PERDA KOTA BIMA NO 15 TAHUN 2010

J A L A B O
M A

DA H U

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA
NOMOR 15 TAHUN 2010
TENTANG
RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA BIMA
Menimbang

: a.

bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah, maka perlu dilakukan penyesuaian
terhadap pengaturan pajak dan retribusi di daerah;
b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembangunan, pemerintah dan
peningkatan pelayanan terhadap masyarakat perlu digali sumber-sumber
pendapatan yang berasal dari retribusi derah yang menjadi kewenangan

daerah Kota Bima;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a dan b diatas,
maka perlu membentuk Peraturan Daerah Tentang Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan.

Mengingat

: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria ( Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043 ):
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 186);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
( Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209 ):
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
( Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3501 ):
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota
Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4188);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
8. Undang – undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional ( Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421 );
9. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
11. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 130,, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5049);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3258);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 119 Tahun 2001,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
16. Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 6 Tahun 2003 tentang Kewenangan
Daerah Kota Bima (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2003 Nomor 6);
17. Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 11 Tahun 2003 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun
2003 Nomor 11).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Dan
WALIKOTA BIMA
M E M U T U S K A N
Menetapkan

: PERATURAN DAERAH KOTA BIMA TENTANG RETRIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
BAB I

K E T E N T U A N UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Daerah Kota Bima;
b. Pemerintah Daerah adalah Walikota beserta perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintah Daerah;
c. Walikota adalah Walikota Bima;
d. Wakil Walikota adalah Wakil Walikot Bima;
e. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bima ;
f. Wajib Retribusi adalah orang atau badan yang menurut Peraturan Daerah ini wajib
membayar, retribusi termasuk pemungut atau badan pemungut;
g. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang retribusi daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan

bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis.lembaga danah pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan
usaha lainnya.

i. Retribusi izin mendirikan bangunan yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan
daerah sebagai pelayanan atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
atau/diberikan untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
j. Koefisien adalah standar perhitungan tarif rertibusi izin membangun bangunan sesuai
dengan letak bangunan;
k. Bangunan adalah suatu perwujudan fisik arsitektur yang digunakan sebagai wadah
kegiatan manusia;
l. Mendirikan bangunan adalah setiap kegiatan mendirikan, memperbaharui, mengganti
seluruh atau sebagian, memperluas bangunan atau menambah bangunan;
m. Bangunan permanen adalah bangunan yang ditinjau dari konstruksi dan umur bangunan
dinyatakan lebih dari 15 (lima belas) tahun;
n. Bagunan semi permanen adala bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi dan umur
bangunan dinyatakan dengan 5 (lima) sampai dengan 15 (lima belas) tahun;
o. Bangunan temporer adalah bangunan yang ditinjau dari segi tegak lurus konstruksi dan
umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun;
p. Garis sempadan adalah garis khayal yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as
jalan, as sungai atau as pagar yang merupakan batas antara bagian kapling atau
pekarangan yang boleh ada garing tidak boleh dibangun bangunan-bangunan.
q. Jalan artri primer adalah jalan dengan lebar badan jalan 20 (dua puluh) meter keatas.
r. Jalan kolektor primer adalah jalan dengan lebar badan jalan 15 (lima belas) meter keatas

dan kurang dari 20 (lima belas) meter.
s. Jalan kolektor skunder adalah jalan dengan lebar badan jalan 12 (dua belas) meter keatas
dan kurang dari 15 (lima belas) meter’
t. Jalan lokal primer adalah jalan dengan lebar badan jalan 9 (sembilan) meter keatas dan
kurang ari 12 (dua belas) meter.
u. Jalan lokal sekunder adalah jalan engan lebar badan jalan 6 (enam) meter keatas dan
kurang dari 6 (enam) meter.
v. Jalan setapak adalah jalan dengan lebar badan jalan 3 (tiga) meter keatas dan kurang
dari 6 (enam) meter.
w. Retribusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang maksudnya untuk
pembinaan, pengaturan, pemanfatan ruang/penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau fasilitas tertentu yang melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
x. Surat pemberitahuan retribusi daerah yang selanjutnya disangkat SPTRD adalah surat
yang digunakan oleh wajib retribusi untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran
retribusi yang terutang menurut peraturan retribusi.
y. Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan daerah ini
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau badan
pemungut.

z. Masa retribusi adalah suatu jangka waktu yang merupakan batas waktu bagi wajib
retribusi utnuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari pemerintah daerah.
aa. Surat ketetapan retribusi daerah yang disingkat SKRD adalah surat keputusan yang
menetukan besarnya retribusi yang terutang.
bb. Surat tagihan retribusi daerah yang disngkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan
retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
cc. Pendaftaran dan pendataan adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh
data/informasi serta penata usahaan yang dilakukan oleh petugas retribusi dengan cara
penyampaian STRD kepada wajib retribusi untuk diisi secara lengkap dan benar.
dd. Nomor wajib pajak retribusi daerah (NWPRD) adalah nomor wajib retribusi yang didaftar
dan menjadi identitas bagi setiap wajib retribusi.
ee. Perhitungan retribusi daerah adalah rincian besarnya retribusi yang harus dibayra oleh
wajib retribsui bagi pokok retribusi, bunga, kekurangan pembayaran retribusi, kelebihan
pembayaran retribusi, maupun sanksi adminstrasi.
ff. Surat ketetapan retribusi daerah lebih bayar yang disngkat SKRDLB, adalah surat
keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi lebih besar dari pada
retribusi yang terutang dan tidak seharusnya terutang.
gg. Surat ketetapan retribusi daerah kurang bayar, yang disingkat SKRDKB, adalah surat
keputusan yang menentukan besarnya retribusi daerah yang terutang.


hh. Surat ketetapan retribusi daerah kurang bayar tambahan, yang disingkat SKRDKBT,
adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi daerah yang
sudah ditetapkan.
ii. Pembayaran retribusi daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib
retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke kas daearh atau tempat lain yang ditunjuk
dengan batas waktu yang telah ditentukan.
jj. Kas daearah adalah ka daerah kota bima.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Setiap orang pribadi atau badan yang akan mendirikan bangunan harus mendapatkan izin
mendirikan bangunan dari pemerintah daerah.
(2) Pemberian izin mendirikan bangunan dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan mendirikan bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
(3) Tujuan pemberian izin mendirikan bangunan adalah untuk melindungi kepentingan umum
dan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut retribusi
sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD)’
BAB III
NAMA OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI

Pasal 3
(1) Dengan nama retribusi izin mendirikan bangunan dipungut retribusi atas pelayanan
pemberian izin mendirikan bangunan.
(2) Subyek retribusi izin mendirikan bangunan adalah orang pribadi atau badan yang
diberikan izin mendirikan bangunan.
(3) Obyek retribusi izin mendirikan bangunan adalah pemberian izin untuk mendirikan
bangunan;
(4) Tidak termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Bangunan-bangunan yang berfungsi sosial (panti asuhan, panti jompo, panti
rehabilitasi, dan bangunan sosial lainnya);
b. Bangunan tempat-tempat peribadatan;
c. Bangunan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
BAB IV
GOLONGAN RETRIBUSI DAN WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 4
Retribusi izin mendirikan bangunan digolongkan sebagai retribusi perizinan tertentu.
Pasal 5
wilayah pungutan retribusi izin mendirikan bangunan adalah wilayah Kota Bima.
BAB V
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA

Pasal 6
1) Tingkat penggunaan jasa izin mendirikan bangunan diukur dengan rumus yang
didasarkan atas faktor koefisien kelas jalan, koefisien guna bangunan, koefisien dasar
bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefien ketinggian bangunan (KKB) dan
pengawasan penggunaan bangunan yang meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi
syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.
2) Faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bobot koefisien.
3) Besarnya koefisien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai berikut :

a. Koefisien kelas jalan
NO
1
2
3
4
5
6

KELAS JALAN

KOEFISIEN

Bangunan Dipinggir Jalan Arteri Primer
Bangunan Dipinggir Jalan Kolektor Primer
Bangunan Dipinggir Jalan Kolektor sekunder
Bangunan Dipinggir Jalan Lokal Primer
Bangunan Dipinggir Jalan Lokal Sekunder
Bangunan Dipinggir Jalan Setapak

1,00
0,95
0,90
0,85
0.80
0,75

b. Koefisien Guna Bangunan
NO
1
2
3
4
5

GUNA BANGUNAN
Bangunan Perumahan, Fasilitas Umum dan Pendidikan
Bangunan–Bangunan Kelembagaan/Kantor
Bangunan Perdagangan, Jasa, Perindustrian
Bangunan Khusus
Bangunan Campuran

KOEFISIEN
1,00
0,85
1,25
1,50
1,5 Kali
Koefisien
Bangunan
Induk

c. Koefisien Dasar Bangunan
NO
1
2
3
4

DASAR BANGUNAN

KOEFISIEN

Permanen dengan dinding batu bata, Konstruksi Beton Baja
Permanen dengan dinding batu biasa
Semi Permanen dengan dinding
Temporer dengan dinding Papan/bambu

1,00
0,75
0,50
0,25

d. Koefisien Luas Bangunan
NO
1
2
3
4

LUAS BANGUNAN
Banguna dengan luas s/d 70 M2
Banguna dengan luas 71 M2 s/d 120 M2
Banguna dengan luas 120 M2 s/d 250 M2
Banguna dengan luas > 250 M2

KOEFISIEN
0,100
0,105
0,110
0,115

e. Koefisien Tingkat Bangunan
NO
1
2
3

TINGKAT BANGUNAN

KOEFISIEN

Bangunan 1I Lantai
Bangunan 2 Lantai
Bangunan 3I Lantai

0,105
0,185
0,265

4) Tingkat penggunan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sebagai perkalian
koefisien sebagaimana tercantum pada ayat (3)
BAB VI
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN TARIF RETRIBUSI
Pasal 7

1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi peizinan tertentu didasarkan pada
tujuan untuk menutupi sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin
mendirikan bangunan.
2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pengecekan, biaya
pengukuran lokasi, biaya pemetaan dan biaya transportasi dalam rangka pengawasan.
BAB VII
CARA PENGHITUNGAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
Pasal 8
(1) Besarnya retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara Koefisien-koefisien
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dengan tarif dasar retribusi;
(2) Tarif dasar retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) sebesar Rp.........(..........)
BAB VIII
PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Pasal 9
(1) Retribusi dipungut pada saat diberikannya izin mendirikan bangunan;
(2) Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan
(3)Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD;
(4) Bentuk dan isi SKRD sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota Bima.
BAB IX
KETENTUAN MENDIRIKAN/MERUBAH/MEROBOHKAN BANGUNAN
Pasal 10
(1) Setiap orang atau badan hukum yang akan mendirikan/merubah/merobohkan bangunan
harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Walikota;
(2) Tata cata permohonan izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini ditetapkan dengan Peraturan Walikota;
(3) Bagi bangunan yang mempunyai nilai nasional dan menyangkut bidang keamanan
terlebih dahulu harus mendapat rekomendasi dari Gubernur.
BAB X
KETENTUAN DAN TATA CARA PERIZINAN
Pasal 11
(1) Surat permohonan izin mendirikan bangunan (SPIMB) harus dilampiri dengan:
a. Izin yang dibutuhkan (Izin lokasi dan izin lain yang berhubungan dengan hal tersebut)
bagi bangunan yang menggunakan fasilitas penanaman modal;
b. Surat keterangan tentang kepemilikan tanah dan/atau sertifikat.
c. Surat kuasa khusus, apabila pemohon diwakili;
d. Gambar/desain dan RAB bangunan yang disahkan oleh pejabat yang ditunjuk;
e. Khusus untuk bangunan tertentu harus dilengakapi dengan perhgitungan kekuatan
konstruksi.
(2) Pada gambar yang dimaksud pada ayat (1) huruf d pasal ini harus dicantumkan nama
perencana dan atau konstruksi bangunan;
(3) Dalam hal permohonan izin mengadakan perubahan/merobohkan bangunan yang sudah
ada, tetap berlaku ketentuan ayat (1) dan (2) pasal ini;
Pasal 12

(1)

Pemohonan izin mendirikan bangunan dapat berlaku untuk lebih dari satu bangunan, jika
bangunan yang dimaksud terletak dalam satu pekarangan atau terletak dalam petakpetak tanah yang berhubungan satu sama lain.
(2) Pemberian izin mendirikan bangunan terhadap pemohon sebagimana dimaksud pada
ayat (1) pasal ini dapat diberikan untuk sebagian dari keseluruhan rencana pembangunan
sesuai dengan permohonan yang diajukan;

(3) Keputusan mengenai pemberian izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud ayat
(2) pasal ini harus disampaikan kepada pemohon dengan disertai syarat-syaratnya.
Pasal 13
(1)
(2)
(3)

(4)

Keputusan terhadap permohonan izin mendirikan bangunan diberikan selambatlambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penerimaan permohonan.
Jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dapat diperpanjang sampai
dengan 60 (enam puluh ) hari.
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini belum ada
keputusan, maka Walikota harus segera mengeluarkan keputusan berupa mengabulkan
atau menolak permohonan pemohon izin mendirikan bangunan.
Jika dalam jangka waktu sebagiamana tersebut dalam ayat (3) Pasal ini walikota belum
juga mengeluarkan keputusan maka permohonan pemohon izin mendirikan bangunan
dianggap telah dikabulkan.
Pasal 14

(1)
(2)

Dalam hal-hal tertentu dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dapat
dipertanggung jawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku walikota
dapat menunda dan atau menolak permohonan pemohon ijin mendirikan bangunan
Hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan keputusan walkota.
Pasal 15

(1)

(2)

Keputusan penundaan terhadap permohonan pemohon izin mendirikan bangunan harus
disertai dengan alasan-alasan:
a.pemerintah daerah masih memerlukan waktu tambahan untuk penilaian, khususnya
persyaratan bangunan serta pertimbangan lingkungan yang direncanakan;
b.Pemerintah daerah sedang menyusun mengevaluasi, dan atau merevisi rencana
tataruang;
c. Persyaratan-persyaratan yang akan ditentukan belum dipenuhi.
d.Lokasi/obyek perizinan dalam keadaan sengketa.
Keputusan tentang penundaan pemberian izin mendirikan bangunan harus dibritahukan
kepada pemohon secara tertulis disertai dengan alasan-alasan dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 16

Keputusan penolakan permohonan izin mendirikan bangunan harus disertai dengan alasanalasan:
a.
permohonan izin mendirikan bangunan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b.
permohonan izin mendirikan bangunan yang diajukan bertentangan dengan
kepentingan umum atau hajat hidup orang banyak termasuk kelestarian alam;
c.
permohonan izin mendirikan bangunan yang diajukan melanggar hak pihak ketiga dan
melanggar ketentuan pasal 12 ayat (1b);
d.
permohonan izin mendirikan bangunan yang diajukan bertentangan dengan rencana
tata ruang;
e.
permohonan izin mendirikan bangunan yang diajukan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi perlindungan benda peninggalan sejarah dan
kelestarian nasional atau mengakibatkan musnahnya peninggalan sejarah, benda-benda
kebudayaan nasional atau monumen lainnya yang patut dipertahankan;
f.
permohonan izin mendirikan bangunan yang pemanfatannya bertentangan dengan
norma susila keagamaan.
Pasal 17
Terhadap suatu izin mendirikan bangunan tertentu walikota dapat menentukan syarat untuk
dilakukan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL)

Pasal 18
(1) walikota berwenang untuk mencabut izin mendirikan bangunan yang telah dikeluarkan
jika :
a. pemegang izin mendirikan bangunan melanggar syarat yang ditetapkan dalam
permohonan izin mendirikan bangunan.
b. dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak surat permohonan izin mendirikan
bangunan dikeluarkan belum dimulai pekerjaan pembangunannya.
c. Izin yang diberikan ternyata dikemudian hari terbukti berdasarkan keteranganketerangan yang keliru.
(2) keputusan tentang pencabutan izin mendirikan bangunan diberikan secara tertulis kepada
pemegang izin yang disertai alasan-alasan pencabutannya;
(3) Pencabutan izin mendirikan bangunan keputusannya ditetapkan setelah pemegang izin
dipanggil dan didengar keterangan-keterangannya.
(4) Izin mendirikan bangunan yang telah dicabut dapat dimohonkan untuk diperbaharui
setelah pemegang izin dapat menghilangkan hal-hal yang menjadi penyebab pencabutan
izin.
Pasal 19
(1) Permohonan izin mendirikan bangunan batal bilamana :
a. Pemohon meninggal dunia, atau bubar apabila pemohon berbentuk badan hukum.
b. Keterangan-keterangan diperlukan seperti dimaksud dalam pasal 12 peraturan daerah
ini tidak dilengkapi sebagaimana mestinya dan pemohon telah dipanggil 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam jangka waktu masing-masing 7 (tujuh) hari untuk memperbaiki
keterangan, akan tetapi pemohon tidak pernah hadir’
c. Permohonan izin mendirikan bangunan tersebut ternyata masih ada sangkut pautnya
dengan suatu sengketa perdata / pidana.
d. Jika keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemohon izin ternyata tidak benar.
(2) permohonan izin mendirikan bangunan yang batal seperti dimaksud dalam ayat (1) huruf a
pada pasal ini, dapat diajukan setelah pemohon dapat memenuhi kewajibannya dan/atau
menghilangkan hal-hal yang dapat menjadi sebab batalnya izin tersebut.
Pasal 20
(1) Permohonan izin mendirikan bangunan hanya berlaku bagi orang atau badan yang
namanya tercantum dalam izin mendirikan bangunan.
(2) Bilamana pemegang izin mengalihkan hak atas tanahnya yang telah mendapatkan izin
mendirikan bangunan dan pekerjaan diatas tanah tersebut belum dimulai atau belum
selelsai, maka izin mendirikan bangunan harus dibalik nama kepada pemegang hak atau
tanah yang baru.
(3) Bilamana pemegang izin mendirikan bangunan meniggal dunia maka izin mendirikan
bangunannya dapat dialihkan kepada salah seorang ahli waris yang sah.
Pasal 21
(1) Izin mendirikan bangunan berisi keterangan tentang :
a. Nama dan alamat pemegang.
b. Jenis bangunan yang diizinkan.
c. Letak persil tampat bangunan yang diizinkan.
d. Jangka waktu pekerjaan harus dimulai mendirikan/merubah/merobohkan bangunan
yang diizinkan keseluruhan atau bertahap.
e. Pengenaan retribusi izin.
f. Pengawasan pelaksanaan pembangunan.
(2) izin mendirikan bangunan disertai lampiran-lampiran yang ditetapkan dengan Peraturan
walikota.
BAB XI
MASA RETRIBUSI DAN TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 22

(1) Masa retribusi adalah jangka waktu yang sama dengan masa berlakunya izin mendidrikan
bangunan (IMB).
(2) IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selamanya sepanjang tidak ada
perubahan spesifikasi dan fungsi bangunan.
Pasal 23
Retribusi dipungut dengan menggunakan surat setoran retribusi daerah (SSRD) atau
dokumen lain yang dipersamakan.
BAB XII
PERENCANAAN ARSITEKTUR
Pasal 24
(1) Setiap bangunan yang diajukan pemohon izin mendirikan bangunan kepada walikota
harus mempunyai perencanaan arsitektur.
(2) Rung lingkup perencanaan arsitektur bangunan sebagaimana tersebut pada ayat (1)
pasal ini sekurang-kurangnya meliputi :
a. Luas bangunan;
b. Tampak bangunan;
c. Potongan bangunan;
d. Tata ruang luar;
e. Tata ruang dalam;
f. Gambar / desain dan RAB bangunan;
g. Letak bangunan.
Pasal 25
Penyusunan perencanaan arsitektur harus mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan dan peraturan teknik yang berlaku.
Pasal 26
Penyusunan perencanaan arsitektur berlaku juga pembangunan bangunan yang dirobohkan
dengan memperhatikan lingkungan sekitar, sehingga mewjudkan bangunan dan lingkungan
yang bersih, sehat, indah, nyaman, aman dan rapi.
BAB XIII
TATA RUANG
Pasal 27
(1) Setiap persil/pekarangan yang akan dirikan bangunan harus direncanakan penghijauan
dan pertamanannya.
(2) Setiap persil/pekarangan dilengakapi dengan saluran pembuangan dan atau peresapan
air hujan serta bagunan resapan air limbah.
(3) Setiap persil/pekarangan apabila memerlukan jembatan atau titian untuk masuk
kedalamnya pemilik persil terlebih dahulu harus meminta penjelasan/petunjuk kepada
dinas teknis.
Pasal 28
Setiap persil/pekarangan yang akan dirikan bangunan harus dipertimbangkan/ diperhitungkan
keadaan permukaan/kemiringan tanahnya dan untuk pelaksanaannya dapat dimintakan
penjelasan/petunjuk dinas teknis
Pasal 29
Bangunan yang pembangunannya dilakukan oleh suatu badan dalam jumlah banyak, harus
memperhitungkan fasilitas lingkungan secara layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 30
Setiap bangunan atau kompleks bangunan, bentuk dan ukuran perlengkapan ruang harus
memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan umum menurut persyaratan teknis yang
berlaku.
BAB XIV
TATA BANGUNAN
Bagian Pertama
Persyaratan Mendirikan Bangunan
Pasal 31
(1) Tiap-tiap bangunan yang didirikan tidak boleh menyimpang dari perencanaan arsitektur
dan perhitungan konstruksi serta izin yang telah ditetapkan dalam izin mendirikan
bangunan .
(2) Setiap bangunan tidak diperbolehkan menghalangi pandangan lalulintas jalan.
(3) Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak diperbolehkan mengganggu atau
menimbulkan ganguan keamanan, keselamatan umum, pertimbangan lingkungan,
pelestarian lingkungan dan kesehatan lingkungan.
(4) Setiap bangunan sejauh mungkin diusahakan mempertimbangkan segi-segi
pengembangan konsepsi bangunan tradisional bima untuk menciptakan suasana
lingkungan yang bercitra/berciri lokal.
Pasal 32
Kecuali bangunan tempat tinggal, apabila tidak ditentukan lain, hendaknya setiap bangunan
harus mempunyai tempat parkir kendaraan yang memenuhi ketentuan yang berlaku.
Pasal 33
Untuk menciptakan suatu bangunan yang sehat dan aman, maka setiap bangunan yang
didirikan diupayakan memiliki jaringan utilitas bangunan dan dipasang secara tertanam atau
sekurang-kurangnya terlindung dan teratur menurut ketentuan yang berlaku.
Pasal 34
Untuk kepentingan pelestarian, kepentingan daya resap tanah, kepentingan ekonomi, fungsi
peruntukan, fungsi keselamatan bangunan, agar mencapai kenyamanan dan kenikmatan,
maka setiap bangunan diwajibkan untuk memenuhi peryaratan-persyaratan Koefisien Dasar
Bangunan (KDB).
Pasal 35
Bentuk dan format izin mendirikan bangunan untuk masing-masing bangunan serta
penetapan garis sempadan dan persyaratan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai
bangunan dan koefisien bangunan akan diatur lebih lanjut dengan keputusan walikota.
Bagian Kedua
Bangunan bertingkat
Pasal 36
Untuk kepentingan pembangunan bangunan bertingkat, perencanaan arsitektur dan
perencanaan konstruksi bangunan harus didasarkan atas kepentingan yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut ketentuan yang berlaku.
Pasal 37
Dalam hal bangunan bertingkat yang dibangun secara bertahap dan bersambung, konstruksi
fondasi bangunan harus sudah dipersiapkan sebagai fondasi bertingkat sesuai dengan yang
direncanakan.

Pasal 38
Dalam hal penambahan tingkat lantai bangunan, harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. fondasi dan atau dinding-dinding yang ada masih dapat memikul bahan-bahan tambahan
yang dikarenakan penambahan tingkat lantai itu;
b. apabila ketentuan dalam huruf a pasal ini tidak memungkinkan harus ada usaha-usaha
perbaikan/perubahan konstruksi yang disesuaikan dengan penambahan tingkat lantai
yang dapat dipertanggung jawabkan dengan perhitungan-perhitungan konstruksi;
Pasal 39
Konstruksi bangunan bertingkat harus dapat diwujutkan sebagai konstruksi perangkat kokoh
yang merupakan satu kesatuan dimana hubungan bolak balik dan kolom-kolom yang
sambung secara kokoh dapat menerima tegangan-tegangan yang ditimbulkan oleh bahanbahan yang bekerja pada bangunan.
Pasal 40
(1) Ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 40, 41 dan pasal 42 peraturan daerah ini
merupakan sebagian persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh pemohon izin
mendirikan bangunan bertingkat disamping persyaratan-persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 12 peraturan daerah ini.
(2) Walikota berdasarkan pertimbangan teknis dan pertimbangan lain-lain yang dapat
dipertangung jawabkan menurut ketentuan yang berlaku dan demi keamanan bangunan
serta penghuni bangunan bertingkat, dapat menunda dan menolak permohonan izin
mendirikan bangunan bertingkat.
(3) Keputusan penundaan dan penolakan permohonan pemohon izin medirikan bangunan
bertingkat harus disetai alasan-alasan sebagaiman dimaksud dalam pasal 15 dan pasal
16 peraturan daerah ini serta alasan-alasan lain yang dapat dipertanggung jawabkan
menurut ketentuan yang berlaku.
BAB XV
KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI PEMEGANG
IZIN MENDIRKAN BANGUNAN (IMB)
Pasal 41

(1) pemegang

izin medirikan banguanan wajib memberitahukan secara tertulis kepada
walikota atau pejabat yang berwenang tentang kegitan–kegitan meliputi:
a. Saat akan dimulainya pekerjaan mendirikan/merubah/merobohkan bangunan;
b. Saat akan dimulainya bagian-bagian pekerjaan mendirikan/merubah/ merobohkan
bangunan;
c. Saat penyelesaian mendirikan/ merubah/merobohkan bangunan.
(2) Pemberitahuan tersebut pada ayat (1) pasal ini diajukan oleh pemegang izin mendirikan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja sebelum kegiatan –kegiatan dimulai.
(3) Pemegang izin mendirikan bangunan atau kuasanya wajib memberitahukan kepada
Walikota secara tertulis tentang perubahan alamat pemegang izin dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak terjadinya perubahan yang dimaksud.
(4) Dalam hal Perluasan/penambahan bangunan diluar perecanaan arsitektur wajib
mendapatkan rekomedasi dari Walikota
Pasal 42
(1) Selama pekerjaan mendirikan/merubah/merobohkan bangunan dilaksanakan, pemegang
izin mendirikan bangunan untuk bangunan tersebut diwajibkan mengamankan lokasi
bangunan sehingga tidak mengganggu lingkungan.
(2) Setiap izin mendirikan bangunan untuk bangunan tertentu wajib memasang papan
petunjuk yang memuat keterangan tentang:
a. nomor dan tanggal izin mendirikan bangunan;
b. nama pemilik izin mendirikan bangunan;

c. jangka Waktu pelaksanaan pekerjaan;
d. jenis bangunan;
e. lokasi/alamat persil;
f. peruntukan bangunan;
g. pelaksanaan bangunan;
h. pengawas pekerjaan.
(3) Apabila dalam pelaksanaan pembangunan akan mengganggu sarana kepentingan umum
lainnya, maka pelaksanaan pemindahan, pengamanan, sarana kepentingan umum tidak
boleh dilakukan sendiri, tetapi harus dikerjakan dengan pihak yang berwenang atas biaya
pemegang izin mendirikan bangunan.
Pasal 43
(1) Pemilik dilarang merobohkan bangunan yang tidak berdasarkan atas izin mendirikan
bangunan.
(2) Walikota atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk memerintahkan kepada pemilik
bangunan untuk merobohkan sebagian atau seluruh bangunan yang dinyatakan:
a. rapuh berdasarkan perhitungan teknik konstruksi yang dapat dipertanggung jawabkan;
b. tidak sesuai dengan rencana umum tata ruang;
(3) Apabila perintah merobohkan bangunan sebgaimana dimaksud ayat (2) pasal ini tidak
dilaksanakan, maka pelaksanaan merobohkan bangunan akan dilakukan oleh
petugas/pejabat yang ditunjuk oleh walikota atas biaya pemilik bangunan tersebut.
Pasal 44
Pemegang izin mendirikan bangunan dilarang memulai pelaksanaan pembangunan sebelum
ada pemeriksaan oleh tim yang dibentuk oleh walikota.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DAN PENGAWASAN
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
Pasal 45
(1) Setiap pemegang izin mendirikan bangunan menurut Peraturan Daerah ini walikota dapat
menugaskan kepada tim untuk meneliti kenyataan bagian pekerjaan yang ada sesuai
rencana dalam izin mendirikan bangunan.
(2) Tim sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini setelah melakukan pemeriksaan
berkewajiban untuk :
a. memberi tanda bukti persetujuan untuk meneruskan pekerjaan, apabila bagian
pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana;
b. memerintahkan penyesuaian atau pembongkaran atau penggantian bagian pekerjaan
yang dinyatakan dalam berita acara, apabila bagian pekerjaan ternyata tidak sesuai
dengan rencana.
(3) Dalam hal jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini telah
lewat, maka pemegang izin mendirikan bangunan dapat melanjutkan bangunan tersebut.
Pasal 46
Tim sebagaimana tersebut pada pasal 48 Peraturan Daerah ini adalah Dinas teknis dan unsur
instansi terkait yang ditetapkan dengan peraturan walikota.
BAB XVII
TATA CARA PENAGIHAN
Pasal 47
(1) Retribusi terutang yang tidak ataau kurang bayar ditagih dengan menggunakan STRD dan
didahului dengan surat tagihan dan peringatan/surat lain yang sejenis.
(2) Pengeeluaran surat teguran dan peringatan/surat lain yangsejenis sebagaimana awal
tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak
jatuh tempo pembayaran.
(3) Dalam jangka waktu (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran/peringatan surat lain yang
sejenis, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang.

(4) Surat teguran segaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
BAB XVIII
KEBERATAN
Pasal 48
(1) Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau pejabat
yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keadaan di luar kekuasaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah suatu keadaan
yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan
penagihan Retribusi.
Pasal 49
(1) Walikota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan
diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat
Keputusan Keberatan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk memberikan kepastian
hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh
Walikota.
(3) Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota tidak
memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 50
(1) Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran
Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
BAB XXI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 51
(1) Atas kelebihan pembayaran Retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Walikota.
(2) Walikota dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui
dan Walikota tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran
Retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang Retribusi tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan,
Walikota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi.

(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB XXII
KADARLUARSA PENAGIHAN
Pasal 52
(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila wajib retribusi melakukan
tindak pidana dibidang retribusi.
(2) Kadaluarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) ditangguhkan apabila :
a. diterbitkan surat teguran atau ;
b. ada pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak
langsung secara tertulis.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
kadaluarsa penagihan duhitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
(4) Pengakuan Hutang Rertibusi secara langsung sebagaiman dimaksud pada ayat (2) huruf
b adalah wajib retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang
retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau biaya penundaan pembayaran
dan permohonan keberatan oleh wajib retribusi.
Pasal 53

(1) Piutang yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kadaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Walikota menetapkan keputusan penghapusan piuatang retribusi Kota Bima yang sudah
kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pedoman tata cara penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa diatur dengan
Pertautan Walikota.
BAB XXIII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 54
(1) Wajib retribusi yang memenuhi Kriteria tertentu wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2) Kriteria wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diatur oleh
Walikota.
Pasal 55
(1) Walikota berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan Peraturan Perundang – undangan
retribusi.
(2) Wajib retribusi yang diperiksa wajib :
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan obyek retribusi yang terutang.
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. Memberikan keterangan yang diperlukan.
BAB XXIV
PENYETORAN DAN INSENTIF
Pasal 56
(1) Penerimaan retribusi izin Mendirikan Bangunan dilaksanakan oleh Walikota atau pejabat
yang ditunjuk.
(2) Instansi yang melaksanakan pemungutan retribusi dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu

(3)

Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(4)
Tata cara Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 57
Hasil penerimaan retribusi izin mendirikan bangunan disetor secara bruto ke Kas Daerah
selambat – lambatnya 1 x 24 jam.
BAB XXV
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 58
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % ( dua porsen ) setiap bulan dari
retribusi yang terutang.
BAB XXVI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 59
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertenti dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam peraturan Daerah ini.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Menerima, Mencari, Mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan menjadi
lebih lengkap dan jelas;
b. Meneliti, Mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana
dibidang retribusi daerah;
c. Meminta Keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah;
d. Memeriksa buku – buku, catatan – catatan dan dokumen – dokumen lain bekenaan
dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan
dan dokumen – dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti
tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidang retribusi daerah;
g. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah;
h. Memanggil orang untuk didengar keteranganya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
i. Menghentikan penyidikan;
j. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang retribusi daerah menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikanya kepada penuntut umum. Sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang – undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XXVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 60
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan
daerah diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi yang terutang.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara.
BAB XXVIII

KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
(1) Bagi semua bangunan yang belum memperoleh izin mendirikan bangunan pada saat
berlakunya Pertauran Daerah ini diwajibkan untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan
dengan mengajukan permohonan pada Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai
prosedur dan ketentuan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan ketentuan tersebut ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Walikota.
(3) Izin mendirikan bangunan yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap
berlaku sampai masa berlakunya.
BAB XXIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Hal – hal yang belum diatur dalam peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaanya
akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Walikota.
Pasal 63
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar upaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bima

Ditetapkan di Raba – Bima,
pada tanggal 28 Agustus 2010

WALIKOTA BIMA,

Diundangkan di Raba-Bima
pada tanggal 28 Agustus 2010
Plt. SEKRETARIS DAERAH,

H. NURDIN
LEMBARAN DAERAH KOTA BIMA TAHUN 2010 NOMOR 112

M. QURAIS H. ABIDIN

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BIMA
NOMOR 15 TAHUN 2010
TENTANG
RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
A. PENJELASAN UMUM
Izin Mendirikan Bangunan adalah mutlak menjadi tugas dan kewajiban Pemerintah
Daerah sesuai kewenangan untuk mengatur, menata dan mengawasi semua pendirian
bangunan-bangunan di seluruh wilayah daerah sehingga memungkinkan terciptanya tata
lingkungan, tata ruang dan bangunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Untuk mewujudkan fungsi-fungsi dan tugas pelayanan terhadap masyarakat, termasuk
untuk mempercepat proses pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah
daerah, perlu adanya dukungan dana yang memadai sehingga pemerintah daerah berupaya
untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui penggalian sumber-sumber dana, yang salah
satu di antaranya adalah melalui penetapan Peraturan daerah tentang retribusi Izin
Mendirikan Bangunan.
B.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak dapat di borongkan adalah bahwa selama proses
kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat di serahkan kepada pihak ketiga
baik perhitungan keuangan retribusi yang terutang, pengawasan pengaturan
retribusi maupun penagihan retribusi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1) Cukup Jelas
Ayat (2)
Alasan yang dapat dipertanggung jawabkan seperti bencana alam, kebakaran.
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Izin Mendirikan Bangunan yang perlu dilakukan analisa mengenai dampak
lingkungan (AMDAL) menurut ketentuan pasal ini, adalah misalnya bangunan
industri (pabrik), bangunan yang memerlukan izin HO dan bangunan-bangunan lain
yang menurut peraturan perundang-undangan memerlukan AMDAL.
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tindakan hukum yang lain di luar izin mendirikan
bangunan adalah seperti pengehentian pekerjaan pembangunan dan
pembongkaran bangunan.
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas

Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas
Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59

Cukup Jelas
Pasal 60
Cukup Jelas
Pasal 61
Cukup Jelas
Pasal 62
Cukup Jelas
Pasal 63
Cukup Jelas
Pasal 64
Cukup Jelas
Pasal 65
Cukup Jelas
Ditetapkan di Raba – Bima,
Pada Tanggal
2010
WALIKOTA BIMA

Diundangkan di Raba
Pada tanggal
2010
Plt. SEKRETARIS DAERAH

M. QURAIS H. ABIDIN

H. NURDIN

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BIMA TAHUN 2010 NOMOR