Manhaj Ijtihad Kontemporer (Lanjutan)

Manhaj Ijtihad Kontemporer (Lanjutan)
Ijtihad Intiqa’I (lanjutan)
Pada uraian yang lalu telah dibicarakan tentang ijtihad Tarjihi/Intiqa’i dalam rangka
membicarakan ijtihad kontemporer. Ijtihad Tarjihi juga ijtihad Intiqa’I prinsipnya adalah
selektif, memiliki pendapat-pendapat ulama di masa lampau yang kemudian
membandingkannya (komperati, muqaranah) kemudian mengambil pendapat yang
dipandang terkuat untuk diaplikasikan.
Melihat rumusan itu nampak adanya kesamaan antara intiqa’i itu dengan tarjihi.
Jawabnya memang demikian, karenanya ijtihad Intiqa’i dapat juga disebut ijtihad tarjihi
intiqa’i. Hanya perbedaannya adalah bahwa letak I’tibar kesesuaian dalil dalam
implementasinya di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan masanya.
Dahulu orang memahami dengan ditekankan pada aspek doktriner sekalipun dalam
pemahamannya tidak melepaskan ilmu pengetahuan. Namun di masa modern yang ilmu
pengetahuan berkembang pesat, dalam pemahaman yang doktriner tadi sangat perlu
dipahami dengan metode ilmiyah yang juga berkembang. Sehingga sekarang ini dalam
memahami agama secara terpadu menjadi Doctrinair Cum Scientific. Namun dari segi
keyakinan berdasarkan wahyu tetap akan berlaku karena wahyu adalah ilmu yang
diberikan langsung kepada Nabi untuk manusia. Sedang manusia mendapatkan ilmu
berasarkan pemikirannya yang dapat salah. Contoh bahwa agama adlah wahyu menurut
doktrin al-Qur’an sedang ilmu pengetahuan barat yang kita terima agama budaya.
Menurut al-Qur’an, agama dihadapan Allah adalah Islam (Ali Imran: 19). Barangsiapa

mencari agama selain Islam, tidak akan diterima dan di akherat orang yang demikian
tergolong orang yang rugi; dengan demikian ta’wil ilmu (pengetahuan) bahwa orang yang
beragama Yahudi dan Nasrani akan masuk surga memang benar kalau percaya pada Nabi
Muhammad (al-Hujarat: 15), sebagai Rasul Allah.
Kalau kita masih mau mengambil pendapat Yusuf al Qardlawi dalam kitabnya al-Ijtihad,
maka kita sekarang ini menghadapi perkembangan ilmu modern seperti dalam masalah
kedokteran dan ekonomi dan keuangan. Bahkan dalam teknologi dan hubungannya
dengan sosial kemasyarakatan.
Sebetulnya di kalangan Muhammadiyah, apa yang dipaparkan al-Qardlawi; seorang
ulama dari Mesir yang dulu pengikut Ihwanul Muslimin itu tidak asing lagi. Karena
buku-bukunya itu di gagas baru tahun 1983 dan diterjemahkan pada tahun 1987. Tiga
tahun sebelum gagasan al Qardlawi itu telah dirasakan Pimpinan Majelis Tarjih,
kemudian Majelis Tarjih mengadakan Muktamar, yang antara lain membicarakan tentang
hukum transplantasi. Masalah transplantasi di kala itu adalah masalah kedokteran baru
yang mencuat di tengah-tengah masyarakat yang perlu mendapat kejelasan hukumhukumnya.
Sebetulnya dalam mengantisipasi masa modern, telah dituturkan pada rubrik yang lalu, al
Qardlawi menyebutkan perlunya ijtihad Tarjihi Intiqa’i dan Ijtihad Ibda-i Insya-i. Ijtihad
Intiqa’i telah dibicarakan, sedang dalam pembicaraan ini akan disampaikan:
Ijtihad Ibda-i Insya-i dan gabungan antara ijtihad Intiqa’i dan Insya-i.
Ijtihad Ibda-I Insya-i


Maksud ijtihad Insya-i (kreatif) ialah mengambil baru dalam suatu permasalahan
penetapan hukum terhadap satu masalah yang masalah itu belum pernah dikemukakan
oleh ulama di masa lalu, apakah masalah itu sesuatu yang baru ataupun masalah itu telah
lama. Jadi ijtihad kreatif ini bisa dilakukan terhadap sebagian masalah lama, sedang
dimasa kontemporer ini dikemukakan/diajukan lagi dengan pendapat baru yang belum
pernah didapati dari ulama-ulama salaf. Dan hal ini bukanlah suatu halangan unutk
dilakukan.
Dalam rangka melakukan ijtihad ini dapat segera memperhatikan pendapat-pendapat
yang ada yang mungkin bertentangan dengan ijtihad yang diperselisihkan ahli-ahli fiqih
dahulu mengemukakan pendapat ketiga, dan bila mereka berselisih dalam 3 macam
pendapat, bolehlah saja mengeluarkan pendapat yang keempat dan begitu seterusnya.
Karena adanya perselisihan dalam masalah-masalah tersebut menunjukkan bahwa
masalah tersebut menerima bermacam-macam interpretasi dan arah pandangan serta
perbedaan. Sedangkan pendapat-pendapat hasil ijtihad orang yang berhak itu tidak boleh
dibekukan atau dihentikan pada suatu batas tertentu.
Sebagian contoh al Qardlawi mengemukakan pendapatnya tentang zakat tanah sewaan,
tentang wajibnya penyewa mengeluarkan zakat tanaman atau buah yang dihasilkan dari
tanah sewaan tadi (bila telah sampai nishab) dengan tidak menzakati hasil tanah tadi
yang seharga ongkos sewa tanah. Karena uang seharga ongkos tanah akan diberikan

kepada pemilik tanah yang dianggap sebagai hutang yang menjadi beban penyewa.
Dengan demikian ia hanya mengeluarkan zakat hasil yang bersih dari tanaman itu.
Sedangkan pemilik tanah yang menyewakannya harus mengeluarkan zakat uang sewaan
yang diterimanya – apabila dikurangi dengan pajak tanah, baik uang sewa itu sendiri atau
kalau digabung dengan uang yang dimiliki sampai batas nishab.
Dengan demikian penyewa maupun yang menyewakan tanah kedua-duanya zakat hasil
yang diterima masing-masing dari hasil tanah tersebut. Sebagaimana juga kalau keduanya
bersama-sama menggarap tanah dengan zara muzara’ah (paroan) dimana masing-masing
harus mengeluarkan zakat dari bagian hasil paroan itu.
Pendapat yang demikian ini menurut al Qardlawi belum pernah diutarakan oleh orangorang terdahulu. Dalam fiqih klasik disebutkan, jumhur ulama berpendapat bahwa zakat
tanaman dan buah-buahan dari tanah yang disewa diwajibkan atas orang yang menyewa,
sedangkan menurut Abu Hanifah zakat wajib dikeluarkan atas pemilik tanah yang
menyewakan tanahnya.
Perselisihan pendapat ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul
Mujtahid. Persoalannya apakah zakat sepersepuluh diwajibkan atas hasil tanaman
ataukah sewa tanah, atau keduanya. Dan pendapat yang belum ada adalah bahwa zakat
itu diwajibkan atas hasil tanaman dan hasil tanah.
Contoh lain yang dikemukakan oleh al Qardlawi dalam ijtihad ibda-i insya-I ialah bahwa
zakat uang sekarang ini dapat memilih satu ukuran standar yakni nisbah bakat itu
diperhitungkan dengan nilai emas bukan dengan nilai perak. Pendapat demikian ini bukan

berarti keluar dari nash dan ijma’
Kalau kita kaji ulang Keputusan Muktamar Tarjih di Garut tahun 1976, ternyata Majelis
Tarjih telah berpendapat bahwa ukuran nisbah disatukan pada harga emas murni seberat
85 gram sebagai pendapat al Qardlawi (lihat al Awwal fil Islam).
Mengenai ijtihad Insya’i ini umumnya terjadi dalam masalah-masalah baru yang belum
pernah dikemukakan ulama-ulama zaman dahulu dan mungkin belum ada di zaman

mereka, atau mungkin mereka telah mengetahuinya tetapi dalam skup yang kecil belum
merupakan suatu problem dan belum mendesak ahli fiqih untuk membahas
penyelesaiannya dengan suatu ijtihad. Menurut qaidah fiqhiyyah “An Naddir kal’adam”,
artinya yang jarang terjadi dianggap seperti tidak ada. Sekarang kebutuhan itu ada dan
mendorong ke arah penemuan baru dan problema baru yang dapat mendorong timbulnya
ijtihad baru seperti mahalnya daging mendorong adanya daging sintetis yang memerlukan
ijtihad bagaimana hukum memakannya dengan melakukan penelitian bahan-bahan yang
digunakan.
Contoh lain lagi tentang ijtihad insya-i sepeti pendapat mufti negara Mesir, Syeikh
Muhammad Bakhit al Muth’I tentang kebolehan Fotografi.. Beliau berpendapat bahwa
berfoto itu boleh. Sebab alasan dilarangnya menggambar itu, adalah adanya upaya untuk
membuat bandingan makhluk Allah SwT sedangkan foto bukanlah merupakan bandingan
mahkluk Allah tapi foto adalah bayangan makhluk itu sendiri yang merefleksi pada

kertas. Hal ini sama halnya merefleksinya bayangan pada kaca, dan dengan ilmu modern
manusia bisa menetapkan bahwa foto adalah banyangan yang merefleksi di dalam kertas
melalui beberapa cara tertentu.
Menurut al Qardlawi pendpat ini sebagai hasil ijtihad Insya-i yang benar, yang dikuatkan
oleh suatu tradisi di Qatar bahwa mereka menamakan tashwir (foto) dengan kata-kata
‘aks (membuat bayangan) dan menamakan foto-foto dengan ‘ukus (beberapa bayangan
hasil refleksi) dan tukang foto disebut ‘akkas (tukang refleksi bayangan), kalau salah
seorang mereka minta difoto berkata: ‘Ikisni (buatlah bayangan saya).
Kalau difoto, dinamai al ‘aks (membuat bayangan) dan tidak menamakannya dengan
tashwir (menggambar) tentunya tidak akan timbul keraguan dalam benak orang-orang
yang ekstrim yang mengharamkan foto seperti di televisi. Sebab gambar yang kita
saksikan di televisi adalah bayangan makhluk Allah bukanlah gambar yang diserupakan
dengan makhluk tersebut (untuk disembah). Dan manfaatnya banyak, seperti untuk
paspor, KTP, dsb.
Demikianlah ijtihad pola baru baik pengertian dan contoh-contoh yang dikemukakan oleh
al Qardlawi dengan komentar penulis. Ijtihad ini ijtihad kontemporer, selain melakukan
ijtihad dengan pemahaman baru dan terhadap masalah baru, tidak pula melupakan
aplikasinya dengan mempertimbangkan ilmu dan penemuan-penemuan baru.
Hal demikian perlulah difahami bahwa perpaduan wahyu dengan pikiran manusia tidak
harus nash itu ditarik pada pemikiran, tetapi dipikirkan bagaimana memahami nash itu.

Sebagai contoh dlaam ilmu kebudayaan agama termasuk budaya, sehingga dalam
pengertian hubungan kemanusiaan pengaturan agama, Islam disejajarkan dengan agama
lain baik samawi maupun bukan. Tetapi dalam keyakinan tidaklah semua agama sama.
Karena nash menyatakan agama dihadapan Allah adalah Islam (Ali Imran: 19).
Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama tidak akan diterima dan dia di
akherat tergolong orang yang rugi (Ali Imran: 85).
Adapun orang yang beriman dan juga Yahudi, Nasrani dan Shabi’in yang betul-betul
beriman pada Allah dan hari kemudian dan berbuat amal shaleh, mereka akan
mendapatkan pahala (al-Baqarah: 62). Mereka yang benar-benar beriman adalah orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hal ini Muhammad Rasulullah serta
mereka berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah (al Hujurat: 15). Mereka ini
benar-benar beriman sesuai dengan ayat 15 al Hujurat itu akan mendapat pahala seperti

pada ayat 62 surat al Baqarah dan tidak tergolong orang yang rugi sebagai pernyataan
ayat 85 surat Ali Imran.
Demikian pula tidaklah kita menjadi berubah prinsip menjauhkan kemusyrikan dan TBC
karena kita telah menetapkan dakwah kultural sebagai pelaksanaan dakwah kita. Kita
mengambil atau menjadikan adat kebiasaan tidak bertentangand engan syari’at.
Sumber: SM-14-2002