AGAR PARTAI TIDAK HANCUR DAN KEKUASAAN TIDAK MELAYANG.

AGAR PARTAI TIDAK HANCUR DAN KEKUASAAN TIDAK MELAYANG
Oleh: GPB Suka Arjawa
Upaya berbaikan kembali (islah) dari dua kubu Partai Golkar, merupakan peristiwa politik paling
menarik di akhir tahun 2014. Partai ini dikenal karena kebesaran nama, organisasi, dan
pengaruhnya di Indonesia. Di era Orde Baru, sudah tidak perlu diungkapkan lagi pengaruh
kekuasaannya. Tetapi penampilan paling hebat dan boleh dikatakan heroik, adalah tahun 1999.
Ketika masyarakat sudah menduga partai ini kolaps setelah tumbangnya Orde Baru, tiba-tiba
mereka tetap kokoh menjadi pemenang kedua pemilu tahun 1999. Momen inilah bisa dikatakan
sebagai penampilan terbaik Partai Golkar, kokoh di saat badai hebat menerjang. Akan tetapi,
paradoksnya, Golkar justru lunglai di saat angin sepoi-sepoi menghadap kepada sosok Joko
Widodo, politisi yang boleh dikatakan lembut dan santun, tanpa membawa angin puting beliung
seperti reformasi tahun 1997. Golkar kokoh diterpa badai tetapi seolah lunglai diterpa angin
sepoi. Dengan demikian,Golkar tidak mampu dirobohkan oleh kekuatan di luar badannya tetapi
justru oleh penyakit yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Persis seperti pohon beringin yang
tidak tumbang oleh angin puyuh tetapi goyah digerogoti rayap yang merusak batang tubuhnya.
Pecahnya Partai Golkar saat ini tidak lain karena perpecahan internal, terutama soal sikap
terhadap kepemerintahan dari tokoh-tokohnya. Melihat perpecahan yang terjadi selama ini,
sudah jamak diketahui bahwa kelompok Munas Bali tidak pro dengan pemerintahan Joko
Widodo dan sebaliknya dengan kelompok Munas Ancol. Komposisi jumlah anggota masingmasing kelompok yang bertentangan ini, baik dari sisi elit maupun non elit, boleh dikatakan
seimbang. Maka, dalam komposisi demikian, seperti halnya dalam permainan olahraga, pastilah
hasilnya seri. Dun kekuatan aspirasi politik seimbang di dalam satu organisasi, akan membuat

partai itu pecah atau bubar. Pada tubuh Partai Golkar, pembubaran, dalam hal ini, bukanlah
sesuatu yang rasional karena kebesaran jumlah anggota, infra dan suprastruktur, kekayaan,
sampai dengan pengaruhnya. Maka, perpecahan merupakan “kejadian rasional” yang bisa dinilai
“logis” untuk partai sebesar ini. Masing-masing pihak masih mampu mengklaim kondisi, apalagi
dalam komposisi masing-masing pihak yang seimbang dengan dua kubu yang berhadapan.
Golkar tidak hilang, tidak bubar. Golkar tetap ada tetapi pecah!
Perpecahan internal yang terjadi pada partai besar, dengan komposisi yang sama kuat, tidak
akan mungkin mampu memberikan solusi dalam jangka dekat. Masalah hanya dapat
diselesaikan secara hukum. Akan tetapi masalah seperti ini pada akhirnya hanya akan
memberikan kerugian kepada partai itu sebab salah satu pihak pasti akan dimenangkan. Yang
berarti pihak yang pasti akan kalah. Dan kekalahan hukum bisa berarti sebuah kehilangan.
Dalam konflik partai sebesar Golkar, bisa dibayangkan jumlahnya sumber daya yang akan
hilang dengan dikalahkannya satu pihak sebagai akibat dari keputusan hukum. Secara politis, ini
akan memberikan dampak sangat merugikan karena harus membangun partai yang baru lagi.
Membangun partai baru, tidak sekedar membangun nama, dan lambang partai tetapi juga harus
membangun citra dan pengaruh. Pembangunan citra dan pengaruh ini mempunyai tatangan

paling besar bagi partai yang kalah. Kondisi yang kalah di pengadilan akan mempengaruhi citra
partai tersebut pada masyarakat. Apalagi masyarakat Indonesia yang menjadi anggota partai,
sikap ideologisnya tidak konstan. Mereka secara mudah pindah partai politik, apalagi menjelang

pemilu. Kondisi seperti ini akan menguntungkan bagi Partai Golkar yang memenangkan
“pertarungan” di pengadilan.
Dengan demikian, maka apabila kedua belah pihak mengambil keputusan untuk berbaikan
kembali (islah), ini merupakan keputusan paling rasional dari partai beringin yang besar ini.
Dengan islah, potensi melubernya anggota partai, terutama pada tingkat akar rumput semakin
kecil. Mereka masih dapat ditahan dan dirangkul lagi sesuai dengan kepengurusan-kepengurusan
setelah islah tersebut kelak tercapai.
Tantangan islah ini ada beberapa hal. Secara politis, tantangan itu terletak pada formulasi sikap
terhadap pemerintahan Joko Widodo. Dalam hal ini, nampaknya perbedaan itu telah bisa diatasi.
Kubu Munas Bali bersikap lunak karena tidak lagi keras menentang pilkada langsung. Artinya
mereka sudah jauh bergeser dari kekukuhan sikap sebelumnya yang meminta agar pemilhan
kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Sikap ini boleh dikatakan sebagai corong frontal perbedaan
sikap kedua kelompok itu karena kubu Munas Ancol memilih tetap pilkada secara langsung.
Meski sulit, Golkar Munas Bali sebaiknya menerima opsi ini karena bagaimanapun mayoritas
masyarakat Indonesia masih memilih pilkada langsung. Bertahan dengan sikap menentang
pilkada langsung bisa berari “bunuh diri’ karena ke depan partai ini akan dijauhi rakyat. Pilihan
menyetujui pilkada langsung, kemungkinan juga membuat Golkar Munas Bali akan sedikit
goyah dari pendukung-pendukung setianya. Konon menurut beberapa pendapat, banyak tokoh
Golkar di daerah mendukung Munas Bali karena ada ambisi memenangkan kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah melalui DPRD diduga akan banyak mendudukkan pejabat Golkar di

daerah menjadi kepala daerah karena komposisi anggota DPRD dikuasai oleh Partai Golkar.
Akan tetapi, di luar itu semua, partai politik harus tunduk kepada keinginan rakyat.
Tantangan paling besar dari islah ini adalah dalam bidang organisatoris. Perpecahan partai ini
membawa dua kubu elit, yang masing-masing mempunyai anak buah. Pada tataran partai politik
besar, kompisi elit kepengurusan pada struktural yang lebih tinggi itu identik dengan jembatan
awal menuju elit kekuasaan pemerintahan negara. Inilah yang akan menjadi rebutan dalam islah
nanti dan kemungkinan paling rumit. Dengan kompisisi struktur yang terbatas dalam organisasi,
posisi-posisi tersebut pasti akan mendapat rebutan. Disnilah orang-orang dari Aburizal Bakrie
dan Agung Laksono memerlukan kedewaan berfikir, antara memihak kekuasaan atau memihak
keutuhan partai. Yang jelas, kekuasaan itu sifatnya membentang, masih ada di depan.
Sedangkan keutuhan partai, itu tergantung sikap hari ini. Kalah dalam menentukan sikap dewasa,
dua-duanya akan hilang. Partai hancur kekuasaan melayang.****
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana