7.BAB 2 - Evaluasi Kinerja Tahun Lalu PART 1

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Evaluasi hasil pelaksanaan RKPD tahun lalu merupakan proses penilaian kebijakan
perencanaan yang telah disusun dan yang telah dilaksanakan pada tahun 2015. Proses
tersebut sangat strategis dalam pencapaian tujuan pembangunan Provinsi DKI Jakarta.
Oleh karenanya, evaluasi hasil pelaksanaan RKPD tahun lalu harus dilakukan secara
sistematis, profesional dan terstruktur agar hasil evaluasi ini benar-benar akuntabel dan
berkualitas.

II.1

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

RKPD merupakan dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
RKPD ini disusun dengan menggunakan pedekatan teknokratik, politik, top-down, bottom-

up dan partisipatif dengan demikian RKPD menjadi dokumen Rencana Kerja Pemerintah
Daerah tahunan yang mencerminkan hasil karya seluruh pemangku kepentingan
pembangunan dan cerminan keterkaitan antar program daerah dan Program Pemerintah

Pusat. Oleh karena itu agar RKPD ini dapat dimplementasikan dan tercapai hasil yang
optimal maka dalam proses evaluasi ini lebih terfokus pada evaluasi RKPD tahun 2015
yang telah dilaksanakan oleh SKPD dan UKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta terutama untuk kegiatan yang penting dan strategis.
Pelaksanaan pembangunan di Jakarta merupakan proses yang melibatkan multi
pemangku kepentingan baik dari dunia usaha, pemerintah, masyarakat maupun
akademisi. Dengan proses seperti ini semua pihak dapat berkontribusi dalam
pembangunan Jakarta secara proporsional. Dengan demikian maka diharapkan
pembanguan yang dilakukan di DKI Jakarta benar-benar memenuhi prinsip keterbukaan,
demokratis, transparansi, akuntabilitas, efisien efektif, serta memenuhi azas kepatutan dan
kewajaran.
Tujuan Pembangunan di DKI Jakarta adalah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Jakarta lahir dan bathin serta mengupayakan tidak terjadinya
ketimpangan baik dari sisi sosial ekonomi maupun lingkungan. Untuk mewujudkan hal ini
maka pembangunan dilakukan dengan memperhatikan posisi geografi dan potensi
demografi, memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta
mengoptimalkan faktor-faktor lingkungan strategis lainnya.
Dalam perspektif pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan telah dilaksanakan
untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan yang tercantum dalam
RPJMD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2017. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan,

program dan kegiatan pembangunan ditentukan oleh kinerja seluruh Lurah dan Camat,
serta seluruh SKPD di lingkungan Provinsi DKI Jakarta; dukungan dari Pemerintah Pusat;
serta kerjasama dan kemitraan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah
Provinsi Banten.
Pada BAB ini akan disajikan hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan tahun
2014 serta pencapaian Indikator Kinerja Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 sebagai acuan
pencapaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Namun terlebih
dahulu akan disajikan data dan penjelasan mengenai gambaran umum kondisi Provinsi
DKI Jakarta untuk memberikan gambaran terkait kondisi Provinsi DKI Jakarta.

II.2

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Sejarah Kota Jakarta bermula dari sejarah berdirinya kerajaan yang terletak di
daerah Jawa Barat dekat Kota Bogor sekarang, bernama Pajajaran yang diperintah oleh Sri
Baduga Maharaja. Sisi utara Kerajaan Papajaran berbatasan dengan Muara Kali Ciliwung
yang menjadi letak sebuah bandar bernama Sunda Kelapa yang berfungsi sebagai kota
perdagangan. Sebagian besar perdagangan di semenanjung Malaka pada masa itu

dikuasai oleh bangsa Portugis, yang selalu berusaha mengembangkan kegiatannya di Asia
Tenggara.
Pada awal abad 16, Falatehan yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Fatahillah, segera menunjuk pembantunya untuk memerintah kota dan mengganti nama
Bandar Sunda Kelapa dengan Fathan Mubina atau Jayakarta, yang berarti “Kemenangan
Akhir”. Pada tanggal 22 Juni 1527 dinyatakan sebagai tanggal dikuasainya oleh Falatehan
yang pada akhirnya Jayakarta disingkat menjadi “Jakarta“.
Pada tanggal 1 April 1905 Stad Batavia berubah dan berkembang menjadi
Gemeente Batavia dan diberikan kewenangan untuk mengatur keuangannya sendiri
sebagai bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Gemeente Batavia merupakan
Pemerintah Daerah yang pertama kali dibentuk di Hindia Belanda. Luas wilayah Gemeente
Batavia kurang lebih 125 km², tidak termasuk pulau-pulau di Teluk Jakarta (Kepulauan
Seribu).
Pada tahun 1908 wilayah Afdeling Batavia dibagi menjadi 2 Distrik, yakni Distrik
Batavia dan Weltevreden yang dibagi lagi menjadi 6 sub Distrik (Onderdistrik). Distrik
Batavia terdiri dari sub Distrik Mangga Besar, Penjaringan dan Tanjung Priuk sedangkan
Distrik Weltevreden terdiri dari sub Distrik Gambir, Senen, dan Tanah Abang.
Pada tanggal 5 Maret 1942 Kota Batavia jatuh ke tangan bala tentara Jepang dan
pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Pemerintah Jepang menerbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1942 tentang

Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa Pulau Jawa dibagi menjadi
satuan-satuan daerah yang disebut Pemerintahan Keresidenan (Syuu). Keresidenan (Syuu)
dibagi lagi menjadi beberapa Kabupaten (Ken) dan Kota (Shi).
Pada masa pendudukan Jepang, Jakarta adalah satu-satunya pemerintahan kota
khusus (Tokubetsu Shi) di Indonesia selama pemerintahan militer Jepang. Sesuai dengan

II.3

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1950 setelah kemerdekaan, kedudukan kota
Djakarta ditetapkan sebagai daerah Swatantra yang disebut “Kotapradja Djakarta Raya”
dengan Walikotanya adalah Soewiryo (1945-1951), Syamsuridjal (1951-1953), dan Soediro
(1953-1960).
Kota Djakarta ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I dengan Kepala Daerah yang
berpangkat Gubernur pada tanggal 15 Januari 1960. Pada periode Gubernur Soemarno
(1960-1964) terbit UU Nomor 2 Tahun 1961 tentang pembentukan “Pemerintahan Daerah
Chusus Ibukota Djakarta Raya”. Sejak itu disebut Pemerintah DCI Djakarta Raya. Pada
periode Gubernur Henk Ngantung (1964-1966) terbit UU Nomor 10 Tahun 1964 tentang

Djakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia dengan nama “Djakarta”. Sejak itu
Pemerintah DCI Djakarta Raya berubah menjadi Pemerintah DCI Djakarta.
Pemerintah DCI Djakarta berubah menjadi Pemerintah Daerah DKI Djakarta pada
periode Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Adapun gubernur selanjutnya berturut-turut
yaitu Tjokropranolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987) dan Wiyogo Atmodarminto
(1987-1992).
Pada periode Gubernur Wiyogo Atmodarminto terbit UU Nomor 11 Tahun 1990
tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
Jakarta. Sejak itu sebutan Pemerintah Daerah DKI Jakarta berubah menjadi Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta sampai dengan periode Gubernur Surjadi Soedirdja (1992 – 1997).
Pada periode Gubernur Sutiyoso (1997-2007) terbit Undang-Undang Nomor 34
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik
Indonesia Jakarta. Sejak itu sebutan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berubah menjadi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada akhir masa jabatan Gubernur Sutiyoso terbit
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebutan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta tidak berubah.

Menurut Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia

bahwa Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.

II.4

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Dengan Otonomi Provinsi DKI Jakarta yang diletakkan pada tingkat provinsi maka
Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus mengikuti dan menuruti asas
otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, dan kekhususan sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tersebut juga
disebutkan bahwa Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab
tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan
perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
Sebagai konsekuensi kedua peran di atas, maka dalam hal perencanaan
pembangunan juga mempunyai metode pendekatan tersendiri dan berbeda dengan
provinsi lainnya. Dalam hal ini proses ini dimulai dari tingkat Rukun Warga sampai tingkat

provinsi dan diatur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Kota dan Kabupaten
hanya bersifat kota administrasi. Kemudian DPRD hanya ada pada tingkat provinsi, tidak
ada pada tingkat Kota dan Kabupaten Administrasi.
Selain sebagai ibukota negara kesatuan republik Indonesia, Jakarta mempunyai
peran yang penting dan multifungsi. Secara ekonomi Jakarta merupakan kota yang
berkontribusi paling tinggi bagi perekonomian nasional, yaitu sekitar 17 persen dari total
produk demostik bruto nasional. Selain itu, Jakarta juga merupakan pusat kegiatan
keuangan di tingkat nasional. Jakarta juga merupakan pusat kegiatan pemerintahan
sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga
internasional. Dengan demikian maka Jakarta akan sangat penting bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan untuk aspek luar
negeri.
Sebagai kota internasional tempat komunikasi antar berbagai suku bangsa, maka
penting bagi Jakarta dalam melakukan dialog budaya. Jadi secara umum budaya Jakarta
dapat dikatakan sebagai pusat akulturasi antara budaya asing dan budaya domestik.
Fungsi lainnya adalah bahwa Provinsi DKI Jakarta juga sebagai daerah otonom. Fungsi ini
mendorong Pemerintahan provinsi DKI Jakarta harus mempunyai pemerintahan yang
solid, kompeten, berwibawa, tanggap, bersih dan profesional. Sehingga masyarakat dapat
terlayani dengan baik dan puas.
Dengan dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Provinsi DKI Jakarta

sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai pusat pemerintahan, dan
sebagai daerah otonom. Dengan fungsi tersebut ini maka Jakarta mempunyai karakteristik

II.5

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

permasalahan yang sangat kompleks dan berbeda dengan provinsi lain. Provinsi DKI
Jakarta selalu berhadapan dengan masalah urbanisasi, keamanan, transportasi,
lingkungan, pengelolaan kawasan khusus, dan masalah sosial kemasyarakatan lain yang
memerlukan pemecahan masalah secara sinergis melalui berbagai instrumen.

Provinsi DKI Jakarta dalam lingkup kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) memiliki peran strategis, yaitu sebagai Ibukota NKRI.

Sebagai ibukota NKRI

berimplikasi bahwa Jakarta mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda dengan provinsi
lain. Hal ini menngakibatkan bahwa tantangan dan permasalahan yang dimiliki lebih

kompleks dibandingkan daerah lain.
Dalam rangka menjawab tantangan dan permasalahan yang ada, perlu
memperhatikan kondisi dan potensi eksisting yang ada termasuk posisi geografis. Hal ini
dimaksudkan agar upaya pembangunan yang dilakukan dapat berdaya guna, berhasil
guna, serasi, selaras, seimbang sehingga keberlanjutannya dan kelestarian lingkungan
terjaga dengan baik.

Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 tahun 2007
tentang Penataan, Penetapan Batas dan Luas Wilayah Kelurahan di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, secara geografis luas wilayah DKI Jakarta adalah 7.639,83 km²,
dengan luas daratan 662,33 km² termasuk 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu,
dan luas lautan 6.977,5 km². Secara rinci, batas administrasi Provinsi DKI Jakarta dapat
dilihat pada Gambar 2.1 berikut:

II.6

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Gambar 2.1


Peta Administrasi Provinsi DKI Jakarta
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta 2030

II.7

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Batas sebelah utara Jakarta terbentang pantai sepanjang 35 km yang menjadi
tempat bermuaranya 13 sungai, 2 kanal, dan 2 flood way. Sebagian besar karakteristik
wilayah Provinsi DKI Jakarta berada di bawah permukaan air laut pasang. Kondisi tersebut
mengakibatkan sebagian wilayah di Provinsi DKI Jakarta rawan genangan, baik karena
curah hujan yang tinggi maupun karena semakin tingginya air laut pasang (rob).
Selanjutnya dapat dilihat pada gambar di atas bahwa batas wilayah sebelah barat Provinsi
DKI Jakarta adalah Provinsi Banten, serta di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan
wilayah Provinsi Jawa Barat.
Dalam hal administrasi pemerintahan, Provinsi DKI Jakarta dibagi menjadi 5 (lima)
Kota Administrasi dan 1 (satu) Kabupaten Administrasi. Hal tersebut dimaksudkan guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar lebih efektif dan efisien. Wilayah

kecamatan terbagi menjadi 44 Kecamatan, dan Kelurahan menjadi 267 Kelurahan, dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 2.1
Pembagian Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
No.
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kota/Kabupaten
Administrasi

Luas Area
(km2)

(2)
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Jumlah

(3)
48,13
146,66
129,54
141,27
188,03
8,70
680,33

Kecamatan
(4)
8
6
8
10
10
2
44

Jumlah
Kelurahan
(5)
44
31
56
65
65
6
267

RW
(6)
390
446
583
644
703
24
2.790

RT
(7)
4.608
5.200
6.455
6.089
7.893
127
30.372

Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 tahun 2007

Wilayah Provinsi DKI Jakarta terluas adalah Kota Administrasi Jakarta Timur, yaitu
27,65 persen dari luas Provinsi DKI Jakarta, sedangkan wilayah terkecil adalah Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 1,28 persen, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.2 berikut:

II.8

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Kepulauan
Seribu
1,28%
Jakarta Timur
27,64%

Jakarta
Selatan
20,76%

Jakarta Pusat
7,07%
Jakarta Utara
21,56%

Jakarta Barat
19,04%

Gambar 2.2
Komposisi Pembagian Wilayah Kota dan Kabupaten Administrasi
Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 tahun 2007

Secara astronomis, Provinsi DKI Jakarta berada antara 106.22’42” dan 106.58’18”
Bujur Timur, serta antara 5.19’12” dan 6.23’54” Lintang Selatan. Dilihat dari posisi
geostrategis, Provinsi DKI Jakarta terletak di sisi utara bagian barat Pulau Jawa, dengan
bagian utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sedangkan sisi timur dan selatan
Provinsi DKI Jakarta berbatasan dengan wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, serta sisi
barat berbatasan dengan wilayah Provinsi Banten.
Provinsi DKI Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia sehingga tidak memiliki
kawasan pedalaman maupun kawasan terpencil. Sebagian wilayah Provinsi DKI Jakarta
merupakan

kawasan

pesisir,

dengan

luas

wilayah

pesisir

sekitar

155

km

yang membentang dari timur ke barat sepanjang kurang lebih 35 km, dan menjorok ke
darat sekitar 4-10 km. Selain memiliki daerah pesisir, DKI Jakarta juga memiliki 110 pulau
yang tersebar pada 2 (dua) Kecamatan di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Pulau-pulau di wilayah tersebut memiliki luas beragam, sebanyak 30 persen
memiliki luas lebih dari 10 Ha, sebanyak 25 persen memiliki luas antara 5 - 10 Ha, dan
sisanya sebanyak 45 persen berukuran kurang dari 5 Ha. Pulau-pulau tersebut memanjang
dari utara ke selatan dengan ciri-ciri berpasir putih dan bergosong karang, serta beriklim
tropis panas dengan kelembaban berkisar antara 75 - 99 persen. Dari 110 pulau yang
terdapat di Kabupaten Kepulauan Seribu, hanya 11 pulau yang berpenghuni, yaitu Pulau
Untung Jawa, Pulau Lancang Besar, Pulau Pari, Pulau Payung Besar, Pulau Tidung Besar,

II.9

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan, dan
Pulau Sebira.

Topografi Provinsi DKI Jakarta dianalisis dari aspek ketinggian lahan dan kemiringan
lahan. Provinsi DKI Jakarta terletak pada dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8
meter di atas permukaan laut. Sedangkan, sekitar 40 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta
berupa dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut
pasang. Hal tersebut mengakibatkan kemiringan lahan sebagaimana digambarkan pada
Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3
Peta Kemiringan Lereng Daerah Jabodetabek
Sumber : Master Plan dan Kajian Akademis Persampahan Provinsi DKI Jakarta 2012-2032

Dari Gambar 2.3 tersebut, dapat dilihat bahwa sekitar 0-3 persen wilayah Provinsi
DKI Jakarta yaitu memiliki kecenderungan datar, sementara daerah hulu dimana sungaisungai yang bermuara di Provinsi DKI Jakarta memiliki ketinggian yang cukup tinggi yaitu
sekitar 8-15 persen di wilayah Bogor dan Cibinong, sedangkan daerah Ciawi-Puncak
memiliki ketinggian lebih dari 15 persen.
Fenomena banjir yang terjadi di Jakarta tidak lepas dari kemiringan lerengnya,
lokasi kota Jakarta sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 di atas, masih tergolong
dalam tingkat kemiringan lereng 0-3 persen. Kemiringan lereng pada kota Tangerang dan

II.10

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Bekasi memiliki karakteristik yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa sebagian besar
kawasan Jabodetabek berada pada kemiringan lereng relatif landai.
Dengan kondisi kemiringan lahan yang demikian, ditambah dengan 13 sungai yang
mengalir di wilayah Provinsi DKI Jakarta menyebabkan kecenderungan semakin rentannya
wilayah Jakarta untuk tergenang air dan banjir pada musim hujan. Terlebih jika
memperhatikan tingginya tingkat perkembangan wilayah di sekitar Jakarta, menyebabkan
semakin rendahnya resapan air kedalam tanah dan menyebabkan run off air semakin
tinggi, yang pada gilirannya akan memperbesar ancaman banjir di wilayah Provinsi DKI
Jakarta.

Secara geologis, seluruh daerah di Jakarta terlihat bahwa strukturnya terdiri dari
endapan Pleistocene yang terdapat ± 50 meter di bawah permukaan tanah. Di sisi utara,
permukaan keras baru terdapat pada kedalaman 10 - 25 meter, semakin ke selatan
permukaan keras semakin dangkal pada kedalaman 8 - 15 meter, pada sebagian wilayah,
lapisan permukaan tanah yang keras terdapat pada kedalaman 40 meter. Sedangkan
struktur di sisi selatan terdiri atas lapisan alluvial.
Pada dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 Kilometer.
Di bawah terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan
tanah karena timbunan seluruhnya oleh endapan alluvium. Gambar 2.4 berikut
memberikan informasi tentang peta geologi teknik Kawasan Jabodetabekpunjur.

II.11

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Gambar 2.4
Peta Geologi Teknik Kawasan Jabodetabekpunjur
Sumber : Master Plan dan Kajian Akademis Persampahan Provinsi DKI Jakarta 2012-2032

Secara umum, karakteristik keteknikan tanah dan batuan Provinsi DKI Jakarta
menunjukan bahwa terdapat 4 karakteristik utama, yaitu:
a. Pasir lempungan dan lempung pasiran, merupakan endapan aluvial sungai dan pantai
berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari lanau lempungan, lanau pasiran dan
lempung pasiran. Semakin kearah utara mendekati pantai di permukaan berupa lanau
pasiran dengan sisipan lempung organik dan pecahan cangkang kerang, tebal
endapan antara perselang-seling lapisannya bekisar antara 3-12 meter, namun
ketebalan secara keseluruhan endapan tersebut diperkirankan mencapai 300 meter.
Lanau lempungan tersebar secara dominan di permukaan, abu-abu kehitaman sampai
abu-abu kecoklatan, setempat mengandung material organik, lunak-teguh, plastisitas
sedang-tinggi. Lanau pasiran, kuning keabuan, teguh, plastisitas sedang-tinggi.
Lempung pasiran, abu-abu kecokolatan, tegus, plastisitas sedang-tinggi.

II.12

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Pada beberapa tempat nilai penetormeter saku (qu) untuk lanau lempungan antara
lanau pasiran antara 2-3 kg/cm2 dan lempung pasiran antara 1,5-3 kg/cm2, tebal
lapisan (data sondir dan bor tangan) lanau lempungan antara 1,5-5 m, lanau pasiran
antara 0,5-3 meter dan lempung pasiran antara 1-4 m dan kisaran nilai tekanan konus
lanau lempungan antara 2-20 kg/m2, lanau pasiran antara 15-25 kg/m2 dan lempung
pasiran antara 10-40 kg/m2.
b. Satuan Pasir Lempungan, merupakan endapan pematang pantai berangsur-angsur
dari atas kebawah terdiri dari perselang-selangan lanau pasiran dan pasir lempungan.
Tebal endapan antara 4,5-13 meter. Di permukaan didominasi oleh pasir lempungan,
dengan warna coklat muda dan mudah terurai. Pasir berbutir halus-sedang,
mengandung lempung, setempat kerikilan dan pecahan cangkang kerang. Lanau
pasiran berwarna kelabu kecoklatan, lunak, plasitisitas sedang.
Di beberapa tempat nilai penetrometer saku (qu) untuk pasir lempungan antara 0,75-2
kg/cm2 dan lanau pasiran antara 1,5-3 kg/cm2, tebal lapisan (data sondir dan bor
tangan) pasir lempungan antara 3-10 m dan lanau pasiran antara 1,5-3 meter dan
kisaran nilai tekanan konus pasir lempungan antara 10-25 kg/m2 dan lanau pasiran
antara 2-10 kg/m2.
c. Satuan Lempung Pasiran dan Pasir Lempungan, merupakan endapan limpah banjir
sungai. Satuan tersebut tersusun beselang-selang antara lempung pasrian dan pasir
lempungan. Lempung pasiran umumnya berwarna abu-abu kecoklatan, coklat,
dengan plasitisitas sedang, konsistensi lunak-teguh. Pasir lempungan berwarna abuabu, angka lepas, berukuran pasir halus-kasar, merupakan endapan alur sungai
dengan ketebalan 1,5-17 meter.
d. Lempung Lanauan dan Lanau Pasiran, merupakan endapan kipas aluvial vulkanik
(tanah tufa dan konglomerat), berangsur-angsur dari atas ke bawah terdiri dari
lempung lanauan dan lanau pasiran dengan tebal palisan antara 3-13,5 meter.
Lempung lanauan tersebar secara dominan di permukaan, coklat kemerahan hingga
coklat kehitaman, lunak-teguh, plasitisitas tinggi. Lanau pasiran, merah-kecoklatan,
teguh, plasitisitas sedang-tinggi. Di beberapa tempat nilai penetrometer saku untuk
lempung antara 0,8-2,85 kg/cm2 dan lanau lempungan antara 2,3-3,15 kg/cm2, tebal
lapisan (data sondir dan bor tangan) lempung antara 1,5-6 m dan lanau lempungan
antara 1,5-7,5 meter. Kisaran nilai tekanan konus lempung antara 2-50 kg/m2 dan
lanau lempungan antara 18-75 kg/m2. Tufa dan konglomerat melapuk menengah –
tinggi, putih kecoklatan, berbutir pasir halus-kasar, agak padu dan rapuh.

II.13

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Gambar 2.5
Potongan Melintang Selatan – Utara
Sumber : Master Plan dan Kajian Akademis Persampahan Provinsi DKI Jakarta 2012-2032

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan
endapan vulkanik quarter yang terdiri dari 3 (tiga) formasi yaitu: Formasi Citalang, Formasi
Kaliwangu, dan Formasi Parigi. Formasi Citalang memiliki kedalaman hingga kira-kira 80
meter. Formasi Citalang didominasi oleh batu pasir pada bagian bawahnya dengan bagian
atasnya

merupakan

batu

lempung,

sedangkan

di

beberapa

tempat

terdapat

breksi/konglomerat terutama pada bagian Blok M dan Dukuh Atas. Formasi Kaliwangu
didominasi oleh batu lempung diselingi oleh batu pasir yang memiliki kedalaman sangat
bervariasi, dengan kedalaman bagian utaranya lebih dari 300 meter dan di sekitar
Babakan, formasi Parigi mendesak keatas hingga kedalaman 80 meter.
Dengan kondisi geografis demikian, disadari bahwa Jakarta termasuk wilayah
rawan banjir. Dalam siklus 5-6 tahunan Jakarta memiliki potensi banjir cukup tinggi,
terbukti pada tahun 2002, 2007 dan tahun 2013, 2014 terjadi banjir besar dengan
kerugian yang besar pula. Mengingat Jakarta merupakan kota yang terbentuk secara

II.14

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

alami, sehingga penataan kota tidak dapat dilakukan secara optimal khususnya dalam
sistem tata air/drainase dan jalan. Sebagian besar tanah di Jakarta sudah menjadi hak
milik atau dikuasai perorangan sehingga menyulitkan dalam penataan kota, karena
memerlukan dana yang sangat besar untuk pembebasan lahan milik warga.

Potensi air bawah tanah di Provinsi DKI Jakarta sebagian besar terletak dalam
cekungan air bawah tanah yang tidak mengenal batas administrasi pemerintahan dan
bersifat lintas Kabupaten/Kota yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi, yang secara
teknis diatur dalam Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 716
K/40/MEM/2003 tentang Batas Horisontal Cekungan Air Tanah Di Pulau Jawa dan Pulau
Madura, berikut Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Menurut
keputusan tersebut, Provinsi DKI Jakarta berada pada Cekungan Air Tanah (CAT) Provinsi
Jawa Barat dan DKI Jakarta yang merupakan cekungan air tanah lintas Provinsi, yang
berada di antara Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Jawa Barat dengan luas
sekitar 1.439 km2. Sebarannya mencakup sebagian Kota Tangerang dan sebagian
Kabupaten Tangerang, seluruh wilayah DKI Jakarta, sebagian Kabupaten Bogor dan
sebagian Kabupaten Bekasi.
Litologi akuifer utama dari cekungan air tanah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
merupakan: endapan sungai pasir, kerikil, kerakal, dan bongkah; endapan kipas gunung
api; pasir, kerikil, dan kerakal; endapan pematang pantai; pasir halus-kasar mengandung
cangkang moluska; tuf Banten; tuf, tuf batu apung; dan batu pasir tufan. Jumlah air tanah
bebas 803 juta m3/tahun, sedangkan jumlah air tanah tertekan 40 juta m3/tahun.
Sistem akufiernya bersifat multi layers yang dibentuk oleh endapan kuarter dengan
ketebalan mencapai 250 meter. Ketebalan akuifer tunggal antara 1 – 5 meter, terutama
berupa lanau sampai pasir halus. Kelulusan horizontal antara 0,1 – 40 meter/hari,
sementara kelulusan vertikalnya berdasarkan hasil simulasi aliran air tanah CAT Jakarta
sekitar 250 m2/hari air tanah pada endapan kuarter mengalir pada system akuifer ruang
antar bulir. Di daerah pantai umumnya didominasi oelh air tanah panyau/asin yang
berada di atas air tanah tawar kecuali di daerah yang disusun oleh endapan sungai lama
dan pematang pantai. Akuifer produktif umumnya dijumpai sekitar kedalaman 40 mbmt
dan mencapai kedalaman maksimum 150 mbmt.
Pembagian system akuifer di CAT Jakarta yang hingga saat ini digunakan adalah
sebagai berikut:

II.15

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

o

Sistem akufier tidak tertekan yang berada pada kedalaman 0-40 mbmt, disebut
sebagai kelompok akuifer I

o

Sistem akuifer tertekan atas yang berada pada kedalaman 40-140 mbmt, disebut
sebagai kelompok akuifer II

o

Sistem akuifer tertekan bawah yang berada pada kedalaman 140 – 250 mbmt,
disebut sebagai kelompok akuifer III

Pembagian akuifer di CAT Jakarta tersebut didasarkan atas dijumpainya lempung
berfaies laut yang memisahkan sistem akuifer yang satu dengan lainnya. Mengatasi sistem
akuifer di daerah pemantauan adalah endapan tersier yang bersifat relatif sangat kedap
air.Berdasarkan letaknya, Kota Jakarta termasuk kota delta (delta city) yaitu kota yang
berada pada muara sungai yang umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup
rentan terhadap perubahan iklim. Meskipun demikian, keberadaan sungai dan laut
menyebabkan sebuah delta city memiliki keunggulan strategis, terutama dalam hal
transportasi perairan. Kota delta umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup
rentan terhadap perubahan iklim. Adapun Peta Aliran Sungai, Kanal dan flood way yang
melalui Wilayah DKI Jakarta, dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut.

Gambar 2.6
Tematik Sungai di Provinsi DKI Jakarta
Sumber : RPJMD Provinsi DKI Jakarta 2013-2017

II.16

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Panjang dan luas dari masing-masing sungai tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Panjang dan Luas Sungai/Kanal di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014
No.

Sungai/Kanal

Panjang

Luas

(1)

(2)

(3)

(4)

1.

Cengkareng Drain

2.950

147.500

2.

Banjir Kanal Barat

14.250

855.000

3.

Cakung Drain

8.605

301.175

4.

Banjir Kanal Timur

23.500

2.159.200

5.

Cakung

18.100

181.000

6.

Jati Kramat

3.270

21.255

7.

Buaran

8.800

154.000

8.

Sunter

21.290

540.900

9.

Cipinang

9.060

72.480

10.

Kalibaru Timur

14.250

106.875

11.

Ciliwung

21.660

515.600

12.

Kalibaru Barat

14.250

106.875

13.

Krukut

18.370

206.340

14.

Sungai Grogol

21.600

367.325

15.

Kali Pesanggrahan

11.400

142.500

16.

Kali Angke

4.350

175.375

17.

Mookervart

8.600

215.000

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2015

Selain sungai, Provinsi DKI Jakarta memiliki 6 buah situ dan 15 tempat parkir air
(retention basin). Fungsi utama tempat parkir ini adalah sebagai wadah ”retention” atau
tempat menahan sementara luapan air sungai pada saat muka air sungai meningkat.

Dalam hal musim, wilayah Indonesia pada umumnya dikenal dua musim yaitu
musim kemarau dan musim hujan. Untuk wilayah Jakarta yang termasuk dalam wilayah
iklim tropis memiliki karakteristik musim penghujan rata-rata pada bulan Oktober hingga
Maret dan musim kemarau pada bulan April hingga September. Untuk Jakarta puncak
musim penghujan terjadi pada bulan November hingga Januari dengan curah hujan

II.17

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

tertinggi pada bulan Januari dan hari hujan tertinggi selama 26 hari terjadi pada bulan
Januari, sebagaimana dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 2.3
Curah Hujan dan Banyaknya Hari Hujan Menurut Bulan
Provinsi DKI Jakarta Tahun2014
No.
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Bulan
(2)
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

Curah Hujan (mm2)
(3)
1.075
689
174
168
47
174
214
39
0
52
65
211

Banyaknya Hari Hujan
(4)
26
22
20
16
10
12
16
4
1
4
11
15

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2015

Dengan posisi yang spesifik, cuaca di kawasan Jakarta dipengaruhi oleh angin laut
dan darat yang bertiup secara bergantian antara siang dan malam. Dalam hal temperatur,
temperatur Jakarta rata-rata terendah terjadi pada bulan Februari, sedangkan tertinggi
pada bulan September. Perbedaan suhu antara musim hujan dan musim kemarau relatif
kecil. Kondisi ini dapat dipahami karena perubahan suhu udara di kawasan Jakarta seperti
wilayah lainnya di Indonesia tidak dipengaruhi oleh musim, melainkan oleh perbedaan
ketinggian wilayah. Suhu udara harian rata-rata pada daerah pantai di wilayah Utara
Jakarta umumnya relatif tidak berubah, baik pada siang maupun malam hari. Secara rinci
data suhu udara Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut:
Tabel 2.4
Suhu Udara Jakarta Menurut Bulan
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014
No.

Bulan

(1)
1.
2.
3.

(2)
Januari
Februari
Maret

Maksimum
(3)
33,0
32,8
34,4

Suhu Udara (°C)
Minimum
(4)
23,0
22,8
23,9

Rata-rata
(5)
26,6
26,6
28,0

II.18

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

No.

Bulan

(1)
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

(2)
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

Maksimum
(3)
35,2
35,2
34,4
34,2
34,6
37,0
36,8
36,0
34,8

Suhu Udara (°C)
Minimum
(4)
23,2
25,0
24,2
23,4
24,0
24,0
25,0
23,8
24,1

Rata-rata
(5)
28,8
29,3
28,6
28,0
28,7
29,2
29,8
29,4
28,1

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2015

Kelembaban udara tercatat minimum 31 persen dan maksimum 100%, tekanan
udara antara 1.009,8 – 1.011,2 mb dengan arah angin antara 45-360 point dan kecepatan
antara 3-6 M/SE.

Penggunaan lahan terbagi menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung.
Kawasan budidaya terdiri dari kawasan peruntukan hutan produksi, pertanian,
pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, pendidikan tinggi, pesisir dan pulaupulau kecil, serta kawasan militer dan kepolisian.
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan fisik wilayah DKI Jakarta ditandai
oleh semakin luasnya lahan terbangun. Perkembangan lahan terbangun berlangsung
dengan pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitasnya. Kecenderungan
tersebut mengindikasikan bahwasanya ketersediaan lahan menjadi permasalahan yang
penting bagi pembangunan Provinsi DKI Jakarta. Pembangunan fisik di Jakarta terus
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini ditandai oleh pembangunan
gedung perkantoran, sarana ekonomi dan sosial serta infrastruktur kota lainnya. Semua ini
merupakan konsekuensi logis dari semakin majunya pembangunan dan perekonomian
Jakarta. Gambaran penggunaan lahan di DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar berikut.
Peruntukan lahan untuk perumahan menduduki proporsi terbesar, yaitu 48,41 persen dari
luas daratan utama DKI Jakarta. Sedangkan luasan untuk peruntukan bangunan industri,
perkantoran dan perdagangan hanya mencapai 15,68 persen.

II.19

II.20

Sumber: RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030

Gambar 2.7 Peta Penggunaan Lahan di Provinsi DKI Jakarta

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Jakarta merupakan wilayah yang sangat strategis baik dalam lingkup nasional,
regional, maupun internasional. Oleh karena itulah, dalam pengembangan wilayah
memperhatikan lingkungan strategis sekitarnya. Dalam pengembangan wilayah, rencana
struktur ruang DKI Jakarta merupakan perwujudan dan penjabaran dari struktur ruang
kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur.
Sejalan

dengan

hal

tersebut,

maka

perencanaan

struktur

ruang

telah

memperhatikan berbagai aspek lingkungan strategis yang diduga akan mempengaruhi
perkembangan kota Jakarta secara keseluruhan. Rencana struktur ruang yang
dikembangkan di DKI Jakarta meliputi empat struktur ruang, yaitu sistem pusat kegiatan,
sistem dan jaringan transportasi, sistem prasarana sumber daya air, dan sistem dan
jaringan utilitas perkotaan.
Sistem pusat kegiatan terdiri dari sistem pusat kegiatan primer dan sekunder.
Sistem dan jaringan trasnportasi terdiri dari sistem dan jaringan transportasi darat,
transportasi laut dan transportasi udara. Selanjutnya sistem prasarana sumber daya air
terdiri dari sistem konservasi sumber daya air, sistem pendayagunaan sumber daya air,
dan sistem pengendalian daya rusak air.
Sedangkan sistem dan jaringan utilitas perkotaan terdiri atas sistem dan jaringan air
bersih, sistem prasarana dan sarana pengelolaan air limbah, sistem prasarana dan sarana
pengelolaan sampah, sistem dan jaringan energi, serta sistem dan jaringan
telekomunikasi. Pusat kegiatan di Provinsi DKI Jakarta terlihat pada peta berikut.

II.21

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Gambar 2.8
Peta Rencana Struktur Ruang Daratan Provinsi DKI Jakarta
Sumber: RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030

II.22

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Bencana yang berpotensi melanda wilayah Jakarta adalah banjir dan genangan air,
kebakaran serta gempa bumi. Bencana yang menjadi perhatian khusus bagi Jakarta adalah
banjir. Banjir dan genangan air di Jakarta utamanya disebabkan oleh curah hujan lokal
yang tinggi, curah hujan yang tinggi di daerah hulu yang berpotensi menjadi banjir
kiriman, dan Rob atau air laut pasang yang tinggi di daerah pantai utara. Selain itu,
terjadinya banjir dan genangan air di Jakarta juga disebabkan oleh sistem drainase yang
tidak berfungsi dengan optimal, tersumbatnya sungai dan saluran air oleh sampah dan
berkurangnya wilayah-wilayah resapan air akibat dibangunnya hunian pada lahan basah
atau daerah resapan air serta semakin padatnya pembangunan fisik. Hal lainnya adalah
prasarana dan sarana pengendalian banjir yang belum berfungsi maksimal.
Jika dilihat historis peristiwa banjir yang terjadi di Jakarta cenderung meningkat
luasannya, pada tahun 1980 daerah genangan Jakarta adalah seluas 7,7 Km2, pada tahun
1996 seluas 22,59 Km2, pada tahun 2002 adalah seluas 167,88 Km2, dan pada tahun 2007
meningkat menjadi 238,32 Km2. Pada tahun 2002 daerah genangan diperkirakan
mencapai sekitar 13 persen dari wilayah DKI Jakarta sedangkan pada banjir tahun 2007
sekitar 37 persen dari wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak
akibat banjir, telah dipasang 34 unit early warning khususnya untuk sungai yang sering
menjadi tampungan air hujan yaitu di Sungai Sunter, Sungai Cipinang, Sungai Ciliwung,
Sungai Krukut, Sungai Pesanggrahan dan Sungai Angke.
Hal lain yang dapat memperparah dampak banjir dan genangan adalah penurunan
permukaan tanah (land subsidence). Secara umum laju penurunan tanah yang terdeteksi
adalah sekitar 1-15 cm per tahun, bervariasi secara spasial maupun temporal. Beberapa
faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu pengambilan air tanah yang
berlebihan, penurunan karena beban bangunan (settlement), penurunan karena adanya
konsolidasi alamiah dari lapisan- lapisan tanah, serta penurunan karena gaya- gaya
tektonik.
Beberapa daerah yang mengalami subsidence cukup besar yaitu Cengkareng Barat,
Pantai Indah Kapuk, sampai dengan Dadap. Nilai subsidence paling besar terdapat di
daerah Muara Baru. Sementara untuk Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan nilai subsidence
relatif kecil. Peta penurunan tanah DKI Jakarta dari tahun ke tahun dapat dilihat pada
Gambar 2.9.

II.23

Sumber : RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030

Gambar 2.9
Peta Penurunan Muka Tanah di Provinsi DKI Jakarta

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
II.24

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Bencana lain yang sering terjadi di Jakarta adalah kebakaran. Bencana ini umumnya
terjadi di lokasi permukiman padat penduduk dan lingkungan pasar yang pada umumnya
disebabkan oleh arus pendek listrik. Bahaya kebakaran diperkirakan akan terus menjadi
ancaman apabila tidak tumbuh kesadaran masyarakat untuk hidup dengan budaya
perkotaan. Di wilayah DKI Jakarta terdapat 53 Kelurahan rawan bencana kebakaran.
Secara ekonomi, kebakaran mengakibatkan kerugian materi yang tidak sedikit. Pada
tahun 2015, kebakaran yang terjadi di Jakarta telah mengakibatkan kerugian sebesar
Rp285 Miliar dengan total kejadian kebakaran sebanyak 1.473 kejadian kebakaran. Tahun
2016, hingga akhir April 2016, telah terjadi 335 kejadian kebakaran dengan kerugian
diperkirakan mencapai Rp72 Miliar.
Terkait dengan potensi gempa bumi, di sekitar Jakarta diperkirakan terdapat 10
sumber gempa dengan potensi terbesar di sekitar Selat Sunda, yang selama ini aktif dan
berpotensi menimbulkan risiko bencana. Berdasarkan data seismik kegempaan seluruh
Indonesia, di selatan Jawa bagian barat terdapat seismic gap (daerah jalur gempa dengan
kejadian gempa yang sedikit dalam jangka waktu lama) yang juga menyimpan potensi
gempa yang tinggi terhadap Jakarta. Kondisi Jakarta Bagian Utara yang merupakan
batuan atau tanah lunak akan lebih rentan terhadap dampak gempa dibandingkan
wilayah Jakarta bagian selatan. Kawasan rawan bencana di Provinsi DKI Jakarta dapat
dilihat pada Gambar 2.10.
Berdasarkan peta kawasan rawan bencana gempa bumi Jawa bagian barat, potensi
gempa bumi di wilayah DKI Jakarta termasuk kategori tingkat menengah sampai rendah.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri telah menyusun peta zonasi gempa Level I – Level
II, yaitu sampai dengan peta kondisi kerentanan batuan/tanah dan respon gempa
berdasarkan data sekunder.

II.25

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Gambar 2.10
Peta Kawasan Rawan Bencana Alam di Provinsi DKI Jakarta
Sumber: RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030

II.26

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Pertumbuhan penduduk dapat dipengaruhi oleh kelahiran, kematian, dan migrasi.
Pada tahun 2015 jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta mencapai 10.177.924 jiwa. Dilihat
dari komposisi penduduk menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki Provinsi DKI
Jakarta tahun 2015 sebanyak 5.115.357 jiwa atau 50,25 persen dari jumlah keseluruhan
penduduk, lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan yaitu sebanyak
5.062.567 jiwa atau 49,74 persen. Oleh karenanya, Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015
memiliki sex ratio sebesar 101,04 penduduk laki-laki per 100 penduduk perempuan.
Rincian perkembangan komposisi penduduk dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5
Perkembangan Jumlah Penduduk
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 s.d. 2015
No.
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Uraian
(2)
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Pertumbuhan
Densitas
Sex Ratio

Satuan
(3)
Jiwa
Jiwa
Jiwa
%
Ribu jiwa/
2
Km
%

SP2000
(4)
4.223.125
4.123.958
8.347.083
0,78
12,60

2012
(5)
4.976.100
4.886.000
9.862.100
1,13
14,89

2013
(6)
5.023.400
4.946.500
9.969.900
1,09
15,05

2014
(7)
5.069.900
5.005.400
10.075.300
1,06
15,23

2015
(8)
5.115.357
5.062.567
10.177.924
1,09
15,37

102,00

101,80

101,60

101,70

101,04

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta cenderung terus meningkat dari tahun ke
tahun, dengan laju pertumbuhan pada tahun 2012 sebesar 1,13 persen, tahun 2013
sebesar 1,09 persen, tahun 2014 sebesar 1,06 persen, dan tahun 2015 sebesar 1,09 persen.
Provinsi DKI Jakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan Provinsi
lainnya di Indonesia, dengan kepadatan penduduk 15,37 ribu jiwa/Km2.
Struktur penduduk Provinsi DKI Jakarta menunjukkan dominasi penduduk usia
produktif (15-64) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.11. Pada tahun 2015, penduduk
usia produktif tercatat sebanyak 7.278.316 jiwa atau sebesar 71,51 persen dari total
penduduk, penduduk yang belum produktif (0-14 tahun) sebanyak 2.523.715 jiwa atau
24,80 persen, dan penduduk yang tidak produktif lagi atau melewati masa pensiun
sebanyak 375.893

atau

3,69 persen. Dengan struktur penduduk tersebut, angka

ketergantungan (dependency ratio) DKI Jakarta pada tahun 2015 sebesar 28,49 persen
yang berarti dari 100 penduduk usia produktif DKI Jakarta akan menanggung secara

II.27

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

ekonomi sebesar 28,49 penduduk usia tidak produktif. Struktur penduduk Provinsi DKI
Jakarta tahun 2015 dapat dilihat melalui piramida penduduk pada gambar 2.11 berikut:

Gambar 2.11
Piramida Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2016

Secara umum, komposisi penduduk menurut jenis kelamin memiliki tren yang
hampir sama antar wilayah Kota/Kabupaten Administrasi, yaitu penduduk laki-laki
cenderung berjumlah lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan, hanya Kota
Administrasi Jakarta Utara yang memiliki penduduk perempuan lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah penduduk laki-laki. Jumlah penduduk tertinggi adalah Kota Administrasi
Jakarta Timur yaitu sebanyak 2.817.994 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah
terdapat pada Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yaitu sebanyak 23.011 jiwa.
Rincian

jumlah

penduduk

menurut

Kota/Kabupaten

Administrasi

sebagaimana

ditampilkan dalam Tabel 2.6 berikut:
Tabel 2.6
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin
di Kota/Kabupaten Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014
No
(1)
1
2

Kota/Kab.
Administrasi
(2)
Jakarta Pusat
Jakarta Utara

Jumlah Penduduk
L
P
Total
(3)
(4)
(5)
455.668
454.713
910.381
859.948
869.496
1.729.444

Rasio
Jenis Kelamin
(6)
100,21
98.90

II.28

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Kota/Kab.
Administrasi

No
(1)
3
4
5
6

(2)
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kep. Seribu
Jumlah

L
(3)
1.231.126
1.086.989
1.424.565
11.629
5.069.925

Jumlah Penduduk
P
Total
(4)
(5)
1.199.284
2.430.410
1.077.081
2.164.070
1.393.429
2.817.994
11.382
23.011
5.005.385
10.075.310

Rasio
Jenis Kelamin
(6)
102,66
100,92
102,23
102,17
101,29

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2015

Faktor utama yang dapat mempengaruhi jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta
yaitu jumlah kelahiran dan kematian. Secara keseluruhan, jumlah kelahiran di Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2014 sebanyak 156.935 kelahiran, dan 7.832 kematian. Jumlah
kelahiran tertinggi pada tahun 2014 terdapat pada Kota Administrasi Jakarta Timur
sebanyak 53.490 kelahiran, sednagkan jumlah terendah terdapat pada Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu sebanyak 1.645 kelahiran. Sedangkan jumlah kematian
selama 1 (satu) tahun terbanyak di Kota Administrasi Jakarta Barat sebanyak 2.352
kematian. Jumlah registrasi kelahiran dan kematian di masing-masing Kota/Kabupaten
Administrasi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.7
Registrasi Kelahiran dan Kematian Menurut Kota/Kabupaten
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014
No
(1)
1
2
3
4
5
6
7

Kota/Kabupaten
Administrasi
(2)
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kep. Seribu
Dinas
Jumlah

Umum
(3)
26.641
19.580
17.152
22.265
27.308
1.340
372
114.658

Kelahiran
Terlambat
(4)
21.380
26.865
29.195
28.335
26.182
305
15
132.277

Total
(5)
48.021
46.445
46.347
50.600
53.490
1.645
387
246.935

Kematian
(6)
1.352
1.661
2.352
1.210
1.159
98
7.832

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2015

Faktor lain yang mempengaruhi jumlah penduduk suatu daerah adalah migrasi. Di
Provinsi DKI Jakarta, jumlah migrasi dalam bentuk transmigrasi tidak signifikan jumlahnya

II.29

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

sebagaimana dicatat oleh Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, realisasi transmigrasi
tahun 2014 hanya 42 Kepala Keluarga dengan jumlah anggota keluarga 164 jiwa.
Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi, bisnis, hiburan, pendidikan,
perdagangan dan olahraga justru menjadi daya tarik bagi penduduk di sekitar DKI Jakarta
yang dikenal dengan sebutan komuter. Komuter melakukan kegiatan bekerja, sekolah, dan
kursus di luar Kota/Kabupaten tempat tinggal dan secara rutin pergi dan pulang ke
tempat tinggal pada hari yang sama. Komuter di Jabodetabek dikelompokkan berdasarkan
tempat tinggal menjadi Komuter DKI Jakarta dan Komuter Bodetabek (Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi).
Hasil survei BPS DKI Jakarta tentang Komuter Jabodetabek pada tahun 2014
menunjukkan bahwa sebanyak 3.566.178 orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan
kegiatan bekerja, sekolah, dan kursus di DKI Jakarta, sedangkan sisanya sebanyak
1.067.762 orang merupakan komuter di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek.
Komuter Bodetabek yang melakukan kegiatan di DKI Jakarta tercatat sebanyak 1.382.296
orang. Kota Jakarta Pusat menjadi tujuan 34,78 persen komuter, Jakarta Selatan menjadi
tujuan 21,65 persen komuter dan Jakarta Utara menjadi tujuan 19,68 persen komuter.
Arus komuter Bodetabek yang masuk ke DKI Jakarta terbesar berasal dari Kota
Bekasi sebesar 14,80 persen, diikuti oleh komuter yang berasal dari Kota Depok sebesar
11,69 persen dan komuter yang berasal dari Kota Tangerang Selatan sebesar 8,68 persen.
Sebagian besar komuter DKI Jakarta yaitu 85,47 persen melakukan kegiatan utama bekerja
sisanya sekolah sebesar 14,28 persen dan kursus sebesar 0,25 persen.
Penggunaan moda transportasi kendaraan pribadi oleh komuter lebih tinggi
dibandingkan kendaran umum baik untuk komuter Jakarta maupun komuter Bodetabek.
Penggunaan moda transportasi umum komuter Jabodetabek berupa kendaraan umum,
kereta, Transjakarta/APTB, dan kendaraan jemputan digunakan hanya sekitar 23 - 30
persen oleh komuter untuk pergi dan pulang dari tempat lokasi kegiatan. Secara tabulasi
komuter Jabodetabek DKI Jakarta menurut moda angkutan dan tempat tinggal dapat
dilihat pada Tabel 2.8 berikut:

II.30

EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Tabel 2.8
Presentase Komuter Menurut Tempat Tinggal dan Moda Angkutan
Di Jabodetabek Tahun 2014

Tempat
Tinggal

No.

(1)
1.
1.1.
1.2.
2.
2.1.
2.2.
3.
3.1.
3.2.

Jalan
Kaki,
Sepeda

(2)
DKI Jakarta
- Pergi
- Pulang
Bodetabek
- Pergi
- Pulang
Jabodetabek
- Pergi
- Pulang

(3)

Moda Angkutan
Kendaraan
Kendaraan Umum,
Pribadi
Kereta,
TransJakarta/
APTB,
Sepeda
Mobil
Kendaraan
Motor
Jemputan
(4)
(5)
(6)

II.31

(persen)

Lainnya

Total

(7)

(8)

2,27
2,37

60,55
59,60

13,00
12,53

23,64
24,95

0,54
0,54

100,00
100,00

1,28
1,50

56,83
55,34

12,63
12,09

28,94
30,80

0,32
0,26

100,00
100,00

1,64
1,82

58,19
56,90

12,76
12,25

27,00
28,67

0,40
0,36

100,00
100,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2015

Dengan panjang dan lebar jalan yang tidak bertambah secara nyata dan jumlah
kendaraan yang terus bertambah, maka mobilitas penduduk yang sebagian besar
menggunakan kendaraan pribadi akan menyebabkan terjadinya penumpukan kendaraan
dan kemacetan di jalan terutama di pagi hari dan sore hari. Oleh sebab itu, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2016 akan tetap memberikan prioritas penanganan
kemacetan dengan mengembangkan transportasi publik yang lebih baik, nyaman dan
terpadu.
Tabel 2.9
Komuter Menurut Moda Transportasi Utama Yang Dipergunakan (dalam persen)
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014
No.
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Moda Transportasi Utama
yang dipergunakan
(2)
Jalan Kaki
Sepeda
Sepeda Motor
Mobil
Kendaraan Umum
Kereta Api
Bus Trans Jakarta
Kendaraan Jemputan
Lainnya

DKI Jakarta
Pergi Pulang
(3)
(4)
1,55
1,68
0,72
0,69
60,55
59,60
13,10
12,53
14,15
15,14
2,81
2,88
5,07
5,38
1,61
1,55
0,54
0,54

Bodetabek
Pergi Pulang
(5)
(6)
0,83
0,96
0,45
0,54
56,83
55,34
12,63
12,09
14,28
1