IJTIHAD DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH IJTIHAD
IJTIHAD DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH
IJTIHAD
Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?
Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: )اجتهاد adalah sebuah usaha yang sungguhsungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab )اجتهاد Aljahd atau aljuhd yang berarti lamasyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan akththaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam alquran
disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (attaubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan”(attaubah:79)
Kata aljahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa
dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan katakata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguhsungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah,
dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin
pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan
batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat
pada Kitabu ‘lLah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal
dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari
hikmah syari’ah yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin)
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan
ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau
mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orangorang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad
sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u
‘lJawami’ (Jalaluddin alMahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka
ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘lJawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku
di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori alJahidh, salah seorang tokoh
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa
konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’
telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan
ketentuan tertentu.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para
ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di
suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah
baru akan terus berkembang dan diperlukan aturanaturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama seharihari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa
waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan
jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut
harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu.
Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi
yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Jenisjenis Ijtihad
Ijma’
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
Qiyas
Beberapa definisi qiyâs' (analogi)
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan
diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam AlQur'an atau Hadis
dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...
Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan
hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn
umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adatistiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturanaturan prinsipal dalam Alquran
dan Hadis.
Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?
Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi
ajaran ke sumber alQur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu
kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua
permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat
dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke AlQur’an dan Sunnah’ pada satu sisi
dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut
tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin
Abdullah, dalam studi agamaagama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif
tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.
Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut,
sehingga adagium arruju’ ila alQur’an wa asSunnah hanya sematamata terkait dengan persoalan
ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalanpersoalan fiqih. Tidak
mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle
of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isuisu hukum agama
atau hukumhukum fiqih an sich dan tidak melebar pada alulum alkauniyyah dan alhayat al
insaniyyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung
memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis
Muhammadiyah terlalu bersifat politisidiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif
kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thikthank Muhammadiyah terlalu
bersifat fiqhoriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks
perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman
yang asumtifprobabilistikpluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari
pensakralan produkproduk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah
masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota
Majlis Tarjih.
Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath
hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj
digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari AlQur’an dan AsSunnah, secara istidlal
dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115).
Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql
maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama
“Pokokpokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.
Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal
ini, dibuktikan dari putusanputusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab,
masalahmasalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat
tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.
Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah
memuat unsurunsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumbersumber hukum,
prinsipprinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian
telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat
oleh salah satu pandangan madzhab.
Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al
Qur’an dan AsSunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam
penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan
ayatayat AlQur’an dan AsSunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan
Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai
gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada AlQur’an dan AsSunnah.”
Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya
sebagai berikut:
a. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian
setelah Nabi Muhammad saw.
b. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab
Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia,
Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.
c. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lainlain kurang banyak dijelaskan.
Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas
kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.
Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah
usuliyahnya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan
hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan
akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap
ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga
menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.
Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masingmasing
keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu
unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.
Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini.
Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan
telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.
Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan
zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh
Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:
1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang
dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak,
ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun
adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tarjih.
2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang
belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.
3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus,
maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang
demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).
Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam
Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih
Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama
ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan
tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan
permasalahan yang dihadapi.
Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan
ini ?
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah
dengan gerakangerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui
benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.
Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta
menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi,
modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah
adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati
dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar alQur’an dan
alSunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).
Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat,
pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam berIslam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai
gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang
ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman.
Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di
tengahtengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu
melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.
AlQur’an dan AlSunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha
menangkap dan meresponi pesanpesan kedua sumber Islam itu, kemudian
mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu,
Muhammadiyah harus terusmenerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi,
reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah
tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang
pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan
dekadensi (M. Amien Rais, 1995).
Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan
yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut
adalah: tanzhîf alaqîdah (purifikasi akidah), tajdîd alnizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr
alkawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan.
Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang
bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme,
trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan
dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan
menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi
Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan
merata ke seluruh penjuru tanah air.
Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan
historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan.
Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan
persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan
oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos
amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga
Muhammadiyah dan lainnya.
Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif
(pemurnian akidahibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah
telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo
pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu,
keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang
menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan,
masjid serta sarana dakwah lainnya.
GERAKAN MUHAMMADIYAH
Biografi Pendiri Muhammadiyah
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam
silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan
seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran
dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai
Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin
Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini,
Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiranpemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, AlAfghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini,
beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim
Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji
Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan,
1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam,
1968: 9).
Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga
tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya.
Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan
berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di
masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasangagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo,
Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
citacita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu
pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak
umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan alQur'an dan alHadits. Perkumpulan ini
berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari
keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang
bertubitubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada
yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniruniru bangsa Belanda yang Kristen dan macam
macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan
rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan citacita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun
1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan,
Wonosari dan Imogiri dan lainIain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama AlMunir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota
Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian
dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulanperkumpulan dan Jama'ahjama'ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, HambudiSuci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, ThaharatulAba,
Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal Fajri, WalAshri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi
(Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasirelasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama
ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendirikan cabangcabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini
dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan
pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasajasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan
Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasardasar penetapan itu ialah
sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang
murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang
amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Buku catatan tentang Kiyai Ahmad Dahlan merupakan kumpulan diary milik Haji Muhammad Syoedja’
ceritattgkiyaidahlancatatankyaisoedjak yang ditulis secara detail tentang perjalanan perjuangan
KH. Ahmad Dahlan mulai dari kisah kanakkanak hingga KH. Ahmad Dahlan Wafat. Muhammad
Syoedja’ adalah murid dan kader langsung KH Ahmad Dahlan, bersamasama dengan adik dan
temantemannya, seperti Haji Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Haji Muhammad Zain, Haji
Muhammad Mokhtar, KHA. Badawi, R.H. Hadjid dan lainlain. Jika KHA. Dahlan adalah peletak dasar
aktivitas amal usaha sosial Muhammadiyah, maka H. Muhammad Syoedja’ adalah perumus dan
sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Beliau Ketua Bahagian (saat ini Majelis) Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang pertama, salah satu pendiri dan perintis RS PKU
Muhammadiyah, pendiri rumah miskin, rumah anak yatim, dan pelopor gerakan Persatuan Djamaah
Hadji Indonesia (PDHI). Pada awal mula musyawarah Muhammadiyah yang pertama Haji
Muhammad Soedja’ merupakan pengurus yang langsung di tunjuk oleh KH. Ahmad Dahlan dari
bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem yang merumuskan pendirian Rumah Sakit
Muhammadiyah, Rumah Yatim dan Rumah Miskin pada awal program kerja. Jadi pada awal
Musyawarah besar (sekarang Muktamar) Muhammadiyah setiap pengurus secara langsung dilantik
dan menyebutkan program kerja sebagai sumpah jabatan secara langsung dihadapan musyawirin.
Walaupun menurut buku ini program kerja yang dirumuskan oleh Haji Muhammad Soedja’ ditertawai
dan diremehkan oleh para musyawirin karena pada saat itu mendirikan Rumah Sakit, Rumah Miskin
dan Rumah Yatim merupakan hal yang mustahil sehingga para musyawirin menganggap bahwa Haji
Muhammad Soedja’ hanya bermimpi dan beranganangan saja. Jika sekarang para kader dan
masyarakat Indonesia yang sakit atau yatim lalu memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit
Muhammadiyah atau Pondokan Yatim Muhammadiyah, itu merupakan realitas hasil dari perumusan,
penafsiran, dan perintisan Haji Muhammad Soedja’ pada awal perjuangan Persyarikatan
Muhammadiyah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah anak dari KH. Abubakar, Imam Khatib Masjid Besar (gedhe) Kota
Yogyakarta. Diwaktu kecil KH. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan
adalah pergantian setelah berangkat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Muhammad Darwis
mempunyai sifat yang baik dan budi pekertinya halus dan hatinya lunak tetapi wataknya cerdas,
menginjak usia 8 tahun ia telah dapat membaca AlQur’an dengan lancar sampai khatam. Pada bulan
Dzulhidjah tahun 1889 Miladiyah dan saat usia 18 tahun Muhammad Darwis di nikahkan dengan putri
dari Kyai Haji Muhamad Fadlil Hoofd Panghulu Hakim di Yogyakarta yang bernama Siti Walidah yang
sekarang kita sebut sebagai Nyi Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah, Beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan
organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Berdirinya Muhammadiyah berikut halhal yang melatarbelakangi
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi halhal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah
lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi
Kweek School Muhammadiyah.
Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama
Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampurbaur dengan kebiasaan di daerah
tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang
lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan
statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan kepada perintahperintah Al Quran,
diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orangorang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi,
umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam
butir ke6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amalusaha dan
perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai
alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Lambang Muhammadiyah dan Sejarahnya
Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan
(Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna
Muhammadan Rasul Allãh.
Matahari dengan dua belas sinar merupakan simbolisasi prinsip Islam sebagai agama rahmat seluruh
alam (rahmatan lil ‘alamin). Kata dalam Bahasa Arab “Muhammadiyah” yang berada di pusat
matahari mengacu figur sentral dalam penegakan islam, Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa salam.
Teks syahadat yang mengelilingi cahaya matahari mengacu pada dua kalimat syahadat sebagai
dasar keimanan seorang muslim.
Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenarbenarnya.
Amal Usaha Muhammadiyah
Kehidupan dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah, antara lain :
Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usahausaha persyarikatan untuk
mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya semua bentuk
kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan Tujuan
Persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk melaksanakan
misi utama Muhammadiyah itu sebaikbaiknya sebagai misi dakwah.
Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan Persyarikatan bertindak sebagai Badan
Hukum/Yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan Persyarikatan
hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah
menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola amal usaha Muhammadiyah
di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya secara
keseluruhan sebagai amanat umat yang harus dutunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan
sebaikbaiknya.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan
dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya
harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan
milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan
amanat.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian
tertentu di bidang amal usaha tersebut. Status keanggotaan menjadi sangat perlu bagi pimpinan agar
yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan dan
bukan sematamata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugastugas dan kepentingan
kepentingan persyarikatan.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami peran dan tugas dirinya dalam
mengemban amanah persyarikatan. Dengan semangat amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu
menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi
managemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sebaikbaiknya dan sejujurjujurnya.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan dan mengemangkan amal
usaha yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi
sangat perlu agar amal usaha senantiasa dapat berlombalomba dalam kebaikan (fastabiq alkhairat)
guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman.
Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usha
Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang
berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan
tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha yang
menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan / kekayaan kepada pimpinan
Perysrikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami dalam amal
usaha yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai salah satu alat dakwah maka tentu saja usaha ini
menjadi sangat perlu agar juga menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat.
Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan
sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai
rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah SWT. dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan
dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh
kesejahteraan dan memperoleh hakhak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan,
kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.
Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha Muhammadiyah berkewajiban dan
menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati hakhak
sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas dan
ibadah.
Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah hendaknya memperbanyak
silaturrahmi dan membangun hubunganhubungan sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih
sayang) tanpa mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha
masingmasing.
Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktifitas
pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan kegiatan yang
memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah SWT dan memperkaya ruhani serta
kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian alQuran dan al Sunnah, dan bentuk
bentuk ibadah dan mu'amalah lainnya yang ertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal
usaha Muhammadiyah
Muhammadiyah dengan berbagai amal usahanya, terus maju dan berkembang. Tentunya tidak
sedikit halangan dan tantangan yang dialami Muhammadiyah. Dengan kesabaran dan tawakkal
Muhammadiyah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dan mengalami perkembangan yang baik.
Karena semakin meluasnya perkembangan amal usaha Muhammadiyah khususnya dalam bidang
kemasyarakatan, maka Muhammadiyah membentuk kesatuankesatuan kerja bidang
kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai badan pembantu persyarikatan. Kesatuan kerja
tersebut berupa majelismajelis dan badanbadan lainnya. Majelis yang menangani bidang sosial
ekonomi adalah majelis ekonomi.
Majelis ekonomi Muhammadiyah mempunyai tugas seperti tersebut di dalam kaidah majelis Ekonomi,
yang pada pokoknya adalah :
Konseptual, yaitu merumuskan dasar, tujuan serta sistem ekonomi menurut ajaran Islam.
Praktikal, yaitu menggerakkan dan menghimpun kegiatankegiatan ekonomi warga persyarikatan
sesuai bakat masingmasing dan sepanjang sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut kaidah tersebut, majelis ekonomi langsung menangani bidang konseptual, sedangkan
bidang praktikal, Majelis ekonomi tidak menjalankannya sendiri, akan tetapi mengerahkan anggota
anggota persyarikatan. Dalam menjalankan kaidah tersebut tentunya tidak sedikit hambatan yang
dialami Majelis Ekonomi. Di antara faktor penghambat tersebut adalah: Pertama, banyaknya jabatan
rangkap warga Muhammadiyah. Sebagian besar pengurus Muhammadiyah adalah pegawai negeri
sipil. Kedua, faktor biaya, dalam soal biaya, memang Muhammadiyah berjalan tanpa biaya yang
pasti.[6] Seiring dengan perjalanan waktu, Majelis Ekonomi terus melakukan usaha pengembangan
ekonomi yang berbasis masyarakat. Maka pada Muktamar ke43 di Banda Aceh nama Majelis
Ekonomi dipertegas menjadi majelis Pembina Ekonomi.[7] Dari nama itu tersimpul bahwa
Muhammadiyah mulai mengemban misi membina ekonomi umat. Sejak periode kepengurusan M.
Amin Rais, kegiatan Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah mulai diarahkan. Pada dasarnya,
Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah akan membina ekonomi umat melalui tiga jalur :
Mengembangkan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang mempresentasikan kekuatan ekonomi
organisasi Muhammadiyah.
Mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah.
Memberdayakan anggota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan mengembangkan usahausaha
milik anggota Muhammadiyah.[8]
Dalam pengembangan ekonomi, Muhammadiyah sebenarnya tidak berangkat dari nol.
Muhammadiyah telah memiliki aset atau sumber daya yang bisa dijadikan modal. Aset pertama
adalah sumber daya manusia, yaitu anggota Muhammadiyah itu sendiri, baik sebagai produsen,
konsumen maupun distributor. Aset kedua adalah kelembagaan amal usaha yang telah didirikan,
yaitu berupa sekolah, universitas, lembaga latihan, rumah sakit, dan lainlain. Aset ketiga adalah
Struktur Muhammadiyah itu sendiri sejak dari pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Pada
Muktamar Muhammadiyah ke44 di Jakarta, telah diputuskan suatu mandat tentang Perekonomian
dan Kewiraswastaan. Terdapat 7 butir program persyarikatan yang perlu direalisasikan oleh Majelis
Ekonomi[9], yaitu :
Mewujudkan sitem JAMIAH (Jaringan Ekonomi Muhammadiyah ) sebagai revitalisasi gerakan
dakwah secara menyeluruh. Untuk itu ditetapkan :
Buku Paradigma Baru Muhammadiyah, Revitalisasi gerakan dengan sistem JAMIAH sebagai acuan
program lebih lanjut.
Program KATAM[10] ditetapkan sebagai program dasar perwujudan sistem JAMIAH.
Membangun infrastruktur pendukung JAMIAH melalui antara lain infrastruktur komunikasi dan
infrastruktur distribusi (program MARKAZ[11]).
Mengembangkan pemikiranpemikiran dan konsepkonsep pengembangan ekonomi yang
berorientasi kerakyatan dan keislaman, seperti etos kerja, etos kewiraswastaan, etika bisnis, etika
manajemen, etika profesi dan lainlain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan aktual yang
terjadi dalam dunia ekonomi.
Melancarkan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, meliputi pengembangan sumber daya
manusia dalam aspek ekonomi, pembentukan dan pengembangan lembaga keuangan masyarakat,
pengembangan bank syariah Muhammadiyah, pengembangan kewirauahaan dan usaha kecil,
pengembangan koperasi dan pengembangan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang benarbenar
kongkrit dan produktif, seperti KATAM, BMT, LKM dan lainlain.
Intensifikasi pusat data ekonomi dan pengusaha Muhammadiyah yang dapat mendukung
pengembangan programprogram ekonomi.
Menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan programprogram ekonomi
dan kewiraswastaan di lingkungan Muhammadiyah.
Mengembangkan pelatihanpelatihan dan pilot project pengembangan ekonomi kecil dan menengah
baik secara mandiri maupun kerja sama dengan lembagalembaga luar sesuai dengan perencanaan
program ekonomi dan kewiraswastaan Muhammadiyah.
Mengkoordinasikan seluruh kegiatan ekonomi bisnis dan kewiraswastaan di bawah majelis Ekonomi
dan memberlakukan Majelis Ekonomi sebagai satusatunya yang memutuskan kebijakan di bidang
ekonomi.
Perkembangan Muhammadiyah sebelum, saat dan pasca berdirinya
Sebelum berdirinya Muhammadiyah
Pada masa K.H Ahmad Dahlan, islam masih banyak bercampuar baur dengan kepercayaan dan
praktekpraktek keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Dia mempertanyakan dan
mempertentangkan antara pesan doktrin dan kenyataan yang ada. Dia melihat dari sudut pandang
doktrin yaitu Al Quran dan Al Hadist, serta melihat kenyataan yang ada tampaklah ada halhal yang
tidak sesuai antara doktrin dengan kenyataan yang ada. Dia bergerak memurnikan ajaran dengan
salah satru caranya memberantas
IJTIHAD
Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?
Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: )اجتهاد adalah sebuah usaha yang sungguhsungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab )اجتهاد Aljahd atau aljuhd yang berarti lamasyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan akththaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam alquran
disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (attaubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan”(attaubah:79)
Kata aljahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa
dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan katakata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguhsungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah,
dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin
pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan
batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat
pada Kitabu ‘lLah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal
dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari
hikmah syari’ah yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin)
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan
ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau
mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orangorang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad
sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u
‘lJawami’ (Jalaluddin alMahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka
ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘lJawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku
di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori alJahidh, salah seorang tokoh
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa
konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’
telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan
ketentuan tertentu.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para
ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di
suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah
baru akan terus berkembang dan diperlukan aturanaturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama seharihari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa
waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan
jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut
harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu.
Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi
yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Jenisjenis Ijtihad
Ijma’
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
Qiyas
Beberapa definisi qiyâs' (analogi)
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan
diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam AlQur'an atau Hadis
dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...
Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan
hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn
umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adatistiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturanaturan prinsipal dalam Alquran
dan Hadis.
Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?
Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi
ajaran ke sumber alQur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu
kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua
permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat
dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke AlQur’an dan Sunnah’ pada satu sisi
dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut
tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin
Abdullah, dalam studi agamaagama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif
tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.
Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut,
sehingga adagium arruju’ ila alQur’an wa asSunnah hanya sematamata terkait dengan persoalan
ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalanpersoalan fiqih. Tidak
mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle
of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isuisu hukum agama
atau hukumhukum fiqih an sich dan tidak melebar pada alulum alkauniyyah dan alhayat al
insaniyyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung
memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis
Muhammadiyah terlalu bersifat politisidiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif
kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thikthank Muhammadiyah terlalu
bersifat fiqhoriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks
perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman
yang asumtifprobabilistikpluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari
pensakralan produkproduk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah
masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota
Majlis Tarjih.
Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath
hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj
digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari AlQur’an dan AsSunnah, secara istidlal
dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115).
Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql
maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama
“Pokokpokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.
Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal
ini, dibuktikan dari putusanputusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab,
masalahmasalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat
tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.
Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah
memuat unsurunsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumbersumber hukum,
prinsipprinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian
telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat
oleh salah satu pandangan madzhab.
Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al
Qur’an dan AsSunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam
penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan
ayatayat AlQur’an dan AsSunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan
Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai
gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada AlQur’an dan AsSunnah.”
Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya
sebagai berikut:
a. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian
setelah Nabi Muhammad saw.
b. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab
Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia,
Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.
c. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lainlain kurang banyak dijelaskan.
Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas
kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.
Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah
usuliyahnya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan
hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan
akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap
ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga
menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.
Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masingmasing
keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu
unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.
Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini.
Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan
telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.
Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan
zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh
Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:
1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang
dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak,
ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun
adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tarjih.
2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang
belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.
3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus,
maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang
demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).
Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam
Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih
Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama
ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan
tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan
permasalahan yang dihadapi.
Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan
ini ?
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah
dengan gerakangerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui
benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.
Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta
menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi,
modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah
adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati
dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar alQur’an dan
alSunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).
Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat,
pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam berIslam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai
gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang
ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman.
Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di
tengahtengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu
melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.
AlQur’an dan AlSunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha
menangkap dan meresponi pesanpesan kedua sumber Islam itu, kemudian
mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu,
Muhammadiyah harus terusmenerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi,
reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah
tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang
pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan
dekadensi (M. Amien Rais, 1995).
Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan
yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut
adalah: tanzhîf alaqîdah (purifikasi akidah), tajdîd alnizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr
alkawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan.
Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang
bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme,
trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan
dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan
menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi
Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan
merata ke seluruh penjuru tanah air.
Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan
historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan.
Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan
persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan
oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos
amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga
Muhammadiyah dan lainnya.
Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif
(pemurnian akidahibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah
telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo
pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu,
keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang
menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan,
masjid serta sarana dakwah lainnya.
GERAKAN MUHAMMADIYAH
Biografi Pendiri Muhammadiyah
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam
silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan
seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran
dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai
Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin
Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini,
Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiranpemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, AlAfghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini,
beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim
Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji
Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan,
1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam,
1968: 9).
Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga
tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya.
Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan
berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di
masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasangagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo,
Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
citacita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu
pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak
umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan alQur'an dan alHadits. Perkumpulan ini
berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari
keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang
bertubitubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada
yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniruniru bangsa Belanda yang Kristen dan macam
macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan
rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan citacita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun
1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan,
Wonosari dan Imogiri dan lainIain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama AlMunir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota
Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian
dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulanperkumpulan dan Jama'ahjama'ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, HambudiSuci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, ThaharatulAba,
Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal Fajri, WalAshri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi
(Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasirelasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama
ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendirikan cabangcabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini
dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan
pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasajasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan
Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasardasar penetapan itu ialah
sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang
murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang
amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Buku catatan tentang Kiyai Ahmad Dahlan merupakan kumpulan diary milik Haji Muhammad Syoedja’
ceritattgkiyaidahlancatatankyaisoedjak yang ditulis secara detail tentang perjalanan perjuangan
KH. Ahmad Dahlan mulai dari kisah kanakkanak hingga KH. Ahmad Dahlan Wafat. Muhammad
Syoedja’ adalah murid dan kader langsung KH Ahmad Dahlan, bersamasama dengan adik dan
temantemannya, seperti Haji Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Haji Muhammad Zain, Haji
Muhammad Mokhtar, KHA. Badawi, R.H. Hadjid dan lainlain. Jika KHA. Dahlan adalah peletak dasar
aktivitas amal usaha sosial Muhammadiyah, maka H. Muhammad Syoedja’ adalah perumus dan
sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Beliau Ketua Bahagian (saat ini Majelis) Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang pertama, salah satu pendiri dan perintis RS PKU
Muhammadiyah, pendiri rumah miskin, rumah anak yatim, dan pelopor gerakan Persatuan Djamaah
Hadji Indonesia (PDHI). Pada awal mula musyawarah Muhammadiyah yang pertama Haji
Muhammad Soedja’ merupakan pengurus yang langsung di tunjuk oleh KH. Ahmad Dahlan dari
bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem yang merumuskan pendirian Rumah Sakit
Muhammadiyah, Rumah Yatim dan Rumah Miskin pada awal program kerja. Jadi pada awal
Musyawarah besar (sekarang Muktamar) Muhammadiyah setiap pengurus secara langsung dilantik
dan menyebutkan program kerja sebagai sumpah jabatan secara langsung dihadapan musyawirin.
Walaupun menurut buku ini program kerja yang dirumuskan oleh Haji Muhammad Soedja’ ditertawai
dan diremehkan oleh para musyawirin karena pada saat itu mendirikan Rumah Sakit, Rumah Miskin
dan Rumah Yatim merupakan hal yang mustahil sehingga para musyawirin menganggap bahwa Haji
Muhammad Soedja’ hanya bermimpi dan beranganangan saja. Jika sekarang para kader dan
masyarakat Indonesia yang sakit atau yatim lalu memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit
Muhammadiyah atau Pondokan Yatim Muhammadiyah, itu merupakan realitas hasil dari perumusan,
penafsiran, dan perintisan Haji Muhammad Soedja’ pada awal perjuangan Persyarikatan
Muhammadiyah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah anak dari KH. Abubakar, Imam Khatib Masjid Besar (gedhe) Kota
Yogyakarta. Diwaktu kecil KH. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan
adalah pergantian setelah berangkat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Muhammad Darwis
mempunyai sifat yang baik dan budi pekertinya halus dan hatinya lunak tetapi wataknya cerdas,
menginjak usia 8 tahun ia telah dapat membaca AlQur’an dengan lancar sampai khatam. Pada bulan
Dzulhidjah tahun 1889 Miladiyah dan saat usia 18 tahun Muhammad Darwis di nikahkan dengan putri
dari Kyai Haji Muhamad Fadlil Hoofd Panghulu Hakim di Yogyakarta yang bernama Siti Walidah yang
sekarang kita sebut sebagai Nyi Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan
Persyarikatan Muhammadiyah, Beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan
organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Berdirinya Muhammadiyah berikut halhal yang melatarbelakangi
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi halhal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah
lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi
Kweek School Muhammadiyah.
Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama
Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah.
Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampurbaur dengan kebiasaan di daerah
tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang
lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan
statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan kepada perintahperintah Al Quran,
diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orangorang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah,
mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi,
umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam
butir ke6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amalusaha dan
perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai
alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan
tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Lambang Muhammadiyah dan Sejarahnya
Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan
(Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna
Muhammadan Rasul Allãh.
Matahari dengan dua belas sinar merupakan simbolisasi prinsip Islam sebagai agama rahmat seluruh
alam (rahmatan lil ‘alamin). Kata dalam Bahasa Arab “Muhammadiyah” yang berada di pusat
matahari mengacu figur sentral dalam penegakan islam, Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa salam.
Teks syahadat yang mengelilingi cahaya matahari mengacu pada dua kalimat syahadat sebagai
dasar keimanan seorang muslim.
Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenarbenarnya.
Amal Usaha Muhammadiyah
Kehidupan dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah, antara lain :
Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usahausaha persyarikatan untuk
mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya semua bentuk
kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan Tujuan
Persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk melaksanakan
misi utama Muhammadiyah itu sebaikbaiknya sebagai misi dakwah.
Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan Persyarikatan bertindak sebagai Badan
Hukum/Yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan Persyarikatan
hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah
menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola amal usaha Muhammadiyah
di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya secara
keseluruhan sebagai amanat umat yang harus dutunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan
sebaikbaiknya.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan
dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya
harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan
milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan
amanat.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian
tertentu di bidang amal usaha tersebut. Status keanggotaan menjadi sangat perlu bagi pimpinan agar
yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan dan
bukan sematamata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugastugas dan kepentingan
kepentingan persyarikatan.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami peran dan tugas dirinya dalam
mengemban amanah persyarikatan. Dengan semangat amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu
menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi
managemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sebaikbaiknya dan sejujurjujurnya.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan dan mengemangkan amal
usaha yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi
sangat perlu agar amal usaha senantiasa dapat berlombalomba dalam kebaikan (fastabiq alkhairat)
guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman.
Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usha
Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang
berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan
tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha yang
menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan / kekayaan kepada pimpinan
Perysrikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami dalam amal
usaha yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai salah satu alat dakwah maka tentu saja usaha ini
menjadi sangat perlu agar juga menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat.
Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan
sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai
rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah SWT. dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan
dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh
kesejahteraan dan memperoleh hakhak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan,
kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.
Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha Muhammadiyah berkewajiban dan
menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati hakhak
sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas dan
ibadah.
Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah hendaknya memperbanyak
silaturrahmi dan membangun hubunganhubungan sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih
sayang) tanpa mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha
masingmasing.
Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktifitas
pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan kegiatan yang
memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah SWT dan memperkaya ruhani serta
kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian alQuran dan al Sunnah, dan bentuk
bentuk ibadah dan mu'amalah lainnya yang ertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal
usaha Muhammadiyah
Muhammadiyah dengan berbagai amal usahanya, terus maju dan berkembang. Tentunya tidak
sedikit halangan dan tantangan yang dialami Muhammadiyah. Dengan kesabaran dan tawakkal
Muhammadiyah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dan mengalami perkembangan yang baik.
Karena semakin meluasnya perkembangan amal usaha Muhammadiyah khususnya dalam bidang
kemasyarakatan, maka Muhammadiyah membentuk kesatuankesatuan kerja bidang
kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai badan pembantu persyarikatan. Kesatuan kerja
tersebut berupa majelismajelis dan badanbadan lainnya. Majelis yang menangani bidang sosial
ekonomi adalah majelis ekonomi.
Majelis ekonomi Muhammadiyah mempunyai tugas seperti tersebut di dalam kaidah majelis Ekonomi,
yang pada pokoknya adalah :
Konseptual, yaitu merumuskan dasar, tujuan serta sistem ekonomi menurut ajaran Islam.
Praktikal, yaitu menggerakkan dan menghimpun kegiatankegiatan ekonomi warga persyarikatan
sesuai bakat masingmasing dan sepanjang sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut kaidah tersebut, majelis ekonomi langsung menangani bidang konseptual, sedangkan
bidang praktikal, Majelis ekonomi tidak menjalankannya sendiri, akan tetapi mengerahkan anggota
anggota persyarikatan. Dalam menjalankan kaidah tersebut tentunya tidak sedikit hambatan yang
dialami Majelis Ekonomi. Di antara faktor penghambat tersebut adalah: Pertama, banyaknya jabatan
rangkap warga Muhammadiyah. Sebagian besar pengurus Muhammadiyah adalah pegawai negeri
sipil. Kedua, faktor biaya, dalam soal biaya, memang Muhammadiyah berjalan tanpa biaya yang
pasti.[6] Seiring dengan perjalanan waktu, Majelis Ekonomi terus melakukan usaha pengembangan
ekonomi yang berbasis masyarakat. Maka pada Muktamar ke43 di Banda Aceh nama Majelis
Ekonomi dipertegas menjadi majelis Pembina Ekonomi.[7] Dari nama itu tersimpul bahwa
Muhammadiyah mulai mengemban misi membina ekonomi umat. Sejak periode kepengurusan M.
Amin Rais, kegiatan Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah mulai diarahkan. Pada dasarnya,
Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah akan membina ekonomi umat melalui tiga jalur :
Mengembangkan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang mempresentasikan kekuatan ekonomi
organisasi Muhammadiyah.
Mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah.
Memberdayakan anggota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan mengembangkan usahausaha
milik anggota Muhammadiyah.[8]
Dalam pengembangan ekonomi, Muhammadiyah sebenarnya tidak berangkat dari nol.
Muhammadiyah telah memiliki aset atau sumber daya yang bisa dijadikan modal. Aset pertama
adalah sumber daya manusia, yaitu anggota Muhammadiyah itu sendiri, baik sebagai produsen,
konsumen maupun distributor. Aset kedua adalah kelembagaan amal usaha yang telah didirikan,
yaitu berupa sekolah, universitas, lembaga latihan, rumah sakit, dan lainlain. Aset ketiga adalah
Struktur Muhammadiyah itu sendiri sejak dari pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Pada
Muktamar Muhammadiyah ke44 di Jakarta, telah diputuskan suatu mandat tentang Perekonomian
dan Kewiraswastaan. Terdapat 7 butir program persyarikatan yang perlu direalisasikan oleh Majelis
Ekonomi[9], yaitu :
Mewujudkan sitem JAMIAH (Jaringan Ekonomi Muhammadiyah ) sebagai revitalisasi gerakan
dakwah secara menyeluruh. Untuk itu ditetapkan :
Buku Paradigma Baru Muhammadiyah, Revitalisasi gerakan dengan sistem JAMIAH sebagai acuan
program lebih lanjut.
Program KATAM[10] ditetapkan sebagai program dasar perwujudan sistem JAMIAH.
Membangun infrastruktur pendukung JAMIAH melalui antara lain infrastruktur komunikasi dan
infrastruktur distribusi (program MARKAZ[11]).
Mengembangkan pemikiranpemikiran dan konsepkonsep pengembangan ekonomi yang
berorientasi kerakyatan dan keislaman, seperti etos kerja, etos kewiraswastaan, etika bisnis, etika
manajemen, etika profesi dan lainlain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan aktual yang
terjadi dalam dunia ekonomi.
Melancarkan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, meliputi pengembangan sumber daya
manusia dalam aspek ekonomi, pembentukan dan pengembangan lembaga keuangan masyarakat,
pengembangan bank syariah Muhammadiyah, pengembangan kewirauahaan dan usaha kecil,
pengembangan koperasi dan pengembangan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang benarbenar
kongkrit dan produktif, seperti KATAM, BMT, LKM dan lainlain.
Intensifikasi pusat data ekonomi dan pengusaha Muhammadiyah yang dapat mendukung
pengembangan programprogram ekonomi.
Menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan programprogram ekonomi
dan kewiraswastaan di lingkungan Muhammadiyah.
Mengembangkan pelatihanpelatihan dan pilot project pengembangan ekonomi kecil dan menengah
baik secara mandiri maupun kerja sama dengan lembagalembaga luar sesuai dengan perencanaan
program ekonomi dan kewiraswastaan Muhammadiyah.
Mengkoordinasikan seluruh kegiatan ekonomi bisnis dan kewiraswastaan di bawah majelis Ekonomi
dan memberlakukan Majelis Ekonomi sebagai satusatunya yang memutuskan kebijakan di bidang
ekonomi.
Perkembangan Muhammadiyah sebelum, saat dan pasca berdirinya
Sebelum berdirinya Muhammadiyah
Pada masa K.H Ahmad Dahlan, islam masih banyak bercampuar baur dengan kepercayaan dan
praktekpraktek keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Dia mempertanyakan dan
mempertentangkan antara pesan doktrin dan kenyataan yang ada. Dia melihat dari sudut pandang
doktrin yaitu Al Quran dan Al Hadist, serta melihat kenyataan yang ada tampaklah ada halhal yang
tidak sesuai antara doktrin dengan kenyataan yang ada. Dia bergerak memurnikan ajaran dengan
salah satru caranya memberantas