. Pemikiran Islam Kontemporer; Sebuah Catatan Ensiklopedia. Surabaya: Pustaka Idea, 2012.

Habibi, Royyan, dkk. Ijtihad Politik Islam Nusantara. Kediri: Lirboyo Press, 2015.

Hadiyanto, Bambang. Gerakan Riddah di Madinah Masa Khalifah Abu Bakr. Skripsi- UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014.

H{ajja>j, Muslim ibn. S}ah}i>h} Muslim. Stuttgart: Jam’iyyah al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000.

H}alim, ‘Abdullah. Ah}ka>m al-Murtad fi al-Isla>m. Tesis- Univ. Umm al-Qura>

Makkah al-Mukarramah, 1982.

Hamzah, A. Hamzah. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

H{anbal, Ah}mad bin. Musnad Ah{mad. Tah}qi>q: Shu‘aib Arna’u>t}.Bairut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1999.

Hasan, Muhammad Tholchah. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press, 2000.

Idri. Metodologi Kritik Hadis; Kajian Epistimologis tentang Kritik Hadis-Hadis Bermasalah. Surabaya: PMN, 2011.

Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2016.

Irfan, M. Nurul, Musyarafah, Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Jazi>ri> (al), ‘Abd. Al-Rah}man. al-Fiqh ‘ala Madha>hib al-Arba’ah. Bairut: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003.

Kasa>ni> (al), ‘Ala>’ al-Di>n Abi> Bakr ibn Mas’u>d. Bada>l S}ana>i’ fi> Tarti>b al-Shara>i’. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986.

Khan (al), Mus}tafa Sa’i>d. Badi>’ Sayyid al-Lah}am. al-‘I>d}ah} fi> ‘Ulum>m al-H}adi>th wa al-Ist}ila>h (Bairut: Da>r al-Kalim al-T}ayyib, 2004), 29.

Khat}i>b (al), Muh}ammad ‘Ajja>j. Us}u>l al-H}adi>th . Damaskus: Da>>r al-Fikr, 1971. Kumkelo, Mujaid, dkk. Fiqh HAM: Ortodoks dan Liberalisme Hak Asasi

Manusia dalam Islam. Malang: Setara Press, 2015.

Lubis, Todung Mulya. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015.

Mardjono, Hatono. Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1997.

Mahdani, Yusuf. Pemikiran Islam Liberal Tentang Tindak Pidana Murtad. Skripsi- UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.

Manz}ur, Abi> al-Fad}l Jama>luddi>n Muh}ammad ibn. Lisa>n al-‘Arab. Bairut: Da>r S}a>dir, 2008.


(5)

153

Munajat, Makrus. Rekonstruksi Hukum Pidana Islam. Sleman: Logung Pustaka, 2004.

Mursi>, Akram Rid}a>. Riddah wa H}urriyah Diniyyah. Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’, 2016.

Nasa> ’i (al), Abi> Abd al-Rah}mani>, Sunan Nasa>’i. Stuttgart: Jam‘iyyatu al-Maknaz alIsla>mi>, 2000.

Nasoha, Ahmam Muhammad Mustain. “Eksistensi Penerapan Hukuman Mati di Indonesia, al-ahkam, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni, 2016.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2014.

Nawawi> (al), Muh}y al-Di>n Abi> Zakariyya> Yah}ya bin Sharf. Minha>j al-T}a>libi>n wa ‘Umdah al-Mufti>n(Bairut: Da>r al-Minha>j, 2005.

Sharh} S}ah}i>h} Muslim,. Kairo: Da>r al-H}adi>th.

Nickel, James W. Hak Asasi Manusia; Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q. Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah. Riya>d}: Da>r al-‘Ulu>m, 1983.

Nukhbah Min ‘Ulama>’. H}aqa>iq al-Islam fi> Muwa>jahah Shubha>t al-Mushakkiki>n. Kairo: Majlis al-A’la li al-Shu`u>n al-Isla>mi>, 2012.

Ma>jah, Abu> ‘Abdullah ibn. Sunan ibn Ma>jah. Stuttgart: Jam‘iyyatu al-Maknaz alIsla>mi>, 2000.

Marzuki, Asfar. “Penegakan Syariat Islam dalam Perspektif HAM Internasional dan Konstitusi, Masyarakat dan Budaya, Vol. 8, No. 1, 2016.

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993.Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Maududi, Abu al-A’la. Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. terj. Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Bumi Aksara, 2014.

Mizzi> (al), Jama>l al-Di>n Abi> al-H}ajja>j. Tahdhi>b al-Kama>l fi> Asma>‘ al-Rija>l. Bairut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1980.

Mohammad, “Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-undangan, Yustitia, Vol. 12, No. 1, Nop 2011.

Muladi. Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan. Semarang: Universitas Diponegoro, 1997.

Panduan Pemasyarakatan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI (Jakarta: Sektretarian Jenderal MPR RI, 2013), 176.


(6)

154

Prakoso, Djoko., Nurwachid. Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Qard}a>wi> (al), Yu>suf. Kaifa Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Mans}u>rah: Da>r al-Wafa>’, 1992.

Qulyu>bi> (al), wa ‘Umairah, H}asiyata>ni ‘ala Minhaj T}alibi>n. Mesir: Mustafa al-B>ab al-H}alibi>, 1956.

Rahman, Fathchur. Ikhtisar Mustalahul Hadits. Bandung: Alma’arif: 1974.

Razza>q (al), Nu‘ma>n ‘Abd. Ah}ka>m al-Murtad fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah. Riya>d}: Da>r al-‘Ulu>m, 1983.

Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kairo: Da>r al-H}adith, 2004.

Shaltu>th, Mah}mud. al-Islam ‘Aqi>dah wa Shar’i>yah. Kairo: Da>r al-Suru>q, 2001. Shihab, Alwi. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung:

Mizan, 1997.

Sijista>ni> (al), Abu> Da>wud Sulaiman bin al-’Ash’a>s. Sunan Abi> Da>wud. Stuttgart: Jam‘iyyatu al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000), 726.

Smith, Abdur Rahman ibn Smith, “Rekonstruksi Makna Murtad dan Implikasi Hukumnya, al-ahkam, Vol. 22, No. 22, Oktober, 2012.

T{abra>ni (al), Abi> al-Qa>sim Sulaiman bin A}h}mad. al-Mu‘jam al-Ausat}. Kairo: Da>r al-Haramain, 1995.

T}abari>, Muha}mmad bin Jari>r. Tafsi>r al-T}abari>. Mesir: Da>r al-Sala>m, 2012.

Taimiyyah, Ah}mad ibn Abd al-H}ali>m ibn Abd al-Sala>m ibn. al-S}arim al-Maslu>l ‘ala> Shatim al-Rasul. Dammam: Zama>di>, 1997.

Tirmi>d}i> (al)Abu>> ‘Isa> Muh}ammad bin Thaurah. Sunan al-Tirmi>dhi>. Stuttgart: Jam’iyyatu al-Maknaz al-Isla>mi>, 2000.

Undang-undang RI No 39 Tahun 1999 dan PPRI Tahun 2010 Tentang Hak Asasi Manusia. Bandung: Citra Umbara, 2015.

Wahid, Abdul. Islam dan Idealitas Manusia; Dilema Anak, Buruh dan Wanita Modern. Yogyakarta: Sipress, 1997.

Wensink. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>dhi al-H}adi>th. Leiden: Bril, 1936.

Wiza>rah al-Awqa>f Kuwaitiyyah, Mausu> ’ah Kuwaitiyyah, Jilid 22. Kuwait: Wiza>ratu al-Auqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah.

Zuha}ili> (al), Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1984.

Zahid, Moh. Agama dan Hak Asasi Manusia dalam Kasus di Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian dan Penembangan Agama, 2007.