TAP.COM - PARADOKS POLITIK PEMBANGUNAN - JURNAL UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 16074 38276 1 PB

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan

Paradoks Pol i ti k Pembangunan
WARJIO
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
mywarjio@yahoo.com

Diterima tanggal 1 Juni 2014/Disetujui tanggal 20 Juni 2014
The concept of development and its results, is still being debated. Several theorists have demonstrated that development is a tools to reduce ppoverty and and the others consider the opposite.
This study analyzes the political development and the many issues related to development. This
study is using political development approach and also library research method to collect data.
This study have used qualitative methods to analyze data. The results of these studies have
found that the development is a global paradox. Development has varied problems and
development led to imbalances world. Development also raises a moral issue, environmental
damage, culture of consumerism, natural disasters and humanitarian disasters. This condition
has led to the rejection will be development in some locations. There is a gap between desire

and reality.
Keywords: Political development, economic development, globalization.

Pendahuluan
Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengenai Millenium Development Goals
(MDGs) tahun 2012 menyebutkan bahwa
target MDGs 1, yaitu menurunkan separuh
kemiskinan ekstrim dari tingkat tahun 1990
telah tercapai, namun kemiskinan itu sendiri
tetap masih menjadi permasalahan di banyak
Lebih
dari
itu,
proyeksi
negara. 1
pembangunan yang telah dicanangkan dan
dilaksanakan
di
berbagai

negara,
kesenjangan justeru terus muncul dan
menjadi persoalan yang berkaitan dengan
moralitas. Beberapa pakar pembangunan
sebenarnya telah mengungkap sisi buruk dari
pembangunan ini. Pada tahun 2003, Philip
Quarles van Uppord dan Ananta Kumar Giri
(eds) telah menulis buku yang berjudul A
Moral Ciritique of Development. Karya
1

Nugraha, Judha, “Postur dan Strategi Diplomasi
Ekonomi
Indonesia
ke
DepanUntuk
Mengamankan Target Pertumbuhan Nasional”,
dalam Tabloid Diplomasi, No.73 Tahun VII,15
Pebruari-14 Maret 2014.


mereka
ini
memaparkan
bagaimana
ketimpangan dan kesenjangan yang dalam
telah terjadi dalam pembangunan. Bukan
saja kesenjangan akan ekonomi dan keadilan
di berbagai wilayah tetapi juga telah
menimbulkan krisis moral pada tingkat yang
kritis.
Hal
ini
disebabkan
karena
pembangunan hanya dilihat dari aspek
ekonomi dan hegemoni kekuasaan saja.
Etika dan moral yang seharusnya menjadi
pedoman dalam pembangunan justeru
dibelakangkan. Sebelumnya, tepatnya pada
tahun 1992, penerima hadiah Nobel,

Amartya Sen menerbitkan satu buku yang
berjudul
Inequality Reexamined. Dalam
buku tersebut, Sen melontarkan satu istilah
terkenal yaitu
development paradox.
Development paradox yang dimaksudkan
Sen
merujuk
pada
timpangnya
pembangunan antara negara maju dan negara
berkembang serta antara pembangunan
antara desa dan kota. Apa yang disampaikan
oleh Sen merupakan satu realitas dan

83

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio

kenyataan
sendiri. 2

pahit

dari

pembangunan

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
itu

Barangkali kita dapat menjelaskan mengapa
kemudian realitas dari pembangunan itu dan
menjadi paradoks yang menimbulkan
ketimpangan kemiskinan dan menggerogoti
nilai-nilai moral?. Seperti apa sebenarnya
paradoks pembangunan itu? Ketimpangan
pembangunan seperti apa yang terjadi dari

pembangunan
itu?
Siapa
yang
mengendalikan
pembangunan
sehingga
memunculkan paradoks? Saya mengajukan
beberapa peertanyaan dasar ini untuk
memulai studi mengenai paradoks Politik
Pembangunan dengan menganalisis beberapa
isu dan fenomena dalam pembangunan.
Pendekatan dan Metode
Studi ini menggunakan pendekatan politik
pembangunan untuk membahas paradoks
politik pembangunan. Metode pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan teknik
kepustakaan. Analisis dalam studi ini
dilakukan dengan dengan teknik analisis
kualitatif.

Gambaran Kemiskinan Dunia
Laporan yang diberikan oleh Human
Development dan UNDP (United National
Development Program) tahun 1992,-sebagaimana yang disebutkan Budi Winarno,
diperkirakan bahwa 20 % dari populasi
dunia yang tinggal di negara maju
memperoleh 82,7% dari total pendapatan
dunia, sementara 20 % lainnya yang tinggal
di negara-negara termiskin hanya menerima
1,4 %. Pada tahun 1989,
rata-rata
pendapatan 20 % masyarakat masyarakat
yang hidup di negara paling kaya mencapai
60 kali lebih tinggi dibandingkan dengan 20
% masyarakat yang hidup di negara-negara
paling miskin. Rasio ini merupakan dua kali
rasio tahun 1950. Lebih lanjut, Laporan
Human Development dan UNDP tahun 1996
menunjukkan bahwa selama tiga dekade
yang lalu hanya 15 negara yang mengalami

pertumbuhan yang tinggi, sementara 89
negara menjadi lebih buruk secara sosial
2

Amartya Sen, Inequality Reexamined, (Harvard:
Harvard University Press, 1992).

84

ekonomi dibandingkan dengan keadaan
sepuluh tahun yang lalu. Di tujuh puluh
Negara Sedang Berkembang saat ini, tingkat
pendapatan mereka lebih kecil
jika
dibandingkan dengan penghasilan mereka
pada 1960an atau 1970an.
Laporan UNDP (United Nation Development
Program) tahun 1999 juga menunjukkan
kecenderungan
serupa.

Dalam
hal
pendapatan lebih dari 80 negara masih
mempunyai pendapatan yang tidak lebih baik
dibandingkan dengan beberapa dekade yang
lampau. Pada waktu 40 negara di dunia
mempunyai pendapatan yang yang terus
tumbuh dalam kisaran lebih dari 3 %
pertahun sejak tahun 1990, 55 negara lainnya
di dunia yang hampir sebahagian besar
berada di Afrika Sub-Sahara, dan Eropa
Timur mengalami penurunan pendapatan.
Selanjutnya, negara-negara yang tergabung
dalam OECD (Organization for Economic
Cooperation Development) yang merupakan
19 % penduduk dunia menguasai 71 %
perdagangan barang dan jasa, 58 % investasi
langsung luar negeri, dan 91 % pengguna
internet. 3
Sementara itu, jumlah orang miskin yang

terdata di dunia juga mengalami kenaikan.
Pada pertengahan tahun 1990-an, dengan
mengambil garis kemiskinan yang ekstrem
dengan mensejajarkan konsumsi perhari
dengan satu dollar Amerika Serikat, ada
kurang lebih 33 % penduduk dunia yang
yang berada di negara-negara sedang
berkembang berada dalam kesengsaraan.
Mereka kekurangan gizi, hidup dalam rumah
yang tidak layak, kurang mendapatkan akses
pendidikan, susah mendapatkan fasilitas air
bersih dan makanan dan juga pelayanan
kesehatan. 4
Dalam masyarakat miskin ini, sebagian
besar, yang jumlahnya sekitar 550 juta jiwa,
berada di Asia Selatan, 215 juta jiwa di
Afrika Sub Sahara, dan 150 juta jiwa lagi
3

Budi Winarno, Globalisasi: Peluang atau

Tantangan bagi Indonesia, (Jakarta:Penerbit
Erlangga, 2008), hal. 5.
4
Peter & Susan Calvert, Politics and Society in
The Third World, (England, Longmann
Education, 2001), hal 49.

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
berada di Amerika Latin. Dengan
menggunakan cara yang sama, ILO
(International
Labour
Organization)
memperkirakan bahwa persentase penduduk
berada di bawah garis kemiskinan meningkat
dari 53,5 % di tahun 1985 menjadi 54 % di
tahun 1990 di Afrika Sub Sahara, dan 23 %
menjadi 27,8 % di Amerika Latin, dan
menurun dari 61,1 % di Asia Selatan, dan
15,7 % menjadi 14,7 % di Asia Tenggara dan
Asia Timur. 5
Pembangunan dan hasil-hasilnya dapat
dilihat pada kasus Indonesia dan beberapa
keadaan serupa di Afrika dan Amerika Latin.
Kasus Indonesia,--jika dilihat dianalisis dari
transformasi struktural,--sebagaimana yang
diungkapkan HS. Dillon, yaitu bobot
ekonomi dari pertanian-pertambangan ke
manufaktur dan sektor jasa bernilai tinggi,
selama ini merupakan hal semu karena para
petani bukannya naik kelas, tetapi justeru
digusur di kampung halamannya untuk
menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga
Kerja Wanita (TKI/TKW) atau berjejalan
disektor informal yang meruyak di
perkampungan kumuh kota. Pertumbuhan,
inflasi, kenaikan indeks harga saham,
cadangan devisa dan lain-lain, adalah deretan
angka menghibur yang menghiasi media
massa, tetapi secara kasat mata kemiskinan
masih melekat dalam kehidupan. Telah
terjadi disparitas dan ketimpangan yang
menjadi paradoks yang selalu menyertai
pembangunan di Indonesia.
Selama ini dalam konteks pembangunan
Indonesia, lebih mengedepankan pada
pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas
pembangunan itu sendiri. Trend ketimpangan
kian memburuk, terutama sejak krisis
ekonomi 1998, dengan Indeks Gini yang
menggambarkan
tingkat
ketimpangan
meningkat dari 0, 33 tahun 2002 menjadi 0,
37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada
tahun 2011. Ketimpangan terjadi secara
multidimensional; antar wilayah antar sektor
antar kelompok pendapatan 6 Berikut ini saya
sampaikan Tinjauan Kompas:

5

Budi Winarno, op.cit., hal. 5.
Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014:
Tantangan, Prospek politik dan Ekonomi
Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2014), hal. 94.

6

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
“Ketimpangan ketimpangan spasial yang yang
muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan
yang ditemui 20-30 tahun lalu tidak merubah
wajah, tercermin dalam meningkatnya kesenjangan
Jawa-Luar Jawa, pedesaan-perkotaan, kawasan
Indonesia Barat-kawasan Indonesia Timur, wilayah
hinterland-wiaayh perbatasan, bahkan dalam satu
wilayah yang sama. Meningkatnya pertumbuhan
ekonomi juga tidak dibarengi penurunan secara
signifikan angka kemiskinan dan pengangguran,
karena kue nasional konsentrasi pada kelompok 20
persen terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok
20 persen terkaya dalam distribusi pendapatan
nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen
penduduk miskin. Pangsa kelompok 20 persen
terkaya terus naik dari 21, 24 persen (1999)
menjadi 46,45 persen (2011) dan 48, 94 persen
(2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk
termiskin 21, 22 persen (1999) menjadi 17,6 persen
(2011) dan 16,88 persen (2012). Efek ke bawah
(tricle down effect) tidak terjadi yang terjadi adalah
muncrat ke atas (tickle up effect)”

Di sisi lain, kehidupan gemerlap warga
bangsa menikmati gaya hidup yang penuh
konsumerisme. Ada banyak kasus yang bisa
menjelaskan keadaan ini. Di bawah ini saya
petik kisah keadaan petani di daerah
Karawang, Jawa Barat yang termarginalkan
oleh pembangunan dan terjerat dengan
kemiskinan. Kasus terbaru hilangnya tanah
petani
di
Indonesia,
--atas
nama
pembangunan, juga dialami oleh petani di
Afrika Selatan. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Greenberg banyak rakyat di Afrika
Selatan pasca rejim Apartheid tidak memiliki
tanah akibat kebijakan pembangunan.
Melalui
organisasi
Landless
People
Movements (LPM) atau Gerakan Rakyat
Tidak Bertanah kini memperjuangkan hakhak atas tanah mereka. Harapan akan
pengembalian besar-besaran tanah kepada
orang-orang asli yang tidak berpunya
berkembang setelah rejim Apartheid Afrika
Selatan tumbang di tahun 1994. Konstitusi
baru dibuat dan mengandung perintah
konstitusional untuk meredistribusi tanah,
menjamin hak garap, dan kepemilikan tanah
bagi semua dan mengembalika tanah kepada
mereka yaaanggg dirampas tanahnya
semenaaa-mena. Namun harapan itu menjadi
pupus ketika partai yang yang berkuasa
(African
National
CongressANC)
mengadopsi model land reform bank Dunia
yang berdasar pada mekanisme pasar:”
willing buyer willing seller”. LPM boleh jadi
adalah gerakan yang unik diantara gerakangerakan akar rumput independent lainnya
karena keanggotaan LPM bisa ditemukan

85

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
baik di daerah-daerah perkotaan maupun di
pedesaan. Gerakan ini menantang pemisahan
perjuangan
kota
dan
desa
dengan
menegaskan bahwa penggusuran di kota dan
ketiadaan jaminan hukum penggarapan tanah
adalah isu-isu yang secara fundamental
terkait dengan akses tanah.
Gerakan perjuangan atas tanah oleh rakyat
juga terjadi di Brazil. Melalui organisasi
MST (Movimento Dos Trabalhadores
Ruraisem atau Movement Rural Landless
Workers atau Pergerakan Pekerja Pedesaan
Tak Bertanah yang dibentuk pada 1984,
gerakan ini memperjuangkan tanah-tanah
yang dirampas atas nama pembangunan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wolford,
di Brazil, pembagian tanah masih belum adil
dan sudah dipertarungkan sejak bangsa
Portugis mulai menempati koloni baru di
awal tahun 1500-an. Karena kerajaan
Portugis tidak mau dan tidak anggup
menjajah Brazil secara langsung, wilayah
yang sudah dikenal tersebut di bagi ke dalam
15 captainceis (berada di bawah seorang
kapten) di tahun 1534 dan hak-hak utama
atasnya diwariskan kepada Kapten secara
turun temurun. Kapten tersebut mengatur
pembagian tanah dan yang memiliki koneksi
dengan para kapten tersebut dapat memiliki
tanah yang luas. Melalui MST gerakan tanah
untuk rakyat diperjuangkan. MST menjadi
oposisi jika kebijakan pembangunan
merugikan rakyat.
Wajah yang sama, juga terjadi di Zimbabwe.
Prospek akan demokratisasi dan land reform
egaliter di Zimbabwe pupus akibat
perubahan arah kebijakan dan sosialisme ke
neoliberalisme. Sebagaimana yang diteliti
Moyo,
pemaksaaan
program-program
pembangunan berupa penyesuaian struktural
di seantero Afrika pada tahun 1980-an
dirasionalisasi dengan penjelasan tentang
adanya krisis ekonomi politik di Afrika.
Beragam asumsi ilmu ekonomi neoklasik dan
ilmu
politik
liberal
dipakai
untuk
menjustifikasi
kebijakan-kebijakan
ini.
Terlebih lagi, perubahan kebijakan ini
diadopsi tanpa ada konsultasi dengan
mayoritas rakyat, terutama kaum buruh, tani
miskin dan usaha kecil. Namun demikian
bisnis-bisnis besar, kelompok kulit putih
pemilik ladang-ladang pertanian besar, dan
borjuis kulit hitam yang mulai terbentuk,

86

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
diwakili oleh Pusat pengembangan Bisnis
Pribumi (IBDC) mendukung kebijakankebijakan yang dihasilkan dengan konsultasi
aktif bank Dunia ini.
Bila IBDC
mengupayakan aksi afirmatif bagi para
anggotanya, pemerintah hanya menawarkan
sedikit ke arah program redistribusi tanah
yang sulit digapai itu. Reformasi ekonomi
neo liberal ini karenanya mensyaratkan
penyeimbangan dari berbagai kepentingan
kapitalis:kapitalis asing, kapitalis kulit putih
lokal dan kapitalis pribumi.
Gambaran demografi tersebut menunjukkan
ketimpangan dari dunia. Dunia telah terbagi
dalam beberapa pemeringkatan: Dunia
Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga.
Dunia Ketiga menampilkan satu keadaan
dimana, kenyataan jauh dari keinginan
sebagai konsekwensi dari pembangunan dan
selalu dikaitkan dengan keterbelakangan.
Kelompok Dunia Ketiga secara mayoritas
banyak didominasi oleh negara-negara dari
kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Mereka ini pada umumnya disebut juga
sebagai negara terbelakang. Sedangkan
Dunia kesatu atau biasa disebut sebagai
Negara Maju didominasi oleh Amerika
Serikata dan negara-negara Eropa Barat
(lihar Peta Pembangian Dunia). Oleh Prof.
Bauer, istilah Kurang Berkembang dan
Sedang Berkembang adalah euphemisme
belaka. Tapi untuk isitlah Kurang
Berkembang dan Sedang Berkembang adalah
euphemisme yang tidak tepat; Kurang
Berkembang adalah istilah yang terangterangan memberi kesan bahwa keadaan
yang digambarkan tidak normal, tercela, dan
barangkali sulit diperbaiki. Sedang istilah
untuk Sedang Berkembang mengandung
beberapa kontradiksi, misalnya seolah
mengacu pada stagnasi atau kemunduran
dunia yang padahal Sedang Berkembang.
Budi Winarno mencatat bahwa efek negatif
pembangunan bukan hanya persoalan
kemiskinan
tetapi
juga
menyangkut
persoalan lingkungan yang mengancam
kehidupan
manusia.
Media
telah
memberitakan adanya peningkatan suhu
udara mengarah pada global warning. Salah
satu penyebabnya adalah peningkatan CO2
diudara sebagai hasil penggunaan bahan
bakar berbasis fosil untuk industrialisasi dan
sektor transportasi. Industrialisasi ternyata

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
memberikan dampak lingkungan yang
mengkhawatirkan dan jika tidak segera di
atasi akan mengancam kelangsungan
kehidupan spisies manusia. Sebagaimana
yang dicatat The World Bank tahun 2011,
kota-kota industri di kawasan-kasawan Asia,
Afrika, Amerika Latin maupun Eropa Timur
mengalami banyak persoalan mengenai
polusi sebagai hasil dari industrialisasi.
Polusi ini telah memberikan sumbangan
dalam pencemaran udara dan lingkungan.
Keadaan ini bukan saja menyebabkan biaya
menjadi tinggi dari hasil polusi itu tetapi juga
mendorong kemiskinan terus berlarut.
Pakar pembangunan Dunia Ketiga, Arief
Budiman menjelaskan bahwa keberhasilan
pembangunan didasarkan pada beberapa hal.
Pertama, Pertumbuhan Ekonomi Yang
Cukup
Tinggi.
Kedua,
Adanya
Kesinambungan
Pembangunan
yang
memfokuskan kepada: Tidak terjadinya
kerusakan sosial dan tidak terjadinya
kerusakan alam. Apa yang saya sampaikan
ini juga punya argumentasi jika dirujuk
dengan laporan resmi lainnya. Laporan yang
diberikan oleh Human Development dan
UNDP (United National Development
Program) tahun 1992,--sebagaimana yang
disebutkan Budi Winarno 7 setidaknya dapat
digunakan untuk memperkuat argumentasi di
atas. Menurut laporan ini, diperkirakan
bahwa 20 % dari populasi dunia yang
tinggal di negara maju memperoleh 82, 7%
dari total pendapatan dunia, sementara 20 %
lainnya yang tinggal di negara-negara
termiskin hanya menerima 1,4 %. Pada tahun
1989, rata-rata pendapatan 20 % masyarakat
masyarakat yang hidup di negara paling kaya
mencapai 60 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan 20 % masyarakat yang hidup di
negara-negara paling miskin. Rasio ini
merupakan dua kali rasio tahun 1950. Lebih
lanjut, Laporan Human Development dan
UNDP tahun 1996 menunjukkan bahwa
selama tiga dekade yang lalu hanya 15
negara yang mengalami pertumbuhan yang
tinggi, sementara 89 negara menjadi lebih
buruk secara sosial ekonomi dibandingkan
dengan keadaan sepuluh tahun yang lalu. Di
tujuh puluh Negara Sedang Berkembang saat
ini, tingkat pendapatan mereka lebih kecil

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
jika dibandingkan dengan penghasilan
mereka pada 1960an atau 1970an.
Laporan UNDP (United Nation Development
Program) tahun 1999 juga menunjukkan
kecenderungan
serupa.
Dalam
hal
pendapatan lebih dari 80 negara masih
mempunyai pendapatan yang tidak lebih baik
dibandingkan dengan beberapa dekade yang
lampau. Pada waktu 40 negara di dunia
mempunyai pendapatan yang yang terus
tumbuh dalam kisaran lebih dari 3 %
pertahun sejak tahun 1990, 55 negara lainnya
di dunia yang hampir sebahagian besar
berada di Afrika Sub-Sahara, dan Eropa
Timur mengalami penurunan pendapatan.
Selanjutnya, negara-negara yang tergabung
dalam OECD (Organization for Economic
Cooperation Development) yang merupakan
19 % penduduk dunia menguasai 71 %
perdagangan barang dan jasa, 58 % investasi
langsung luar negeri, dan 91 % pengguna
internet. 8
Sementara itu, jumlah orang miskin yang
terdata di dunia juga mengalami kenaikan.
Pada pertengahan tahun 1990-an, dengan
mengambil garis kemiskinan yang ekstrem
dengan mensejajarkan konsumsi perhari
dengan satu dollar Amerika Serikat, ada
kurang lebih 33 % penduduk dunia yang
yang berada di negara-negara sedang
berkembang berada dalam kesengsaraan.
Mereka kekurangan gizi, hidup dalam rumah
yang tidak layak, kurang mendapatkan akses
pendidikan, susah mendapatkan fasilitas air
bersih dan makanan dan juga pelayanan
kesehatan 9. Dalam masyarakat miskin ini,
sebagian besar, yang jumlahnya sekitar 550
juta jiwa, berada di Asia Selatan, 215 juta
jiwa di Afrika Sub Sahara, dan 150 juta jiwa
lagi berada di Amerika Latin. Dengan
menggunakan cara yang sama, ILO
(International
Labour
Organization)
memperkirakan bahwa persentase penduduk
berada di bawah garis kemiskinan meningkat
dari 53,5 % di tahun 1985 menjadi 54 % di
tahun 1990 di Afrika Sub Sahara, dan 23 %
menjadi 27,8 % di Amerika Latin, dan
menurun dari 61,1 % di Asia Selatan, dan

8
7

Budi Winarno, loc.cit.

9

Budi Winarno, ibid., hal. 5
Peter & Susan Calvert, op.cit., hal. 49.

87

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
nasional konsentrasi pada kelompok 20 persen
terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok 20
persen terkaya dalam distribusi pendapatan
nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen
penduduk miskin. Pangsa kelompok 20 persen
terkaya terus naik dari 21, 24 persen (1999)
menjadi 46,45 persen (2011) dan 48, 94 persen
(2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk
termiskin 21, 22 persen (1999) menjadi 17,6
persen (2011) dan 16,88 persen (2012). Efek ke
bawah (tricle down effect) tidak terjadi yang
terjadi adalah muncrat ke atas (tickle up effect).” 11

15,7 % menjadi 14,7 % di Asia Tenggara dan
Asia Timur. 10
Marilah kita analisis keadaan negara-negara
berkembang dalam konteks pembangunan
dan hasil-hasilnya. Pada kesempatan ini, saya
menampilkan kasus Indonesia dan beberapa
keadaan serupa di Afrika dan Amerika Latin.
Kasus Indonesia,--jika dilihat dianalisis dari
transformasi struktural,--sebagaimana yang
diungkapkan HS. Dillon (2012),yaitu bobot
ekonomi dari pertanian-pertambangan ke
manufaktur dan sektor jasa bernilai tinggi,
selama ini merupakan hal semu karena para
petani bukannya naik kelas, tetapi justeru
digusur di kampung halamannya untuk
menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga
Kerja Wanita (TKI/TKW) atau berjejalan
disektor informal yang meruyak di
perkampungan kumuh kota. Pertumbuhan,
inflasi, kenaikan indeks harga saham,
cadangan devisa dan lain-lain, adalah deretan
angka menghibur yang menghiasi media
massa, tetapi secara kasat mata kemiskinan
masih melekat dalam kehidupan. Telah
terjadi disparitas dan ketimpangan yang
menjadi paradoks yang selalu menyertai
pembangunan di Indonesia.
Selama ini dalam konteks pembangunan
Indonesia, lebih mengedepankan pada
pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas
pembangunan itu sendiri. Trend ketimpangan
kian memburuk, terutama sejak krisis
ekonomi 1998, dengan Indeks Gini yang
menggambarkan
tingkat
ketimpangan
meningkat dari 0, 33 tahun 2002 menjadi 0,
37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada
tahun 2011. Ketimpangan terjadi secara
multidimensional; antar wilayah antar sektor
antar kelompok pendapatan (Tinjauan
Kompas, 2014:94).
Berikut ini
saya
sampaikan Tinjauan Kompas (2014):
“Ketimpangan ketimpangan spasial yang yang
muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan
yang ditemui 20-30 tahun lalu tidak merubah
wajah,
tercermin
dalam
meningkatnya
kesenjangan Jawa-Luar Jawa, pedesaan-perkotaan,
kawasan Indonesia Barat-kawasan Indonesia
Timur, wilayah hinterland-wiaayh perbatasan,
bahkan dalam satu wilayah yang sama.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tidak
dibarengi penurunan secara signifikan angka
kemiskinan dan pengangguran, karena kue
10

Budi Winarno, loc.cit.

88

Kasus hilangnya tanah petani di Indonesia, -atas nama pembangunan, juga dialami oleh
petani di Afrika Selatan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Greenberg banyak rakyat di
Afrika Selatan pasca rejim Apartheid tidak
memiliki
tanah
akibat
kebijakan
pembangunan. Melalui organisasi Landless
People Movements (LPM) atau Gerakan
Rakyat Tidak Bertanah kini memperjuangkan
hak-hak atas tanah mereka. Harapan akan
pengembalian besar-besaran tanah kepada
orang-orang asli yang tidak berpunya
berkembang setelah rejim Apartheid Afrika
Selatan tumbang di tahun 1994. Konstitusi
baru dibuat dan mengandung perintah
konstitusional untuk meredistribusi tanah,
menjamin hak garap, dan kepemilikan tanah
bagi semua dan mengembalika tanah kepada
mereka yaaanggg dirampas tanahnya
semenaaa-mena. Namun harapan itu menjadi
pupus ketika partai yang yang berkuasa
(African
National
CongressANC)
mengadopsi model land reform bank Dunia
yang berdasar pada mekanisme pasar:”
willing buyer willing seller”. LPM boleh jadi
adalah gerakan yang unik diantara gerakangerakan akar rumput independent lainnya
karena keanggotaan LPM bisa ditemukan
baik di daerah-daerah perkotaan maupun di
pedesaan. Gerakan ini menantang pemisahan
perjuangan
kota
dan
desa
dengan
menegaskan bahwa penggusuran di kota dan
ketiadaan jaminan hukum penggarapan tanah
adalah isu-isu yang secara fundamental
terkait dengan akses tanah.
Gerakan perjuangan atas tanah oleh rakyat
juga terjadi di Brazil. Melalui organisasi
MST (Movimento Dos Trabalhadores
Ruraisem atau Movement Rural Landless
11

Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014:
Tantangan, Prospek politik dan Ekonomi
Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2014), hal. 94.

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
Workers atau Pergerakan Pekerja Pedesaan
Tak Bertanah yang dibentuk pada 1984,
gerakan ini memperjuangkan tanah-tanah
yang dirampas atas nama pembangunan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wolford,
di Brazil, pembagian tanah masih belum adil
dan sudah dipertarungkan sejak bangsa
Portugis mulai menempati koloni baru di
awal tahun 1500-an. Karena kerajaan
Portugis tidak mau dan tidak anggup
menjajah Brazil secara langsung, wilayah
yang sudah dikenal tersebut di bagi ke dalam
15 captainceis (berada di bawah seorang
kapten) di tahun 1534 dan hak-hak utama
atasnya diwariskan kepada Kapten secara
turun temurun. Kapten tersebut mengatur
pembagian tanah dan yang memiliki koneksi
dengan para kapten tersebut dapat memiliki
tanah yang luas. Melalui MST gerakan tanah
untuk rakyat diperjuangkan. MST menjadi
oposisi jika kebijakan pembangunan
merugikan rakyat.
Gambaran demografi tersebut menunjukkan
ketimpangan dari dunia. Dunia telah terbagi
dalam beberapa pemeringkatan: Dunia
Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga.
Dunia Ketiga menampilkan satu keadaan
dimana, kenyataan jauh dari keinginan
sebagai konsekwensi dari pembangunan dan
selalu dikaitkan dengan keterbelakangan.
Kelompok Dunia Ketiga secara mayoritas
banyak didominasi oleh negara-negara dari
kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Mereka ini pada umumnya disebut juga
sebagai negara terbelakang. Sedangkan
Dunia kesatu atau biasa disebut sebagai
Negara Maju didominasi oleh Amerika
Serikata dan negara-negara Eropa Barat
(lihar Peta Pembangian Dunia). Menurut
Peter Calvet & Susan Calvet dalam
karyanya, Politics and Society in The Third
World, Negara Ketiga adalah terma yang
dibentuk dengan sengaja sebagai proses dan
kepentingan politik pembangunan.Sebutan
Dunia Ketiga adalah nama lain untuk
penyebutan wilayah atau negara yang secara
ekonomi terkungkung dalam kemiskinan.
Oleh
Prof.
Bauer,
istilah
Kurang
Berkembang dan Sedang Berkembang adalah
euphemisme belaka. Tapi untuk isitlah
Kurang
Berkembang
dan
Sedang
Berkembang adalah euphemisme yang tidak
tepat; Kurang Berkembang adalah istilah
yang terang-terangan memberi kesan bahwa

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
keadaan yang digambarkan tidak normal,
tercela, dan barangkali sulit diperbaiki.
Sedang istilah untuk Sedang Berkembang
mengandung beberapa kontradiksi, misalnya
seolah mengacu pada stagnasi atau
kemunduran dunia yang padahal Sedang
Berkembang.
Menariknya, memahami bahaya kerusakan
ingkungan akibat pembangunan, negaranegara maju seperti Amerika Serikat dan
Australia justeru menjadi penghalang bagi
usaha menekan laju emisi CO2 di udara.
Pada akhirnya, negara-negara berkembanglah
yang menanggung kerugian paling besar dari
kerusakan itu. Global warning hanyalah
salah satu dari sekian banyak isu lingkungan
hidup yang dihadapi manusia sekarang ini.
Di negara-negara dunia ketiga, oleh karena
pembangunan, pembabatan hutan dilakukan
guna mengejar ketertinggalan pembangunan
industeri dan ekonomi mereka dari negara—
negara industeri maju. Akibatnya, terjadi
perubahan iklim banjir dimana-mana.
Akibatnya, ancaman terhadap nyawa
manusia tidak lagi disebabkan oleh faktorfaktor penyakit dan kelaparan yang hingga
kini masih menghantui dan mengancam
banyak negara tetapi juga bencana lainnya,
berbagai penyakit, perubahan curah hujan,
naiknya permukaan air laut, banjir,
perubahan iklim ektrim,
merosotnya
kesuburan tanah dan lain sebagainya 12.
12

Pakar lingkungan menganggap penting bahwa
pembangunan harus memperhatikan lingkungan.
Menurut Emil Salim hal ini disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, hubungan antara sumber
daya alam dengan ekosistem yang disebabkan
oleh letaknya dalam tatanan lingkungan yang
berupa sistem jaringan. Maka pengolahan
sumberdaya alam perlu dilakukan begitu rupa,
sehingga tidak merusak jaringan ekosistem, agar
tetap terlestarikan fungsi ekosistem menopang
kehidupan. Kedua, memahami keterbatasan
lingkungan
untuk menyerap pencemaran.
Lingkungan ala seperti sungai, danau, air, tanah,
laut, pantai, udara, dan hal-hal lain yang serupa
memiliki ambang batas
dalam menyerap
buangan limbah padat, gas dan cair yang
dihasilkan oleh kegiatan produksi, transportasi,
energi dan konsumsi. Apabila limbah melalui
ambang batas penyerapannya, maka lingkungan
akan teracuni, sehingga lambat laun mematikan
kehidupan. Antara
pencemaran, kualitas
lingkungan, kualitas hidup dan kualitas manusia
terjalin hubungan. Semakin tercemar lingkungan,

89

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
Apa yang disampaikan oleh Budi Winarno
sebenarnya telah menyentuh persoalan etika
dari pembangunan itu sendiri. Dengan kritis,
Budi
Winarno
menanyakan:
Masih
relevankah isu pembangunan dibahas di
tengah isu dunia seperti ini yang dicirikan
oleh integrasi pasar-pasar dunia dalam
kerangka globalisasi? Bukankah dalam
globalisasi sekarang ini, para pejabat publik
yang ditahun 1960-an dan 1970-an sebagai
aktor utama perencana pembangunan lebih
sering berbicara mengenai usaha-usaha
mengintegrasikan ekonomi nasional ke
dalam perekonomian global?. Kemudian
dalam ambisi tersebut, liberalisasi menjadi
suatu bagian tidak terpisahkan meskipun
kritik terhadapnya begitu kuat.
Memahami beberapa persoalan di atas, saya
menyimpulkan bahwa pembangunan adalah
sebuah paradoks global. Sebab di dalamnya
terkandung sebuah gab (jurang) antara
keinginan dan kenyataan. Sebuah dunia yang
menghadirkan ketimpangan. Di satu sisi, ada
kelompok masyarakat yang kaya sementara
sisi lainnya masyarakat miskin. Demikianlah
keyakinan saya ketika memahami kembali
pembangunan. Apa yang saya sampaikan ini
tentu memiliki beberapa alasan. Setelah
diluncurkan
lebih
setengah
abad,
pembangunan masih menyisahkan persoalanpersoalan krusial seperti: mengapa satu
negara bisa sukses dalam pembangunan
sementara negara lain gagal dalam
pelaksanaannya? Mengapa ideologi politik
pembangunan di satu negara tertentu berbeda

semakin buruk kualitas lingkungan, semakin
rendah kualitas hidup dan semakinmiskin
kualitas manusia dan masyarakat, maka kualitas
lingkungan harus dinaikkan dan pencemaran
lingkungan harus diberantas. Ketiga, berusaha
menggunakan sumberdaya alam seefisien
mungkin. Semakin sedikit sumberdaya alam
dipakai, semakin kecil pula dampak kerusakan
lingkungan. Demikian pula semakin sedikit
energi dipakai, persatuan produk, semakin kecil
pula
pencemaran
lingkungan.
Keempat,
meletakkan pertimbangan ekonomi di depan
proses pembangunanpada tahapan perencanaan
akan mengurangi dampak pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Kelima, mengembangkan
partisipasi masyarakat secara luas
dalam
pembangunan
untuk
memungkinkan
penggunaan sumberdaya alam dengan rasa
keadilan sosial.

90

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
dengan negara lainnya? Mengapa dalam satu
negara hanya individu/kelompok-kelompok
tertentu saja yang mengambil peran dan
menikmati
pembangunan
sementara
kelompok masyarakat lainnya terpinggir dan
bahkan menjadi sapi perahan dari
pembangunan? Mengapa satu negara tertentu
terlalu tunduk terhadap satu negara lain
dalam
implementasi
kebijakan
pembangunan?
Menjawab
persoalanpersoalan ini, tentu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Perlu ada
analisis
yang
mendalam
terhadap
pembangunan itu sendiri. Beberapa sarjana
atau pun lembaga telah mencoba mencari
formula yang tepat untuk menjawab
persoalan-persoalan
tersebut.
Formulaformula ini coba disuguhkan menjadi satu
alternatif yang dapat diterapkan, terutama
kepada Negara-Negara Berkembang
Paradoks Global
Pembangunan adalah sebuah paradoks
global. Sebab di dalamnya terkandung
sebuah gab (jurang) antara keinginan dan
kenyataan. Sebuah dunia yang menghadirkan
ketimpangan. Di satu sisi, ada kelompok
masyarakat yang kaya sementara sisi lainnya
masyarakat miskin. Demikianlah keyakinan
saya
ketika
memahami
kembali
pembangunan. Apa yang saya sampaikan ini
tentu memiliki beberapa alasan. Setelah
diluncurkan
lebih
setengah
abad,
pembangunan masih menyisahkan persoalanpersoalan krusial seperti: mengapa satu
negara bisa sukses dalam pembangunan
sementara negara lain gagal dalam
pelaksanaannya? Mengapa ideologi politik
pembangunan di satu negara tertentu berbeda
dengan negara lainnya? Mengapa dalam satu
negara hanya individu/kelompok-kelompok
tertentu saja yang mengambil peran dan
menikmati
pembangunan
sementara
kelompok masyarakat lainnya terpinggir dan
bahkan menjadi sapi perahan dari
pembangunan? Mengapa satu negara tertentu
terlalu tunduk terhadap satu negara lain
dalam
implementasi
kebijakan
pembangunan?
Menjawab
persoalanpersoalan ini, tentu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Perlu ada
analisis
yang
mendalam
terhadap
pembangunan itu sendiri. Beberapa sarjana
atau pun lembaga telah mencoba mencari

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
formula yang tepat untuk menjawab
persoalan-persoalan
tersebut.
Formulaformula ini coba disuguhkan menjadi satu
alternatif yang dapat diterapkan, terutama
kepada Negara-Negara Berkembang
Salah satu formula atau model pembangunan
adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh
Schramm. Menurut Schramm model
pembangunan yang diperlukan bagi suatu
negara
adalah:
(1).didasarkan
pada
pemahaman yang menyeluruh mengenai
kebutuhan nasional; (2).bergerak pada
kecepatan berapa saja yang layak;
(3).diarahkan menuju apa yang dipersepsikan
oleh negara tersebut sebagai tujuannya.
Dalam persfektif yang hampir sama, pakar
pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman
menjelaskan
bahwa
keberhasilan
pembangunan didasarkan pada beberapa hal.
Pertama, Pertumbuhan Ekonomi Yang
Cukup
Tinggi.
Kedua,
Adanya
Kesinambungan
Pembangunan
yang
memfokuskan kepada: Tidak terjadinya
kerusakan sosial dan tidak terjadinya
kerusakan alam.
Model pembangunan ataupun indikator
pembangunan yang sering digunakan oleh
aktor-aktor pembangunan tersebut terus
mendapat kritikan. Menurut Arief Budiman
tolak ukur pembangunan yang berhasil, yang
semula hanya memberi tekanan pada
produktivitas ekonomi sebuah negara, kini
semakin menjadi kompleks. Dua faktor yang
ditambahkan yakni faktor keadilan sosial
(pemerataan
pendapatan)
dan
faktor
lingkungan, berfungsi untuk melestarikan
pembangunan ini, supaya bisa terus bisa
berkesinambungan.
Apakah
model
pembangunan mampu menjawab secara ideal
tujuan pembangunan? Saya menegaskan
bahwa model atau formula tersebut masih
menjadi perdebatan serius dan belum
terselesaikan.
Para cendekiawan pembangunan dari seluruh
dunia yang diminta pendapatnya oleh
Schlegel mengenai pembangunan mengakui
wujudnya konflik pemahaman pembangunan.
Konflik atau perbedaan pandangan terhadap
pembangunan itu bersumber pada konsep
pembangunan, metodologi pembangunan
ataupun sasaran pembangunan. Philip
Quarles Van Ufford & Ananta Gumar Giri

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
dalam karyanya, A Moral Critique of
Development memberikan satu gambaran
bahwa pembangunan sebagai sebuah
pengharapan telah mengalami kegagalan.
Pembangunan semakin kehilangan daya pikat
dan vitalitasnya. Praktek dan wacana
pembangunan saat ini berada dalam titik
kritis
akibat
ketidakselerasan
dan
kesenjangan.
Apa yang disampaikan oleh Philip Quarles
Van Ufford & Ananta Gumar Giri dan juga
para pakar pembangunan lainnya menjadi
satu catatan serius bahwa pembangunan
mengalami
banyak
ketidakselarasan,
kontradiksi dan juga ketidakseimbangan.
Ketidakseimbangan ini menekankan pada
keuntungan pada satu kelompok atau negara
tertentu manakala kelompok atau negara
yang lain mengalami kerugian. Akibatnya,
akibat pembangunan, peta dunia telah
terbelah:antara wilayah yang makmur dan
wilayah
yang
miskin.
Bila terjadi
kesenjangan yang mencolok antara orangorang yang kaya dengan orang yang miskin,
masyarakat yang bersangkutan akan menjadi
rawan
secara
politis.
Ini
karena
pembangunan
masih
terfokus
pada
matrialistis saja. Kita bisa lihat bagaimana
kesenjangan terjadi dalam berbagai belahan
dunia akibat dari pembangunan itu.
Kemiskinan di dunia ini mayoritas utamanya
masih didominasi oleh negara-negara
berkembang. Peta wilayah itu meliputi Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Di wilayahwilayah tersebut,--yang dalam kurun
beberapa waktu menjadi daerah jajahan
negara-negara maju, menjadi penyumbang
terbesar bagi berkembangnya jumlah
populasi dunia. Dengan jumlah populasi
yang demikian besar, menurut Bank Dunia
tahun 1999 kualitas manusia di negaranegara tersebut
mencemaskan, terutama
setelah setengah Abad adanya bantuan
pembangunan: (1). Setengah dari penduduk
dewasa atau lebih dari 23 negara,
kebanyakan dari Africa, buta huruf. Yang
bukan negara Afrika termasuk Afganistan,
Bangladesh, Nepal, Pakistan, dan satu negar
di belahan dunia Barat yaitu Haiti;
(2).Setengah dari penduduk perempuan atau
lebih buta huruf di 35 negara termasuk yang
sudah disebutkan di atas dan Aljazair, Mesir,
Guetamala, India, Laos, Maroko, Nigeria dan

91

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio
Arab Saudi; (3).Angka harapan hidup di
bawah 60 tahun ada di 45 negara,
kebanyakan di Benua Afrika,, tapi ada juga
di Afganistan, Kamboja, Haiti, Laos dan
Papua Nugini. Angka harapan hidup kurang
dari 50 tahun ada di 18 negara di Benua
Afrika. Dan, angka, harapan hidup di Sierra
Leone hanya 37 tahun; (4).Tingkat kematian
anak-anak dibawah 5 tahun lebih dari 100
per 1.000 anak sekurangnya ada di 35
negara, lagi-lagi kebanyakannya di Afrika.
Yang bukan negara Afrika termasuk
Bangladesh, Bolivia, Haiti, Laos, Nepal,
Pakistan,
dan
Yaman;
(5).Tingkat
pertumbuhan penduduk di negara-negara
paling miskin adalah 2,1 persen pertahun,
tiga kali tingkat pertumbuhan di negaranegara berpendapatan tinggi. Tingkat
pertumbuhan penduduk di beberapa negara
Islam tinggi: 5 persen di Oman;4,9 persen di
Uni Emirat Arab; 4,8 persen di Yordania; 3,4
persen di Arab Saudi dan Turkmenistan.
Di samping itu, menurut Bank Dunia (1999),
pola-pola distribusi pendapatan yang paling
tidak adil yang tercatat di Bank Dunia
ditemukan di negara-negara paling miskin,
khususnya di Amerika Latin dan Afrika.
Kelompok 10 persen terkaya di Brazil
memiliki hampir 48 persen, pendapatan:
Kenya, Afrika Selatan dan Zimbabwe hanya
sedikit tertinggal di belakangnya. Kelompok
10 persen di Chile, Kolombia, Guetamala
dan Paraguaey memperoleh
sekitar 46
persen pendapatan; di Guenea Bissao,
Sinegal dan Siera Lone sekitar 43 persen;
sebagai perbandingan, 10 persen pendeduduk
terkaya di Amerika Serikat, dimana distribusi
pendapatannya paling tidak adil diantara
negara-negara demokratis yang maju,
mendapatkan
28,5
persenan
seluruh
pendapatan.
Mengapa
wilayah-wilayah
Afrika, Asia dan Amerika Latin masih
terjebak
pada
persoalan
kemiskinan
sedangkan proses pembangunan telah lama
dilaksanakan?
Sejumlah studi yang ada mengenai
pembangunan juga masih belum memberikan
penjelasan yang memuaskan atas pertanyaanpertanyaan itu. Karya monumental Michael
P. Todaro & Stephen C. Smith Economic
Development,--yang sangat kuat pendekatan
ekonominya,
menegaskan
bahwa
kemiskinan, kesenjangan sosial, perusakan

92

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan
lingkungan, kesenjangan antar wilayah
adalah beberapa isu yang terjadi akibat
pembangunan. 13 Karya monumental ini
menyoroti bagaimana pembangunan di
negara-negara berkembang di Asia, Amerika
Latin dan Afrika ternyata belum mampu
memberikan tarap ekonomi, kemakmuran
dan keadilan bagi banyak orang di kawasan
Asia dan Amerika Latin.
Di tahun 2011, The World Bank telah
mengeluarkan satu buku yang diberi judul,
Atlas Global of Development (Edisi ketiga).
Buku ini menyajikan begitu banyak data
mengenai pembangunan dan hasil-hasil yang
telah dilakukannya mulai dari Asia, Afrika
maupun Amerika. Keadaan manusia,
lingkungan, pembangunan ekonomi yang
dihubungkan dengan geograpi menjadi titik
sentral dari pembangunan yang dijalankan.
Indikator seperti kemiskinan, pertumbuhan
populasi penduduk, produksi makanan,
perubahan iklim, investasi langsung dan
perdagangan internasional dijadikan sebagai
dasar dalam penilaian pembangunan. Dari
seluruh kasus-kasus yang ada di negaranegara berkembang, kemiskinan masih
menjadi persoalan utama. Di negara-negara
ini
tercatat 1,4 milyar pendapatan
masyarakat kurang dari $1.25 setiap harinya.
Buruknya kesehatan, sulitnya pekerjaan dan
juga pendidikan yang bisa diberoleh secara
adil, masih menjadi persoalan-persoalan
yang belum terselesaikan. Di negar-negara
berkembang kematian anak-anak sangat
besar. Demikian juga masalah penyakit
seperti HIV/AIDS menjadi persoalan yang
meresahkan 14. Di negara-negara berkembang
seperti di Asia, Afrika dan Amerika Latin,
pembangunan
telah
menjadi
lahan
eksploitasi untuk memperkerjakan anakanak. Mirisnya lagi, program pembangunan
yang dijalankan justeru mengakibatkan
keterbelakangan kaum perempuan.

13

Michael P. Todaro, Economic Development in
The Third World, (New York: Longman Group,
1977).
14
Data tahun 2008 menunjukkan ada sekitar 33,4
juta penderita di seluruh dunia, dimana Afrika
menyumbang populasi terbesar untuk kasus
HIV/AIDS ini (The World Bank, 2011)

Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014
Warjio

ISSN: 0216-9290
Paradoks Politik Pembangunan

Penutup
Penjelasan yang sudah disampaikan adalah
beberapa contoh kasus dari paradoks
pembangunan. Masalah dunia ini bukannya
tidak menjadi sorotan. Di awal Milennium
Baru, seluruh dunia berkumpul untuk
membicarakannya. Pada tahun 2000 lalu,
pemimpin dunia berkumpul di Markas PBB,
New York, Amerika Serikat, antara lain
berikrar mengurangi kemiskinan hingga
separo 2015. Apa yang disajikan dari data
mengenai ketimpangan di Indonesia adalah
fakta tidak tercapainya Tujuan Milenium.
Daftar Pustaka
Ekonomi
Indonesia
ke
Depan
Untuk
Mengamankan
Target
Pertumbuhan
Nasional”, 2014. Tabloid Diplomasi No.73
Tahun VII,15 Pebruari-14 Maret 2014.
Calvert, Peter & Susan Calvert. 2001. Politics
and Society in The Third World. England:
Longmann Education.
Sen, Amartya. 2008. Inequality Reexamined,
Harvard: Harvard University Press. 1992.
Tinjauan Kompas, 2014. Menatap Indonesia
2014: Tantangan, Prospek politik dan
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kompas.
Todaro,
Michael
P..
1977.
Economic
Development in The Third World. New
York: Longman Group.
Winarno, Budi. 2008. Globalisasi: Peluang atau
Tantangan bagi Indonesia. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

93