TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAP KEPPRES RI NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI.

(1)

TINJAUAN FIQH JINA<YAH TERHADAP KEPRES RI NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI

SKRIPSI

OLEH

:

UTHA WAHYU SUGIHARTI NIM: C03210049

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Program studi Siyasah Jina>yah

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai Bagaimana pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi? Dan bagaimana tinjauan fiqh Jinayah terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ?.

Data penelitian diperoleh dari kajian pustaka yaitu berupa literatur buku fiqh junayah dan KUHP berupa undang-undang tentang tinjauan fiqh jinayah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. yaitu memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dan selanjutnya dianalisis dengan pola pikir deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik kepada hal-hal kepada data, serta ditarik kesimpulan.

Hasil penelitian menyatakan bahwa Remisi merupakan pengampunan yang berupa pengurangan masa tahanan yang diberikan kepada terpidana yang telah dianggap memenuhi ketentuan syarat-syarat menurut Keppres RI No 174 tahun 1999, yaitu terpidana harus berkelakuan baik selama menjalani hukuman, berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan, melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan dan syarat ini berlaku untuk semua tindak pidana umum termasuk kepada pelaku tindak pidana pembunuhan. Sedangkan ditinjau dari hukum pidana Islam pemberian remisi kepada pelaku tindak penulis kategorikan kepada mashlalah mursalah karena remisi ini dipandang baik oleh akal, sejalan

dengan tujuan syara’ meski tidak ada nash yang secara tekstual membicarakan remisi sehingga penulis mengkategorikan remisi ini ke dalam mashlahah mursalah. Syarat untuk mendapatkan remisi tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok hukum pidana dalam Islam. Hal ini dapat dicermati dari kriteria atau syarat yang harus di penuhi oleh narapidana yakni, berbuat baik selama di dalam tahanan, menyesalinya dan berniat untuk tidak mengulanginya lagi.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu dicantumkan antara lain: Pertama Dilihat dari Keppres RI No 174 tahun 1999, remisi ini berlaku untuk pidana umum, padahal kejahatan itu berbeda-beda terlebih bagi tindak pidana pembunuhan yang jelas nyata menghilangkan nyawa manusia sehingga perlu adanya pembedaan, seperti halnya tindak pidana korupsi yang mempunyai undang-undang tersendiri tetapi peraturan untuk mendapatkan remisi menginduk pada peraturan yang sama yaitu Keppres RI No 174 tahun 1999. Kedua Lembaga pemasyarakatan sebenarnya mempunyai tujuan yang baik tetapi akan lebih baik lagi jika aparat yang berada didalamnya mempunyai dedikasi untuk benar-benar menegakkan dan memberikan pembinaan yang baik pula sehingga tidak ada lagi narapidana yang bisa kelauar jalan-jalan dengan cara menyogok aparat terkait.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

BIODATA PENULIS ... vii

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasidan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistimatika Pembahasan ... 18

BAB II: QISHAS DAN TAKZIR DALAM HUKUM ISLAM ... 21

A. Hukuman Qishas ... 21


(7)

2. Macam-Macam Pembunuhan ... 23

3. Hukuman Pembunuhan ... 26

B. Hukuman Takzir ... 39

1. Pengertian Takzir ... 39

2. Dasar Hukum Takzir ... 43

3. Macam-Macam Takzir ... 48

4. Sanksi Perbuatan Takzir ... 53

BAB III: REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999 ... 55

A. Pengertian Remisi ... 55

B. Dasar Hukum Remisi ... 56

C. Pengertian Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif ... 59

1. Pengertian Pembunuhan ... 59

2. Macam-Macam Pembunuhan ... 60

3. Hukuman Pelaku Jarimah ... 72

4. Hak Pemberian Remisi Terhadap Pembunuhan ... 81

BAB IV: TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAP PERTIMBANGAN KEPRES RI NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI ... 89

A. Pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ………... 89

B. Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ………..……….. 98


(8)

BAB V: PENUTUP ... 111

A. Kesimpulan ... 111 B. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN-LAMPIRAN ...


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak prerogatif Presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain. 1 Hal ini bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat. Tugas pokok pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan undang-undang. Untuk itulah dalam konsep negara hukum modern sekarang ini terdapat suatu lembaga kewenangan yang disebut Freises Ermessen, yaitu suatu kewenangan bagi pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat tersebut. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah dalam bidang pemerintahan implikasi Freises Ermessen ini ditandai dengan adanya Hak Prerogatif.

Fungsi hukum dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun menjadi sangat penting, karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa

1


(10)

2

tujuan hukum adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.2 Untuk menciptakan perubahan kehidupan yang lebih baik tersebut, pemerintah beusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan

berbagai alat yanga ada padanya. Salah satu alat itu adalah “hukum pidana”. Dengan hukum pidana, pemerintahan menetapkan perbuatan -perbuatan tertentu sebagai tindak pidana baru. 3

Hukum pidana tidak akan lepas dari permasalahan-permasalahan pokok yang merupakan salah satu bagian penting dalam proses berjalannya hukum pidana, adapun permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu:4

1. Perbuatan yang dilarang;

2. Orang (korporasi) yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;

3. Pidana yang diancamkan dan dikenakan kepada orang (koerporasi) yang melanggar larangan itu.5

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terbukti telah melanggar hukum yakni terdapat dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda sedangkan pidana

2

Peter Mahmud Narzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), 108.

3

Sudaryono & Natangsa Subakti, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), 2.

4

Ibid.,

5


(11)

3

tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Salah satu bentuk pidana yang lazim dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan adalah pidana penjara. Pidana penjara di dalam sejarah dikenal sebagai reaksi masyarakat terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, pidana penjara juga disebut sebagai “pidana hilang

kemerdekaan” dimana seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan

secara sosial dari lingkungannya. 6

Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, seorang Narapidana mempunyai hak sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikatakan bahwa Narapidana berhak untuk:7

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepecayaan; 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. Mendapat pendidikan dan penjagaan;

4. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5. Menyampaikan keluhan;

6. Mendapatkan bahan bacaa dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.8

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

6

Panjaitan, Petus Iwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Prespektif Sisstem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 14.

7

Ibid.,

8


(12)

4

8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;9

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat; 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas;

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa salah satu hak Narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Dengan pemberian remisi Narapidana tidak sepenuhnya menjalani masa hukuman pidananya. Hal tersebut merupakan sebuah hadiah yang diberikan pemerintah kepada para Narapidana.11

Dalam memeperoleh remisi Narapidana harus memenuhi beberapa persyaratan, yang intinya menaati peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Dengan adanya pemberian remisi menjadikan Narapidana berusaha tetap menjaga kelakuannya agar kembali memperoleh remisi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian remisi bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain. Undang-Undang

9

Ibid.,

10

Ibid.,

11


(13)

5

No, 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakan, Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09HN.02-01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi, Keputusan Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi tambahan bagi Narapidana dan Anak didik, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi bagi Narapidana yang menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Sementara.12

Dengan Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan pemerintah selalu memperhatikan hak para Narapidana untuk mendapatkan remisi yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dalam pemberian remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku atau perbuatan para Narapidana selama menjalani pidana sebagai acuan pemberian remisi yang sesuai dengan perilaku dan tindakan selama Lembaga Pemasyarakatan dan tujuan pemidanaan itu sendiri.

Sistem dalam pemerintahan Islam Khalifah adalah pemegang kendali umat, segala jenis kekuasaan berpuncak padanya dan segaka garis politik agama dan dunia bercabang dari jabatannya, karena itulah khalifah merupakan kepala pemerintahan yang bertugas

12


(14)

6

menyelengarakan undang-undang untuk menegakkan Islam dan mengurus Negara dalam bingkai Islam. Sebagaimana firman Allah:13

ْمُكْنِم ِرْمأا ِِوُأَو َلوُسّرلا اوُعيِطَأَو َهّللا اوُعيِطَأ اوُنَمآ َنيِذّلا اَهّ يَأ اَي

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. Al-

Nisaa‟: 59).

Pemahaman ayat di atas, pada ayat pertama, bahwasannya seorang pemimpin agar senantiasa mereka menunaikan amanat kepada yang berhak, dan bila mereka menjatuhkan suatu hukum agar berlaku adil, dan selanjutnya pada ayat kedua, bagi rakyat diwajibkan untuk mentaati pemimpin yang bertindak adil, kecuali pemimpin itu memerintahkan kemaksiatan, oleh karena itu menurut pendapat Ibnu Taimiyah tugas pemerintah adalah menjamin tegaknya hukum Allah dan mengamankannya dari ketimpangan yang mungkin terjadi. 14

Hukum Pidana Islam dalam tindak pidana terbagi menjadi tiga macam, yaitu pidana hud{ud}, pidana qis{as}-diyat dan pidana ta’z}ir, kaitannya dengan pengurangan hukuman (pemberian remisi), pembagian ini berfungsi untuk memisahkan pidana yang tidak mengenal pengurangan dan pidana yang bisa dikurangi. Islam mengajarkan bahwa

13

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran al-Qur‟an, 1971), 378

14

Ibnu Taimiyah, Assiyasatus Syar’iyyah fiIsir Ra’i war-Ra’iyyah; Pedoman Islam Bernegara, Penerjemah Firdaus A.N,(Jakarta: Bulan Bintang, cet. Keempat, 1989), 9-10.


(15)

7

perkara hud}ud} yang telah sampai kepada yang berwenang tidak boleh lagi dikurangi. Dalam hal ini, Allah telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi untuk menuntu qis}as}. Dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan yang mana pelaku pembalas bukanlah negara melainkan ahli waris dari orang yang terbunuh, oleh karena itu negara sendiri tidak berhak untuk memberikan pengurangan. Akan tetapi jika korban tidak cakap masih di bawah umur atau gila sedang ia tidak punya wali maka kepala negara bisa menjadi walinya dan bisa memberikan pengurangan. Jadi kedudukannaya sebagai wali Allah yang memungkinkan dia mengurangi, bukan kedudukannya sebagai penguasa Negara. Dari penjelasan di atas dapat ditelusuri padanan arti kata remisi di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, definisi remisi adalah pengurangan masa pidana kepada Narapidana yang diberikan oleh Presiden atau Kepala Negara.15

Dengan demikian, untuk pidana hud}ud}, hukum Islam telah menentukan salah satu kewajiban penguasa negara atau khususnya kepala negara menerut Imam Ibnu Taimiyah, adalah menegakkan hukum-hukum Allah agar orang tidak berani melanggar hukum-hukum-hukum-hukum Allah yang

15


(16)

8

batas-batasnya telah Allah tetapkan, dan menjaga hak-hak hamba-Nya dari kebinasaan dan kerusakan. Oleh karena itu hukuman ini tidak bisa dikurangi oleh pengasa negara, disamping karena hukuman had ini adalah murni hak Allah. Telah tegaskan bahwa pidana hudud tidak mengenal pengurangan oleh korban atau penguasa Negara.

Melalui latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul: “Tinjauan Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.”


(17)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis mengindetifikasi permasalah yang muncul didalamnya, yaitu : 1. Perkembangan hukum tentang Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999

Tentang Remisi

2. Pandangan hukum Islam terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

3. Syarat-syarat pemberian Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi Dasar hukum Islam yang terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

4. Faktor-faktor yang melatar belakangi Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

5. Tinjauan Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

Adapun batasan masalah yang menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini, yaitu peneliti akan mengkaji tentang:

1. PertimbanganKepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

2. Tinjauan Fiqh Jina<yah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi


(18)

10

C. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah tersebut di atas. Maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi?

2. Bagaimana tinjauan fiqh Jina<yah terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ?

D. Kajian Pustaka

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, peneliti menjumpai hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang mempunyai sedikit relevansi dengan penelian yang sedang peneliti lakukan, yaitu sebagai berikut:

Penelitian yang berjudul: “Pemberian Remisi Bagi Narapidana (Studi

Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta).”.16 Oleh Muhamad Hasan

Tahun 2013. Penelitian ini mengakaji tentang: Berdasarkan hasil analisis penyusun, bahwa dalam peenlitian ini terdapat kendala kurang tertibnya administrasi keterlambatan peralihan berkas dan masih maualnya input data yang digunakan sehingga bisa menunda proses pengusulan pemberian remisi bagi narapidana.

16

Muhamad Hasan, “Pemberian remisi bagi narapidana (studi di lembaga pemasyarakatan kelas II A Yogyakarta),” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013). 12


(19)

11

Penelitian yang berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana”. Oleh Zaenal Arifin Tahun 2010. Penelitian ini mengkaji tentang tujuan pemidaan dalam hokum Islam yaitu bertujuan untuk memberikan efek jera bagi narapida untuk kemudian tidak mengulangi perbuatannya lagi diamana dalam hukum Islam pemberian remisi dapat diberikan kepada narapida yang memenuhi sayarat-sayarat menuju kebaikan (sungguh-sungguh bertaubat), jika narapidana tidak bertaubat dengan (sungguh-sungguh-(sungguh-sungguh maka remisi tidak dapat diberikan. Dalam penelitian ini peneliti lebih focus kepada pemberian remisi dalam hokum Islam saja.17

Penelitian yang berjudul: “Pemberian Remisi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”. Oleh Hakim Zainal Tahun 2015. Penelitian ini mengkaji tentang tujuan dari pemberian remisi menurut perspektif hokum Islam dan hokum positif yaitu untuk merealisasikan dalam keadilan bermasyarakat. Dimana dalam suatu negara harus diterapkan suatu atauran agar terciptanya keadilan abgi penghuni dan lingkungan yang madani diman manusia dalam diri manusia ada dua sisi baik dan sisi buruk, sisi baik ini berupa imbalan berupa remisi, sedangklan dari sisi buruk diberikan punishment supaya narapidana tidak mengulangi perbuatan lagi.18

17

Zaenal Arifin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana” (Thesis, UIN Sunan Ampel Kalijaga, 2010). 15

18

Hakim Zaenal, “Pemberian Remisi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Kalijaga, 2015). 12


(20)

12

Antara penelitian tersebut dengan penelitian yang sedang peneliti lakukan, mempunyai sedikit kesemaan, yaitu sama-sama mengkaji tentang tindak pidana pemberian remisi bagi narapidana. sedangkan yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu dalam pembahasan penelitian ini peneliti lebih fokus pada tindak pidana pemberian remisi bagi pembunuhan berencana narapidana dengan hukuman seumur hidup menurut perspektif fiqh Jinay<ah dan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian ini, maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

2. Untuk memahami dan menganalisis tinjauan fiqh jina<yah terhadap pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:


(21)

13

1. Teoritis

Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam fiqh siyasah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi pemerhati hukum Islam dalam memahami fiqh jina<yah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

2. Praktis

Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang terlibat dalam kasus penelitian ini terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

G. Definisi Oprasional

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini, dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Fiqh Jinay<ah: Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara‟ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang


(22)

14

terperinci. Sedangkan jina<yah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang syara, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainya. Dalam hal ini Jina<yah merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan hukuman had, qisash atau ta’zir.19

2. Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi (studi kasus pembunuhan berencana narapidana dengan hukuman seumur hidup): Remisi di Indonesia telah diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, remisi yang terjadi di Indonesia adalah

pembunuhan berencana narapidana dengan hukuman seumur hidup

mendapatkan hak prerogatif dari Kepala Negara yaitu berupa pengurangan masa pidana kepada Narapidana yang diberikan oleh Presiden atau Kepala Negara. Sedangkan dalam fiqh jina>yah

hukuman ini tidak bisa dikurangi oleh penguasa negara, karena hukuman had ini adalah murni hak Allah. dimana pidana hudud tidak mengenal pengurangan oleh korban atau penguasa Negara.

H. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

19


(23)

15

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini, maka data-data yang akan dimpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1) Perkembangan hukum tentang Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

2) Syarat-syarat pemberian Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

3) Faktor-faktor yang melatar belakangi Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

2. Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penulisan penelitian ini secara tepat dan menyeluruh, maka peneliti menggunakan dua bentuk sumber data sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber primer yaitu merupakan sumber data utama dalam penelitian ini yang diperoleh oleh peneliti dari sumbernya secara langsung. Adapun yang dimaksud dengan data primer yaitu:

1) Pengertian remisi menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999 2) Dasar hokum remisi dalam Kepres RI No 174 Tahun 1999 3) Pengertian pembunuhan menurut tindak pidana positif


(24)

16

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah data yang dibutuhkan sebagai pendukung data primer. Data ini bersumber dari referensi dan literatur yang mempunyai korelasi dengan judul dan pembahasan penelitian ini seperti buku, catatan, dan dokumen. Adapun sumber data sekunder yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini, ialah sebagaimana berikut :

1) Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1981

2) Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabi, 1380 H)

3) Ali Al-Shobuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2004.

4) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, Cet-I, 2004

5) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2005.

6) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam,Hudud dan Kewarisan. (Radja Grafindo: Jakarta, 1404 H)

7) Djazuli,Fiqh Jinayat (Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2000


(25)

17

8) Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)

9) Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2005, Cet.II.

10)Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam,Pustaka Setia Bandung, (Bandung: 2010)

11)Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari’at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006) 12)Suharto. R.M, Hukum Pidana Materiil, Ed-2, Jakarta: Sinar Grafika,

Cet-2, 2002.

13)Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang peneliti butuhkan dalam penulisan penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui buku dan jurnal yang ada di perpustakaan. Agar dapat memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan kajian penelitian ini, yaitu.

Kepustakaan adalah menggali data tentang pemberian remisi menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999 dimana data yang dikumpulkan terdapat dalam literatur buku, Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna memperoleh


(26)

18

bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan.20

5. Teknik Pengolahan Data

Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisa data-data yang telah dikumpulkan, maka peneliti menganggap perlu melakukan pengolahan data melalui beberapa tekhnik sebagai berikut:

a. Pengeditan : yaitu memeriksa kelengkapan data-data yang sudah diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit apabila tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian penelitian.

b. Pemberian kode : yaitu memberikan kode terhadap data-data yang diperoleh dan sudah dieedit, kemudian dikumpulkan sesui dengan relevansi masing-masing data tersebut.

c. Pengorganisasian: yaitu mengkategorisasikan atau mensistematiskan data yang telah terkumpul. Data-data yang sudah diedit dan diberi kode kemudian diorganisasikan sesuai dengan pendekatan dan bahasan yang telah dipersiapkan.

6. Teknik analisa data

Setelah seluruh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkumpul semua dan sudah diolah melalui teknik pengolahan data yang digunakan oleh peneliti, kemudian data-data tersebut dianalisis. Adapun data yang dianalisis

20


(27)

19

dalam penelitian ini yaitu berupa analisis pemberian remisi menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999 .21

Untuk menganalisa data yang sudah dikumpulkan dan diolah melalui teknik pengolahan data, penulis menggunakan metode deskripif analisis. Metode deskriptif yaitu merupakan salah satu metode analisa data dengan mendeskripsikan fakta-fakta secara nyata dan apa adanya sesuai dengan objek kajian dalam penelitian ini.22 yaitu KUHP dan fiqh jina>yah.

Selain itu, peneliti juga menggunakan metode landasan teori deduktif untuk menganalisa data-data yang sudah dikumpulkan dan diolah oleh peneliti dalam penelitian ini. Pola pikir deduktif yaitu metode analisa data dengan memaparkan data yang telah diperoleh secara umum untuk ditarik kesimpulan kepada data-data. Peneliti menggunakan metode ini untuk memaparkan secara umum mengenai tinjauan fiqh jina>yah terhadap pemberian remisi menurut Kepres RI No 174 Tahun 1999. dan kemudian ditarik kesimpulan secara khusus sesuai dengan analisis fiqh jina>yah dan KUHP.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah peneleliti dalam menyusun penulisan penelitian ini secara sistematis, dan mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian

21

Sugiyono, Metode Penelitian., hal. 224.

22


(28)

20

ini, maka peneliti mensistematisasikan penulisan penelitian ini menjadi beberap bab, sebagai berikut:

Bab pertama ini berisi tentang pendahuluan. Dalam bab ini, peneliti mengkaji secara umum mengenai seluruh isi penelitian, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua ini adalah Remisi Dalam Hukum Islam . Dalam landasan bab kedua ini, peneliti akan mengkaji tentang 1. Pengertian Remisi, 2. Dasar hukum Remisi 3. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Hukum Pidana Islam.

Pada bab ketiga ini dijelaskan tentang Remisi Dalam Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999, peneliti mengkaji tentang A. Pengertian Remisi Menurut Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999, B. Dasar Hukum Remisi Remisi Dalam Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999, C. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif.

Pada bab keempat ini akan di Jelaskan hasil analisis tentang Analisis Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. Yaitu tentang pertimbangan Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi dan tinjauan fiqh Jina<yah terhadap Kepres RI Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.


(29)

21

Bab kelima menyajikan penutup. Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan hasil penelitian, yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran.


(30)

21

BAB II

QISHAS DAN TAKZIR DALAM HUKUM ISLAM

A. Qishas

1. Pengertian Qishas (Pembunuhan)

Di dalam hukum pidana Islam perbuatan yang dilarang oleh syara‟ biasa disebut dengan jarimah , sedangkan hukumannya disebut dengan uqubah . Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qisas dan diyat serta jarimah

ta’zir.1 Jarimah hudud merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman

had, sedangkan jarimah qisas dan diyat merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman qisas atau diyat, dan jarimah ta’zir merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir . Perbedaan dari ketiga jarimah itu adalah jika hukuman had merupakan hak Allah sepenuhnya sedangkan qisas dan diyat serta ta’zir merupakan hak individu ( hak manusia ). Jarimah pembunuhan termasuk kedalam jarimah qisas dan diyat karena terdapat hak individu disamping hak Allah SWT. Setiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu;2

1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Formil

1

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), IX

2


(31)

22

2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Materiil .

3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggunganjawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Moriil

Tindak pidana pembunuhan termasuk kedalam ketegori jarimah qisas dan diyat. Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut (qotl) yang sinonimya (amat) artinya mematikan. Para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda walaupun kesimpulannya sama yaitu tentang menghilangkan nyawa orang lain. Berbagai ulama‟ yang mendefinisikan pembunuhan dengan suatu perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Yang pertama adalah didefiniskan oleh Wahbah Al-Zuhayliy yang mengutip pendapat Khatib Syarbini sebagai berikut ”Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”, Selain itu Abdul Qadir Al-Audah menerangkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak adam oleh perbuatan anak adam yang lain.3

Sedangkan menurut Ahmad Wardi Muslich definisi pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang

3

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Editor, diterjemahkan oleh Muhammad,Ahsin Sakho Dari ”At Tasri Al Fiqh Al Jian’I ”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 177


(32)

23

mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.4 Pengertian jarimah pembunuhan menurut Zainudin Ali dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.5 Jadi, banyak sekali pengertian-pengertian yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan itu merupakan aktifitas menghilangkan nyawa orang lain yang dapat dilihat dari berbagai aspek tinjauan hukum.

2. Macam-Macam Pembunuhan

Tidak semua tindakan kejam terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk hukum Qisas. Sebab, diantara tindakan kejam itu ada yang disengaja, ada yang menyerupai kesengajaan, ada kalanya kesalahan, dan ada kalanya diluar itu semua. Jarimah Qisas dan Diyat sebenarnya dibagi menjadi dua, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Para fuqahapun membagi pembunuhan dengan pembagian yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandang masing-masing. Tetapi apabila dilihat dari segi sifat perbuatannya pembunuhan dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:6

a. Pembunuhan Disengaja („amd}),

Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang

4

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 137

5

Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 24

6


(33)

24

dipandang layak untuk membunuh. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan sengaja yaitu korban yang dibunuh adalah manusia yang hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku, pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian.7

Dalam hukum Islam pembunuhan disengaja termasuk dosa paling besar dan tindak pidana paling jahat. Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan hukuman yaitu qisas, diyat, atau pihak keluarga memaafkannya apakah dengan syarat atau tanpa syarat.8 Selain itu pembunuhan sengaja akan membawa akibat selain dari tiga hukuman tersebut yaitu dosa dan terhalang dari hak waris dan menerima wasiat. b. Pembunuhan semi sengaja (shibul „amd} )

Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja tetapi tidak ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban. Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam pembunuhan semi sengaja adalah adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan, kematian adalah akibat perbuatan pelaku.9 Dalam hal ini hukumannya tidak seperti pembunuhan sengaja karena pelaku tidak berniat membunuh. Hukuman pokok dari

7

Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 141

8

Ali, Zainudin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 127

9


(34)

25

pembunuhan semi sengaja selain dosa karena ia telah membunuh seseorang yang darahnya diharamkan Allah dialirkan, kecuali karena haq ( Alasan syari‟ ) adalah diyat dan kafarat, dan hukuman penggantinya adalah ta’z}ir dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.10

c. Pembunuhan tidak disengaja (khata)

Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsure kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan karena kesalahan yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Al Audah ada tiga bagian, yaitu adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban, perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan pelaku, antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat. Hukuman bagi pembunuhan tersalah hampir sama dengan pembunuhan menyerupai sengaja yaitu hukuman pokok diyat dan kafarat, dan hukuman penggantinya adalah ta’zir }dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.

10

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin Sakho Muhammad dkk dari “Al tasryi’ Al-jina’I Al-Islami”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 338


(35)

26

3. Hukuman Pembunuhan

Pembunuhan dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian hukuman pokok dan dan pengganti. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam hukuman bagi tindak pidana pembunuhan menurut hukum pidana Islam.

a. Hukuman Qishas 1) Pengertian Qishas

Qisas dalam arti bahasa adalah menyelusuri jejak. Selain itu qisas dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan menurut istilah syara, Qisash adalah memberikan balasan yang kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain ( membunuh ), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.

2) Dasar Hukum Qishas

Dasar dari hukuman qisas dalam jarimah pembunuhan yaitu Al-Qur‟an surat Al Baqaarah ayat 178 dan al maaidah ayat 45 yang telah tercantum dalam halaman diatas. Selain dari dua ayat tersebut dasar hukum dari hukum qisash juga terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al Baqaarah ayat 179 yang berbunyi:11

11


(36)

27

قتت ْم عل ْل ْل يل أ ي يح ص صقْل يف ْم ل

Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang -orang y ang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al Baqaarah 179).

Selain itu hukuman Qisash ini dijelaskan dalam hadits An-Nas’i yang berbunyi : Al Harits bin Miskin berkata dengan membacakan riwayat dan saya mendengar dari Sufyan dari 'Amru dari Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata; dahulu pada Bani Israil terdapat hukum qisas namun tidak ada diyat pada mereka, lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: (Hai orang -orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan dengan -orang -orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)).

Pemberian maaf itu adalah menerima diyat pada pembunuhan dengan sengaja, dan hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)), serta melaksanakan ini dengan kebaikan. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat dari apa yang diwajibkan atas kaum sebelum kalian, sesungguhnya hal tersebut adalah qisas bukan diyat.


(37)

28

3) Syarat-syarat Qishas

Untuk melaksanakan hukuman qisas perlu adanya syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk pelaku ( pembunuh), korban ( yang dibunuh ), perbuatan pembunuhannya dan wali dari korban.12 Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a) Syarat-Syarat Pelaku (Pembunuh)

Menurut Ahmad Wardi Muslich yang mengutip dari Wahbah Zuhaily mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku ( pembunuh ) untuk diterapkannya hukuman Qis}as}, syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (pembunuh ) harus orang yang mempunyai kebebasan.13

b) Korban (yang dibunuh),

Untuk dapat diterapkannya hukuman qishas kepada pelaku harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban harus orang orang yang ma’shum ad-dam artinya korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara Islam, korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan antara pelaku dengan

12

Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 151

13


(38)

29

korban ( tetapi para jumhur ulama saling berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).

c) Perbuatan Pembunuhannya

Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan harus perbuatan langsung ( mubasyaroh), bukan perbuatan tidak langsung (tasabbub). Apabila tassabub maka hukumannya bukan qisas melainkan diyat. Akan tetapi, ulama-ulama selain hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman Qishas.

d) Wali (Keluarga) dari Korban

Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak diketahui keberadaanya maka Qisash tidak bisa dilaksankan. Akan tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.

4) Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Qishas

Ada beberapa sebab yang dapat menjadikan hukuman itu gugur, tetapi sebab ini tidaklah dapat dijadikan sebab yang bersifat umum yang dapat membatalkan seluruh hukuman, tetapi sebab-sebab tersebut memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap hukuman. Adapun sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman adalah:14

a) Meninggalnya pelaku tindak pidana, b) Hilangnya tempat melakukan qisas

14


(39)

30

c) Tobatnya pelaku tindak pidana, d) Perdamaian,

e) Pengampunan, f) Diwarisnya qisas,

g) Kadaluarsa (al-taqadum)

Dari beberapa sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman yang paling mendekati dengan Remisi adalah sebab yang ke lima yaitu pengampunan.

b. Hukuman Diyat 1) Pengertian Diyat

Pengertian diyat yang sebagaimana dikutip dari sayid sabiq adalah harta benda yang wajib ditunaikan karena tindakan kejahatan yang diberikan kepada korban kajahatan atau walinya.15 Diyat diwajibkan dalam kasus pembunuhan sengaja dimana kehormatan orang yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan pembunuh, seperti seorang laki-laki merdeka membunuh hamba sahaya. Selain itu diyat diwajibkan atas pembunuh yang dibantu oleh para Aqilahnya ( saudara-saudara laki-laki dari pihak ayah ), hal ini bilamana pembunh mempunyai saudara. Ini diwajibkan atas kasus

15

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus Sunah”, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 451


(40)

31

pembunuhan serupa kesengajaan dan pembunuhan karena suatu kesalahan.16

2) Jenis Diyat Dan Kadarnya

Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal, jenis diat itu ada 6 macam, yaitu:17

1. Unta, 2. Emas 3. Perak, 4. Sapi,

5. Kambing, atau 6. Pakaian.

Diyat itu ada kalanya berat dan adakalanya ringan. Diyat yang ringan dibebankan atas pembunhan yang tidak disengaja, dan diyat yang berat dibebankan atas pembunhan yang serupa kesengajaan.

3) Sebab-Sebab Yang Menimbulkan Diyat

Menurut H. Moh Anwar, sebab-sebab yang dapat menimbulkan diyat ialah:18 a) Karena adanya pengampunan dari qisha s oleh ahli waris korban, maka dapat diganti dengan diyat. b) Pembunuhan dimana pelakunya lari akan tetapi sudah dapat diketahuai orangnya, maka diyatnya dibebankan kepada ahli waris pembunuh.28 Ini dikarenakan untuk

16

Ibid., 456

17

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 168

18


(41)

32

memperbaiki adat kaun jahiliyah dahulu yang di mana jika terjadi pembunuhan yang disebabkan oleh kesalahan mere ka suka membela pembunuhagar dibebaskan dari diyat dan secara logika untuk menjamin keamanan yang menyeluruh, sehingga para setiap anggaota keluarga saling menjaga dari kekejaman yang dapat menimbulkan penderitaan orang lain. c) Karena sukar atau susah melakasanakan Qisas. Bila wali memberi maaf atau ampunan terhadap pembunhan yang disengaja maka menurut imam

syafi’i dan hanbali berpendapat harus diyat yang diperberat. Tetapi menurut

Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus pembunuhan sengaja tidak ada diyat , tetapi yang wajib adalah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak ( wali korban dengan pelaku pembunuh) dan wajib dibayar seketika dengan tidak boleh ditangguhkan.19

c. Hukuman Ta’zir

Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah

yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’.20 Dengan kata lain ta’zir adalah hukuman yang bersaifat edukatifyang ditenukan oleh hakim.21

Adapun jenis dari hukuman ta’zir bermacam-macam, menurut H. Zainudin

Ali jenis hukuamn yang termasuk ta’zir antara lain hukuman penjara, skors

atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan

19

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus Sunah ”, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 454

20

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 249

21

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus Sunah”, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 491


(42)

33

jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya. Bahkan menurut abu hanifah , pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali, hakim dapat menjatuhkan hukuman mati, seperti seorang pencuri yang dipenjara tetapi masih tetap mengulangi perbuatan tercela itu ketika ia dipenjara, maka hakim berwenang menjatuhi hukuman mati kepadanya.

Hukuman pengganti yang ke dua setelah diyat yaitu ta’zir.

Apabila hukuman diyat gugur karena sebab pengampunan atau lainnya, hukuman tersebut diganti dengan hukuman ta’zir. Seperti halnya dalam pembunhan sengaja, dalam pembunuhan yang menyerupai sengaja ini, hakim diberi kebebasan untuk memilih jenis hukuman ta’zir yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

d. Pidana Penjara Dalam Hukum Pidana Islam

Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara pertama Al -Habsu; kedua As -sijnu. Pengertian Al -Habsu menurut bahasa adalah Al -Man’u yang artinya mencegah atau menahan. Menurut imam ibn al qayyim al jauziyah yang dimaksud dengan al-habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku ditempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun tempat lainnya, penahanan seperti itulah yang dilakukan pada masa Nabi dan Abu


(43)

34

Bakar. Pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seaorang pelaku tindak pidana. Dan barulah pada masa Pemerintahan Khalifah Umar menyediakan penjara dengan cara membeli rumah Shafwan Ibn Umayah sebagai penjaranya. Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu:22

a) Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara terbatas adalah hpukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Tentang batas tertinggi dan terendah dari hukuman penjara dikalangan ulama’pun tidak ada yang bersepakat. Dengan tidak adanya ketentuan yang pasti ini maka para ulama hanya menyerahkan kepada ijtihat Imam ( Ulil Amri ) tentang batas terendah dan tertinggi untuk hukuman penjara.23 Sebagai akibat dari perbedaan pendapat tersebut banyak orang yang mendapatkan hukuman kawalan pada negara-negara yang memakai hokum positif, sedang pada Negara yang memakai hukum Islam akan lebih sedikit jumlahnya.24

b) Hukuman Penjara Tidak Terbatas

Yaitu hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus menerus sampai orang yang terhukum mati atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain dapat disebut dengan hukuman seumur hidup.

22

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 261

23

Ibid., 263

24


(44)

35

e. Pengampunan Dalam Jarimah Pembunuhan.

Pengampunan bagi tindak pelaku pembunuhan merupakan hak dari wali korban. Wali diberi wewenang untuk mengampuni hukuman qisas. Apabila ia memaafkan maka gugurlah hukuman qisas tersebut. Dalam hal pemberian ampunan bisa saja dari ahli waris korban memberikan dengan Cuma-Cuma atau dengan meminta diyat. Tetapi meskipun demikian tidaklah menjadi penghalang bagi penguasa untuk menjatuhkan hukuman takzir yang sesuai terhadap pelaku. Wali korban boleh memaafkan secara cuma-cuma dan inilah yang lebih utama, oleh karena Allah SWT. telah berfirman dalam surat Al Baqarah 237:

م فْص ف ي ف ل ْمتْض ف ْ ق ه س ت ْ أ ْ ق ْ م ه تْق ْ إ

ۚ ْقت ل ْقأ ْعت ْ أ ۚ

ل ْقع ي ل ْعي ْ أ ْعي ْ أ َإ ْمتْض ف

ْ ْل سْ ت َ

يص

ْعت َ إ ۚ ْم ْي

Artinya: “Dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”

Menurut madzab syafi’i dan madzab hambali, pengampunan

dari qisas mempunyai pengertian ganda, yaitu pengampunan dari qisas saja atau pengampunan dari qisas dan diganti dengan diyat. Kedua pengertian tersebut merupakan pembebasan hukuman dari pihak korban tanpa


(45)

36

menunggu persetujuan dari pihak pelaku.25 Sedangkan menurut imam malik dan abu hanifah, pengampunan itu hanya pembebasan dari hukuman qisas saja sedangkan diyat menurut keduanya hanya bersifat perdamaian ( Sulh ). Memang pada dasarnya di dalam perkara pidana umum korban dan walinya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pengampunan tetapi lainnya halnya dalam pidana qisas dan diyat, korban dan walinya diberi wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena tindak pidana ini sangat erat hubungannya dengan pribadi korban, selain itu tindak pidana ini lebih banyak menyentuh pribadi korban dari pada keamanan masyarakat, sehingga pihak korban atau walinya diberikan hak tersebut.

Selain itu dalam jarimah hudud pengampunan tidak memiliki pengaruh apapun bagi tindak piadana yang dijatuhi hukuamna hudud, baik itu diberikan oleh wali korbannya maupun penguasa. Karena hukuman dalam hudud bersifat wajib dan harus dilaksanakan. Para ulama menyebut tindak pidana hudud sebagai hak Allah sehingga tidak boleh diampuni atau dibatalkan.26Begitu juga dalam tindak pidana ta’zir sudah disepakati bahwa penguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna pada tindak pidana

25

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 195

26

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin Sakho Muhammad dkk dari “Al tasryi’ Al-jina’I Al-Islami”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 169


(46)

37

ta’zir. Karena itu penguasa boleh memberi ampunan dan hukumannya baik

sebagian maupun keseluruhannya.27

Adapun yang berhak memberikan pengampunan adalah korban itu sendiri apabila ia telah baligh dan berakal. Apabila dia belum baligh dan akalnya tidak sehat menurut madzab Syafi’i dan madzab Hambali, hak itu dimiliki oleh walinya. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, wali dan washi (pemegang wasiat ) tidak memiliki hak maaf, melainkan hanya hak untuk mengadakan perdamaian ( shulh) saja.28 Pengampunan terhadap qisas dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha, bahkan lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 178.\

ْ عْل ْ عْل حْل حْل ْتقْل يف ص صقْل م ْي ع تك مآ ي ل يأ ي

ْ ف ۚ ْ ْل ْ ْل

هْيلإ ء أ ف ْع ْل ت ف ءْيش هيخأ ْ م هل ي ع

ميلأ ع ه ف كل ْع تْع ف ْح ْم ْ م في ْ ت كل سْحإ

Artinya: …Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma' af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)....( QS. Al Baqarah : 178).29

27

Ibid., 171

28

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 195


(47)

38

Selain itu dalam surat AL Maidah ayat 45 tentang pelukaan disebutkan:

ْل فْ ْل فْ ْل ْيعْل ْيعْل سْ ل سْ ل أ يف ْم ْي ع ْ تك

ْمل ْ م ۚ هل ك ف ه صت ْ ف ۚ ص صق

ْل سل سل ْل

زْ أ ْم ْحي

ل ل مه ك ل أف َ

Artinya: Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. ..( QS Al maaidah : 45 ).30

Dalam hadits Nabi melalui Anas ibn Malik, ia berkata;31

Artinya: ( HR.Ahmad Abu Daud : 4497 ) Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya ada Qisas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan."

Pernyataan untuk memberikan pengampunan tersebut dapat dilakukan secar lisan maupun tertulis. Redaksinya bisa dengan lafaz ( kata) memaafkan, membebaskan, menggugurkan, melepaskan, memberikan dan sebagainya.

30

Ibid., 92

31


(48)

39

B. Hukuman Ta’zir 1. Pengertian Ta’zir

Hukuman ta’zir merupakan salah satu dari pidana Islam yaitu berupa tindak pidana islam yang meliputi fiqh jinayah. Maka dari itu pengertian fiqh jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil pemahaman atas dalil yang terperinci. Fiqh jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah. Pengertian fiqh secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fiqh adalah ilmu tentang hukum- hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci.32

Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fiqh jinayah itu adalah ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Pengertian fiqh jinayah (hukum pidana Islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.33

32

Abdul wahab kallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968), 12.

33


(49)

40

Menurut bahasa lafaz ta’zir berasal dari kata A’zzara yang sinonimnya yang artinya mencegah dan menolak. yang artinya mendidik. Pengertian tersebut di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Azzuhaily, bahwa ta’zir diartikan mencegah dan menolak karena ia dapat

mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan ta’zir

diartikan mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar Ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.34

Istilah jarimah ta’zirmenurut hukum pidana Islam adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi

had dan kifaratnya, atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman terhadap perbuatan pidana/delik yang tidak ada ketetapan dalam nash tentang hukumannya. Hukuman hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena

syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya sampai hukuman yang seberat beratnya. Dengan kata lain, hakimlah yang berhak menentukan macam tindak pidana beserta hukumannya, karena

kepastian hukumnya belum ditentukan oleh syara’.35

Di samping itu juga, hukuman ta’zir merupakan hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had.

34

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2005), 248-249.

35

Rokhmadi, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam (Kajian Tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana Islam), (Semarang: Departemen Agama IAIN Walisongo Semarang, PusatPenelitian, 2005), 56.


(50)

41

Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tindak pidana dan pelakunya. Dalam bukunya Mahmoud Syaltut ( al-Islam Aqidah wa Syari’ah) sebagaimana yang dikutip oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im dikatakan bahwa, yurisprudensi Islam historis memberikan penguasa negara Islam atau hakimhakimnya kekuasaan dan kebijaksanaan yang tersisa, apakah mempidanakan dan bagaimana menghukum apa yang mereka anggap sebagai perilaku tercela yang belum tercakup dalam kategori-kategori khusus hudud dan jinayat.36

Tujuan hak penentuan jarimah ta’zir dan hukumannya diberikan kepada

penguasa atau ulil amri adalah, supaya mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingankepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak. Penulis menyimpulkan perbedaan hukuman antara tiga jenis jarimah di atas adalah jarimah hudud dan qishas, hukuman tidak bisa terpengaruh oleh keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan jarimah, kecuali apabila pelaku tidak memenuhi syarat-syarat

taklif, seperti gila, atau dibawah umur. Akan tetapi hal ini berbeda dalam jarimah

ta’zir, keadaan korban atau suasana ketika jarimah itu dilakukan dapat

mempengaruhi

berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada si pelaku.37

Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :

36 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah

, (Jakarta: LKIS, Cet-4, 2004), 194.

37

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, Cet-I, 2004), 21.


(51)

42

د أت ريزعتّلاو

دودحا اهيف عرشت م بونذ ىلع ب

Artinya: “Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa

yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’”.38

Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum

ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya

belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa

digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).39

Ta’zi<r sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas

perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zi<r tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

2. Dasar Hukum Ta’zir

Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran dan hadis antara lain adalah dapat dipaparkan dibawah ini : 1. Firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:

38

Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Dar Al-Fikr, Beirut, 1996), 236.

39


(52)

43

اوقدصي نا هل ا ىا ةملسم ةيدو ة مؤم ةبقر ريرحتف أطخ ا مؤم لتق نمو

.

Artinya: "Dan barangsiapa membunuh seorang Mu'min karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah". (QS. Al-Nisa: 92).

Selain itu tentang hudud perbuatan pencurian dilarang dengan tegas oleh Allah melalui al-Qur’an surat al-Maidah: 38:

سل

ُةَقِراَسلاَو

ي ْيأ عطْق ف

َ َ م َ سك ء زج

مي ح زيزع

.

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”


(53)

44

: لوقي ملس و هيلع ها ىلص ها لوسر عم هنا يراصناا ةدرب يا نع

دحا دلج ا

) ملسم اور( .ها دودح نم دح ى اا طاوسا ةرشع قوف

.

Artinya: “Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah

saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti

hukuman bagi orang berzina dan sebagainya”. (Riwayat Muslim).40

Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zi<r). Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim. Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zi<r. Hukuman ta’zi<r ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya.

Dengan demikian hukuman ta’zi<r ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai

hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan

peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas

40


(54)

45

hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudu<d (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zi<r yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.41

Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zi<r sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.42

Penegasan larangan mencuri juga didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:

ك ْتي يض ْل ع حْل

يقي ك ْم أ ْم ْ ق ك ْ م ك ه إ

) . ه ي تْعطقل كل ْت عف

ف أ ْ ل ي يسْ ل في ل

(م سم

ل

Artinya: “Sesungguhnya telah binasa umat sebelum kamu, dimana apabila

orang bangsawannya mencuri mereka biarkan begitu saja, dan apabila dilakukan oleh orang biasa diantara mereka, mereka kenakan hukuman had (potong tangan). Demi Allah andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya”43

41

Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), 241-242

42

Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 847.

43 Abdul Qadir „Awdah,


(55)

46

3. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh „Aisyah :

وبا دما اور( .دودحا اا مهارسع ت ائي ىوذ اوليقا لاق ي لا نا ةشع اع نع

)يق اهيبلا و يئاس لا و دوواد

Artinya: “Dari „Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had”. (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki).44

Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka. Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zi<r yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

Perintah “Aqi<lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zi<r, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zi<r itu sesuai dengan

44

Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Cet. 26, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2002), 576-577.


(56)

47

perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.45

Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zi<r antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul

orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”.46

4. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

سبح مّلسو هيلع ها ىلص ّيّلا ّنأ , ّدج نع يا نع ميكح نبا زه نع

ةمهتلا ى

)مكاحا هحيحّص و ىقهيبلاو ىئ اس لا و يذمّّلا و دواد وبا اور(

Artinya: “Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).47

Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk

45 Ash.Shan’Ani,

Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2000), 158

46

Abd Al-Qadir Audah, 155-156.

47

Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, (Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 200)1, 202.


(57)

48

memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena suatu tuduhan” itu menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman, juga sebagai membersihkan diri.48

3. Macam-Macam Takzi>r

Ta’zi<r juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Di

sebut dengan ta’zi<r, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain

membuatnya jera. Sementara para fuqoha’ mengartikan ta’zi<r dengan

hukuman yang tidak detentukan oleh al qur’an dan hadits yang berkaitan

dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta’zi<r sering juga disamakan oleh fuqoha’ dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat.49

Bisa dikatakan pula, bahwa ta’zi<r adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zi<r (selain had dan qishash), pelaksanaan hukuman ta’zi<r, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jarimah ta’zi<r tidak ditentukan ukurannnya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah

48Mu’ammal Hamdy dkk,

Nailul Authar, Juz VI, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2005), 2662-2663

49

Salim Segaf Al-Jufri, et.al. Penerapan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Global Media Cipta Publishing, 2004), Cet. I, 15-16.


(58)

49

dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan

demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk

-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu

sebagaimana dapat dipaparkan sebagai berikut:50

a. Jari<mah hudu<d dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau

tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.

b. Jari<mah ta’zi<r yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi

sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu,

saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.

c. Jari<mah ta’zi<r dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh

menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dalam menetapkan jari<mah ta’zi<r, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap

50

Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar grafika (edisi revisi), 2004), Cet. I. 11


(59)

50

anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zi<r harus sesuai dengan prinsip syar’i

Ahmad hanafi menyatakan bahwa hukuman-hukuman ta’zi<r banyak jumlahnya dari mulai yang paling ringan hingga yang paling berat, yaitu hukuman yang dilihat dari keadan jarimah serta diri pelaku hukuman-hukuman

ta’zi<r tersebut yaitu sebagai berikut:51

1. Hukuman Mati

Kebolehan menjatuhkan hukuman mati pada ta’zi<r terhadap pelaku kejahatan jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau pemeberantasan tidak dapat dilakukan kecuali dengan jalan membunuhnya. Hukuman mati ini hanya diberlakuakn pada jarimah zina, murtad, pemberontakan, pembunuhan sengaja dan gangguan kemanan masyarakat luas (teroris).

2. Hukuman jilid

Jilid merupakan hukuman pokok dalam syari’at Islam. Bedanya dengan jarimah hudud sudah tertentu jumlahnya sedangkan jarimah ta’zi<r tidak tertentu jumlahnya.

3. Hukuman penjara

Hukuman penjara dimulai batas terendah yaitu satu hari sampai batas hukuman seumur hidup. Syafiiyah mengatakan bahwa batas tertinggi adalah

51

Abdurrahman Al-Jaziri “Al- Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-„Arba’ah Jilid V”, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-„Arabi, 1989), 2234


(60)

51

satu tahun, dan ulama lainnya menyerahkan kepada penguasa sampai batas mana lama kurungannya.

4. Hukuman pengasingan

Untuk hukuman pengasingan imam ahmad dan syafi’i berpendapat

bahwa masa pengasingan tidak lebih dari satu tahun, sedangkan imam hanafi berpendapat bahwa hukuman pengasingan boleh melebihi satu tahun, hukuman ini untuk pelaku kejahtan yang merugukan masyarakat dan khawatir akan menjalar luas.

5. Hukuman salib

Hukuman salib dalam jari<mah ta’zi<r tidak dibarengi atau disertai dengan kematian, melainkan si tersalib disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang melakukan wudhu<, tetapi dalam melakukan shalat cukup dengan menggunakan isyarat. Para fuqaha menyebutkan masa penyaliban tidak lebih dari tiga hari.

6. Hukuman denda

Hukuman denda antara lain dikenakan pada pelaku pencurian buah yang masih belum masak, maka dikenakan denda dua kali lipat dari harga buah tersebut. Hukuman denda juga dikenkan untuk orang yang menyembunyikan barang yang hilang.


(61)

52

Pada masa rasulullah pernah rasul menjatuhkan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak mengikuti perang tabuk selam 50 hari tanpa

diajak bicara. Mereka adalah: Ka’ab Bin Malik, Miroroh Bin Rubai’ah, dan

Hilal Bin Umayyah.

8. Hukuman ancaman (tahdid), teguran (tanbih), dan peringatan (al-Wadh’u) Ancaman merupakan hukuman yang diharaokan akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Teguran pernah dilakukan oleh rasulullah kepada Abu Dzar yang yang memaki-maki orang lain, dengan menghinakan ibunya. Peringatan juga merupakan bentuk hukman yang diharapkan orang tidak menjalankan kejahatan atau paling tidak mengulanginya lagi.

Dilihat dari haknya hukuman ta’zi<r sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zi<r adalah pengausa atau imam namun diperkenankan pula untuk:52

4. Sanksi Perbuatan Takzi<r

Ta’zi<r adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa

yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta’zi<r adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannya pun bisa berbeda,

52


(62)

53

tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.

Dalam menetapkan jarimah ta’zi<r, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zi<r harus sesuai dengan prinsip syar'i.

Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.


(63)

55

BAB III

REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999

A. Pengertian Remisi

Pengertian Remisi memang tidak hanya terpaku dalam satu pengertian saja. Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun dalam KeppresRI No 174 Tahun 1999 tidak memberikan pengertian Remisi dengan jelas karena di dalam keppres ini hanya

menyebutkan“ setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan Remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana“. Remisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum.1

Kamus Hukum karya Drs.Soedarsono.S.H memberikan pengertian bahwa Remisi adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.2 Sedangkan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah dalam dalam Kamus Hukum karyanya, beliau memberikan pengertian Remisi adalah sebagai suatu pembebasan

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 945

2


(1)

113

pembinaan yang baik pula sehingga tidak ada lagi narapidana yang bisa kelauar jalan-jalan dengan cara menyogok aparat terkait.

Penulis menyadari bahwa dalam hasil karya yang sederhana ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, baik dalam penyusunan, penulisanya, maupun dalam analisisnya, maka penulis mengharapkan saran dan kritik demi terciptanya karya ini lebih sempurna.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Taubat, Sabar dan Syukur, alih bahasa Nur Hikmah dan RHA Suminta, (Jakarta:Tinta Mas, 1983),

Anwar H.A.K Moch, Hukum Pidana Bagian Khusus, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989),

Arifin Zaenal, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana” (Thesis, UIN Sunan Ampel Kalijaga, 2010).

Arifin Zainal,“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Pada

Narapidana”.Skripsi diakses pada tanggal 21 November 2012 jam 11.30, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara

Penerjemah Penafsiran al-Qur’an, 1971),

Departeman Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Cv Asy

Syifa’, 2000),

Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),

Dwidja, Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006),

Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam,Pustaka Setia Bandung, (Bandung: 2010), Hakim, Zaenal, “Pemberian Remisi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum

Islam”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Kalijaga, 2015).

Hanafi Ahmad, Asas -Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993),


(3)

Hamzah Andi, Delik-Delik Tertentu ( Special Delicten) Di Dalam KUHP, (Jakarta Sinar Grafika 2010),

Hasan Muhamad, “Pemberian remisi bagi narapidana (studi di lembaga pemasyarakatan kelas II A Yogyakarta),” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel,

Surabaya, 2013).

Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor : M.09.Hn.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

Lamintang P.A.F., Delik-delik Khusus , cet. 1, (Bandung: Bina Cipta, 1986), Mahfud MD Moh., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogjakarta, Gama

Media, 1999),

Marpaung Leden, Asas,Teori, Praktek, Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),

---Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, (Jakarta: Grafika, 2007), Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta; PT Bumi Aksara,

2007),

Muslich Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Muthahari Murtadha, Keadilan Ilahi; Asas Pandangan Dunia Islam, Editor,

diterjemahkan oleh Agus Efendi Dari” At adl Al-ilahiy ” (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009),

Panjaitan, Petus Iwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Prespektif Sisstem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),


(4)

Peter, Mahmud Narzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), Prasetyo Rudy T. Erwin dan J.T., Himpunan Undang-undang dan Peraturan –

peraturan Hukum Pidana, Jilid I, (Jakarta: Aksara Baru, 1980),

Prodjodikoro Wiryono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989),

Poerwadarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982),

Qadir, Audah Abdul Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin Sakho Muhammad dkk dari “Al tasryi’ Al-jina’I Al-Islami”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008),

Soedarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1992),

Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Dalam Wacana Dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),

Subakti Sudaryono & Natangsa, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana,

(Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005),

Shihab M. Quraishi, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002),

Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), Sabiq Sayyid, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus

Sunah”, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),

Sulaiman Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah, 1996),


(5)

Sianturi E.Y. Kanter dan S.R., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta : Storia Grafika, 2002),

Syarifudin Amir, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Kencana , 2009),

Taimiyah Ibnu, Assiyasatus Syar’iyyah fiIsir Ra’i war-Ra’iyyah; Pedoman Islam Bernegara, Penerjemah Firdaus A.N, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. Keempat, 1989),

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),

Umma, Farida Abdurrahman Kasdi Tafsir Ayat -Ayat Yaa Ayyuhal –Ladziina Aamanuu 1, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005),

Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Garfika, 2000), Zainudin Ali, , Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

.


(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Utha Wahyu Sugiharti

NIM : C03210049

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Surabaya, 03 Mei 1992

Alamat : Kebonsari tengah GG Sejati No 32 Surabaya

Fakultas/Jurusan : Syariah dan Hukum/ Siyasah Jinayh

Karya Tulis : Tinjauan Fiqh Jina<yah Terhadap Kepres