Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(1)

TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LIA HARTIKA

090200009

Departemen Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TA. 2012/2013


(2)

TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum

Diketahui/Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP : 196603031985081001

Dr. Hasim Purba SH. M,Hum

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr.H. Hasim Purba SH. M,Hum

NIP : 196603031985081001

NIP : 196602021991032002

Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TA. 2012/2013


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum Pada Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Pembahasan skripsi ini menjelaskan tentang pertanggungjawaban yang harus dilakukan apoteker apabila terjadi kelalaian dan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada konsumen.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis

3. Ibu Rosnidar Sembiring, SH,.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama ini serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Keluargaku tercinta ayahanda Drs. Syaiful Harris Hasibuan dan Ibunda tercinta dr. Arlina Gusti SpP, abang-abangku Budi HP, dr. Dwi Harri Mulia, adekku Muhammad Al-Faraby yang sudah mendukung dan member semangat, perhatian dan senyum untukku.

6. Kepada teman spesial penulis Rahmad Anwar Lubis yang telah memberikan semangat pada penulis sehingga penulis bias menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Sahabat-sahabatku seperjuangan Putri Indah Sari, Sari Mariska, Winda Imoyati Manik, Sarin Alfi Putri, Julia Agneta Barus, Yolanda Purba, Muhammad Subhi Solih, Amanda Nanda Tama, Mauliana, terima kasih atas semua yang sudah kita jalani bersama.

8. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu mohon kritik dan saran nya agar skripsi ini bias menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum.

Medan, Maret 2013

Penulis

NIM:0902000009 Lia Hartika


(5)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ... ... i

DAFTAR ISI ... ……… iii

ABSTRAK ... ... v

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ………..… 1

B. Permasalahan ... ………...9

C. Tujuan Penulisan...10

D. Manfaat Penulisan...10

E. Metode Penulisan...11

F. Keaslian Penulisan...11

G. Sistematika Penulisan ... ……… 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen...15

B. Hak Dan Kewajiban Konsumen...18

C. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha...34

D. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen...41

E. Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen...47


(6)

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEKER

A. Pengertian, Hak Dan Kewajiban Apoteker...54 B. Tugas Dan Kewenangan Apoteker...63 C. Tanggung Jawab Apoteker ... ...………..69 BAB IV : TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengaturan Kedudukan Hukum dan Tugas Apoteker Serta Bentuk- Bentuk Kelalaian Yang Sering Dilakukan Apoteker Yang Merugikan Konsumen dalam Menjalankan Tugas ... ... 75 B. Tanggung Jawab Hukum Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...83 C. Akibat Hukum dan Penyelesaian Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi

Kepada Konsumen ... ... 88

BAB V : PENUTUP

Kesimpulan ... ……….. 102

Saran ... ………..104


(7)

TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LIA HARTIKA

090200009

Departemen Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TA. 2012/2013


(8)

TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum

Diketahui/Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP : 196603031985081001

Dr. Hasim Purba SH. M,Hum

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr.H. Hasim Purba SH. M,Hum

NIP : 196603031985081001

NIP : 196602021991032002

Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TA. 2012/2013


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum Pada Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Pembahasan skripsi ini menjelaskan tentang pertanggungjawaban yang harus dilakukan apoteker apabila terjadi kelalaian dan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada konsumen.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis

3. Ibu Rosnidar Sembiring, SH,.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama ini serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

5. Keluargaku tercinta ayahanda Drs. Syaiful Harris Hasibuan dan Ibunda tercinta dr. Arlina Gusti SpP, abang-abangku Budi HP, dr. Dwi Harri Mulia, adekku Muhammad Al-Faraby yang sudah mendukung dan member semangat, perhatian dan senyum untukku.

6. Kepada teman spesial penulis Rahmad Anwar Lubis yang telah memberikan semangat pada penulis sehingga penulis bias menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Sahabat-sahabatku seperjuangan Putri Indah Sari, Sari Mariska, Winda Imoyati Manik, Sarin Alfi Putri, Julia Agneta Barus, Yolanda Purba, Muhammad Subhi Solih, Amanda Nanda Tama, Mauliana, terima kasih atas semua yang sudah kita jalani bersama.

8. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu mohon kritik dan saran nya agar skripsi ini bias menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum.

Medan, Maret 2013

Penulis

NIM:0902000009 Lia Hartika


(11)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ... ... i

DAFTAR ISI ... ……… iii

ABSTRAK ... ... v

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ………..… 1

B. Permasalahan ... ………...9

C. Tujuan Penulisan...10

D. Manfaat Penulisan...10

E. Metode Penulisan...11

F. Keaslian Penulisan...11

G. Sistematika Penulisan ... ……… 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen...15

B. Hak Dan Kewajiban Konsumen...18

C. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha...34

D. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen...41

E. Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen...47


(12)

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEKER

A. Pengertian, Hak Dan Kewajiban Apoteker...54 B. Tugas Dan Kewenangan Apoteker...63 C. Tanggung Jawab Apoteker ... ...………..69 BAB IV : TANGGUNG JAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengaturan Kedudukan Hukum dan Tugas Apoteker Serta Bentuk- Bentuk Kelalaian Yang Sering Dilakukan Apoteker Yang Merugikan Konsumen dalam Menjalankan Tugas ... ... 75 B. Tanggung Jawab Hukum Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...83 C. Akibat Hukum dan Penyelesaian Dalam Hal Adanya Kelalaian Kesalahan Informasi

Kepada Konsumen ... ... 88

BAB V : PENUTUP

Kesimpulan ... ……….. 102

Saran ... ………..104


(13)

ABSTRAK

Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum Rosnidar sembiring, SH,.M.Hum

Lia Hartika

Tanggungjawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Pelayanan kefarmasian selama ini dinilai oleh banyak pengamat masih dibawah standar. Apotek telah berubah menjadi semacam toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak mengacu pada tanggungjawab profesi karena tidak dilakukan oleh apoteker. Selain itu, 70% apoteker tidak berada di apotek sehingga pelayanan farmasi yang seharusnya dilakukan oleh apoteker digantikan oleh asisten apoteker.

Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah bagaimana pengaturan dan tugas apoteker dan dasar hukum serta bentuk-bentuk kelalaian yang dilakukan apoteker, bagaimana tanggung jawab hukum apoteker terhadap konsumen dan bagaimana akibat hukum dan penyelesaian dalam hal adanya kelalaian kesalahan informasi kepada konsumen.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara penelitian lapangan yang dilaksanakan di Apotek Umi Farma Johor, Medan serta dengan studi kepustakaan yang dilakukan melalui buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi, keterangan-keterangan yang berasal dari literatur serta artikel makalah-makalah hukum.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui bahwa kesalahan yang sering terjadi pada pelayanan obat di apotek adalah pada tahap dispensing, yaitu antara lain adalah cara pemberian obat yang salah, pemberian label yang keliru, salah dosis dan salah sediaan. Apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum apabila melakukan kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pertanggungjawaban apoteker apabila konsumen mengalami kerugian adalah dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan konsumen. Perlindungan konsumen terhadap pasien apotek selaku konsumen dimaksudkan agar pasien mempunyai hak untuk melakukan pengaduan pasien serta menggunakan forum mediasi untuk dapat menyelesaikan sengketa secara sederhana, murah dan cepat.

Dalam penelitian ini juga disarankan kepada pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak dan perlindungan konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul. Artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat adalah apotek, dimana mereka yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia adalah apoteker.

Pelayanan kefarmasian selama ini dinilai oleh banyak pengamat masih dibawah standar. Sebagaimana dikemukakan oleh Kuncahyo bahwa apoteker yang seharusnya mempunyai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat ternyata masih belum dilaksanakan dengan baik1. Apotek telah berubah menjadi semacam toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh apoteker2

1

Adelina br Ginting, Penerapan standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Kota Medan Tahun 2000,

Medan: USU Repository, 2009

. Pada kesempatan lain, pelayanan kefarmasian di bawah standar tersebut secara nyata diungkapkan oleh Ketua Pemgurus Daerah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) Sumatera Utara, H. Siskandri, bahwa 70 persen apoteker tidak berada di apotek sehingga pelayanan farmasi yang seharusnya dilakukan oleh apoteker digantikan oleh asisten apoteker.

2


(15)

Pernyataan ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ahaditomo bahwa apoteker pada akhirnya hanya sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek. Pelayanan apotek masih berorientasi pada produk, belum berorientasi pada pasien. Padahal menurut standar pelayanan farmasi komunitas, semua informasi tersebut di atas seharusnya diberikan oleh apotek dan merupakan hak konsumen. Informasi yang lengkap dan jelas akan mengurangi resiko terjadinya kesalahan penggunaan obat (medicati on error).

Penelitian yang dilakukan di 500 apotek di Amerika Serikat, kesalahan yang sering terjadi pada pelayanan obat di apotek adalah pada tahap “dispensing” yaitu antara lain adalah cara pemberian obat yang salah, pemberian label yang keliru, salah dosis dan salah sediaan3

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang pelayanan kefarmasian di apotek, dinyatakan bahwa pelayanan kefarmasiaan pada saat ini telah mengacu pada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan. Pembangunan di bidang kesehatan mempunyai visi Indonesia Sehat 2010, salah satu nya adalah menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk itu diperlukan perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kefarmasian.

. Penggunaan obat haruslah secara tepat dengan memperhatikan petunjuk kemasan obat atau dokter agar tidak menimbulkan efek samping yang dapat membahayakan fisik, mental dan jiwa pengguna.

3

Matmunah N, Medication Error di Apotek, Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo,


(16)

Menurut Depkes RI pelayanan kesehatan mempunyai peran strategis dalam perbaikan kesehatan masyarakat, khususnya pelayanan kefarmasian dibidang obat–obatan. Kualitas layanan farmasi dan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada konsumen harus terus dikembangkan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah dan berkembang. Perkembangan jasa pengadaan dan penyaluran obat terus mengalami peningkatan yang signifikan. Perkembangan tersebut perlu sejalan dengan pembinaan, pengendalian dan pengawasan yang tepat pula agar adanya jaminan kesehatan dan keselamatan terhadap pemakaian obat tersebut. Kualitas pelayanan kefarmasian yang baik khususnya dibidang obat-obatan tidak hanya beriorentasi pada keuntungan semata ,tetapi juga berorientasi pada kepuasan konsumen4

Konsumen pada dasarnya mempunyai hak, untuk menegakkan hak-hak konsumen ini maka perlu perlindungan hukum, akan pengetahuan konsumen tentang hukum dan ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai. Berdasarkan hal tersebut diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya

.

5

Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa

.

4

Departemen Kesehatan RI, Standar Pelayanan Farmasi, Jakarta:Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 1992

5


(17)

perseorangan6. Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah7

Ciri khas dari Negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Termasuk dalam hak-hak-hak-hak asasi manusia adalah hak-hak konsumen. Mengingat betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “Generasi Keempat Hak Asasi Manusia” yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi dalam perkembangan umat manusia di masa-masa yang akan datang

.

8

Hak konsumen dalam artian yang luas

. Dimana persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.

9

6

Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum,Jakarta:Sinar Grafika, 2006, hal 40

dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya. Konsepsi generasi keempat ini dapat disebut sebagai Konsepsi Generasi Kedua apabila seluruh corak pemikiran atau konsepsi hak asasi manusia sebelumnya yang bersifat vertikal dikelompokkan sebagai satu generasi tersendiri dalam pertumbuhan dan

7

Erman Raja Guguk, et.all, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Mandar Maju, 2003, hal 7.

8

Amstrong Sembiring, Menyoal Hak-Hak Konsumen,2010, diakses 8 Januari 2013,

9

Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standar Kontrak, Jakarta: Bina Cipta, 1990


(18)

perkembangan konsepsi hak asasi manusia. Konsepsi Generasi kedua adalah konsepsi hak asasi manusia untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy “Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen” saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yangsuaranya nyaris tak didengar.” Yang di dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest.

Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut: 1) the right to safety (hak atas keamanan)

2) the right to choose (hak untuk memilih)

3) the right tobe informed (hak mendapatkan informasi) 4) the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya)10

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hakhak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10

.

10

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007, hal 31


(19)

Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut, hak perlindungan kesehatan 11

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly) pada tanggal 9 April 1985. Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection. Lobi yang konsisten oleh kelompok konsumen berdasarkan Guidelines tersebut merupakan kesinambungan untuk meningkatkan dan memperkuat perlindungan hukum bagi kelanjutan gerakan konsumen di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun di negara maju. Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan productliability.

dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming), hak untuk didengar (recht om teworden gehord).

11

Bernard Arief Shidarta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah PenelitianTentang Fundasi

Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan PengembanganIlmu Hukum Nasional Indonesia,


(20)

Di Indonesia, mengenai hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni :

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya12

Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. Indonesia melalui Undnag-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

.

12

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal 27


(21)

Konsumen menetapkan kesembilan hak konsumen sebagai penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan Negara kesejahteraan, yaitu pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-Undang Dasar1945

Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat untuk menegakan hak-hak konsumen tersebut. Lemahnya kedudukan konsumen dan begitu besarnya kerugian yang dapat ditimbulkan, khususnya terhadap apoteker sebagai Apoteker Pengelola Apotek yang salah dalam memberikan obat kepada masyarakat, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini yang menyangkut juga dengan pemberian perlindungan konsumen berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan judul :

“Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan dibahas oleh penulis dirumuskan antara lain sebagai berikut:

1. Apa saja tugas apoteker dan dasar hukum apoteker serta bentuk-bentuk kelalaian yang dilakukan apoteker yang merugikan konsumen dalam menjalankan tugas ?

2. Bagaimana tanggung jawab hukum apoteker terhadap konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ?

3. Bagaimana akibat hukum dan penyelesaian dalam hal adanya kelalaian kesalahan informasi kepada konsumen yang dilakukan oleh apoteker?


(22)

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penulisan diperlukan adanya tujuan, adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menyusun tulisan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui apa saja tugas dan dasar hukum serta bentuk-bentuk kelalaian yang dilakukan oleh apoteker yang dapat merugikan konsumen dalam menjalankan tugasnya.

2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab apoteker terhadap konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dikaitkan dengan kode etik apoteker.

3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dan penyelesaiannya dalam hal terjadi adanya kesalahan informasi kepada konsumen yang dilakukan oleh apoteker.

D. Manfaat Penulisan

1. Secara Teoritis, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai:

1. Bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang hukum perlindungan konsumen.

2. Sebagai suatu bentuk penambahan literatur tentang tanggungjawab apoteker terutama pemberian perlindungan kepada konsumennya

2. Secara Praktis, hasil penelitian dapat digunakan:

1. Sebagai pedoman dan masukan bagi apoteker dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya terhadap konsumen.


(23)

2. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk memutuskan dan menyelesaikan perkara.

3. Sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan terutama masyarakat luas tentang hak-hak yang dimiliki mereka apabila dirugikan oleh apoteker.

E. Metode Penulisan

Untuk mencari dan menemukan suatu kebenaran ilmiah dan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini, maka penulis mengadakan penelitian dengan metode sebagai berikut:

1. Penelitian kepustakaan (library research)

untuk mendapatkan konsepsi teori dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Pada metode penelitian kepustakaan (Library research) ini penulis mengumpulkan, membaca, dan mempelajari serta menganalisa secara sistematis sumber bacaan yang meliputi buku-buku, majalah, surat kabar, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang mempunyai relevansi dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Penelitian lapangan (Field Research)

Pada metode ini agar dapat memperoleh data yang lebih akurat, maka penulis melakukan penelitian lapangan dengan mengambil lokasi penelitian di Apotek Umi Farma Johor, Medan. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dengan cara memilih responden yaitu dengan


(24)

mengadakan wawancara (interview) kepada apoteker di Apotek Umi Farma Johor, Medan yaitu Ibu Umi Chairani Manik. Penulis juga menyebarkan angket (questioner) kepada para pasien Apotek Umi Farma.

Berdasarkan kedua teknik penelitian dan pengumpulan data ini penulis kemudian mengolah data-data dan bahan-bahan dan selanjutnya disajikan sesuai dengan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penulusuran di Perpustakaan USU, penulisan mengenai masalah tanggung jawab apoteker terhadap konsumen ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Karena itu keaslian penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dibuat sebagai berikut :


(25)

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang, perumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Memberikan pemahaman tentang tinjauan umum tentang konsumen. Di dalam tinjauan umum tentang konsumen diuraikan tentang pengertian konsumen, hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, pengertian hukum perlindungan konsumen, pentingnya hukum perlindungan konsumen, tujuan perlindungan konsumen.

BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEKER

Memberikan pemahaman tentang tinjauan umum mengenai apoteker meliputi pengertian, hak dan kewajiban apoteker, tugas dan kewenangan apoteker, serta tanggung jawab apoteker.

BAB IV: TANGGUNGJAWAB APOTEKER TERHADAP KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Merupakan pembahasan pokok penulisan yang terdiri dari pemahaman tentang tanggung jawab hukum apoteker terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tentang Perlindungan Konsumen dan dikaitkan dengan kode etik apoteker.

BAB V: PENUTUP


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen

Berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis, dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien yang merupakan konsumen jasa. Dan untuk itu, perlu diketahui apa yang dimaksud dengan konsumen.

Menurut UU No. 8/ Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2) menyebutkan konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.

Lain halnya pendapat dari Hondius (Pakar masalah Konsumen di Belanda) menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen13

Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen). Setiap orang yang menggunakan barang.

.

13

Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan

Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan


(27)

Pengertian Konsumen di Amerika Serikat dan MEE, kata “Konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai14

Pengertian Yuridis formal ditemukan dalam pasal 1 angka (2) UUPK dinyatakan bahwa : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa Konsumen adalah pihak yang memakai, membeli, menikmati, menggunakan barang dan /atau jasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan rumah tangganya. Menurut pasal 1 angka (2) UUPK dikenal istilah Konsumen akhir dan Konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah Konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Konsumen dalam UUPK adalah Konsumen akhir (selanjutnya disebut dengan Konsumen).

Pengertian Konsumen dalam pasal 1 angka (2) UUPK mengandung unsur-unsur sebagai berikut15

a. Konsumen adalah setiap orang :

Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).

b. Konsumen sebagai pemakai

14

Agus Brotosusilo, makalah “Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum

di Indonesia”, (Jakarta: YLKI-USAID, 1998) hal. 46

15


(28)

Pasal 1 angka (2) UUPK hendak menegaskan bahwa UUPK menggunakan kata “pemakai” untuk pengertian Konsumen sebagai Konsumen akhir (end user). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

c. Barang dan/jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen. Jasa yaitu layanan berupa pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh Konsumen.

d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat

Barang dan/jasa yang akan diperdagankan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya.

e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/jasa.

f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian Konsumen dalam UUPK dipertegas, yaitu hanya Konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa yang telah diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.

Az.Nasution juga mengklasifikasikan pengertian Konsumen menjadi tiga bagian16

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

:

16

AZ.Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999,


(29)

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK.

B. Hak- Hak dan kewajiban Konsumen

Istilah “ perlindungan konsumen “ berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sebagaimana disampaikan Munir Fuadi, kehadiran suatu kaedah hukum (legal procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan hukum (law enforcement) yang menetap adalah dambaan masyarakat Indonesia sekarang, sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan memetik hasilnya17

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. J.F Kennedy adalah Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi,

.

17

Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, Bandung , PT. Citra Aditya Bakti,1994 hal. 184


(30)

konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.”

Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hakkonsumen sebagai berikut:

1. the right to safety (hak atas keamanan); 2. the right to choose (hak untuk memilih);

3. the right tobe informed (hak mendapatkan informasi); 4. the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya).

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat.

Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untukmemperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid);


(31)

2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen);

3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly). Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for Consumers Protection. Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yangdikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Guidelines for Consumer Protection) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia adalah :

1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan konsumen;

2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen;

3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya;

4. Pendidikan konsumen;


(32)

6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang sejenis dan memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk mengemukakan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Resolusi ini lahir berkat perjuangan panjang selama kurang lebih sepuluh tahun dari lembaga-lembaga konsumen di seluruh dunia yang dipimpin oleh International Organization of Consumers Union (IOCU).

Lahirnya gerakan perlindungan konsumen di Negara-negara maju, adalah bukti adanya hak-hak konsumen dijunjung tinggi dan dihargai, demikian juga dalam perkembangannya di Indonesia. Era globalisasi yang ditandai dengan membanjirnya aneka macam produk barang dan/atau jasa di pasaran, telah menuntut pula dilindunginya pihak konsumen sebagai pemakai produk tersebut18

Hak konsumen di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

.

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha19

18

Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, 1988, hal. 191

. Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya

19


(33)

paham rasional di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak, penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri. Dan secara khusus konsumen di negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan. Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Dan pasar internasional –dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produk-produk yang tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen. Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi kebijakankebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu


(34)

penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar negeri20

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

.

Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relative rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Menurut Prof Hans. W. Micklitz21

20

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Jakarta: Grasindo, 2000

, Informasi yang benar serta lengkap dari suatu produk barang/ jasa harus disertakan oleh produsen. Hal ini sangat penting, karena kelangkaan ataupun kekeliruan memberikan informasi akan memberikan gambaran yang salah dan membahayakan bagi konsumen. Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi. Antara lain dapat dilakukan melalui: (a). disampaikan secara langsung; (b). melalui media komunikasi, seperti iklan; (c). dicantumkan dalam label barang atau jasa.

21


(35)

Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja, tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen. Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar pada konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh produsen/ pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya.

Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian informasi secara berlebihan. Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering mendorong konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen perlu selektif terhadap informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan dengan kenyataan yang ada pada produk tersebut. Tak kalah pentingnya, konsumen pun harus jeli dalam membedakan mana rayuan, mana promosi dan mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang bijak daripada mengalami kerugian di belakang hari.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Menurut Shidarta, keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi. Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan.


(36)

Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun pedagang. Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini belum dimanfaatkan. Contoh yang paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau sewa beli, kontrak-kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada bon pembelian yang biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang, biasanya karena dipermasalahkan secara terbuka. Kalaupun telah merasakan ketidakseimbangan ketentuan tersebut, konsumen segan mengajukan usulan yang menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut perlu mendapat perhatian, agar konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang dirugikan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup juga kewajiban untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk berlaku jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa


(37)

merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya, antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling membutuhkan.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Shidarta menjelaskan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat22

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan “ tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsure komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.

.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

22


(38)

Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Contohnya, seorang pejabat tidak perlu antri tiket seperti konsumen lainnya, karena pelaku usaha memberikan perlakuan khusus. Begitu pula halnya ketika tiket kereta api hendak dibeli konsumen dengan harga sebagaiman tarif, oleh si penjual dikatakan telah habis, sementara bagi konsumen yang berani membelinya diatas tarif, maka tiket tersebut akan dengan mudahnya diperoleh. Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha23

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

.

Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan dasardasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual dan konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak.

Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan mamupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidaksengajaan dari pihak penjual yang

23


(39)

mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran, mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, berupa :

1. Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.

Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.


(40)

Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung dalam The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000.

2. Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya yang lebih lemah dengan cara


(41)

membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan oleh si produsen curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.

Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia,


(42)

dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hakhak konsumen bersifat universal.

Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam pasal 5 UUPK, yakni24

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

:

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan dihormati oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen. Hak tersebut diimbangi dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya antara hak dan kewajiban tersebut adalah seimbang.

Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPK adalah :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

24


(43)

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7, yakni :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya menurut Nurmanjito,


(44)

larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain sebagainya25

Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.71 Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman, layak konsumsi bagi konsumen. Dalam ketentuan pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang produksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa, antara lain :

.70

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

25

Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan

Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan


(45)

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan

tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.


(46)

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarangM memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku/tidak melanggar hukum. Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau menyesatkan konsumen. Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 14 UUPK yang menyebutkan :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :

a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;

c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan caracara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.


(47)

Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik; b. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;

c. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

d. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

a. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan obat paten.

c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

d. Apoteker wajib memberikan informasi:

1. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen. 2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang


(48)

timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.

D. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua cabang hukum itu identik26

M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted

.

27

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan .

26

Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan

Perlindungan Konsumen,Yogyakarta: Genta Press, 2007, hal. 81

27


(49)

konsumen diartikan sebagai : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.

Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut : Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi Negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena


(50)

pengguna kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu28

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. :

2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan

28


(51)

perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut29

1. keselamatan fisik; :

2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen; 3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;

4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian; 6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi; pengaturan masalah-masalah

khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Sedangkan menurut Setiawan, perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian. Dalam pandangan ini secara tegas dinyatakan bahwa upaya untuk melakukan perlindungan konsumen disebabkan adanya tindakan-tindakan atau perbuatan para pelaku usaha dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang tidak jujur sehingga dapat merugikan konsumen, praktek-praktek yang dijalankan salah satunya mengunakan bahan kimia sebagai bahan campuran dalam pengawetan makanan, misalnya formalin.

Menurut Adijaya Yusuf dan John W. Head, perlindungan konsumen adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dan usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen mempunyai suatu misi yang besar yaitu untuk mewujudkan

29


(52)

kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat macam kepentingan, yaitu sebagai berikut30

1. Kepentingan fisik;

:

Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha.

2. Kepentingan sosial dan lingkungan;

Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumbersumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman.

3. Kepentingan ekonomi;

Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi dayabeli konsumen juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang dihasilkan.

4. Kepentingan perlindungan hukum.

30

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 6.


(53)

Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku usaha yang merugikan.

E. Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen

Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping apoteker, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa apoteker melakukan kekeliruan karena kelalaian

Definisi perlindungan Konsumen terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.”. Rumusan pengertian perlindungan Konsumen yang terdapat dalam pasal tersebut, cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen.

Pengertian Perlindungan Konsumen di kemukakan oleh berbagai sarjana hukum salah satunya Az. Nasution. Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai


(1)

mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ancaman sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua (2) Ratus Juta Rupiah dan sanksi pidana berupa ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak dua (2) Milyar Rupiah apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan apoteker sebagai pelaku usaha atas ketentuan yang berlaku.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tugas apoteker menunjukkan betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien (masyarakat). Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan oleh obat dan sebagainya. Namun, pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker belum dilaksanakan dengan maksimal dimana banyak terjadi kelalaian yang dilakukan oleh apoteker diantaranya adalah kehadiran seorang apoteker berada di apotek cukup rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, secara umum apotek yang mereka kelola adalah apotek milik PSA (pemilik sarana apotek) dimana pemilik apotek cenderung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka, secara tidak langsung atau mendorong apoteker mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan biasanya resep yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih dilakukan oleh asisten apoteker.

2. Tanggung jawab hukum apoteker terhadap konsumen apabila pasien mengalami kerugian menurut Undang-Undang Nomor8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan pasien, untuk menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan pasien dilakukan dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Perlindungan hukum bagi pasien apotek selaku konsumen mempunyai hak untuk melakukan pengaduan serta


(3)

menggunakan forum mediasi untuk mendapatkan penyelesaian sengketa secara sederhana, murah dan cepat.

3. Akibat hukum dalam hal terjadi adanya kesalahan informasi kepada konsumen yang dilakukan oleh apoteker adalah apoteker dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal apoteker berbuat kesalahan atau kelalaian. Apoteker tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kesalahan yang umumnya terjadi yang dilakukan apoteker terhadap konsumen adalah kesalahan akibat pemberian obat dengan nama obat yang sama namun kualitas berbeda dan kesalahan dalam membaca resep. Biasanya hal ini dikarenakan konsumen yang tidak menjelaskan mengenai keluhan yang ia derita. Keluhan ini menurut apoteker terbagi menjadi dua yaitu keluhan biasa dan keluhan yang berbahaya. Keluhan biasa yaitu mengenai kulaitas obat dan pelayanan terhadap konsumen. Akibat yang timbul dari keluhan biasa adalah konsumen akan pindah ke apotek lain. Sedangkan keluhan berbahaya adalah keluhan konsumen setelah membeli dan menggunakan obat dari apotek, seperti kualitas obat dan efek samping obat. Akibat yang timbul dari keluhan berbahaya adalah apoter dapat dituntut oleh konsumen sampai ke pengadilan.


(4)

B. Saran

1. Pihak apoteker hendaknya dapat melaksanakan kewajiban dan tugasnya dengan baik sehingga konsumen tidak dirugikan baik kesehatannya maupun keuangannya.

2. Apoteker harus memenuhi tanggungjawabnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah apoteker harus bertanggungjawab secara hukum atas kesalahan dan kelalaiannya. Apoteker harus merespon setiap keluhan dan pengaduan konsumen. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan dan pengaduan pasien diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap apotek dalam menyelesaikan setiap pengaduan pasien.

3. Apabila terjadi permasalahan antara konsumen dengan apoteker akibat kelalaian yang dilakukan oleh apoteker maka perlu disediakan media yang dapat menampung penyelesaian sengketa antara pasien dengan apoteker. Penyelesaian sengketa pasien harus dapat memenuhi unsur sederhana, murah dan cepat. Pertanggungjawaban Apoteker di apotek Umi Farma apabila pasien mengalami kerugian yaitu dengan cara melakukan perdamaian berupa pengaduan langsung kepada apoteker yang bersangkutan apabila terjadi kekeliruan untuk selanjutnya diproses untuk dibuktikan guna pemberian ganti rugi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Achmad. 2002. Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk:Jakarta

Arrasjid, Chainur. 2006. Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika:Jakarta

Brotosusilo, Agus. 1998. makalah “Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia”. YLKI-USAID:Jakarta

Djamali, Abdoel. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Raja Grafindo:Jakarta

Fuadi, Munir. 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra Aditya Bakti:Bandung

Hadjon, Philipus M. 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu:Surabaya

Hanifah, Jusuf. 2001. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Kedokteran ECG: Jakarta

Mansyur, Ali. 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press:Yogyakarta

Nasution, Bahder. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. PT. Rineka Cipta: Jakarta

Nurmandjito. 2000. Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju, Bandung

Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti:Bandung

Raja Guguk, et.all, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju:Jakarta

Sasongko, W. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung:Bandar Lampung

Shidarta, B Arief. 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju:Bandung


(6)

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia

Sidabalok, Janus. 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,:Bandung

Soekanto, S. 2005. Pengantar Hukum Kesehatan.CV.Ramadya Karya :Bandung

Sofie, Yusuf. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia:Jakarta Sudikno Mertokusumo,S. 1996. Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, Sularsonomor. 2009. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional. BAPPENAS. Makasar Widjaja, G & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia

Pustaka Utama:Jakarta

Varia Farmasi, no. 63 Tahun 1986 ke VII, Hal 9

B. Internet

Erlizar SH. Hak dan Kewajiban Pasie pasien/>(23 Desember 2012)

Ginting, Adelina. 2009. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Kota Medan Tahun 2008. www.repository.usu.ac.id

Matmunah , .”Medication Error di Apotek”. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo, http://www.ums.ac.id .diakses pada tanggal 3 januari 2013

Nasution,AZ. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999, , www.pemantauperadilan.com diakses pada 26 Desember 2012

Sasanti, Rini. 2009. Persepsi Konsumen Apotek Terhadap Pelayanan Apotek Di TigaKota Indonesia

Sembiring, A. 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010, available from URL

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Dokumen yang terkait

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENGGUNA JASA PENITIPAN HEWAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 9 50

Tanggung Jawab Perusahaan Air Minum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Perusahaan PT. Tirta Sibayakindo Berastagi)

6 51 119

Analisis Terhadap Tanggung Jawab Penyelenggara Jasa Transportasi Go-Jek Ditinjau Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 1

Tanggung Jawab Media Penyiar Iklan Terhadap Konsumen Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 126

Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Di Kota Semarang.

1 4 136

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 1 33

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PT POS INDONESIA CABANG SEMARANG TERHADAP KONSUMEN POS EXPRESS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

0 1 9

PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB PT POS INDONESIA CABANG SEMARANG TERHADAP KONSUMEN POS EXPRESS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

0 0 9