PARTAI TIDAK MEMIHAK RAKYAT

PARTAI TIDAK MEMIHAK RAKYAT
Menurut informasi, saat ini di Departemen Kehakiman dan HAM telah
terdaftar lebih dari 200 Partai Politik, yang akan mengikuti Pemilihan Umum tahun
2004 yang akan datang. Namun, tentunya partai politik yang telah terdaftar itu tidak
semuanya akan lolos mengikuti Pemilihan Umum. Seperti Pemilihan Umum tahun
1999 yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum lebih dari seratus Partai. Tetapi
setelah diseleksi yang memenuhi syarat dan bisa mengikuti Pemilihan Umum hanya
empat puluh delapan partai. Itupun tidak semuanya mendapatkan kursi di legislatif.
Bagaimana dengan Pemilihan Umum tahun 2004, berapa partai yang bisa lolos dan
bisa mengikuti Pemilihan Umum, belum bisa dipastikan. Karena saat ini pemerintah
masih menunggu hasil perubahan terhadap Rancangan Undang-undang Politik
mengenai Pemilihan Umum dan Partai Politik menggantikan Undang-undang yang
lama. Apalagi dalam RUU Politik itu, sebagaimana dikatakan Drs. Zulkifli Halim,
M.Si anggota DPR-RI dari PAN, ketika mengadakan diskusi tentang RUU Poliitk di
Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, syarat-syarat mendirikan partai politik
dipandang cukup berat. Misalnya kepengurusan minimal 50% dari jumlah propinsi
yang ada, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi, dan 50% dari jumlah
kecamatan pada setiap kabupaten/kota.
Selain itu, partai yang akan didirikan harus mempunyai tujuan. Tujuan
berdirinya partai adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional sesuai dengan
konstitusi, menyemarakkan kehidupan demokrasi, mewujudkan kesejahteraan rakyat,

serta mewujudkan cita-citanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara
konstitusional. Hak parpol antara lain mempunyai tanda gambar yang dilindungi oleh
hak cipta, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, sederajad, adil, dari negara.
Kemudian berhak mengatur dan mengurusi organisasinya secara mandiri. Ikut serta
dalam Pemilihan Umum sesuai UU, dan mengajukan calon anggota parlemen dan
mengadukan anggota yang melanggar AD/ART. Selain mempunyai hak, Parpol yang
dibentuk juga memiliki kewajiban-kewajiban. Kewajiban Parpol ialah ikut
menyukseskan pemilu, pendaftaran dan ketertiban anggota, membuat pembukuan dan
mengumumkan sumbangan secara terbuka, membuat laporan keuangan (audit akuntan
publik), serta memiliki rekening khusus dana kampanye pemilu. Apakah semua partai
politik yang sudah terdaftar itu memenuhi persyaratan ini? Mungkin belum.
Semangat untuk mendirikan partai bagi masyarakat, tentu saja perlu kita
hargai. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita telah tumbuh kesadaran politiknya.
Tetapi apakah dengan banyaknya partai politik, memang akan menjadikan negara dan
bangsa ini lebih baik dan lebih sejahtera? Belum tentu juga. Atau malah sebaliknya.
Karena kesejahteraan suatu bangsa itu tidak diukur dengan banyaknya partai politik.
Kita lihat saja sekarang ini dari 48 partai politik, hanya 5 (lima) partai politik besar
yang mempunyai perwakilan cukup signifikan di legislatif. Ternyata belum bisa
membuat negara dan bangsa ini menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena saat ini
yang kita butuhkan menurut Umar Juoro, adalah menjaga stabilitas pertumbuhan

ekonomi. Oleh karena itu, partai peserta Pemilu di masa depan jumlahnya perlu
dibatasi. Dengan demikian, ujarnya, kita mendapat kesempatan untuk memfasilitasi
pertumbuhan ekonomi dengan lebih baik. “Saya kira kalau untuk menjaga
kepentingan stabilitas, paling banyak ada 20 partai. Itu sudah banyak. Harapannya,
akan terproses menjadi 10 partai. Syukur-syukur kalau bisa lebih sedikit lagi. Karena
dalam Pemilu yang akan datang, bukan adanya partai yang dipentingkan, tetapi apa
yang diperjuangkan oleh partai untuk rakyat. Itulah yang diutamakan.” Ujarnya.

Namun dari beberapa pengalaman Pemilu, sebagian besar partai tidak
sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat. Program untuk mensejahterakan
rakyat, hanya sebatas slogan yang disampaikan secara menggebu-gebu pada saat
kampanye. Justru sebaliknya, jargon-jargon kepentingan rakyat selalu dijadikan alat
dalam kampanye. Semua partai mengatasnamakan rakyat. Termasuk partai yang
mengatakan partai Islam. Pada Pemilu 1999, jumlah partai Islam mencapai lebih dari
sepuluh partai. Namun yang berhasil memperoleh kursi di legislatif hanya empat
(Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Banga, Partai Bulan Bintang dan
Partai Keadilan).
Melihat kondisi partai-partai yang ada sekarang dan dengan jumlah penduduk
yang cukup besar, memberikan peluang bagi munculnya partai-partai baru. Sekalipun
pemilihan umum tidak menjamin masuknya semua partai politik yang ikut

berkompetisi namun selama ketidakpuasan terhadap partai-partai yang ada tidak
terpuaskan maka akan muncul partai baru dengan alternatif baru. Peluang munculnya
partai-partai ke depan dapat diperkirakan pada keengganan partai-partai politik yang
ada untuk meningkatkan kualitas mereka sebagai wakil rakyat. Partai-partai di DPR
dan terlebih lagi di DPRD pada umumnya lebih banyak memfokuskan perhatian dan
kegiatan mereka dalam urusan internal DPRD. Keterlibatan mereka dalam menjaring
dan menyalurkan kepentingan dan harapan masyarakat pemilih relatif belum tergarap
secara baik.
Perhatian pada urusan internal dapat dipantau pada kasus-kasus internal yang
banyak diekspose media massa. Isu-isu yang berkaitan dengan pembagian rezeki,
studi banding dan isu-isu lain lebih banyak mewarnai media massa saat ini.
Kecenderungan ini mencerminkan kurangnya perhatian partai di badan legislatif
terhadap isu-isu yang lebih mendesak dan berkembang luas di masyarakat. Partai di
legislatif, misalnya, kurang terlibat penuh dalam urusan pendidikan, kesehatan, dan
keamanan. Isu-isu pendidikan yang menyangkut kualitas, biaya, dan masa depan
pendidikan lebih banyak menjadi perhatian segelintir pelaku pendidikan dan meluas
menjadi keluhan-keluhan masyarakat. Ketidakmerataan, biaya yang mahal, dan
ketidakjelasan masa depan pendidikan, sebagai misal, muncul sebagai persoalan yang
asing di mata politisi lokal. Kemampuan dan kesediaan menekuni dan mendalami
persoalan tersebut sangat terbatas.

Memang tidak mudah tampaknya menemukan peran partai politik Islam
secara obyektif dan proaktif, yang memberikan langkah-langkah strategis dan
sistematik bagi masa depan umat dan bangsa di negeri ini. Kecenderungan ini lebih
menggambarkan kenyataan, betapa tradisi kekuasaan di kalangan Islam masih belum
matang, apalagi untuk menjadi sebuah tradisi besar. Umat Islam sebagai sebuah
komunitas politik yang padu atau kohesif tampaknya belum memiliki tradisi
kekuasaan yang kuat. Apa yang dimaksud dengan tradisi kekuasaan di sini ialah
pengalaman yang matang dan dewasa dalam menjalankan roda kekuasaan yang benarbenar lebih merepresentasikan kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai satu
kesatuan politik, sehingga para elit muslim yang berada dalam struktur kekuasaan
benar-benar mewakili kepentingan umat Islam secara signifikan dan peran politik
Islam itu sungguh-sungguh sebagai fa’il atau aktor dan bukan sebagai pelengkap
apalagi objek.
Pada masa Orde lama umat Islam pernah memiliki pengalaman politik yang
menonjol melalui Masyumi. Tampil tradisi moralitas dalam kekuasaan khususnya
dalam politik Namun sayang, Masyumi tidak berkembang lama, dan berakhir dengan
pembubaran atau dibubarkan, sehingga terputuslah matarantai pengalaman politik
Islam itu. Masyumi menurut sementara pendapat telah berhasil membangun tradisi

politik Islam dalam perspektif moral, hanya belum berhasil atau gagal dalam
membangun struktur kekuasaan umat Islam di Indonesia.

Sedangkan perjalanan Orde Baru masih diwarnai oleh dua kecenderungan,
yakni era peminggiran, dan era akomodasi melalui “bulan madu” Islam. Namun
semuanya baru embrional, dan kecenderungan akomodasionisnya menjadi sangat
menonjol sehingga peran politik Islam yang representatif dan mandiri masih belum
menunjukkan kenyataan politik di negeri ini. Terlalu dini jika memiliki optimisme
berlebihan bahwa “bulan madu” politik Islam itu sebagai hal yang maksimal dan
substansial, semuanya baru bersifat permukaan dan artifisial. Islam sebagai nilai dan
umat Islam sebagai komunitas masih jauh dari artikulasi politik Islam di negeri ini
saat sekarang ini. Soal kesyukuran, hal itu memang perlu, namun memandang
kenyataan secara obyektif pun kiranya sama pentingnya agar umat Islam tidak
dininabobokkan oleh klaim-klaim politik Islam yang berjangka pendek, sesaat, hanya
kulit luar, dan bersifat pelengkap semata-mata.
Di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim masalah hubungan antara
Islam dan politik juga muncul menjadi masalah yang sarat ketegangan sosial-politik
dan teologis. Ketegangan Islam dan politik itu terutama muncul setelah Indonesia
merdeka dari penjajahan berkaitan dengan kehidupan kenegaraan. Menurut Haedar
Nashir (2002), beberapa fakta sejarah dapat dikemukakan berkenaan dengan masalah
hubungan Islam dan politik itu, antara lain:
Pertama, dengan lahirnya partai-partai politik yang dibidani para tokoh Islam
sejak tahun 1938 seperti kehadiran Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam Ala

Indonesia (MIAI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi). Kelahiran partai-partai Islam itu memunculkan
ketegangan kreatif dan ketegangan kritis di tubuh umat Islam sendiri maupun dengan
golongan lain di tubuh bangsa, yang melahirkan politik aliran. Ketegangan ini masih
berlangsung sampai era reformasi saat ini, yang melahirkan dilema politik Islam
antara tuntutan eksklusivitas dan inklusivitas dalam kehidupan bangsa yang majemuk.
Kedua, masalah yang berkaitan dengan dasar negara. Kasus Piagam Jakarta
tahun 1945 tentang kewajiban syari’at Islam dalam “tujuh kata di tubuh Pembukaan
UUD 1945” dan Sidang Konstituante tahun 1959 seputar perdebatan soal dasar Islam
dalam negara kesatuan Republik Indonesia, yang keduanya mengalami kegagalan atau
jalan buntu dalam politik Islam, merupakan bukti dinamika hubungan ketegangan
antara Islam dan politik di Indonesia.
Ketiga, munculnya gerakan-gerakan politik radikal yang mengatasnamakan
Islam atau umat Islam, yang memuat banyak kepentingan internal dan eksternal umat
Islam. Pola gerakan ini makin kontras dengan lahirnya berbagai pola orientasi gerakan
Islam baik semasa Orde Lama maupun Orde Baru yang membelah umat Islam ke
dalam berbagai kelompok dan afiliasi politik Islam dari pola yang antagonis sampai
ke pola protagonis dalam lingkaran kekuasaan rezim pemerintahan yang tengah
berkuasa. Dinamika politik ini menggambarkan tidak adanya konsep politik Islam
sebagai satu kesatuan entitas politik dalam praktik, padahal dalam cita-cita ideal

kesatuan politik Islam itu masih tumbuh menjadi alam pikiran dalam sebagian tubuh
umat Islam.
Bagaimana posisi umat Islam dan Partai Politik Islam di era multi partai saat
ini, apakah bisa menunjukkan perannya yang baik atau sebaliknya. Karena
pengalaman beberapa kali pemilihan umum, belum pernah Partai Politik Islam
menjadi pemenang. Lalu apa manfaatnya mempunyai Partai Islam yang banyak, kalau
tidak bisa menjadi penentu jalannya pemerintahan? Justru sebaliknya menjadi beban
bagi umat.(im, nafi, tof)

Sumber: SM-14-2002