1. HAN AWAL UJIAN TERTUTUP

REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN
LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG
Ujian Tertutup Disertasi

Diajukan untuk memenuhi Syarat memperoleh
gelar doktor dalam Ilmu Hukum

Efa Rodiah Nur
NIM : 1010111500005

UNIVERSITAS DIPONEGORO
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
SEMARANG
2016

1

REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA
BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

HUKUM ADAT LAMPUNG

EFA RODIAH NUR
NIM : 1010111500005

Semarang,................ Mei 2016
Telah Disetujui Untuk Dilaksanakan oleh :
Menyetujui :
Promotor

Co. Promotor

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH
NIP. 19430123 197010 1 001

Dr. Eddy Rifai, SH., MH
NIP 19610912 198603 1 003

Mengetahui :
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum


Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., M.Hum.
NIP. 19620118 1987 032001

2

SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama

: Efa Rodiah Nur

NIM

: 1010111500005

Alamat

: Jalan. Way Besai No. 16 sumurbatu TBU Bandar Lampung


Asal Instansi : IAIN Raden Intan Lampung
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Karya Tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (doktor), baik di Universitas Diponegoro maupun
diperguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul
buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku diperguruan tinggi ini.
Semarang, ......... Mei 2016
Yang Membuat Pernyataan,

Efa Rodiah Nur

NIP: 1010111500005

ABSTRAK

3

Sistem hukum Indonesia yang dibangun dari nilai-nilai adat dan kearifan
lokal perlu diberikan ruang kembali dalam pembangunan sistem hukum nasional.
Dalam penanganan tindak pidana ringan di Lampung menggunakan hukum adat
dirasakan memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Diperlukannya upaya untuk
melegitimasi dan memberikan ruang untuk penyelenggaraan media penyelesaian
perkara melalui kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung.
Permasalahan yang relevan untuk dikaji dalam disertasi ini adalah :
(1) Mengapa penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum
positif mengusik rasa keadilan terhadap masyarakat, (2) Bagaimana penyelesaian
tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, (3) Bagaimana
merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak
pidana ringan dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.
Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan
Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode

Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data
utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data
kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk
validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.
Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian disertasi ini sesuai
dengan permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian didapati hal-hal
sebagai berikut: Pertama, bahwa Penegakan hukum pidana menggunakan hukum
positif yang tertulis tehadap tindak pidana ringan tidak memberikan keadilan yg
bersifat substansial. Kedua, Penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan
lokal hukum adat Lampung dengan menggunakan media Rembuk Pekon. Ketiga,
pendekatan deregulasi kebijakan dan harmonisasi antara hukum positif dan
kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung, dengan melakukan dekonstruksi
terlebih dahulu dan kemudian merekonstruksi sistem hukum berkeadilan.
Bahwa proses penegakan hukum pidana atas tindak pidana ringan
dengan melalui sistem peradilan pidana masih dirasa mengusik keadilan
masyarakat dan dengan adanya gugatan terhadap sistem peradilan pidana dengan
media Rembuk Pekon berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung maka
perlu diintegrasikan. Adat istiadat Lampung memberikan ruang dalam
harmonisasi hukum nasional dengan kearifan lokal yang berbasis hukum adat
Lampung yang bertujuan untuk memberikan keadilan.

Kata Kunci : Rekonstruksi, Sistem Hukum Pidana, Kearifan Lokal, Hukum
Adat Lampung, Penegakan Hukum atas Tindak Pidana Ringan, Berkeadilan

4

ABSTRACT
Indonesian legal system which constructed by tradition values and local
wisdom needed to give the space within the development of national legal system.
In handling the less serious crime cases, Lampung using customary laws which
provide a sense of justice for the parties. The effort to legitimize and to give the
space for the provision of settling disputes through local wisdom based on
traditional law is needed.
Relevant issues in this dissertation are: (1) Why is the completion of a less
serious crime by using positive law disturb the sense of justice to the people, (2)
How is the settlement of less serious crime based on local wisdom of indigenous
Lampung society, (3) How to reconstruct the criminal justice system in the
completion of a less serious crime with customary law based on Lampung local
wisdom.
This dissertation research using constructivist paradigm with NonDoctrinal Approach method or socio-legal research with qualitative methods,
using descriptive analytical research specifications, the type of key data in this

study is supported by field data and literature data, methods of data analysis using
qualitative juridical. To validate field data using interview and observation
techniques.
Results of research and discussion in this dissertation in accordance with
the issues being focused in the research found the following things: First, that the
enforcement of criminal law is using positive law for minor criminal offenses do
not provide substantial justice. Second, Completion of minor criminal offenses
based on local wisdom of indigenous Lampung using a Rembuk Pekon. Thirdly,
the approach of deregulation policies and harmonization between positive law and
customary law, by deconstructing and then reconstruct the legal system of justice.
That the process of criminal law enforcement on less serious crime with
through the criminal justice system is still considered disturbing the sense of
justice and the lawsuit in the criminal justice system can use Lampung Customary
Law so that it is needed to be integrated. Lampung customary law gives the space
for the harmonization of national legislation with its the local wisdom that aims to
provide justice.
Keywords: Reconstruction, Criminal Justice System, Local Wisdom, Lampung
Customary Law, Law Enforcement on less serious crime, Fair.

5


RINGKASAN

Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap
hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya
menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan, diperlukannya
penataan kembali dan penyesuaian antara lain penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum

acara pidana diatur dalam

ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Apabila berbicara tentang hukum di Indonesia, maka yang terlintas
dalam pemikiran penulis akan langsung bertujuan pada Undang-Undang,
Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan tertulis lainnya.

Padahal

sebenarnya, hukum mempunyai begitu banyak aspek dan terdiri dari banyak

komponen atau unsur-unsur yang lain. Aspek atau unsur mana yang dianggap
paling penting tergantung dari falsafah hukum yang dianut oleh sistem hukum
yang bersangkutan. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan
sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 205 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada pokoknya tindak pidana
ringan diancam dengan pidana paling lama tiga bulan penjara. Tindak pidana
ringan yang perlu mendapat perhatian meliputi pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan
482 KUHP, Pasal-pasal ini telah mengalami perubahan berdasarkan Peraturan

6

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 16 Tahun 1960, dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa
menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang.
Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi
pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari
kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan
semua unsur yang ada, seperti hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis,
moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang

baru dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih
didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum pidana yang hanya
bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih
melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu
bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum.
Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang
dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada didalamnya. Cara pandang
legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di
Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum
sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.
Terobosan dalam penegakan hukum dimana terdapat harmonisasi antara
hukum positif dan hukum yang hidup di masyarakat harus diperhatikan pula, agar

7

dalam suatu proses pencarian kebenaran sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Sepertihalnya penggunaan hukum pidana adat Lampung dalam penyelesaian
perkara ringan yang berdasarkan kearifan lokal, dengan memenuhinya rasa
keadilan masyarakat setempat terhadap tindak pidana ringan yang diselesaikan

melalui hukum adat seyogyanya tidak perlu diteruskan kembali melalui proses
sistem peradilan pidana. Penegakan hukum pidana yang demikian akan mebunuh
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta kearifan-kearifan lokal yang ada di
masyarakat adat Lampung.
Pada realitasnya, terdapat kasus-kasus yang dapat dijadikan bahan untuk
pondasi konstruksi realitas penegakan hukum tindak pidana ringan yang ada
khususnya di Lampung, seperti halnya kasus kawin lari pada masyarakat adat
Lampung Pepadun, serta kasus “Cekcok Rumah Tangga”, kasus “Kesalah
Pahaman”, kasus “Pencurian”, kasus “Penganiayaan”, ¸kasus “Laka Lantas”,
kasus “Keributan”, kasus “Penyerobotan Tanah”, kasus” Perbuatan Tidak
Menyenangkan”, kasus “Penggelapan”, kasus “Penganiayaan ringan”, kasus
“Perbuatan Cabul”, kasus “Penipuan”, kasus-kasus tersebut telah diselesaikan
dalam koridor hukum adat dengan media kearifan lokal, meskipun banyak juga
yang penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum adat tetapi melalui peradilan
formal.
Perkara-perkara Tindak Pidana Ringan (TIPIRING)

yang masuk ke

pengadilan juga telah membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun
dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Sebagaimana dinyatakan oleh guru
besar Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie bahwa penumpukan perkara di

8

pengadilan mencapai 3 (tiga) juta kasus. Tanpa ada akselerasi proses kerja
pengadilan angka itu makin menggelembung. Pada level Mahkamah Agung
tercatat sekitar 13 (tiga belas) ribu perkara kasasi yang belum ditangani hingga
akhir tahun 2011. Dalam hal ini penegakan hukum pidana berdasarkan pada
ketentuan dalam Hukum positif (KUHP dan Undang-Undang diluar KUHP).
Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian
konflik secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra
Selatan, Lombok, Papua, Sulawesi Barat, dan masyarakat Sulawesi Selatan.
Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin diadakan
perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan selanjutnya dari
hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian
konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan
pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing
keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.
Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat
Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang berunding
didalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya, akan
berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang
menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada mufakat. Suatu
musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk memimpin musyawarah
dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang diputuskan dalam musyawarah guna
menyelesaikan konflik tersebut secara perlahan-lahan berkembang menjadi
hukum adat.

9

Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui hukum adat
merupakan dimensi baru, dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari
dimensi praktik maka hukum adat akan berkorelasi dengan proses peradilan.
Semakin meningkatnya jumlah volume perkara, menjadi beban bagi pengadilan
dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam praktek sosial pada
masyarakat Indonesia, penyelesaian secara kekeluargaan sudah lama dikenal dan
telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera
Barat dan masyarakat Lampung.
Di antara beragam hukum adat yang tersebar di Indonesia, hukum adat
Lampung adalah salah satu hukum adat yang berlaku di Indonesia dan mengatur
masyarakat adat Lampung selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, bahkan
hingga kini masih berlaku mengikat bagi masyarakat adat Lampung.
Argumentasi hukum terhadap penggunaan hukum adat dalam proses
penegakan hukum selaras dengan ketentuan Pasal 18 B ayat (2) dengan ini
penyelesaian perkara tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat
Lampung sebagai alternatif dalam pencapaian keadilan. Dalam konteks
penegakan hukum pidana saat ini bahwasanya perlu dilakukan rekonstruksi
sistem hukum pidana dalam aspek hukum formal, agar supaya pada tataran
penegakan hukum pidana dalam tindak pidana ringan terdapat ruang untuk
menyesaikan perkara dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung. Dari
uraian latar belakang tersebut di atas, penulis meyakini bahwa dalam proses

10

penegakan hukum pidana, masih terbuka ruang untuk memberikan keadilan
kepada masyarakat. Dengan pendekatan rekonstruksi sistem hukum pidana
berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal
hukum adat Lampung dapat memberikan keadilan khususnya masyarakat di
ruang yuridiksi hukum adat Lampung. Maka penulis merasa dipandang perlu
untuk melakukan suatu kajian mengenai “Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Berkeadilan Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal
Hukum Adat Lampung”
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang relevan yang dapat
dijadikan Fokus studi dalam penelitian ini adalah membangun konstruksi sistem
hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan. Kearifan
lokal sebagai bagian dari aspek sosial budaya, tertuang dalam bentuk perilaku dan
simbol-simbol sosial masyarakat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut
perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih
efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan
lokal hukum adat Lampung.
Berdasarkan fokus studi, yakni bagaimana sistem hukum pidana
berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal dapat
diselesaikan secara lebih efektif, maka dipandang perlu penelitian ini dilakukan
agar diperoleh pemahaman yang lebih seksama dan mendalam baik secara teoritik
maupun secara praktis. Secara substantif ada beberapa permasalahan yang dikaji

11

yakni penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan sistem peradilan
pidana masih mengusik rasa keadilan masyarakat.
Adapun rumusan masalah di dalam disertasi ini yang pertama, mengapa
penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik
rasa keadilan masyarakat ? Kedua, bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan
berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung ? Dan yang ketiga bagaimana
merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak
pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.
Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan
Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode
Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data
utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data
kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk
validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.
Hasil penelitian dan pembahasan, pada masalah yang pertama bahwa
penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan
terbukti menjumpai banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab
adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur,
birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang
didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi
bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan yang rasional.
Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain
adalah keadilan birokratis. Ketua majelis hakim yang berwenang dalam perkara

12

itu tidak melakukan pengecekan/kontrol atas isi BAP setelah persidangan. Dalam
praktik beberapa BAP ditandatangani oleh ketua majelis hakim apabila perkara
tersebut sudah pada tahap pembacaan tuntutan.
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan
tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di
Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu
institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal
secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap
merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk
menanggulangi

kesulitan

yang

dialami

bangsa

Indonesia

disebabkan

menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah
positif menjadi kaidah kultural.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada
masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu
juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan
substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan”
yang lebih daripada yang tidak. Apabila kita terus menerus berpegang kepada
doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran
kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orangorang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum
alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya

13

penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para
pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada
abad ke-sembilan belas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat
besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial
(substantial justice). Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum
modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang
didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial
di Hindia Belanda. Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah
menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup
krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa Indonesia tidak
mengambil tanggungjawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan,
dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan
objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa
Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum,
mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.
Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

yang

merdeka, bebas dari pengaruh

kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Untuk
mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam Pasal 2 bahwa: (1) Peradilan dilakukan“Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; (2) Peradilan negara

14

menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila; (3)
Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah Peradilan
negara yang diatur dengan Undang-Undang; (4) Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bertolak dari asas-asas tersebut maka nilainilai hukum yang harus diwujudkan pada penyelenggaraan peradilan dalam
rangka menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
adalah mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam tulisan ini diartikan sebagai keadilan
hakiki/materiel/substansial yaitu keadilan yang sesungguhnya tanpa ada rekayasa.
Konteks pelayanan hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersifat aktif
bertanya dan memberikan kesempatan yang sama kepada penuntut umum dan
terdakwa untuk bertanya kepada saksi agar dapat menemukan

kebenaran

materiel, ini mengingat hakim bertanggungjawab atas segala apa yang
diputuskannya. Putusan hakim yang berkualitas akan mewujudkan rasa hormat
dan wibawa hukum di hadapan publik. Namun sebaliknya jika kualitas putusan
hakim rendah maka dipastikan akan terbangun citra negatif pada hakim dan
hukum, sehingga hakim dan hukum tidak memiliki kewibawaan moral dan sosial
sekaligus. Tiga puluh lima Putusan hakim pada prinsipnya putusan moral, namun
bisa juga menimbulkan malapetaka jika tidak cermat, keliru atau salah.
Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri (PN Kelas IA Tanjungkarang
sebagian besar menggunakan acara pemeriksaan biasa yang proses dan tata cara
penanganannya yaitu setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) baik dari Kejaksaan

15

Negeri Bandar Lampung maupun Kejaksaan Tinggi Lampung menyerahkan
surat dakwaan (pelimpahan perkara) ke Bagian Pidana PN Kelas IA
Tanjungkarang untuk dilakukan registrasi, maka selanjutnya perkara tersebut
diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri (KPN) melalui panitera untuk
dilakukan pemeriksaan administrasi apakah perkara tersebut menjadi wewenang
PN Kelas IA Tanjungkarang. Jadwal sidang perkara pidana di PN. Tanjungkarang
dilaksanakan mulai pukul 09.00 Wib mulai hari senin sampai kamis setiap
minggunya, namun dalam praktik dilaksanakan di atas pukul 13.00 Wib. Praktik
pembuktian dilakukan dengan cara memeriksa beberapa orang saksi sekaligus
pada waktu yang bersamaan, begitu juga bagi para terdakwa yang perkaranya
saling berkaitan. Selain itu ditemukan adanya pemeriksaan saksi yang berstatus
terdakwa dalam kasus yang sama (saksi mahkota).
Berita acara pemeriksaan (BAP) saksi, pemeriksaan ahli, dan terdakwa yang
dibuat oleh panitera pengganti pada umumnya bukan merujuk pada keterangan
saksi atau terdakwa di persidangan, melainkan menyalin (copy paste) dari BAP
penyidikan, sedangkan terdakwa/penasehat hukum tidak mempunyai akses untuk
meneliti isi BAP tersebut.
Setelah proses pembuktian selesai, tiba saatnya majelis hakim memberikan
putusan. Pada umumnya jarak antara selesainya pembuktian dengan pembacaan
putusan adalah 1 (satu) minggu untuk kesempatan majelis hakim bermusyawarah
untuk menjatuhkan putusan. Namun tidak menutup kemungkinan pada kasuskasus tertentu pembacaan putusannya

tertunda berminggu-minggu dengan

berbagai alasan. Dalam praktik penyusunan surat putusan hanya disusun oleh

16

salah seorang anggota majelis hakim biasanya anggota yang paling yunior
(anggota ke-2) atau walaupun yang menyusun salah seorang hakim anggota tapi
isinya atas arahan ketua majelis (three in one), bahkan ada konsep surat putusan
yang dibuat oleh Panitera Pengganti (PP) dengan cara mencontoh pada surat
putusan perkara sejenis. Pembacaan putusan oleh majelis hakim dilakukan secara
bersamaan terhadap beberapa terdakwa dalam perkara yang berbeda tetapi
peristiwa hukumnya/kasusnya sama (berkas perkara dipisah) sedangkan surat
putusannya belum diketik.
Dari kasus diatas yang telah dipaparkan secara sosiologis dalam praktik
penyelesaian perkara ringan yang penyelesaiannya cepat dan damai, pernah terjadi
untuk kasus sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan,
perkelahian antar tetangga atau anak-anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau
fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non negara biasanya
berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum
terjadi, kepuasan yang tinggi sangat diharapkan.
Pada pembahasan masalah kedua Berkaitan dengan penyelesaian tindak
pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, Koesnoe
mengemukakan pendekatan hukum adat dalam penyelesaian konflik adat
berdasarkan tiga asas, yakni, asas rukun, asas patut, dan asas laras.
Dikaji dari perspektif politik hukum pidana Indonesia (ius constituendum)
melalui ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2015 telah diakui eksistensi
hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimensi ini menyebabkan asas legalitas
formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diberlakukan

17

secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP. Pengakuan terhadap
eksistensi ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP ditegaskan pada Penjelasan
Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu
yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar
hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut
mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan
pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat
tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat
tertentu”.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 54 huruf c RUU KUHP Tahun 2015
ditentukan

pula

tujuan

pemidanaan

yaitu

“menyelesaikan

konflik

dan

mengembalikan keseimbangan” yang berorientasi kepada eksistensi kearifan lokal
yang berakar dari budaya Indonesia, selain konsep pemidanaan Barat. Tujuan
pemidanaan “pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau pemulihan
keadaan” didasarkan pada pemikiran bahwa dalam masyarakat adat, menurut
Mallinc Krodt sebagaimana yang dikemukakan oleh Lublink Weddick bahwa
delik bukan saja dipandang sebagai perbuatan yang merugikan secara materiil
pada diri seseorang semata, melainkan juga mengakibatkan kerugian secara magis

18

berupa gangguan keseimbangan alam sehingga masyarakat juga merasa akan
terkena pengaruhnya (kerugian) atas gangguan ini. Gangguan keseimbangan
menurut Van Vollenhoven merupakan suatu keadaan keseimbangan magis yang
terputus yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban hidup dalam masyarakat.
Oleh karena itu bila terjadi perbuatan pidana di dalam masyarakat, maka
keseimbangan yang terganggu ini harus dikembalikan atau dipulihkan melalui
pengenaan reaksi adat.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebenarnya sistem pidana dan
pemidanaan di wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah
pemidanaan. Hal ini terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari
berbagai daerah telah menyiratkan tujuan dari respon masyarakat terhadap
terjadinya pelanggaran ketertiban hidup. Sejumlah kitab kuno ini antara lain :
1) Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad
ke-10);
2) Kitab Gadjahmada (abad ke-14);
3) Kitab Simbur Cahaya, di Palembang (abad ke-16);
4) Kitab Kuntara Raja Niti, di Lampung (abad ke-16);
5) Kitab Lontara’ ade’, di Sulawesi Selatan (abad ke-19), dan lain-lain

Dari berbagai kitab tersebut telah mengenal asas legalitas dan asas
proporsionalitas yang menjadi pilar dari hukum pidana moderen. Misalnya Pasal
65 Kitab Perundang Majapahit tentang penjatuhan denda, berbunyi : “Ingatlah,
djangan sekali-kali radja yang berkuasa mendjatuhkan denda lebih besar dari pada

19

seketi enam laksa …..” Asas proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93 “…..
kesalahan besar dendanya besar, kesalahan kecil dendanya kecil …..”
Kearifan lokal adalah kekayaan leluhur yang bersifat turun temurun berupa
tata nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta berpengaruh dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam bentuk pola fikir maupun perilaku.
Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan berarti bijak
atau kebijaksanaan dan lokal secara terminologi berarti “setempat” tetapi secara
hakiki maksudnya adalah tumbuh atau muncul dari tempat/komunitas itu sendiri
dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.
Pada masyarakat Lampung dikenal adanya Lembaga perwatin dan
kepunyimbangan yang merupakan irisan dan lapisan penting dalam diagram
struktur sosial masyarakat. Lembaga ini merupakan mekanisme dan bentuk
pemerintahan

lokal

yang

terkait

dengan

proses

kepemimpinan

dalam

penyelenggaraan sistem kemasyarakatan (Social System). Kepunyimbangan
merupakan proses kepemimpinan geneologis patriarki (dari garis keturunan lakilaki tertua) yang berasal dari keluarga batih-inti (Nuwo-Nuwa-Lamban-necluerfamily) sebagai institusi kepemimpinan di level bawah. Kepunyimbangan yang
terbawah ini meningkat lagi ke tingkat atas secara berturut-turut yaitu
kepunyimbangan suku, kepunyimbangan Tiyuh-Anek-pekon (kampong, desa),
dan kepunyimbangan ke-Buay-an. Kepunyimbangan ke-Buay-an merupakan
mekanisme rekrutmen kepemimpinan yang didasarkan atas silsilah asal-usul
keturunan kekerabatan tertua (generasi pertama) yang menempati suatu wilayah
teritorial tertentu (tiyuh). Generasi pertama ini yang melahirkan generasi-generasi

20

selanjutnya dan menyebar dengan cara membuka pembagian wilayah garapan
perladangan-perkebunan dan permukiman (huma, umbul).
Secara garis besar masyarakat Lampung di bagi menjadi dua rumpun
besar, yaitu masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun. Masing-masing
masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun ini terdiri dari beberapa asal-usul kebuayaan sehingga sistem pemerintahan diantara keduanya berbeda pula.
Meminjam terminologi Nisbet dalam membagi tipologi masyarakat, mungkin
dapat dikatakan bahwa masyarakat Saebatin, dalam menentukan status seseorang
lebih cenderung mencerminkan komunitas yang didasarkan atas “Ascribed Status
and Tradition” (status yang diwariskan dalam koridor tradisi”), sementara dalam
masyarakat adat Pepadun memiliki ciri “achieved status and contract” di mana
status seseorang diukur dari prestasi dan ditentukan oleh kontrak sosial dalam
sidang kerapatan Perwatin. Dua tipologi masyarakat adat Lampung yang
disebutkan di atas akan lebih tepat bila merujuk pada pendapat Raja Saebatin dari
Paksi Buay Pernong yaitu Komisaris Besar Edward Syah Pernong yang bergelar
Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengan Paksi Sekala Beghak Yang
Dipertuan Agung ke-23 yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan dalam
masyarakat adat Saebatin bersifat aristiokratis, sedangkan masyarakat adat
Pepadun lebih kental demokratis.
Secara umum, dua rumpun besar masyarakat Lampung sebagaimana yang
telah disebutkan di atas terdiri dari keanggotaan (membership) dari bermacammacam sub rumpun dalam sistem ke-buay-an yang dibedakan atas dasar
pembagian kesukuan-turunan dari kebuayan tersebut. Dalam masyarakat

21

Lampung Saebatin terdiri dari sub rumpun besar yaitu Meninting, Teluk,
Semangka, Belalalu/Krui, Ranau, Komering/Kayu Agung dan Cikoneng/Banten.
Sedangkan Pepadun yang terdiri dari kebuayan-kebuayan yang tergabung dalam
Abung Siwo Mego, kebuayan-kebuayan yang mengelompok dalam sub-rumpun
Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Way Kanan Buay Lima, dan Bunga
Mayang Sungkai. Baik Saebatin maupun dalam masyarakat Pepadun karena
memiliki asal-usul kebuayan yang sangat beragam, sehingga pengaturan
pemerintahan

lokalnya

diatur

dalam

mekanisme

permusyawaratan

para

punyimbang yang diwakili oleh punyimbang ditingkatannya masing-masing
dalam lembaga representatif yang disebut sebagai Perwatin (Proatin). Perwatin
adalah lembaga demokrasi para pemimpin-pemimpin-punyimbang dalam
memutuskan persoalan-persoalan dalam penyelenggaraan sistem dan tatanan
kehidupan masyarakatnya.
Lembaga kepunyimbangan dan perwatin sebagai kekhasan kearifan lokal
sejak lama eksis jauh sebelum masyarakat Lampung mengenal paradigma nationstate dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan jauh sebelum Belanda
menaklukkan Lampung pada akhir abad ke-19. Akar yang menghunjam kokoh
dalam urat nadi kehidupan bersama masyarakat Lampung menjadi landasanpondasi bangunan demokrasi dan politik lokal, yaitu sejak Lampung dikuasai oleh
rezim kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Karakteristik sistem pemerintahan
kekerabatan-kebuayan tidak hilang dari pengaruh dan hegemomi dua kekuatan
besar Negara “adidaya” tersebut. Lembaga kepunyimbangan dan Perwatin
menjadi pola lokal yang berdiri sendiri meskipun para pemimpin Lampung

22

memberi legitimasi dua kekuatan besar tersebut dengan cara memberi sejumlah
upeti dan Seba (Sowan).
Lembaga kepunyimbangan berwenang menciptakan norma sosial dan
norma hukum sebagai pedoman bagi warga masyarakat adat. Norma ini
mengandung suatu keharusan/kewajiban dan larangan (Cepalo). Norma dan
hukum ini diputuskan dan ditetapkan melalui sidang kerapatan perwatin secara
musayawarah yang dihadiri oleh para punyimbang adat.
Hasil tim penelitian Fakultas Hukum UNILA yang diketuai M.Faqih
melaporkan bahwa Prowatin (Perwatin) masih eksis dan berfungsi sebagai
lembaga musyawarah dalam menyelesaikan sengketa hukum di kalangan
masyarakat adat.
Penyimbang menurut pengertian aslinya berasal dari kata simbang yang
artinya giliran atau gantian, dengan arti giliran memimpin. Simbang berarti pula
menirukan dan melanjutkan dari sebelumnya. Simbang juga dimaknai sebagai
keseimbangan antara kewibawaan pemimpin dan keaikhlasan yang dipimpin.
Adanya kearifan antara sang pemimpin dan yang dipimpin. Jadi dalam adat
penyimbang seseorang dapat memimpin sesuai dengan adat yang berlaku, namun
kedudukannya sebagai pemimpin kelak akan diganti dengan yang lain sesuai
dengan musyawarah dan mufakat. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata
sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung,
kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah
marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok

23

orang yang berasal dari satu keluarga besar. Struktur masyarakat Saibatin, adok
atau juluk atau sebutan untuk anak laki-laki dilihat berdasarkan urutan tertua dan
termuda adalah; Pangeran, Raja, Dalom dan Kemas. Selanjutnya untuk menjadi
penyimbang hanya anak lelaki tertua dari garis laki-laki yakni mereka yang
memperoleh panggilan Pangeran yang dapat diangkat menjadi penyimbang adat.
Ketika pangeran menjadi penyimbang adat, ia memperoleh gelar Suttan, Suntan
atau Sultan. Susunan penyimbang terdiri dari (terendah-teratas) penyimbang suku,
penyimbang pekon/kampung, dan penyimbang marga.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah.
Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut
penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam
marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam
posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam
marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi
penyimbang untuk marga lain.
Adapun perwatin atau prowatin adalah lembaga permusyawaratan pada
penyimbang di tingkat suku, tiuh/pekon, dan marga. Anggota perwatin adalah para
penyimbang di setiap tingkatan. Artinya dalam lembaga perwatin tingkat marga,
maka anggotanya terdiri dari penyimbang-penyimbang di level marga. Sedangkan
bila lembaga perwatin di tingkat tiuh anggotanya adalah para penyimbang di
tingkat tiuh tersebut. Dalam lembaga perwatin, keputusan diambil secara
demokratis dimana setiap penyimbang yang menjadi anggota lembaga perwatin

24

(yang ketika berbicara di forum disebut merwatin) mempunyai hak suara dan
mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Jadi kedudukan para
penyimbang dalam perwatin setara satu sama lain dan keputusan yang diambil
dalam forum tersebut mengikat semua anggota perwatin atau para penyimbang
yang ada. Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat
representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan
konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang
dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Berkenaan dengan penyelesaian perkara yang merugikan pihak-pihak atau
salah satu pihak di dalam kearifan lokal hukum adat Lampung dikenal pula
rembuk pekon, yang mana dalam metode penyelesaiannya serupa dengan mediasi,
yang pada intinya mengutamakan musyawarah mufakat. Maka tidak tertutup
kemungkinan bilamana dapat di lakukannya penyelesaian tindak pidana ringan
meggunakan pendekatan kearifan lokal hukum adat Lampung. Dalam prakteknya
dapat di gambarkan melalui kasus perkelahian antara Andreansyah bin Suhut
Gianto dengan Yudi Wastono bin Misdi dimana dalam hal tersebut
penyelesaiannya melalui media rembuk pekon. Dan tidak dibawa keranah hukum
formal. Dengan media kearifan lokal ini proses tindak pidana ringan dapat
terselesaikan dengan keadilan yang dirasakan oleh para pihak.
Dalam praktek penegakan hukum pidana yang merupakan tugas pokok
Polri dalam menjalankannya sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini

Polri telah

melakukan media Rembuk Pekon sebagai solusi dalam pemecahan masalah dalam

25

penyelesaian tindak pidana ringan yang tujuannya sebagai alat untuk mencapai
keadilan untuk para pihak.
Selanjutnya pembahasan tentang rekonstruksi sistem hukum pidana
berkeadilan

dalam

penyelesaian

tindak

pidana

ringan

dalam

usaha

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum
pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik
perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan kebijakan atau politik hukum yang
dianut di Indonesia.
Tidak ada keraguan sedikitpun menempatkan Pancasila sebagai dasar
negara. Dalam posisi seperti itu, Pancasila harus dijadikan sebagai paradigma
(kerangka berfikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum,
termasuk semua upaya ke arah pembaharuannya. Dalam tahapan implementasinya
tidak dapat serta merta menempatkan pancasila, karena saat ini terhalang oleh

26

eksistensi hukum modern, bahkan sama halnya dengan penerapan hukum adat
dalam sistem hukum nasional penuh dengan halangan prosedural.
Salah satu bentuk nyata mengembalikannya sebagai ideologi negara
dalam makna yang sesungguhnya, Pancasila harusnya mampu menjadi dan
ditempatkan sebagai kaidah penuntun dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila
merupakan cita hukum (rechtsidee) karena kedudukannya sebagai pokok kaidah
fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai
grundnorm. Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bintang pemandu seluruh
produk hukum nasional. Karenanya, semua produk hukum ditujukan untuk
mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila.
Pilihan hukum akan menjadi bagian penting dalam merekonseptualisasi
model sistem hukum nasional, dengan metode setidaknya akan dihasilkan sistem
hukum pidana yang terbuka yang kemudian dapat terlihat dengan jelas masalahmasalah dalam penegakan hukum pidana saat ini. Melalui berbagai model yang
telah banyak di kembangkan para ahli hukum Indonesia tentang pembaharuan
hukum pidana Indonesia, dalam hal ini penulis mencoba membuat model yang
terintegral dalam sistem hukum pidana nasional yang khususnya mengenai
penyelesian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung
sebagai media dalam memberikan keadilan.
Pembangunan sistem hukum nasional secara sederhana, dengan perbedaan
mencoba mengakomodir sistem nilai yang hidup di dalam kesatuan nasional.

27

Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multietnik, agama,
ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto
mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai
Merauke. Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya
dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis Khatulistiwa,
dan berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam
coraknya. Dengan diakomodirnya untuk proses penyelesaian tindak pidana maka
bukan tidak mungkin peraturan tersebut akan berdaya guna, karena dengan sangat
dimengerti dan mudah dipahami terhadap nilai aturan tersebut yang diadopsi dari
sumber nilai diluar hukum.
Studi tentang hukum sebagai sistem pengendalian sosial (social control)
dalam kehidupan masyarakat telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi.
Karena itu, dikatakan bahwa para antropolog memberi kontribusi yang sangat
bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang dioperasikan dalam
masyarakat. Hukum dipelajari sebagai bagian integral dari kebudayaan secara
keseluruhan, dan hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang
dipengaruhi oleh aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, religi, dan
lain-lain. Dengan dasar argumentasi tersebut, akan dihasilkan Sistem Hukum
Pidana Nasional Berbasiskan Pancasila.
Tentang sistem hukum pidana berkeadilan dengan berbasis kearifan lokal
hukum adat Lampung penulis mencoba memformulasikan dalam khasanah
memfokuskan kajian sistem dan menyesuaikan sistem tersebut dengan nilai yang
28

di terima dan dianggap ada oleh masyarakat setempat, dan tak jarang hasil dari
penggunaannya menghasilkan keadilan yang melebihi nilai dari hukum positif
Indonesia. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan dengan
menggunakan sistem hukum pidana nasional, maka sudah pasti akan melalui
tahapan-tahapan yang telah di perintahkan untuk diikuti berdasarkan perintah
Peraturan Perundang-undangan. Berbeda halnya dengan pendekatan nilai kearifan
lokal hukum adat Lampung. Norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat
secara metodologis dapat dipahami dari keputusan-keputusan seseorang atau
sekelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi
kepada para pelanggar hukum. Proses penegakkan hukumnya tidak formal dan
selalu dirasakan keadilannya oleh pihak-pihak yang menggunakan sistem hukum
pidana yang berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.
Penyelesian dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal berbasis
Hukum Adat senyatanya sesuai dengan Konstitusi dan sistem Hukum Nasional.
Hukum adat pada hakikatnya mengembalikan keseimbangan atas perilaku
menyimpang di masyarakat, di dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal
berbasis Hukum Adat Lampung senyatanyapun memiliki kemanfaatan yang sama
yaitu mengembalikan keseimbangan dalam tatanan di masyarakat. Pada
pembangunan sistem hukum pidana nasional perlunya mengabsorpsi (menyerap)
Kearifan Lokal dengan basis Hukum Adat (dengan unsur asas hukum pidana,
ketentuan-ketentuan umum) seperti di Lampung melalui Rembuk Pekon (tempat
bermusyawarah), anjaw silau (silaturrahmi), angkonan muarghi (mengangkat
persaudaraan), perdamaian (pemaafan) dan pemberian gelar, ini merupakan ciri

29

khas adat Lampung, unsur-unsur dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal
Hukum Adat Lampung senyatanya memberikan rasa keadilan terhadap penegakan
hukum atas tindak pidana ringan.
Sisi-sisi penegakan hukum pidana saat ini terpaku hanya melalui
pendekatan hukum positif yang tertulis dan diundangkan oleh pemerintah,
melalui penegakan penegakan hukum yang statis dengan hanya merujuk padan
sistem dan metode hukum positif ini menjadi titik tolak dalam membangun
kembali dari hasil rekonstruksi dalam penegakan hukum atas tindak pidana ringan
di Lampung, dengan fokus antara lain ;
Pertama melalui pendekatan substansi hukum bahwa merekonstruksi
bangunan hukum yang sudah ada dengan berbasiskan nilai pada kearifan lokal di
Lampung, penegakan hukum atas tindak pidana ringan di Lampung

yang

senyatanya untuk aparatur tetap mempergunakan hukum yang sifatnya tertulis
semata. Dengan pendekatan rekonstruksi melalui pendekatan substansi hukum
secara konstitusional keberlakuan dalam masyarakat memiliki legitimasi
konstutisonal, dengan dasar tersebut pembangunan paradigma segmentasi dalam
penerapan hukum untuk penggunaan Kearifan Lokal hukum adat Lampung pada
kualifikasi tindak pidana ringan, melalui model tersebut akan memberikan media
alternatif untuk mencari keadilan dalam penegakan hukum atas penyelesaian
tindak pidana ringan di Lampung.
Kedua melalui pendekatan Struktur, dalam bangunan struktur hukum saat
ini dengan mengedepankan model moderenisme kelembagaan di dalam Sistem
Peradilan Pidana menjadi dasar tertundanya dalam mendistribusikan keadilan.

30

Dengan bangunan kelembagaan berdasarkan Undang-Undang sektor kelembagaan
didalam Sistem Peradilan Pidana saat ini menjadikan keadilan pun memiliki
tempat dalam hukum tertulis yang dipositifkan. Atas argumentasi hukum tersebut
dalam pendekatan subsistem struktur memerlukan kebijakan penataan kembali
sebagai legitimasi kewenangan terhadap subsistem struktur agar selaras dengan
bangunan substansi hukum pidana nasional, melalui pemberian jaminan hukum
atas penyelenggara Sistem Peradilan Pidana untuk memberikan alternatif terhadap
penegakan hukum dengan Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung. Dengan fokus
rekonstruksi subsistem substansi dan subsistem struktur dengan model
pembaharuan hukum untuk mendekatkan keadilan dapat memberikan modelmodel dalam penegakan hukum sepertihalnya, doubel track system (model dua
jalur) dan pengalihan (diversi)

hukum (kebijakan mengesampingkan hukum

tertulis), dapat digunakan dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Lampung
dengan tetap memperhatikan Kearifan lokal Hukum Adat Lampung. Dengan
demikian akan menjadi model pembaharuan hukum pidana nasional dalam
penegakan hukum dengan harmonisasi antara Kearifan Lokal berbasiskan hukum
adat dengan hukum tertulis yang dipositifkan oleh pemerintah.
Rekomendasi

yang

pertama

perlu

dikembangkan

model

dalam

penyelesaian tindak pidana ringan khususnya menggunakan media kearifan lokal
dengan media hukum adat. Yang kedua perlu dikembangkan dan diformulasikan
kebijakan hukum pidana untuk mencoba mengkontruksikan kembali sistem
penyelesaian dengan berbasis hukum adat yang berkeadilan dengan pendekatan
kearifan lokal. Dan yang ketiga perlu di kembangkan bentuk dan di tetapkan

31

kebijakan hukum pidana yang diarahkan kepembaharuan hukum pidana guna
mencapai keadilan yang substansial tanpa mengesampingkan aspek keadilan
formal.

32

SUMMARY
This dissertation research was based on legal subject perpective about law
itself, recent paradigm related to legal interpretation just interpret Act merely.
Whereas, within Indonesia criminal law development which wasn't too systematic
was felt needed rearrange and adjustment, for example, criminal law maintenance
about light crime such as within law judicial procedure regulated within definition
of Article 205 of Criminal Procedure Act (KUHAP).
When talking about the law in Indonesia, the author thought directly to
Acts, Regulation, Legislation or other written rules. When in fact, the law has so
many aspects and is made up of many components or other elements. Aspects or
elements which are considered the most important subject of legal philosophy
embraced by the legal system concerned. Enforcement of criminal law against
misdemeanor in criminal procedural law as stipulated in article 205 the Code of
Criminal Procedure In essence, a misdemeanor punishable by a maximum of three
months in