BUNGA BANK YANG HARAM

BUNGA BANK YANG HARAM
Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa segala transaksi keuangan yang
mengandung bunga adalah riba dan riba hukumnya haram. Penetapan fatwa ini telah
sesuai dengan mekanisme MUI dan telah menjadi keputusan final, tidak dapat ditarik
kembali. Komisi Fatwa MUI yang mengeluarkan fatwa itu adalah komisi yang
anggotanya terdiri dari ulama seluruh Indonesia.
Penetapan fatwa itu tentu saja disambut gembira oleh umat Islam, terutama oleh
kalangan awam yang selama ini merasa gamang dan terombang-ambing oleh berbagai
pendapat. Padahal menurut mereka dalil pengharaman riba sudah jelas dan merupakan
dalil qoth’i, tidak berupa dalil dhanny. Ayat yang menyebutkan bahwa jual beli itu
halal dan riba haram tidak perlu diperbantahkan lagi.
Jadi secara syariat agama Islam keharaman riba sangat kuat. Dengan adanya
penetapan fatwa itu publik menjadi tidak bingung lagi. Mereka tinggal memilih untuk
mengikuti fatwa itu atau tidak. Lebih-lebih sekarang sudah banyak dikembangkan
bank yang menggunakan sistem syariah yang bersih dari unsur riba.
Secara normatif masalah keharaman riba sebenarnya tidak pernah dipermasalahkan.
Umat Islam di seluruh dunia telah tahu dan memahami hukum riba ini. Hanya saja
ketika sistem perekonomian global dikuasai oleh sistem perbankan yang
menggunakan system bunga maka umat Islam di seluruh dunia terpaksa masuk dalam
sistem riba yang terbukti di lapangan sering membuat umat Islam menderita. Lebihlebih ketika umat Islam yang mendiami negeri-negeri Muslim itu dipaksa atau
dipaksa untuk menelan hutang oleh Bank Dunia atau IMF atau lembaga penghutang

lain. Bukannya umat Islam yang berhutang makin baik nasibnya, tetapi makin hari
malahan mereka terlilit dan tercekik oleh hutang yang mengandung bunga yang
haram itu.
Ketika ada satu dua negeri Muslim yang pemerintahannya cukup cerdas dan berani
memilih alternatif mengembangkan system ekonomi syariah dan terbukti lebih adil
dan tidak eksploatatif seperti sistem ekonomi kapitalis liberal itu maka banyak negerinegeri Muslim mulai menerapkan system syariah. Umat Islam merasakan manfaatnya
dan mampu melakukan konsolidasi secara ekonomi. Bahkan kemudian banyak
negara-negara sekuler pun kemudian mengadopsi dan menerapkan system syariah
karena dianggap lebih rasional dan lebih kerkeadilan ini.
Yang menjadi masalah di Indonesua sekarang adalah sangat besarnya dana umat Islam
yang masih berada di bank-bank konvensional yang mempergunakan sistem bunga
dan bunga itu sudah diposisikan sebagai riba sehingga haram hukumnya itu.
Sementara itu kehadiran bank syariah atau bank umum konvensional yang membuka
divisi syariah sebagai sebuah infrastruktur memang belum mampu menampung dana
umat Islam itu seluruhnya, jika mereka serentak ingin memindahkan dananya agar
tidak tercemar riba yang haram itu. Diperlukan waktu lama dan diperlukan kreativitas
dari pengelola bank syariah untuk mengalirkan dana yang akan terkumpul agar fungsi
publiknya sebagai modal masyarakat tetap terjaga.
Barangkali sisi teknis yang merupakan dampak atau beban dari difungsikannya fatwa
MUI itu yang kemudian menimbulkan kontroversi. Jadi bukan pada hukum haram

dari bunga bank itu sendiri. Kebelumsiapan infrastruktur bank syariah ada yang
menghukumii sebagai kondisi darurat. Maksudnya, untuk waktu yang telatif tidak
lama umat Islam yang masih menggunakan fasilitas bank umum konvensional
berbunga riba itu masih ditoleransi. Sambil menunggu siapnya infrastruktur bank
syariah di mana-mana.

Untuk ini jaringan BMT, jaringan BPR syariah di pedesaan dan pelosok-pelosok yang
mulai mengakar di masyarakat memang perlu dimantapkan dan dikembangkan.
Ditambah dengan perlu digencarkannya terus-menerus sosialisasi dari fatwa MUI itu
sendiri. Sosialisasi yang bertingkat-tingkat. Maksudnya, sosialisasi yang ditujukan
kepada para elit dan intelektual yang sering bertingkah dan cenderung ingin terus
asyik berwacana, juga sosialisasi yang ditujukan kepada para pelaku ekonomi kelas
kakap, kelas menengah dan sosialisasi kepada para pelaku ekonomi kelas bawah tetap
harus dilakukan secara serentak.
Sebenarnya yang paling mudah adalah melakukan sosialisasi di tingkat masyarakat
bawah. Mereka sudah menunggu fatwa itu dan siap melaksanakan tanpa komentar
yang aneh-aneh. Hanya masalahnya ketika jairngan bank syariah belum ada di depan
hidung mereka, maka mereka pun tentu mengalami kesulitan. Ini yang perlu
dipecahkan secara teknis.
Dengan demikian nanti pelan-pelan masalah haramnya bunga bank tidak perlu

dikontroversikan lagi. Pada tingkat teologis tak ada masalah, lalu pada tingkat
sosiologis masalahnya sudah dapat diatasi lewat sosialisasi dan pada tingkat bawah
masalah ini juga akant teratasi ketika perangkat teknis telah mampu disediakan dan
siap melayani para nasabah Muslim yang ingin menyelamatkan hartanya dari nodanoda riba.
Pada saat itulah Fatwa MUI menjadi fatwa yang fungsional di masyarakat.
Sebagaimana befungsinya fatwa MUI tentang kehalalan makanan yang layak
dikonsumsi umat Islam selama ini. (Bahan dan tulisan: tof)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2004