PENGARUH TRAH KIAI DALAM KONTESTASI POLITIK PEMILUKADA DI KABUPATEN BANGKALAN PERIODE 2003-2013 M.

(1)

PENGARUH TRAH KIAI DALAM KONTESTASI POLITIK PEMILUKADA DI KABUPATEN BANGKALAN PERIODE 2003-2013 M

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

MOHAMMAD RUJI NIM. A02211065

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

Digilib.uinsby.ac.id Digilib.uinsby.ac.id Digilib.uinsby.ac.id Digilib.uinsby.ac.id Digilib.uinsby.ac.id Digilib.uinsby.ac.id ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Sejarah Trah Kiai dan Pengaruhnya dalam Kontestasi Politik Pemilukada di Kabupaten Bangkalan periode 2003-2013”. Skripsi ini menitikberatkan pada tiga permasalahan: 1. Bagaimana sejarah trah kiai di Kabupaten Bangkalan? 2. Bagaimana pengaruh trah kiai dalam kontestasi politik di Kabupaten Bangkalan? 3. Bagaimana dampak positif dan negatif trah kiai pasca pemilukada di Kabupaten Bangkalan?.

Pada penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi. Maka teori yang yang di gunakan untuk membahas skripsi ini adalah teori kepemimpinan karismatik versi Max Weber, teori ini mengungkapkan karismatik dari seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam berbagai elemen masyarakat. Untuk mengetahui sejarah trah kiai penulis menggunakan metodologi sejarah menurut kuntowijoyo dengan beberapa tahap: Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Historiografi.

Penelitian skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut; 1. Sejarah trah kiai di Kabupaten Bangkalan berawal dari tokoh ulama’ legendaris yakni Syaikhona Moh. Kholil yang hidup pada tahun 1820-1923. Trah adalah garis keturunan atau silsilah yang masih berpegang teguh dalam keluarga pesantren, Syaikhona Moh. Kholil yang mempunyai pengaruh dan ajaran-ajaran dimasanya sampai saat ini masih diteruskan oleh keturunannya di Kabupaten Bangkalan. 2. Pengaruh trah kiai bagi masyarakat Bangkalan sangat tinggi, baik dalam kontesk agama, sosial, budaya maupun politik. Hal tersebut terbukti dalam pilkada tahun 2003, 2008 dan tahun 2013, dimna pemenang pilkada selalu dari golongan trah kiai. 3. Dampak positif dan negatif dalam berbagai pilkada sangat beragam antara lain sebagai berikut; Masyarakat Bangkalan bangga karena bupatinya selalu dari trah kiai, sedangkan dampak negatifnya diantaranya adalah menurunya pandangan masyarakat Bangkalan terhadap kharisma sosok kiai.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Masalah ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 9

G. Metode Penelitian ... 10

H. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II : TRAH KIAI DAN PENGARUHNYA DI BANGKALAN A. Deskripsi Kabupaten Bangkalan ... 13

B. Pengertian Trah Dan Kiai Di Bangkalan ... 16

C. Geneologi Kiai Di Bangkalan ... 19


(7)

xii

E. Mengurai Tradisi Politik Trah Kiai Di Bangkalan ... 27

F. Pengaruh Trah bagi Masyarakat Bangkalan ... 28

BAB III : PETA POLITIK DALAM PEMILUKADA 2003-2013 A. Peta calon dan partai pendukung 2003-2008 ... 32

1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2003 ... 32

2. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2008 ... 37

3. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2013 ... 39

B. Geneologi Trah Kiai Dan Non Trah Kiai ... 42

1. Geneologi Trah Kiai ... 42

2. Geneologi Non Trah Kiai ... 46

C. Peta Hasil Pemilukada 2003 dan 2008 ... 47

1. Peta Hasil Pilkada 2003 ... 47

2. Peta Hasil Pemilih Kepala Daerah (Pilkada) 2008 ... 48

3. Peta Hasil Pemilih Kepala Daerah (Pilkada) 2013 ... 50

D. Dinamika konflik dalam pemilukada 2003-2013 ... 52

BAB IV : TRAH KIAI DAN PENGARUHNYA DALAM KONTESTASI POLITIK PILKADA KABUPATEN BANGKALAN PERIODE 2003-2013 A. Sejarah Trah Kiai di Bangkalan ... 54

B. Pengaruh Trah Kiai Dalam Kontestasi Politik di Kabupaten Bangkalan ... 57

C. Dampak positif dan negatif trah kiai pasca pemilihan kepala daerah di kabupaten bangkalan 2003-2013 ... 61

1. Konflik Tahun 2003 ... 62

a. Dampak Positif Trah Kiai Pasca Pilkada 2003 ... 63

b. Dampak Negatif Trah Kiai Pasca Pilkada 2008 ... 63

2. Konflik Tahun 2008 ... 63

a. Dampak Positif Trah Kiai Pasca Pilkada 2008 ... 64

b. Dampak Negatif Trah Kiai Pasca Pilkada ... 64

3. Konflik Tahun 2013 ... 64

a. Dampak Positif Trah Kiai Pasca Pilkada 2013 ... 66


(8)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Kran demokrasi terbuka lebar pasca reformasi 1998. Seiring itu pula tidak sedikit orang berpartisipasi dalam mengisi agenda reformasi, salah satunya ialah ikut serta dalam percaturan politik praktis. Sejak pertama kali Pemilu (pemilihan umum) digelar pasca reformasi pada 1999 trah kiai atau dari unsur pemuka agama Islam semakin menampakkan taringnya dalam pertarungan merebut kekuasaan. Tidak hanya di level pusat, di daerah pun tidak sedikit kiai atau dari unsur trah kiai ikut serta berpartisipasi dalam pemilu, baik menduduki jabatan di eksekutif atau legislatif.

Kenyataan semacam itu juga terjadi di Madura. Masyarakat Madura mayoritas beragama Islam. Basis ke-Islam-an masyarakat Madura mayoritas berafiliasi pada golongan tradisionalis. Kenyataan itu juga mengambarkan afiliasi pilihan politiknya, sehingga peranan kiai dalam kancah politik praktis juga sangat besar. Seringkali masyarakat Madura melabuhkan pilihan politiknya sesuai dengan apa yang dititahkan oleh kiai atau tokoh masyarakat setempat.

Bila di masa Orde Baru sangat sulit menemukan bupati yang memiliki latar belakang dari komunitas blater atau kiai, maka di era reformasi yang menduduki jabatan bupati di empat kabupaten yang ada di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) begitu beragam dilihat dari latar belakang sosialnya. Ada yang berasal dari kultur sosial sebagai seorang kiai, militer/tentara


(10)

2

dan kiai blater. Yang terakhir ini sosok yang dibesarkan di dua lingkungan sosial, yakni santri atau kiai dan komunitas blater. Orang-orang lokal menyebutnya sebagai kiai blater. Jabatan politik formal di tingkat kabupaten, hampir sepunuhnya dikuasai oleh figur yang memiliki akar kultural di masyarakat.1

Beberapa kali Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di empat Kabupaten di Madura misalnya, posisi kiai menjadi penting dan sangat diperhatikan. Kepala daerah yang terpilih pasca reformasi menempatkan kiai di posisi penting. Tiga dari empat kepala daerah masing-masing berangkat dari trah kiai atau memiliki hubungan kekerabatan dengan sosok kiai. Sebagai referensi sebut saja misalnya Bupati Bangkalan periode 2003-2013 dipimpin oleh trah kiai, R. KH. Fuad Amin Imron dan dilanjutkan 2013-2018 oleh Muhammad Makmun (Ra Mumun) Ibnu Fuad, yang kebetulan juga putra mahkota bupati sebelumnya yakni R. KH. Fuad Amin Imron, Bupati Sampang Drs. K.A Fannan Hasib periode 2013-2018, Bupati Pamekasan Drs. H. Achmad Syafi’i Yasin, M.Si periode 2003-2008, trah kiai ini terpilih lagi menjadi bupati Kabupaten Pamekasan pada periode 2013-2018 dan Bupati Sumenep KH. Abuya Busyro Karim, M.Si periode 2010-2015.

Suksesi kepemimpinan dalam dunia politik merupakan fenomena lumrah yang umumnya sangat tidak disukai oleh para penguasa manapun di dunia, dan lazimnya para penguasa dituntut untuk memainkan strategi politik mengidentifikasi peta kekuasaan oposisi berikut segala prediksi kemungkinan terjadinya suatu konspirasi bahkan konflik politik didalamnya.

1

Abdur Rozaki, Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura (Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009), 8.


(11)

3

Pada tahun 2003 timbullah rasa kejenuhan masyarakat Bangkalan yang sudah cukup lama terpendam, mereka mulai jenuh dengan sikap peminpinnya, masyarakat mulai mengharapkan seorang peminpin baru, seorang figur peminpin yang tegas, pemberani, kharismatik dan asli orang Bangkalan.

Pengaruh kiai dalam kehidupan pesantren dan masyarakat diluar pesantren pada umumnya sangat tinggi di Bangkalan, dan mampunyai peran sosial yang cukup tinggi dan ikut menentukan pilihan politik masyarakat. Hal ini terlihat dari adanya tingkat penghormatan dan ta’dzim masyarakat yang cukup tinggi terhadap kiai, dengan demikian kiai diposisikan seorang pemimpin kharismatik, terhormat dan sangat dipatuhi tidak hanya bagi santri melainkan juga bagi masyarakat sekitar. Sikap hormat dan kepatuhan kepada kiai ini kemudian diperluas bukan hanya kepada kiai yang sekarang menjadi gurunya, tetapi juga pada para pengasuh sebelumnya (ushulihi), maupun kepada keturunananya ( furu’ihi).

Proses peng-istimewaan yang demikian ini sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pola pikir masyarakat untuk tidak berani membantah perintah kiai, mengkritik kebijakan apalagi berselisih faham baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren.

Kiai menempati level paling tinggi dalam struktur masyarakat, tradisi komunitas sosial dan stratifikasi sosial. Hal tersebut sebagaimana Clifford Geertz, dalam penelitiannya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, dipengaruhi oleh kedekatan hubungan seseorang dengan nilai-nilai ajaran Islam.


(12)

4

Sangat jelas bahwa stratifikasi sosial ditentukan dari tingkat pengetahuan agama seseorang dan kemampuannya dalam menyebarluaskan pengetahuan tersebut2.

Pengaruh kiai yang begitu besar di Bangkalan khususnya Trah KH. Mohammad Kholil yang lebih terkenal denagan sebutan Syaikhona Kholil Bangkalan, hal yang demikian menyebabkan figur yang muncul dalam percaturan politik hanya melibatkan bani Kholil saja.

Diantaranya ialah R.KH. Fuad Amin Imron (Ra Fuad) yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Demangan Barat Bangkalan dan KH. Imam Bukhori (Ra Imam) pengasuh Pondok Pesantren ibnu Kholil II. Pertarungan dua tokoh ini di Bangkalan hakikatnya tak sekadar menjadi lawan politik tapi menguji kekuatan pengaruh sosial dan politik antara Kiai Imam Bukhori versus Kiai Fuad Amin Imron. Tidak sekedar itu saja, akan tetapi juga melibatkan „’blater’’ (jawara atau jagoan).

Memang, selain kiai dan “klebun” (Kepala Desa), di Madura menempatkan “blater” sebagai key person informal di tataran masyarakat. Kiai, klebun, dan blater menjadi rujukan penting dalam menentukan pilihan politik warga Madura. Juga tidak menafikan pengaruh kekuatan politik yang berasal dari masyarakat umum atau santri sebagai lawan politik dari trah kiai.

2

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), 6.


(13)

5

Tabel 1

Figur Calon Bupati Dan Wakil Bupati Periode 2003-2008

No NAMA PASANGAN TRAH KIAI

A

1 R. KH. FUAD AMIN IMRON TK

2 Ir. H. MUHAMMAD DONG NTK

B

1 Ir. H. SULAIMAN NTK

2 H. SUNARTO NTK

Tabel 2

Figur Calon Bupati Dan Wakil Bupati Periode 2008-2013

No NAMA PASANGAN TRAH KIAI

A

1 R. KH. FUAD AMIN IMRON TK

2 Drs. KH. SYAFI’ ROFI’I TK

B

1 Ir. H. MUHAMMAD DONG NTK

2 KH. ABDUL ROZAQ HADI TK

C

1 Dr. H. HAMID NAWAWI NTK

2 HUSYAN MUHAMMAD NTK

*TK = Trah Kiai *NTK = Non Trah Kiai

Penting kiranya diketahui dalam latar belakang penelitian ini bahwa masyarakat Madura secara umum memiliki struktur sosial yang cukup berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah lain manapun di Indonesia. Diakui ataupun tidak, struktur sosial masyarakat Madura hingga kini masih berpatron


(14)

6

kepada sosok kiai. Kiai dalam pandangan struktur masyarakat Madura memiliki pengaruh luas dan dominan. Sebut saja misalnya, pemilihan kepala daerah di Bangkalan seringkali dimenangkan oleh trah kiai.

Berikut riwayat pendidikan maupun karir politik dari beberapah tokoh trah kiai yang terjun dalam dunia politik Pilkada di Kabupaten Bangkalan, diantranya: Nama lengkap : Fuad Amin Imron.

Pedidikan : Hidup di lingkungan Pondok pesantren mulai dari kecil hingga dewasa, dan juga belajar pendidikan formal.

Karir : Anggota IPNU, Ketua KAMI/KAPPI, Anggota GP Anshor, Pengurus NU, Pengasuh Pon.Pes Syaikhona Kholil Bangkalan, Ketua DPC PPP Kabupaten Bangkalan 1996-1998, Wakil ketua DPW PKB Jawa Timur 1998-2001, Anggota Legislatif Bangkalan, Anggota DPR/MPR RI dari Fraksi PKB Komisi IX. Bupati Bangkalan periode 2003-2013.3

Nama lengkap : Imam Bhukhori Kholil

Pendidikan : SMA Al Ibrahimy Situbondo 1986-1989, D3 Ma’had Aly (Ilmu Fihq) setara 1980-1992.

Karir : Pengasuh Pon.pes ibnu Kholil II, Ketua PCNU Bangkalan I 1996-2002, Ketua PCNU Bangkalan II 2002-sekarang, Ketua Dewan pendidikan Bangkalan 2003-sekarang. Anggota DPR RI Komisi VIII dari Fraksi PKB.4

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh trah kiai dalam dunia politik, yang terbingkai dalam judul: Pengaruh Trah Kiai Dalam Kontestasi Politik Pemilukada di Bangkalan Periode 2003-2013 M.

3

Aliman Harish, et al, RA Fuad dan Civil Society (Bangkalan: Leksdam,2004), 03-14. 4


(15)

7

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan pusat perhatian dalam sebuah penelitian. Untuk itu, sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian ini berusaha menjawab persoalan tentang:

1. Bagaimana sejarah trah kiai di Bangkalan?

2. Bagaimana pengaruh trah kiai dalam kontestasi politik di Bangkalan? 3. Bagaimana dampak positif dan negatif trah kiai pasca pemilihan kepala

daerah di Bangkalan?

C.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan sejarah trah kiai di Bangkalan

2. Untuk mendeskripsikan pengaruh trah kiai dalam kontestasi politik di Bangkalan

3. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif trah kiai pasca pemilihan kepala daerah di Bangkalan.

D.Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan dan peningkatan khazanah keilmuan khususnya terkait dengan relasi politik dalam sejarah kebudayaan Islam di Indonesia.


(16)

8

2. Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi para pembaca dan penambahan karya ilmiah perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, utamanya sebagai informasi dan pertimbangan dalam menganalisis wacana tentang sejarah trah kiai dan pengaruhnya dalam kontestasi politik di Bangkalan.

3. Secara Umum, penelitian ini semoga berguna sebagai wacana pemikiran terhadap pendidikan Islam di Indonesia tentang sejarah kebudayaan Islam.

E.Pendekatan dan Kerangka Teori

Mengingat skripsi ini berjudul sejarah trah kiai dan pengaruhnya dalam kontestasi politik pemilukada di Bangkalan periode 2003-2013, dengan demikian pendekatan yang digunakan oleh penulis ialah pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi dipakai karena sosok seorang kiai tak pernah lepas dari struktur masyarakat Madura khususnya di Bangkalan.

Dari uraian di atas maka kerangka teori yang dipergunakan ialah teori kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership theory). Penulis lebih cenderung pada teori kepemimpinan kharismatik milik Max Weber. Weber mendefinisikan kharisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “anugerah”) sebagai suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural (manusia super).

Weber berpendapat bahwa kharismatik adalah kekuatan revolusioner, salah satu kekuatan revolusioner penting di dunia sosial. Kalau otoritas tradisional jelas sangat konservatif, maka lahirnya pemimpin kharismatik sangat mungkin


(17)

9

menjadi ancaman bagi sisitem tersebut (maupun bagi sistem rasional-legal) dan membawa pada perubahan dramatis dalam sistem tersebut.

Weber juga memfokuskan perhatianya pada perubahan struktur otoritas, yaitu, kelahiran otoritas kharismatik. Ketika struktur otoritas baru muncul, dia cenderung mengubah pikiran dan tindakan orang secara dramatis. Minat Weber pada organisasi di belakang pemimpin kharismatik dan staf yang ada di dalamnya membawa pada pertanyaan tentang apa yang terjadi dengan otoritas kharismatik ketika pemimpinya mati. Akhirnya, sistem kharismatik pada dasarnya sangat rentan; sistem terlihat mampu bertahan hanya selama pemimpin kharismatik hidup.5

F. Penelitian Terdahulu

Dalam penulisan skripsi ini, tentunya penulis tidak serta merta menuangkan pemikiran ke dalam sebuah tulisan ilmiah begitu saja. Penulis masih harus melakukan pengkajian terhadap beberapa karya yang menginspirasi penulis, sehingga terangkai sebuah judul : “Sejarah Trah Kiai Dan Pengaruhnya Dalam Kontestasi Politik Pilkada Di Bangkalan Periode 2003 S/D 2013 M”. Beberapa karya tersebut di antaranya ialah;

1. Kiai, Politik dan Pesantren di Kabupaten Pamekasan ( studi kasus terhadap tiga pesantren: Sumber Bungur Pakong, Nurul Islam Ragang dan Alhasanah Sana laok). Skripsi yang ditulis oleh Nur Aeni, mahasiswi Fakultas syariah UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah sikap kiai pesantren yang terjun ke dunia politik

55

George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai


(18)

10

yang berlangsung di Pondok Pesantren Sumber Bungur Pakong, Nurul Islam Ragang dan Alhasanah Sana Laok).6

2. Trah kiai dan Santri dalam Percaturan Politik (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Pamekasan 2013).7 tesis ini ditulis oleh Sa’dillah untuk memenuhi gelar magister dalam program study sosial politik di Universitas Gajah Mada Yogyakarta . Tesis ini lebih menekankan pertarungan politik antara Trah Kiai dan santri pada tahun 2008 di Kabupaten Pamekasan.

Dari dua penelitian terdahulu tersebut, penulis mencoba untuk mensintesiskannya, untuk kemudian menjadi sebuah diskursus yang melengkapi penelitian sebelumnya. Penulis mendeskripsikan sejarah trah kiai dan pengaruhnya dalam kontestasi politik, baik sistem pemilihannya, konstruksi sosial, dan tradisi yang ada didalamnya, sehingga trah kiai sangat dihormati oleh masyarakat Madura umumnya dan khususnya di Bangakalan.

G. Metode Penelitian

Sebagaimana seharusnya, suatu penelitian haruslah menggunakan sebuah metode sebagai alat untuk mengkaji lebih jauh permasalahan agar data-data yang dikumpulkan dengan hasil analisisnya dapat dipertanggung jawabkan sebagai cara kerja untuk penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan metodelogi sejarah, meneurut Nugroho Notosusanto ada empat tahapan:

6

Nur Aeni, “Kiai, Politik dan Pesantren di Kabupaten Pamekasan ( studi kasus terhadap tiga Pesantren: Suber Bungur Pakong, Nurul Islam Ragang dan Alhasanah Sanalaok)” (Skripsi—UIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta, 2005).

7Sa’dillah, “

Trah Kiai dan Santri dalam Percaturan Politik’’ (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Pamekasan 2013” (Tesis-UGM Yogyakarta, 2013).


(19)

11

1. Heuristik; proses mencari atau pengumpulan sumber sumber yaitu; suatu proses yang dilakukan oleh peneliti, untuk mengumpulkan sumber-sumber dan data-data yang diperoleh. Tanpa sumber maka peneliti tidak bisa melakukan analisis. Istilah sumber dalam penelitian sejarah merupakan hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana terjadinya peristiwa politik kiai di Bangkalan, dengan demikian peneliti diharuskan mencari beberapa sumber-sumber dan data-data misalnya sumber dari Buku, data dari KPUD Bangkalan dan data dari BPS sebagaimana terlampir.

2. Kritik sumber; yaitu suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh, agar kejelasan sumber tersebut kredibel atau tidak, dan sumber tersebeut autentik apa tidak, maka pada proses penulisan ini, peneliti meninjau kembali sumber atau data yang diperoleh dengan menggunakan istilah kritik intern dan kritik ekstern. Kririk intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat sumber tersebut cukup kredibel atau tidak, sedengkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.8

3. Interpretasi; atau menafsirkan adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang sumber-sumber yang diperoleh apakah sumber-sumber yang didapatkan telah diuji autentisitasnya, dan dapat berhubungan atau tidak dengan sumber-sumber yang lain. dengn itu peneliti bisa menafsirkan terhadap peristiwa yang terjadi, yang terbingkai dalam judul skripsi ini “Sejarah trah kiai dan pengarunya dalam politik di Bangkalan”.

8

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kntemporer (Jakarta, Yayasan Idayu, 1978). 10-12.


(20)

12

4. Historiografi; adalah menyusun atau merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran peneliti terhadap sumber-sumber politik trah kiai di Bangkalan dalam bentuk tertulis. Dalam penulian sejarah, ketiga metode yang dimulai dari heuristik, kritik dan anlisis atau penafsiran belum tentu menjamin keberhasilan dalam penulian sejarah, oleh kaena itu, dalam penulisan ini peneliti harus lebih cermat dan diimbangi dengan latihan-latihan intensif.

H. Sistematika Pembahasan

Suatu sistematika dalam karya ilmiah yang disajikan akan bervariasi sesuai dengan aspirasi penulis. Penulis mencoba mendeskripsikan sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, sebagai berikut :

Bab Pertama Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi oprasional, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan.

BAB Kedua bertuliskan tentang Pengaruh Trah Kiai di Bangkalan, pengertian Trah dan Kiai di Bangkalan, genealogi Kiai di bangkalan, sistem Trah Kiai di Bangkalan, mengurai tradisi Politik Trah Kiai di Bangkalan, pengaruh Trah Kiai bagi masyarakat di Bangkalan.

BAB ketiga Peta politik dalam pilkada di Bangkalan (2003-2013), peta calon dan Partai pengusung, Genealogi Trah Kiai dan non Trah Kiai, peta hasil pilkada (2003-2013), dinamika Politik dalalam Pilkada.

BAB keempat Sejarah Trah Kiai dan pengaruhnya dalam kontestasi politik pemilukada di Bangkalan periode (2003-2013), sejarah Kiai di Bangkalan,


(21)

13

pengaruh Trah Kiai dalam kontestasi poitik pilkada di Bangkalan, dampak positif dan negatif pasaca pemiliha kepala daerah di Bangkalan.


(22)

14 BAB II

TRAH KIAI DAN PENGARUHNYA DI BANGKALAN A. Deskripsi Kabupaten Bangkalan

Kata “Bangkalan” dipercaya berasal dari kata “Bangkah La’an” yang berarti “mati sudah”. Istilah tersebut bermula dari legenda tewasnya pemberontak sakti bernama Ke’Lesap yang tewas di Madura bagian Barat.1 Ke’Lesap dibunuh oleh Raden Adipati Sejo Adi Ningrat I / panembahan Tjokro Diningrat V atau Pangeran Cakraningrat ke-V pada tahun 1736-1769.2

Sedangkan hari jadi kota Bangkalan diambil dari sejarah masa kejayaan Ki Lemah Duwur (Ki Pratanu) di Madura Barat dengan pusat pemerintahan Arosbaya sekitar 20 km dari kota Bangkalan kearah utara, pada tahun 1531, Ki Lemah Duwur putra dari Ki Pragolbo yang dikenal dengan “Pangiran Islam Onggu”. Dari momentum tersebut yang disepakati hari jadi kota Bangkalan, dan disepakati dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bangkalan No. 6 tanggal 29 April 1992 dan Surat Keputusan Bupati Bangkalan No. 145 tanggal 3 September 1992 tentang hari jadi Bangkalan.3

Kabupaten Bangkalan terletak di ujung barat pulau Madura. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Sampang di timur serta selat Madura di selatan dan barat. Luas wilayah adalah 1.260,14 km dan terletak di antara kordinat 112 40’06’’-113 08’04’’ Bujur Timur serta 6 51’39’’-7 11’39’’ Lintang Selatan.

1

TB Setyawan, et.al., Bangkalan Era Otonomi Daerah; Perspektif Pembangunan Kabupaten

Bangkalan Dalam Kepemimpinan Ir HM. Fatah MM (Bangkalan: Al-Hasaniy Assyafi’iy, 2002),

16. 2

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kek_Lesap (27 Desember 2015) 3


(23)

15

Dilihat dari topografinya, Bangkalan berada pada ketinggian 2-100 m di atas laut. Wilayah yang terletak di pesisir pantai, seperti Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah, Kamal, Modung Kwanyar, Arosbaya, Klampis, Tanjung Bumi, Labang dan Kecamatan Burneh mempunyai ketinggian 2-10 m di atas permukaan air laut. Untuk wilayah yang terletak di bagian tengah mempunyai ketinggian antara 19-100 di atas permukaan laut.

Sebagai daerah penghubung kabupaten lain di pulau Madura dengan pulau Jawa, Bangkalan mempunyai pelabuhan di daerah Kamal, dimana setiap harinya terdapat layanan Kapal Ferry yang menghubungkan Madura dengan Surabaya (melalui pelabuhan ujung). Selain itu, kini terdapat jembatan nasional suramadu (Surabaya-Madura).

Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) dengan panjang 5.438 m, jembatan tersebut sampai saat ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia. Hal ini menjadikan Bangkalan sebagai salah satu kawasan perkembangan Surabaya serta tercakup dalam lingkup Gerbang Kertosusila (Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Kawasan gerbang kertosusila merupakan kawasan metropolitan terbesar kedua di Indonesia.4

Berdasarkan hasil komposisi penduduk, diketahui Kabupaten Bangkalan mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya, seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

4Samsul Ma’arif,

The History Of Madura Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonialisme


(24)

16

Tabel 3

Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No Kelompok umur / age

group

Penduduk /

Population Jumlah / Total

Laki-laki / Perempun

1 Bangkalan 2012 439.054 479.948 919.002

2 Bangkalan 2011 435.643 476.22 911.863

3 Bangkalan 2010 433.206 473.555 906.761

4 Bangkalan 2009 423.751 473.63 897.381

5 Bangkalan 2008 422.792 464.371 887.163

6 Bangkalan 2007 396.709 480.254 876.963

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan.5

Berdasarkan sumber yang terbentuk dalam tabel diatas, bahwasanya penduduk di Bangkalan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah populasi penduduk yang terus bertambah di Bangkalan juga mempengaruhi komposisi pemeluk agama. Meskipun masyarakat Bangkalan mayoritas beragama Islam namun tidak menutup ruang untuk para penganut agama yang lain

.Tabel 4

Pemeluk Agama Di Kabupaten Bangkalan

No. Tahun Islam Protestan Katolik Hindu Budha

1 2012 946.65 1.547 1.24 135 475

2 2011 939.95 1.512 1.057 116 63

3 2010 939.94 1.505 1.059 116 63

4 2009 939.85 1.496 1.067 119 61

5 2008 945.42 1.475 521 105 58

6 2007 943.71 1.47 520 106 56

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan.6

5

Ibid., 55. 6


(25)

17

Berdasarkan sumber data dari Badan Statistik Kabupten Bangkalan, di dalam buku “Bangkalan Dalam Angka terbitan 2013” bahwasanya dari berbagai pemeluk agama ada peningkatan dan juga ada penurunan.

Tabel 5

Pendidikan di Kabupaten Bangkalan

No Tahun SD SMP SMA Jumlah

1 2012 116.867 36.603 6.62 160.09

2 2011 120.001 21.447 5.784 147.232

3 2010 123.559 21.242 5.347 150.148

4 2009 126.648 18.236 5.117 150.001

5 2008 128.623 18.638 4.964 152.25

6 2007 127.733 14.971 4.795 147.539

Jumlah 743.431 131.137 32.627 907.195

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan.7

Berdasarkan sumber data dari Badan Statistik Kabupaten Bangkalan, di dalam Buku “Bangkalan Dalam Angka 2013”, jumlah murid SD, SMP dan SMA setiap tahunnya selalu ada peningkatan jumlah.

B. Pengertian Trah dan Kiai di Bangkalan

Trah (dalam tradisi masyarakat madura) adalah nama rentetan keturunan yang di dalamnya dituliskan urutan silsilah keturunan sebuah keluarga. Kini, bergeser menjadi nama perkumpulan keluarga besar berdasarkan urutan silsilah keluarga besar tersebut. Inilah makna "trah" yang populer saat ini.

Trah adalah sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu sama lain. Terdapat suatu buku/catatan silsilah yang

7


(26)

18

biasanya menjadi rujukan untuk menunjukkan hubungan kekerabatan itu. Hubungan kekerabatan ini kadang-kadang tidak hanya bersifat biologis tetapi juga sosial, dalam arti ada anggota yang diangkat (karena adanya perkawinan kedua atau adopsi, umpamanya) walaupun tidak terkait secara biologi. Dalam masyarakat aristokrat, trah erat berkaitan dengan istilah dinasti atau wangsa. Dalam masyarakat timur yang mengutamakan kebersamaan, seperti yang dipraktekkan oleh sebagian suku bangsa di Indonesia, anggota trah seringkali mengorganisasikan diri untuk mempererat hubungan personal di antara mereka. Dalam masyarakat Jawa, sering kali alasan yang dipakai adalah agar mereka tidak saling melupakan satu sama lain (kepatèn obor).8

Bagi kalangan muslim, trah sering disebut dengan bani yang artinya anak keturunan (terlepas apakah tepat atau tidak penggunaan kata tersebut). Trah dan bani sering digunakan secara bergantian. Trah ala priyayi ini dapat ditempatkan secara proporsional untuk kalangan muslim taat kiai. Dalam Islam dikenal istilah silaturrahim, artinya: hubungan persaudaraan seolah-olah saudara serahim (sekandung) untuk hubungan saudara sekandung maupun tidak sekandung. Maknanya bahwa Islam menghendaki kedekatan (keeratan) sosial dan tidak menghendaki keretakan atau permusuhan sosial.

Dengan keeratan sosial ini, maka seorang muslim dengan muslim lainnya mudah dan senantiasa saling membantu dan menolong (ta'awun). Dengan menghindari keretakan dan menghindari permusuhan sosial, maka akan terhindar dari perselisihan, pertikaian, konflik, kerusuhan sosial, kekerasan sosial dan pertengkaran.

8


(27)

19

Sedemikian ini hubungan pertalian persaudaraan masing-masing lebih erat, lebih akrab dan diketahui (dikenal) secara benar (minimal kenal wajah dan tahu namanya). Meskipun nanti mungkin sekali dapat terjadi ketika perpisahan abadi (atau meninggal dunia) sudah tidak tahu lagi dimana tempat penguburannya.

Manfaat lain dari adanya catatan pohon silsilah, bani (trah) keluarga besar dapat diharapkan, jika ada nama yang tertulis dapat menjadi tokoh suri teladan bagi orang lain terutama akhlaknya, profesinya, karya karyanya, kepribadiannya. Tokoh itu dijadikan uswatun hasanah untuk generasi penerusnya.9 Menurut KH. Imam Bukhori istilah trah kiai di Bangkalan ialah garis keturunan atau silsilah yang masih berpegang teguh dalam keluarga pesantren, demi menjaga nama baik trah dalam keluarga pesantren. Biasanya seorang kiai mengawinkan putra putrinya dengan sesama keturunan kiai juga, khususnya bagi anak perempuan itu wajib hukumnya dikawinkan dengan sesama trahnya.10 Trah juga bisa diartikan sebagai garis keturunan seseorang (kiai) yang mempunyai level lebih tinggi dari masyarakat biasa karena faktor ilmu keagamaan, sehingga pandangan masyarakat Madura khususnya di Bangkalan terhadap keturunan (trah) kiai itu dianggap mulia/keturunan darah biru.11

Dalam struktur lapisan masyarakat kiai menduduki stratifikasi paling atas, karena kiai dianggap sebagai guru bagi santrinya dan bapak bagi masyarakatnya. Kiai adalah seorang yang dikenal sebagai pemuka agama Islam (ulama’) karena banyak menguasai tentang keilmuan tentang agama Islam. Selain itu ia berfungsi sebagai pembina umat juga sebagai penerus ajaran para Nabi.

9

Damami Zein, „’Trah Dalam Konteks Kehidupan Muslim’’. http//mbah buyut.blogspot.com/2008/.../trah-dalam-tradisi-masyarakat-jawa, (20 Juli 2015).

10

KH. Imam Bukhori, Wawancara, Bangkalan, 15 Juli 2015. 11


(28)

20

Pengaruh kiai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kiai menjadi tempat mengadu, seperti urusan agama, pengobatan, rizki, jodoh, membangun rumah, bercocok tanam, konflik sosial, karier, politik, dan sejumlah problematika hidup lainnya. Belum mantap rasanya apabila segala urusan tidak dikonsultasikan kepada kiai dan belum mendapat restu darinya. Kiai melayani kebutuhan umat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, umatpun merasa puas, sebagai “imbalannya” umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada kiai. Hubungan antara kiai dan umatnya sebagaimana digambarkan di atas dikenal dengan pola hubungan paternalistik, di mana hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin (atasan-bawahan) seperti hubunganantara ayah dan anak.12Ketundukan umat kepada kiai kadangkala melampaui batas kewajaran, sehingga bukan hanya tidak berani “melawan” dan mengoreksi kiai, masyarakat acapkali menganggap setiap ucapan dan perbuatan kiai sebagai sesuatu kebenaran. Melawan kiai bisa kualat dan kemarahan kiai dipandang sebagai sesuatu hal yang sangat ditakuti masyarakat. C. Genealogi Kiai di Bangkalan

Kiai menempati kelas sosial paling atas dalam masyarakat Madura. Stratifikasi sosial di Madura jika dilihat dari dimensi agama hanya ada dua lapisan, yaitu santre (santri) dan bennisantre (bukan santri). Pengaruh kiai cukup beragam, tergantung pada asal-usul genealogis (keturunan), kedalaman ilmu

12

Mohammad Kosim ‘’Kyai dan Blater; Elite Lokal dalam Masyarakat Madura,’’ Karsa XII (2007), 162.


(29)

21

agama yang dimiliki, kepribadian, kesetiaan menyantuni umat dan faktor pendukung lainnya.13

Sosok kiai bagi masyarakat Madura khususnya di Bangkalan ialah seorang yang penuh kharismatik, penuh wibawa dan alim. Alim dalam artian kiai mengerti dan memahami agama, isi kitab-kitab kuning (klasik) dan yang penting kiai juga memahami tentang hukum-hukum syar’i. Bukan hanya itu, kiai adalah panutan dan tempat mengadu setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Madura.

Sebagian banyak kiai di Bangkalan masih garis keturunan/nasab dari Syaikhona Moh. Kholil. Dari istri ketiganya yang bernama Nyai Arri’ah, dari Kiai Moh. Kholil memiliki dua keturunan yaitu Ahmad Baidhowi dan Kiai Moh. Imron. Kiai Moh. Imron mempunyai lima keturunan ialah; Nyai Romlah, Nyai Aminah, Nyai Nadhifah, Kiai Ma’mun dan Kia Amin Imron, Kiai Imron mempunyai keturunan Kiai Fuad Amin (Ra Fuad) yang merupakan mantan Bupati Bangkalan periode 2003-2013. Sedangkan Nyai Romlah memiliki empat putra diantaranya Kiai Fahrumzi, Kiai Abdullah Sachal, Kiai Kholil AG dan Kiai Kholilurrohman. Dari cicitnya Kiai Moh. Kholil yang bernama Kiai Kholil AG mempunyai anak Kiai Imam Bukhori (RA Imam) yang pernah mencalonkan diri sebagai Bupati Bangkalan periode 2008-2013.14

13

Samsul Ma’arif, The History Of Madura; Sejarah Panjang Madura dari Kerajaan, Kolonialisme

sampai Kemerdekaan (Yogyakarta: Araska,2015), 126.

14Ma’mun ibnu Fuad,


(30)

22

Silsilah Kiai Moh. Kholil15

Dalam menentukan tipologi kiai-kiai di Bangkalan, maka perlu diangkat hasil penelitian yang dilakukan oleh Imam Suprayogo terhadap masyarakat Tebon Malang yang membedakan kiai dari berbagai sudut pandang, karena ada kemiripan tipologis antara hasil penelitian tersebut dengan tipologi kiai-kiai yang ada di kabupaten Bangkalan. Pertama, dari sudut keturunan; ia membedakan sebagai kiai nasab dan kiai bukan nasab. Kedua, dari segi keaktifannya dalam organisasi tarekat, ia membedakan kiai sebagai kiai tarekat dan kiai bukan tarekat. Dalam pandangan masyarakat setempat kiai tarekat juga disebut dengan kiai batin,

15


(31)

23

yaitu kiai yang dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan rohani yang tinggi, yang dengan kemampuannya ia dianggap sebagai orang yang memiliki “karomah” dari Allah. Sedangkan kiai bukan tarekat juga disebut dengan kiai zahir yaitu kiai yang memiliki ketinggian ilmu agama Islam yang ditandai dengan kemampuannya membaca dan memahami kitab-kitab klasik Islam yang sering juga disebut dengan kitab kuning.16

Selanjutnya Suprayogo menegaskan bahwa kiai di masyarakat memiliki orientasi kegiatan yang menonjol secara berbeda, yaitu; pertama kiai spiritual ialah pengasuh pondok pesantren yang lebih menekankan pada upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui kegiatan ibadah tertentu. Kedua, kiai advokatif adalah pengasuh pondok pesantren yang selalu aktif mengajar santri dan jamaahnya serta memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapai oleh masyarakat. Ketiga adalah kiai politik adalah pengasuh pondok pesantren yang senantiasa peduli terhadap urusan politik dan kekuasaan. Kiai yang termasuk dalam kategori ini yaitu adalah kiai adaptif yang bersedia menyesuaikan diri dengan pemerintah dan kiai yang mengambil sikap mitra kritis.17

Keberagaman kiai di atas setidaknya disebabkan oleh tiga faktor,18 yaitu: pertama social learning. Setiap orang mengalami social learning yang berbeda. Seorang kiai yang menjalani pendidikan dengan cara bervariasi dari pesantren tradisional dan pendidikan moderen, memiliki wawasan yang berbeda dengan seorang kiai yang hanya menjalani pendidikan pada pesantren tradisional. Semakin bervariasi pendidikan yang dijalani semakin luas wawasan yang dimiliki

16

Imam Suprayogo, Reformalisasi Visi Pendidikan Islam (Malang: STAIN Press, 1999), 148. 17

Ibid., 149. 18


(32)

24

oleh seorang kiai. Kedua, adalah perbedaan interpretasi dalam memahami sumber-sumber hukum yang sama sehingga melahirkan persepsi, interpretasi dan aliran yang berbeda yang berakibat lahirnya kelompok-kelompok aliran agama. Ketiga, adalah perbedaan ilmu yang dikembangkan misalnya bidang hukum Islam (fiqih), mistis (tasawuf) atau filsafat (mantîq). Sebagai gambaran tentang hal ini dapat dijumpai beberapa kiai yang menekankan pengajarannya pada spesialisasi ilmu tertentu.

Menurut Turmudi yang dikutip oleh Ali Maschan Moesa19 dalam buku “Nasionalisme Kiai” memaparkan ada empat istilah kiai menurut tipologinya, antara lain:

1. Kiai pesantren memusatkan perhatiannya pada aktivitas mengajar di pesantren untuk meningkatkan kualitas SDM (sumber daya manusia) melalui pendidikan. Pendidikan model ini sangat ditaati oleh santri, wali santri dan masyarakat. Mereka berkeyakinan bahwa dengan mentaati para kiai akan terjamin eksistensi masa depannya.

2. Kiai tarekat adalah mereka yang memusatkan aktivitasnya dalam membangun kecerdasan hati (dunia batin) umat Islam. Oleh karena itu tarekat adalah lembaga formal maka pengikutnya adalah juga anggota formal gerakan tarekat. Jumlah pengikut kiai model ini bisa lebih banyak dari pengikut kiai pesantren, tentunya kedudukan kiai tersebut sebagai mursyid. Sebab, melalui cabang-cabang yang ada di seluruh Indonesia para anggota kiai tarekat secara otomatis menjadi pengikut kiai tarekat.

19

Ali Maschan Moesa, Nasinalisme Kiai konstruksi Sosial Berbasis Agama (LKiS Yogyakarta; 2007), 65-66.


(33)

25

3. Kiai politik adalah kiai yang mempunyai perhatian (concern) untuk mengembangkan NU (nahdlatul ulama) dan pada umumnya yang terlibat dalam politik praktis. Pengembangan organisasi NU dalam kurun waktu yang sangat lama dikelola oleh kiai yang masuk dalam kategori ini. Kiai model ini juga memiliki pengikut meskipun jumlahnya tidak sebanyak tipologi yang sebelumnya.

4. Kiai panggung adalah mereka yang melakukan juru dakwah (muballigh-da’i) yang hampir di setiap harinya menyampaikan ceramah agama di berbagai tempat. Mereka mengembangkan dan menyebarkan agama islam melalui jalur dakwah. Pengikut kiai semacam ini juga sangat banyak dan tersebar di berbagai kabupaten dan propinsi. Terlebih lagi jika ia tergolong kiai panggung yang amat populer dan tidaklah banyak, dan umumnya seorang kiai panggung hanya memiliki pengaruh di daerah kabupaten saja.

Lebih khusus di daerah Kabupaten Bangkalan yang masih sangat kental dengan aroma patronase (ketundukan kepada kiai) para kiai dan masyarakat lebih merujuk pada trah Kiai Kholil. Kiai Kholil adalah ulama’ terbesar yang ada di Kabupaten Bangkalan. Trah Kiai Kholil sampai saat ini masih dianggap mempunyai pengaruh besar dalam tatanan kehidupan sosial bahkan hingga tatanan politik saat ini.

D. Sistem Trah Kiai Di Bangkalan

Secara umum kiai di Bangkalan adalah kiai nasab, artinya mereka masih mempunyai garis keturunan Kiai Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Syaikhona Moh. Kholil sorang ulama keturunan Sunan Gunung Jati yang pasareannya di


(34)

26

Martajasah Bangkalan, yang menurunkan hampir seluruh ulama/kiai di Bangkalan.20

Seperti yang dipaparkan oleh Kiai Imam Buhori, salah satu sistem trah kiai adalah mengawinkan putra putrinya bahkan sampai ke anak cucunya dengan sesama keturunan kiai juga, Kiai Kholil menikahkan putrinya Nyai Asma dengan seorang Kiai yang sangat alim bernama Kiai Yasin. Dari pasangan perkawinan inilah, Kiai Kholil mempunyai 11 orang cucu, yaitu Malihah, Mohammad kholil, Muhammad Nasir, Badiyah, Nahilah Karimah, Nailah, Sayatun, Robi’ah, Hafsah, Qomariah dan Tajwati. Sedangkan, cucu Kiai kholil dari anaknya yang bernama Rohmah sebanyak dua orang yaitu Umar dan Minnah. Cucu Kiai Kholil dari putra laki-lakinya bernama Muhammad Imron, ada 7 orang, mereka adalah Romlah, Nadhifah, Amin, Makmun, Nikmah, Urfiah dan Jamaliyah.21

Salah seorang cucu Kiai Kholil yang bernama Romlah binti Imron mempunyai empat orang putra, yaitu Fahrumzi, Kiai Abdullah Sachal, Kiai Kholil AG dan Kiai Kholilurohman, Kiai Abdullah Sachal sekarang mewarisi pondok pesantren Syaikhona I di kademangan. Sedangkan Kiai Kholil AG mewarisi pondok pesantren Syaikhona II di Kademangan.22 Syaikhona Kholil ini mempunyai keturunan bernama KH. Moh. Imron, Nyai Asma dan Nyai Rahmah. Berdasarkan perkawinan KH. Moh. Imron dengan istri pertamanya yaitu Nyai Mutmainnah mempunyai keturunan KH. Amin Imron, seorang ulama yang dikenal sangat mencurahkan hidupnya dalam bidang politik dan punya putra R. KH. Fuad Amin Imron, mantan Bupati Bangkalan periode 2003 s/d 2013.

20

Muhammad Rifai, Kiai M. Kholil Bangkalan; Biografi Singkat 1820-1923 (Jogjakarta, Garasi, 2013), 15.

21

KH. Imam Bukhori, Wawancara, Bangkalan 15 Juli 2015. 22


(35)

27

Para kiai yang terlibat baik secara langsung dan tidak langsung dalam politik praktis di Kabupaten Bangkalan tak lain adalah keturunan dari Kiai Moh. Kholil. Keterlibatan mereka dalam politik praktis berkaitan erat dengan peran dan posisi yang sedemikian tinggi, yang menggambarkan ketinggian ilmu dan keagungan pribadi, yang dengannya ia mendapatkan privilege berupa perlakuan dan hak-hak istimewa dari masyarakat.

Dilain pihak, kiai di Bangkalan berusaha mempertahankan privilege yang dimilikinya dengan beberapa cara;

1. Melakukan perkawianan indegenous (perkawinan antar keluarga dekat) atau juga perkawinan antar keluarga kiai. Dengan cara itu, kiai-kiai di Bangkalan menghendaki semua anggota keluarganya (menantu anak dan cucunya) adalah orang yang berstatus kiai atau setidaknya berketurunan kiai (trah). Adalah sangat jarang terjadi di kalangan kiai Bangkalan yang menikahkan anaknya dengan anak dari kalangan orang awam (non trah). Kalaulah terjadi perkawinan antar mereka itu karena calon menantu kiai tersebut berasal dari kalangan orang santri-santrinya yang paling alim. Dengan pola perkawinan seperti di atas yang masyarakat awam sulit menembusnya, maka kiai dapat mempertahankan status dan privilege yang ia miliki.

2. Menciptakan image bahwa anak dan keturunan kiai merupakan orang yang dapat mewarisi ilmu, dan atribut-atribut spiritual yang dimiliki ayahnya. Upaya ini dilakukan agar santri dan masyarakat untuk menghormati para anak atau keturunan kiai dan anggota keluarga lainnya.


(36)

28

E. Mengurai Tradisi Politik Trah Kiai Di Bangkalan

Jika dicermati secara mendalam, semua kiai yang menjadi subjek penelitian ini ternyata masuk kategori pertama, yaitu mendasarkan seluruh perilaku kehidupanya pada ajaran agama yang telah diinterpretasikan sesuai dengan proses interaksi yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa mereka dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pesantren yang secara ketat memegang teguh paham ahlussunnah wa jama’ah dengan referensi kitab kuning-nya.23 Dalam tradisi trah kiai di Bangkalan yang mayoritas kaum nahdliyin, dan masyarakat muslim pada umumnya, kiai merupakan pribadi yang memiliki tempat istimewa. Pendapatnya menjadi rujukan utama dalam proses pengambilan keputusan, bukan saja dalam masalah-masalah agama tapi juga sosial dan politik, baik yang mengikat kepentingan individu maupun kolektif. Penyampaian pesan-pesan dalam komunikasi yang diperankannya pun efektif, meskipun cenderung satu arah, sehingga, dengan posisinya yang istimewa itu, dalam lingkup organisasi NU dan organisasi-organisasi lainya kelompok kiai selalu ditempatkan pada lembaga tertinggi, seperti Dewan Syuro ataupun ketua dari berbagai partai-partai politik.

Dilihat dari fungsi sosiologisnya, menurut Geertz yang dikutip oleh Asep Saeful Muhtadi, kiai dilihat sebagai “makelar budaya” (cultural broker). Dalam analisanya ia menemukan bahwa kiai berperan sebagai alat penyaring arus informasi yang masuk ke dalam lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggapnya berguna dan dibuang apa yang dianggapnya merusak bagi mereka. Namun, lanjut Geertz, peranan penyaringan tersebut akan macet, ketika arus

23


(37)

29

informasi yang masuk sangat deras dan kiai tidak bisa lagi menyaringnya, kiai akan kehilangan perannya dan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan masyarakat sekitarnya.24

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, NU sering diindentifikasi sebagai sebuah komunitas yang dicirikan oleh tradisi yang berbasis pesantren. Dalam banyak hal, secara sosiologis pesantren dapat dikategorikan sebagai sebuah subkultur dalam masyarakat karena ciri-cirinya yang unik.25 Sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahirnya, simbol fisik pesantren yang terdiri dari masjid, pondok dan rumah tinggal kiai, memperlihatkan pola kehidupan yang khas sebagai komunitas yang beragama yang beranggotakan para santri dengan kiai sebagai pemimpin utama bagi santri ataupun masyarakat sekitarnya. Tradisi politik trah kiai yang ada di Bangkalan masih terjaga hingga saat ini. seperti yang diungkapkan oleh Kiai Imam Bukhori, para kiai sepuh sudah memusyawarahkan siapa yang akan menjadi Bupati saat ini ataupun yang akan menjadi Bupati selanjutnya dan siapa saja yang akan memimpin posisi-posisi strategis di Bangkalan.26

F. Pengaruh Trah Bagi Masyarakat Bangkalan.

Peran kiai melampaui berbagai aspek kehidupan, pengaruhnya melampaui institusi-institusi kepemimpinan lainya. Dalam urusan umat kiai menjadi tempat mengadu, seperti konsultasi agama, keluarga, pengobatan, rizki, jodoh, membangun rumah, bercocok tanam, konflik sosial, karir, politik dan problem kehidupan lainnya.

24

Asep Seaful Muhtadi, Komunikasi politik Nahdlatul Ulama’ pergulatan Politik Radikal dan

Akomodatif (Jakarta :LP3ES, 2004), 37-38.

25 Ibid, 81. 26


(38)

30

Disinilah letak kekuatan kiai yang membedakanya dengan pemimpin lainnya, kiai mendudukkan dirinya sebagai bapak (orang tua) dari semua orang, dengan penuh kasih sayang. Kiai melayani kebutuhan masyarakat. Maka masyarakatpun merasa puas. Sebagai timbal baliknya atau balasanya, umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada kiai.27

Berawal dari sentral kiai Mohammad Kholil bin Abd. Latif yang melahirkan cikal bakal pesantren di Bangkalan dan melahirkan banyak ulama’ di Jawa dan Madura, sehingga Kiai Moh. Kholil menjadi rujukan dalam masalah agama, sosial bahkan politik di masanya, Kiai Moh. Kholil merupakan pemeran kunci lahirnya Nahdhatul Ulama (NU). Pengaruh atau peran Kiai Muhammad Kholil di masanya, diteruskan oleh keturunannya (trah) sampai saat ini, dimana patron masyarakat Bangkalan berpegang teguh kepada “Bani Kholil” baik itu masalah agama, sosial dan politik.28

Pengaruh kiai dalam masyarakat Bangkalan menimbulkan lahirnya patronase. Penjelasan mengenai kultur yang ada dan berkembang dalam masyarakat Bangkalan menyebutkan bahawa masyarakat Bangkalan adalah masyarakat santri dengan kiai sebagai elit kultur sosial. Didalam pemahaman kultur tersebut akan memudahkan pemahaman mengenai peranan kiai dalam masyarakat.

Kiai di Bangkalan dapat digolongkan kedalam lebih dari satu kategori karena memainkan banyak peran dalam masyarakat. Akibatnya, kiai mempunyai banyak pengikut baik di pesantren maupun di masyarakat luas. Kiai di Bangkalan

27Ma’arif,

The History Of Madura, 128.

28


(39)

31

banyak memimpin atau pengasuh pondok pesantren, membentuk jaringan yang kuat satu sama lain, berdakwah memberikan ceramah agama hingga ke pelosok-pelosok desa dan berpolitik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berikut beberapa peran kiai di Bangkalan;

1. Kiai sebagai pemuka agama Islam, kiai menyebarkan dan mengajarkan pengetahuan tentang agama Islam kepada murid-muridnya yang disebut dengan santri. Pengetahuan itu meliputi pedoman hidup di dunia dan bagaimana beribadah serta mengabdi kepada Allah SWT. Orientasi utama kiai pesantren adalah mendidik santri. Kiai mengajarkan santrinya mengaji, menerjemahkan Al-qur’an dan hadist, memberikan ceramah keagamaan dan sebagainya, dengan begitu tidak heran jika santri sangat menghormati kiai dan menjadikan kiai sebagai panutan.

2. Kiai sebagai panutan bagi santri dan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keagamaan yang diyakini. Kiai menjadi panutan bagi masyarakat bagaimana seharusnya mereka berperilaku dan menghadapi persoalan-persoalan kehidupan. Banyak masyarakat datang pada kiai untuk bertanya dan mendapatkan nasehat kehidupan. Nasehat kiai umumnya menjadi pertimbangan kuat dan dipatuhi oleh masyarakat.

3. Kiai sebagai pemimpin politik. Di Bangkalan trah dari KH. Moh. Kholil dipandang sebagai elit kharismatik dan dijunjung tinggi. Akibat penghormatan yang tinggi dari masyarakat, kiai dapat dengan mudah menempati jabatan strategis pemerintahan seperti kepala daerah, DPR RI,


(40)

32

anggota atau ketua DPRD, dan menjadi petinggi-petinggi partai politik.29 Banyak dari pejabat-pejabat strategis pemerintahan di Bangkalan dipegang oleh trah Syaikhona Moh. Kholil. Bupati Bangkalan RKH. Fuad Amin Imron dan Wakil Bupati Bangkalan KH. Syafik Rofi’i adalah salah satu contoh keturunan/trah yang terjun dalam dunia politik.

29

Berdasarkan pengamatan peneliti dan Wawancara dengan KH. Imam Bukhori, Bangkalan 15 Juli 2015


(41)

33 BAB III

PETA POLITIK DALAM PEMILUKDA 2003-2013 A.PETA CALON DAN PARTAI PENDUKUNG 2003-2008

1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2003

Pada tahun 2002 DPRD Kabupaten Bangkalan, harus memperoses pemilihan Bupati baru, menyusul jabatan Bupati Bangkalan H.M. Fattah akan berakhir tanggal 2 Februari 2003. Komposisi DPRD periode 1999 sampai 2004 terdiri dari 4 Fraksi yakni: Fraksi Kebangkitan Bangsa dengan jumlah 25 anggota, Fraksi PDI P terdiri dari 7 anggota, Fraksi TNI dan POLRI 5 anggota dan Fraksi Persatuan Amanat Ummat beranggotan 8 orang.

Semasa otonomi daerah belum diimplemenatasikan, dan pemilihan kepala daerah masih mengacu pada undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang masih bersifat sentralistis, meskipun DPRD berwenang memilih kepala daerah, namun dalam kenyataannya campur tangan pusat masih sangat dominan. Pada waktu itu hampir dapat dipastikan bahwa hanya calon yang direstui oleh pemerintah pusat yang lebih cenderung berpeluang sehingga muncul istilah calon pendamping yang dipasang agar proses pemilihan tampak demokratis.1

Namun ketika otonomi daerah efektif berlaku kondisi tersebut berubah, dan peran pemerintah pusat tidak lagi dominan, mengingat kewenangan pemilihan

1


(42)

34

daerah sudah diserahkan kepada daerah. Akibatnya dinamika politik yang terjadi di daerah sepenuhnya berada di tangan rakyat setempat dimana mekanisme sepenuhnya dilaksanakan oleh DPRD.

Dengan aturan main seperti itu, partai-partai politik di Kabupaten Bangkalan lalu mulai melaksanakan penjaringan para bakal calon Bupati dan wakil Bupati Bangkalan periode 2003-2008 untuk kemudian disalurkan melalui fraksi-fraksi di DPRD.2 Pada waktu itu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melakukan penyeleksian untuk para kader partainya yang kelak akan dicalonkan Bupati dan wakil Bupati dari tingkat anak cabang hingga cabang. Semula ada 3 nama ulama’ NU di lingkungan PKB yang mencuat yakni; ketua DPRD Kabupaten Bangkalan Drs. HM. Syafik Rofi’i, KH. Imam Bukhori ( Ra Imam) dan RKH. Fuad Amin Imron (Ra Fuad).

Sementara itu pencalonan RKH. Fuad Amin Imron bukannya tanpa kontroversi. Sebagian kalangan di Kabupaten Bangkalan mulanya memandang bahwa pencalonan figur Kiai Fuad amin Imron (Ra Fuad) kurang tepat karena anggapan meraka seorang kiai sebaiknya menempati fungsi ke-kiai-annya tanpa harus menjadi Bupati. Sebab jika hal itu gagal tentunya akan berpengaruh negatif terhadap reputasi para kiai secara keseluruhan. Kalangan ini berpendapat setiap figur punya tugas dan tempat masing-masing. Lakonah lakoneh, kennengngennah kennengeh (pekerjaannya kerjakan, tempatnya tempati). Meski demikian, kalangan ini tidak bermaksud menghalang-halangi pencalonan Ra Fuad, karena yang ingin

2


(43)

35

ditegaskan ialah kiai bisa menjadi bupati asal didukung dengan kemampuan yang memadai.

Sementara kalangan lain berpendapat tidak masalah seorang kiai menjadi bupati karena justru dapat menjadi panutan moral. Kaitannya dengan kemampuan dapat didukung oleh staf ahli sehingga tidak perlu dirisaukan. Kalangan ini berpendapat bahwa menjadi pengurus NU dipandang jauh lebih berat dari pada menjadi bupati. Meskipun kedua pandangan tersebut berinteraksi, namun tidak membuat proses penjaringan calon di PKB terganggu. Justru kedua pandangan tersebut membuat seleksi calon bupati di internal PKB dilakukan secara ketat sehingga mutu calon Bupati di internal PKB lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Pada waktu itu figur calon mengerucut pada diri Ra Fuad. Dari sejumlah pengurus anak cabang (PAC) Partai Kebangkitan Bangsa di Kabupaten Bangkalan, 15 PAC memilih Ra Fuad dan sisanya terbagi kepada lainnya. Hal itu tak lepas dari dukungan KH. Abdullah Sachal sebagai tokoh sepuh kiai di Kabupaten Bangkalan, sehingga KH. Syafik Rofi’i dan KH Imam Bukhori pun mendukung pencalonan Ra Fuad. Termasuk juga dukungan dari Jaringan Kiai Kampung (JAKIPUNG). Mengingat masyarakat masih menganggap kiai sebagai patron dalam konteks kehidupan bermasyarakat menurut Aliman Harish.3

Sementara itu tahap-tahap pemilihan bupati dan wakil bupati di Kabupaten Bangkalan pada waktu itu diwarnai dinamika politik yang memuncak dengan aksi berbagai demonstrasi. Unjuk rasa itu dipicu keputusan DPRD Bangkalan yang

3


(44)

36

menolak laporan pertanggung jawaban (LPJ) akhir masa jabatan Bupati HM. Fatah dimana rencananya akan kembali dicalonkan oleh pendukung sebagai bupati Bangkalan untuk periode yang kedua kalinya.

Penolakan tersebut mengakibatkan tertutupnya peluang HM. Fatah untuk mencalonkan kembali menjadi bupati bangkalan periode yang kedua (sesuai dengan persyaratan administratif yang telah ditetapkan panitia pemilihan bupati dan wakil bupati) sehingga para pendukungnya kemudian berunjuk rasa menentang keputusan itu dan menuntut proses pemilihan bupati dihentikan. Namun aksi itu ditandingi oleh demonstran lain yang mendukung keputusan DPRD Kabupaten Bangkalan yang menginginkan proses pemilihan bupati dan wakil bupati tetap berlangsung. Pihak demonstran ini umumnya merupakan pendukung Kiai Fuad Amin Imron (Ra Fuad), calon kuat yang memang didukung massa secara riil.

Demonstrasi diantara kedua belah pihak datang silih berganti mewarnai proses pemilihan kepada daerah Kabupaten Bangkalan. Data sekretariat DPRD Bangkalan menunjukan bahwa pada tahun 2001 unjuk rasa di gedung dewan hanya terjadi 2 kali, namun jumlah masa demonstrasi itu meningkat tajam pada tahun 2002 menjadi 29 kali. Dari jmulah tersebut sebagian besar merupakan demonstrasi dalam menyampaikan aspirasi tentang pemilihan bupati dan wakil bupati.

Pada tanggal 18 Desember 2002, DPRD Kabupaten Bangkalan menyelenggarakan sidang paripurna guna menetapkan nama-nama calon bupati


(45)

37

dan wakil bupati. Dalam sidang tersebut tercatat 3 fraksi masing-masing fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), fraksi Persatuan Amanat Ummat (PAU) dan fraksi TNI/Polri tidak mengajukan. Fraksi Partai Kebangitan Bangsa dan Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) mengajukan nama calon Bupati RKH. Fuad Amin Imron dan Wakil Bupati Ir. H. Muhammadong. Sedangkan fraksi Persatuan Amanat Ummat mengajukan pasangan calon Bupati Ir. H Sulaiman dan wakil Bupati H. Sunarto.

Tabel 6

Anggota DPRD Hasil Pemilu Per-Fraksi Tahun 1982-1999

No. Hasil

Pemilu ABRI PPP Golkar

PDI-P PAU PKB Jumlah

1 Tahun 1982 6 22 12 - - - 40

2 Tahun 1987 9 17 18 1 - - 45

3 Tahun 1992 9 13 22 1 - - 45

4 Tahun 1997 9 15 21 - - 45

5 Tahun 1999 5 - 3 7 5 25 45

6 Tahun 2003 5 - - 7 8 25 45

Sumber data: sekretariat DPRD Kabupaten Bangkalan.

Pemilihannya sendiri dilangsungkan dalam sidang paripurna DPRD Kabupaten Bangkalan di gedung dewan pada tanggal 6 Januari 2003 dalam penjagaan ektra ketat dari aparat keamanan menyusul maraknya masyarakat yang


(46)

38

berunjuk rasa di luar gedung DPRD. Sementara di dalam gedung jalannya pemilihan cukup dramatis saat para anggota dewan menggunakan hak pilihnya. Ketika penghitungan suara dilakukan hasilnya cukup fenomenal. Pasangan RKH. Fuad Amin Imron dan Ir. Muhammadong berhasil meraih kemenangan dengan perolehan 42 suara mengungguli rivalnya pasangan Ir. H. Sulaiman dan H. Sunarto yang hanya didukung oleh 3 suara.

2. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2008

Keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pencalonan pasangan calon kepala daerah dapat melalui tiga jalur, yaitu partai atau gabungan partai yang memperoleh kursi di DPRD, gabungan partai yang tidak memperoleh kursi di DPRD, dan calon perseorangan yang ikut pilkada.4

Atas landasan undang-undang itulah RKH. Fuad Amin Imron (RA Fuad) kembali mencalonkan diri sebagai bupati pada Tahun 2008, akan tetapi Ra Fuad kali ini memilih berpisah dengan Ir. Muhammadong yang pernah menjadi wakilnya selama satu periode. Tahun 2008 menjadi pemilu yang secara terbuka dipilih oleh rakyat. Ada 5 pasang calon yang mendaftar kepada KPUD Kabupaten Bangkalan yaitu; 1. dr. H. A. Hamid Nawawi, Sp.A., dan Drs. Hosyan Muhammad, SH. yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 2. Ir. H. Muhammadong dan H. Abdul Rozak, SH. yang diusung oleh PDI Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat, 3. RKH. Fuad Amin Imron dan Drs. KH. M. Syafik

4


(47)

39

Rofi’i diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 4. KH. Imam Bukhori (Ra Imam) dan H. Soleh Farhat dan yang terakhir, 5. KH. Nurruddin dan H. Bai Arifin. Dari lima pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Bangkalan pada akhirnya hanya menetapkan 3 pasang calon Bupati dan Wakil Bupati Bangkalan yaitu: 1. pasangan dr. H.A Hamid Nawawi. Sp.A., dan Drs. Hosyan Muhammad, SH. yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan, 2. pasangan Ir. H. Muhmmadong dan H. Abdul Rozak. SH. yang diusung oleh PDI Perjuangan dan 3. pasangan Partai Demokrat dan RKH. Fuad Amin Imron dan Drs. KH. M. Syafik Rofi’I yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara untuk 2 pasangan lainnya, KPUD Bangkalan tidak bisa meloloskan dikarenakan persyaratan partai yang tidak lengkap secara administrasi, tutur Fauzan Djakfar selaku ketua KPUD Bangkalan.5

Fauzan Djakfar menambahkan bahwa pada pemilu tahun 2008 dinamika yang berkembang memang tidak terjadi konflik yang bermuara pada kerusuhan, sebab proses pemilihan berjalan dengan aman dan tentram. Hal itu menjadi kondisi yang bagus karena sistem dan merujuk kepada kata kiai. Berikut jumlah daftar pemilih tetap (DPT) kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Bangkalan.

5


(48)

40

Tablel 7

Daftar Pemilih Tetap Kabupaten Bangkalan 2008

No.

NAMA KECAMATAN

PEMILIH TERDAFTAR JUMLAH

Ket

Laki-laki Perempuan Jumlah TPS

1 BANGKALAN 25.903 28.345 54.248 104

2 SOCAH 17.171 19.656 36.827 72

3 BURNEH 21.536 22.52 44.056 88

4 KAMAL 15.942 17.578 33.51 65

5 AROSBAYA 14.516 15.747 30.263 66

6 KLAMPIS 18.094 20.979 39.073 80

7 GEGER 20.58 24.129 44.709 86

8 SEPULUH 13.539 15.624 29.163 60

9 KOKOP 19.634 21.202 40.836 76

10 TANJUNG BUMI 16.264 17,564 33.828 64

11 KWAYAR 15.112 17.014 32.126 72

12 LABANG 10.943 12.558 23.501 49

13 TRAGAH 9.12 10.831 19.951 42

14 TANAHMERAH 23.135 25.24 48.375 97

15 BLEGA 20.136 21.495 41.651 85

16 KONANG 15.051 16.422 31.473 60

17 MODUNG 15.845 18.233 34.078 64

18 GALIS 26.979 29.375 56.354 111

JUMLAH 319.51 354.512 674.02

2 1,341

Sumber data: Humas KPUD Bangkalan 2 Desember 2015. 3. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2013

Peran Bani Kholil dalam menentukan arah politik di Bangkalan masih sangat dominan, terbukti pada pemilihan kepala daerah tahun 2013, pengaruh RKH. Fuad Amin Imron masih sangat kuat. Namun ketika RKH. Fuad Amin


(49)

41

Imron tidak bisa mencalonkan sebagai bupati lagi karena bertentangan dengan UU no. 24 tahun 2014. Maka Ra Fuad memutusakan untuk mencalonkan putranya yang bernama Makmun ibnu Fuad (Ra Momon) sebagai calon bupati. Akan tetapi penunjukan Ra Momon sebagai calon bupati ternyata mendapatkan penolakan dari pihak keluarga sendiri, salah satunya penolakan dari sepupunya sendiri yaitu Kiai Imam Bukhori (Ra Imam) yang tak lain adalah keponakan dari RKH. Fuad Amin Imron (Ra Fuad), sehingga Ra Imam mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada tahun 2013. Sebab Ra Imam tidak terlalu sejalan dengan Ra Fuad sewaktu memimpin Kota Bangkalan selama 2 Periode. Ra Imam menilai Ra Fuad tidak memiliki komitmen terhadap amanah rakyat dan dalam hal kebijakan politik. Oleh karena hal itulah Ra Imam memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai bupati.6 Dengan demikian kontestasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati akhirnya didominasi oleh Trah/Bani Kholil.

Sementara itu Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Bangkalan menerima 3 pasang calon bupati dan wakil bupati yang mendaftar, yaitu pertama pasangan KH. Imam Bukhori dan Zainal Alim yang diusung oleh partai PKNU dan PPN, kedua pasangan Nizar Zahro dan Zulkifli yang diusung partai PNBK dan PBR dan pasangan terakhir Makmun Ibnu Fuad dan Mundir Rofi’i yang diusung oleh Partai Gerindra, PAN, PKB, PDIP, PPP, Partai Demokrat dan Partai Hanura.

6


(50)

42

Namun pasangan calon nomor urut satu, yakni KH. Imam Bukhori dan HR. Zainal Alim kandas di tengah perjalanan hanya 6 (enam) hari menjelang pemilu, ketua KPUD Kabupaten Bangkalan telah mencoretnya sebagai salah satu calon dengan berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya Nomor 136/G/2012/PTUN.Sby, tanggal 5 Desember 2013, sehingga tidak dapat mengikuti tahap pemilihan umum dalam Pemilukada Kabupaten Bangkalan.7 Pencoretan pasangan calon nomor urut satu tersebut disebabkan ada konflik internal dua kepengurusan partai yakni PPD dan PPN.

Hal itu berawal dari internal kepengurusan partai yang mengusungnya yakni Partai Persatuan Daerah (PPD) yang berganti nama menjadi Partai Persatuan Nasional (PPN), antara pengurus lama dengan pengurus baru (ketua dan sekretaris) H.M. Mukhlis Alkomi, S. Pd. sebagai ketua dan Ahmad Rois sebagai sekretaris dari Partai Persatuan Daerah kepengurusan yang lama, sedangkan dari pengurus baru Supardi sebagai ketua dan Husnan sebagai sekretaris dari Partai Persatuan Nasional, kedua pengurus partai tersebut saling mengaku menjadi pengurus dan saling menunjukkan SK. Akhirnya H.M. Mukhlis Alkomi S. Pd. dan Ahmad Rois merasa dirinya dirugikan karena mereka tidak merasa mengusung calon K.H Imam Bukhori dan HR. Zainal Alim sehingga berujung pada mengajukan gugatan ke PTUN Surabaya, dan PTUN memenangkan mereka.

7


(51)

43

Atas dasar putusan PTUN Surabaya, maka KPU Bangkalan akhirnya mendiskualifikasi pasangan Cabup-Cawabup nomor urut satu yakni pasangan K.H Imam Bukhori dan Zainal Alim. Didiskualifikasinya pasangan Cabup Cawabup nomor urut satu K.H Imam Bukhori dan Zainal Alim membuat gejolak di kalangan bawah terutama kalangan santri dan kaum “blater”. Gejolak santri dan kaum blater tersebut sampai pada pendudukan gedung KPUD Bangkalan selama hampir satu minggu. Konsekuensi dari keputusan KPUD tersebut otomatis pilkada Kabupaten Bangkalan hanya diikuti 2 pasangan calon. Setelah melalui proses pencoblosan ditetapkanlah pasangan calon Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon) dan Ra Mundir Rofi’i, sebagai pemenang pilkada dengan perolehan suara yang diklaim tertinggi se-Indonesia, yakni unggul jauh dari rivalnya Nizar Zahro dan Zulkifli, dengan kemenangan sebesar 93,47%.

B. GENEALOGI TRAH KIAI DAN NON TRAH KIAI

1. Genealogi Trah Kiai

Latar belakang para kiai di Kabupaten Bangkalan terlibat dalam kehidupan politik lebih bersifat historis/genealogis intelektual dan kultural. Secara historis geneologis keterlibatan mereka dalam dunia politik karena berkiblat kepada para pendahulu mereka dalam visi dan pandangan politiknya. Di samping itu, para kiai yang terlibat dalam dunia politik merasa berkewajiban untuk meneruskan langkah dan sepak terjang para pendahulunya, yang mereka yakini sebagai suatu bentuk pengabdian mereka kepada para pendahulu mereka (ayah dan kakek) dan atau guru mereka. Berangkat dari hal di atas, maka tidak


(52)

44

mengherankan jika suatu kelompok politik keagamaan di Kabupaten Bangkalan dirintis dan dipimpin oleh para kiai yang masih mempunyai keturunan yang sama atau dengan kata lain para elit organisasi keagamaaan di Kabupaten Bangkalan terdiri dari orang-orang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan.

Keterlibatan para kiai dalam bidang politik diperkuat dengan data historis yang menggambarkan bahwa pada umumnya kiai-kiai telah berkecimpung dalam politik, sejak masih bercokolnya penjajahan di Kabupaten Bangkalan. Peran ini dilanjutkan pada masa orde lama-dengan keterlibatan mereka dalam melawan PKI di Bangkalan. Pada masa Orde Baru mereka terlibat dalam politik dengan menjadikan Partai Persatuan Pembangunan sebagai satu satunya wadah aspirasi dan perjuangan politik mereka. Kejatuhan rejim Orde Baru dan berhembusnya angin reformasi melahirkan fenomena baru, yaitu munculnya kebebasan berkumpul dan berserikat. Iklim ini memberikan peluang kepada seluruh kekuatan politik bangsa untuk mendirikan partai-partai politik.

Menanggapi keadaan seperti ini, maka para kiai di Kabupaten Bangkalan menggunakan kesempatan yang ada untuk mengaktifkan diri dalam partai politik yang sesuai dengan visi dan aspirasinya. Kelompok kiai yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama umumnya memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah perjuangannya, sementara kelompok kiai yang tergabung dalam organisasi Sarekat Islam (SI) memilih tetap aktif dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai organisasi yang masanya kebanyakan adalah kaum


(53)

45

santri baik PPP maupun PKB mempunyai ciri dan karakteristik kepemimpinan yang hampir sama.

Di kedua partai politik ini kiai berperan sebagai tokoh sentral dan memiliki peran yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan-keputusan partai. Secara kultural keterlibatan kiai-kiai di Kabupaten Bangkalan dalam bidang politik juga disebabkan tatanan budaya masyarakat Bangkalan, yang menempatkan kiai sebagai sosok pemimpin masyarakat dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya. Kiai merupakan figur yang harus dihormati dan ditaati bahkan sering dikultuskan. Fakta ini mengakibatkan kepemimpinan kiai tidak terbatas pada lingkup wilayah keagamaan, namun juga merambah hingga ke seluruh kehidupan termasuk dalam bidang politik

Pasca reformasi yang terjadi pada tahun 1998, kiai secara turun temurun selalu mendapat tempat ruang-ruang sosial dan politik, bahkan tak jarang para kiai menduduki jabatan yang strategis di tataan pemerintah. Dari sekian banyak trah kiai di Kabupaten Bangkalan, Bani Kholil atau keturunan Syaikhona Kholil yang selalu paling dominan.

Seperti diketahui, RA Fuad adalah cicit Mbah Kholil Bangkalan, kiai besar yang pernah dimiliki Madura. Mbah Kholil atau Kiai Kholil adalah guru para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, RKH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Bisri Syamsuri dan lainnya. Kakek buyut RKH. Fuad Amin Imron adalah Raden Ayu Arbi’ah, yang juga merupakan keturunan keluarga bangsawan di Bangkalan pada masa


(54)

46

itu. Sementara itu, ayah RA Fuad yakni KH. Amin Imron adalah sosok kiai, sekaligus politikus. Ayahnya merupakan salah satu tokoh sentral PPP, tidak hanya di Kabupaten Bangkalan, tapi tingkat nasional.8

RKH. Fuad Amin Imron (Ra Fuad) di bidang politik diawali dengan menjadi Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Bangkalan (1996-1998). Di era reformasi, RA Fuad lompat ke PKB dan ditunjuk menjadi wakil ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur (1998-2000). Pada tahun 2007, dia juga terpilih menjadi Ketua Dewan Syuro DPW PKB Jawa Timur. Aktifitasnya di PKB telah mengantarkan dirinya menjadi anggota DPR RI 1999-2004.

RA Fuad sendiri dipanggil kiai oleh masyarakat Kabupaten Bangkalan. Trah atau garis keturunan yang dianggap mulia ini menjadi salah satu faktor utama yang memuluskan langkahnya menjadi Bupati Bangkalan hingga dua periode berturut-turut (2003-2013).

Sejak era pilkada langsung, beberapa calon Bupati di Kabupaten Bangkalan adalah dari keluarga besar Fuad sendiri, seperti anak, sepupu atau keponakannya. Akhirnya pada pilkada tahun 2013, anak ketiga beliau yang bernama Makmun Ibnu Fuad, yang terpilih menggantikan dirinya. Makmun memecahkan rekor MURI sebagai bupati termuda pada usia 26 tahun.

8


(55)

47

2. Genealogi Non Trah Kiai

Peran kiai dalam bidang politik di Kabupaten Bangkalan memang dominan, namun demokrasi di Kabupaten Bangkalan tak lantas menjadi arena kaum santri saja (trah kiai). Berbagai kalangan muncul baik dari elemen masyarakat biasa, kaum blater hingga akademisi. Meskipun, memang masih dirasa sulit untuk bersaing di tataran elit politik Kabupaten Bangkalan.

Kemunculan para tokoh di luar kategori non trah ini tak lain disebabkan oleh arus globalisasi dan pembangunan di pulau Madura, pasca diresmikannya jembatan suramadu, akses para anak petani untuk mengenyam pendidikan di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang bahkan Yogyakarta terbuka luas. sehingga hal ini membuat pola pikir masyarakat di Kabupaten Bangkalan berubah sedikit demi sedikit, sampai muncullah tokoh-tokoh dari kalangan akademisi seperti Mathur Huzairi, ketua DPC Partai Bulan Bintang. Aliman Haris, mantan anggota DPRD Kabupaten Bangkalan periode 2004-2009, yang sama-sama mengenyam pendidikan strata satu di kota Surabaya. Tak hanya pemuda yang menempuh pendidikan di luar Kabupaten Bangkalan, ada juga tokoh yang lahir dari Almamater Universitas Bangkalan (UNIBANG) yang saat ini berubah menjadi Universitas Trunojoyo Madura (UTM). seperti Hosyen, yang sempat maju dalam kontestasi pemilihan Wakil Bupati pada tahun 2008, saat ini menduduki kursi DPRD Kabupaten Bangkalan sebagai ketua komisi D.9

9


(56)

48

Elemen-elemen dari golongan non trah kiai, memang muncul di era pasca reformasi seiring dengan mulai meratanya pendidikan umum di Kabupaten Bangkalan. Para aktor politik dari kalangan akademisi sedikit demi sedikit mulai muncul dan berada di pos-pos penting pemerintahan Kabupaten Bangkalan.

C. PETA HASIL PEMILUKADA 2003 DAN 2008

1. Peta Hasil Pilkada 2003

Pada tanggal 18 Desember 2002, DPRD Kabupaten Bangkalan menyelenggarakan sidang paripurna guna menetapkan nama-nama calon bupati dan wakil bupati. Dalam sidang tersebut tercatat 3 fraksi masing-masing fraksi Kebangkitan Bangsa, fraksi Persatuan dan Amanat Ummat dan fraksi TNI/Polri tidak mengajukan. Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi PDI Perjuangan mengajukan nama calon Bupati RKH. Fuad Amin Imron dan Wakil Bupati Ir. H. Muhammadong. Sedangkan fraksi Persatuan Amanat Ummat (PAU) mengajukan pasangan calon Bupati Ir. H. Sulaiman dan Wakil Bupati H. Sunarto.

Pemilihan yang diadakan pada tanggal 6 Januari 2003 dalam penjagaan ektra ketat dari aparat keamanan menyusul maraknya masyarakat yang berunjuk rasa di luar gedung DPRD. Sementara di dalam gedung jalannya pemilihan cukup dramatis saat para anggota dewan menggunakan hak pilihnya. Ketika penghitungan suara dilakukan hasilnya cukup fenomenal. Pasangan RKH. Fuad Amin Imron dan Ir. Muhammadong berhasil meraih kemenangan dengan perolehan 42 suara mengungguli rivalnya pasangan Ir. H. Sulaiman dan H. Sunarto yang hanya didukung oleh 3 suara. Hasil tersebut mengantarkan RA Fuad


(57)

49

menjadi bupati untuk periode pertama dan di dampingi oleh Muhammadong sebagai wakil Bupati.

Adapun detail perolehan suara pada pilkada tahun 2003 sebagaimana yang tertera dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 8

Rekapitulasi Hasil Pemungutan Suara Pilkada 2003

NO NAMA

PARTAI NAMA PASLON

PEROLEHAN SUARA

1 F. PKB 1. Rkh. Fuad Amin Imron 42 suara DPRD

F. PDIP 2. Ir. Muhammadong

2 F. PAU 1. Ir. H. Sulaiman 3 suara DPRD

2. H. Sunarto

Sumber data : Sekretariat DPRD Bangkalan 2. Peta Hasil Pemilih Kepala Daerah (Pilkada) 2008

Pada pemilihan umum bupati dan wakil bupati tahun 2008 ada 3 pasang calon yang mendaftar kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bangkalan yaitu; 1. pasangan dr. H.A Hamid Nawawi. Sp.A dan Drs. Hosyan Muhammad, SH. yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 2. pasangan Ir. H. Muhammadong dan H. Abdul Rozak, SH. yang diusung oleh partai PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, 3. pasangan RKH. Fuad Amin Imron dan Drs. KH. M. Syafik Rofi’i yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada periode pilkada tahun 2008 RA Fuad keluar sebagai pemenang pada kontentasi pemilihan Bupati, dengan perolehan suara 373.422, unggul dari dua pasang calon lainnya, yakni pasangan yang pertama dengan


(1)

72

Bukhori dicoret oleh ketua KPUD Bangkalan, dari itulah pendukungnya tidak terima sampai pada penyegelan Kantor KPUD Kabupaten Bangkalan.

3. Dari berbagai dinamika konflik dalam pilkada di Kabupaten Bangkalan,

yakni akibat trah dan pengaruhnya bagi kehidupan politik masyarakat di Kabupaten Bangkalan, maka penulis dapat menggambarkan dampak positif dan negatifnya, antara lain sebagai berikut:

a. Dampak positif trah kiai pasca Pilkada Tahun 2003

 Dipimpin oleh tokoh kiai yang mendalami ilmu agama  Sosio-kultural yang baik kepada masyarakat

b. Dampak negatif trah kiai pasca pilkada tahun 2003

 Menurunnya pandangan masyarakat terhadap kharisma sosok kiai.  Pengambilan kebijakan yang sangat otoriter.

 Semakin massif dalam melancarkan tindakan-tindakan yang menuju pada korupsi.

c. Dampak positif trah kiai pasca pilkada tahun 2008

 Pemimpin kiai sangat pas menjadi pemimpin untuk masyarakat di Kabupaten Bangkalan.

 Kondisi sosial-politik tetap terkendali di bawah kebijakan RKH. Fuad Amin Imron (Ra Fuad).


(2)

73

 Kebijakan yang sangat otoriter

 Semakin massif dalam melancarkan tindakan-tindakan yang menuju pada korupsi.

e. Dampak positif trah kiai pasca pilkada tahun 2013

 Muh. Makmun Ibnu Fuad sebagai putra RKH. Fuad Amin Imron menjadi Bupati termuda di Indonesia, yakni berusia 26 tahun. f. Dampak negatif trah kiai pasca pilkada tahun 2013

 Menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, perpecahan yang terjadi antara lain bertemunya dua kelompok yang saling berseberangan, yakni Gelora Mahasiswa Peduli Rakyat (GEMPAR) dengan Gerakan Masyarakat Peduli Ra Momon (GEMPUR) dan Gerakan Peduli Ra Fuad (GAPURA). Hal ini mengakibatkan demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Bangkalan.

 Mengurangi nilai positif kiai sebagai panutan masyarakat di Kabupaten Bangkalan.

 Timbulnya konflik di parlemen, seperti konflik antara kubu pro dan kontra pemerintah Kabupaten Bangkalan diantaranya kubu fraksi PDIP dengan fraksi Partai Gerindra. Konflik ini dipicu dengan pencabutan terpilihnya anggota Komisioner Informasi


(3)

74

(KI) yakni Aliman Haris yang tidak di SK oleh Ra Momon sebagai Bupati karena berbeda pandangan politik.

 Terbuktinya melakukan tindakan KKN di Kabupaten Bangkalan. Hal ini dibuktikan dengan jatuhnya vonis 8 tahun penjara terhadap RKH. Fuad Amin Imron dalam kasus suap gas alam Bangkalan yang merugikan negara sebesar Rp. 18,5 miliar rupiah.

 Menrunnya kharismatik salah satu kiai di Kabupaten Bangkalan yakni RKH. Fuad Amin Imron (RA. Fuad). Hal itu terbukti dengan ditangkapnya RA Fuad oleh KPK, KH. Imam Bukhori (RA Imam) melakasanakan nadzarnya (penyembelihan sapi) dan di bagi-bagikan kepada warga Bangkalan.


(4)

75

B. Saran

Adapun selesainya penulisan skripsi ini, izinkan penulis memberikan saran kepada pembaca sebagai berikut:

1. Bagi para pemimpin sebaiknya dalam menjalankan amanah rakyat lebih

teliti dan bisa menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan umat, dalam setiap kebijakan yang diambil tak lain adalah untuk menjalankan amanah masyarakat Kabupaten Bangkalan yang lebih baik, sehingga tidak ada konflik dalam perebutan kekuasaan.

2. Sebaiknya peran kiai dalam meminpin dunia politik harus lebih

mengutamakan politik yang memihak pada kemaslahatan rakyat, sehingga

tercipta politik rahmatan lil alamin yang selama ini dicita-citakan oleh


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aeni, Nur. Kiai politik dan pesantren di Kabupaten Pamekasan. Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijogo, 2005.

BPS Kabupaten Bangkalan. Bangkalan Dalam Angka 2013, Bangkalan: BPS, 2013.

Geetrtz, Cliffod. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka, 1981.

Harish, Aliman. et. al., Ra Fuad dan civil Society. Bangkalan: Leksdam, 2004 Kosim, Mohammad. Kiai dan Blater; Elit Lokal dalam Masyarakat Madura. 2,

2007.

Ma’arif, Samsul. The History Of Madura Sejarah Panjang Madura dan Kerajaan, Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Araksa, 2015. Moesa, Maschan Ali. Nsionalisme Kiai Konstruksi Konstruksi Sosial Berbasis

Agama. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Muhtadi, Asep Seaful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama’ Pergulatan Politik Radikal dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES, 2004.

Rifai, Muhammad. Kiai M. Kholil Bangkalan; Biografi Singkat 1820-1923. Yogyakarta: Garasi, 2013

Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Tiori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Sidoarjo: Kreasi Wacana, 2013.

Rozaki, Abdur. Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura. Yogyakarta: 11, 2009.

Sa’dillah. Trah Kiai dan Santri dalam Percaturan Politik. Yogyakarta, Tesis UGM, 2013.

Skema Syaikhona Moh. Kholil, yang ditandatangani oleh Bupati Bangkalan pada tahun, 2012.


(6)

Sumber data: TP dan Humas KPUD Bangkalan 2012.

Supriyogo, Imam. Revormalisasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN, 1999. Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kntemporer (Jakarta, Yayasan Idayu, 1978). 10-12.

Aliman Harish, Wawancara, Bangkalan, 1 Deswmber 2015. Badrus Syamsi, Wawancara, Bangkalan, 31 Mei 2015.

Berdasarkan Pengamatan Peneliti dan Wanwancara dengan KH. Imam Bukhori. 15 Juli 2015.

Fauzan Djakfar, Wawancara, Bangkalan, 2 Desember 2015. KH. Imam Bukhori, Wawancar, Bangkalan, 15 Juli 2015.

Makmun Ibnu Fuad, Wawancara, Bangkalan, 09 Desember 2015. Matur Huzairi, Wawancara, Bangkalan, 20 Desember 2015. Nur Hakim, S. Pd.I, Wawancara, Bangkalan, 17 Desember 2015. Syukur, Wawancara, Bnagkalan, 18 Desember 2015.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kek_Lesap, diakses 27 Desember 2015. http://id.m.wikipidia.org/wiki/Trah, diakses 29 Desember 2015.

https://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2008/12tahun2008uu.htm diakses 18 Januari 2016.

http://m.okezone.com/read/2014/12/02/340/1073785/fuad-amin-ditangkap-kpk-ra-imam-sembelih-sapi. diakses (5 Februari 2016).

m.news.viva.co.id/news/read/2039-kh_imam_bhuchori_cholil_ (07 Februari 2016). Zein, Damami. Trah Dalam Konteks Kehidupan Muslim.

http//mbahbuyut.blogspot.com/2008/trah-dalam-tradisi-masyarakat-jawa. 20 Juli 2015.