T POR 1101230 Chapter (4)

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Untuk mengetahui apakah model pembelajarandan jenis kelamin memberikan pengaruh terhadap keterampilan sosial serta untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan siswa adalah dengan menggunakan analisis ANCOVA. Untuk mendapatkan empat kelompok data yang akan diolah, maka hasil dari pretest dijumlahkan dengan hasil posttest untuk keempat kelompok data sehingga didapat empat kelompok data. Data yang dipaparkan dalam pemaparan data berupa rata-rata, standar deviasi dan perolehan prosentasi keterampilan sosial siswa. Sedangkan pada bagian pengujian hipotesis berisi uji prasyarat statistik dan uji hipotesis terhadap hipotesis penelitian yang telah dirumuskan.

1. Pemaparan Data

Perolehan rata-rata dan standar deviasi keterampilan sosial siswa pada setiap kelompok koperatif dan kelompok konvensional disajikan pada tabel berikut :

Tabel 4.1. Kelompok Data Penelitian

Between-Subjects Factors

Value Label N

gender laki-laki 1 26

perempuan 2 30

model konvensional 2 28

koperatif 1 28

Untuk kelompok laki-laki jumlah N Koperatif = 11 orang dan N Konvensional = 15 orang, sehingga jumlah untuk siswa laki-laki adalah 26 orang. Untuk kelompok siswa perempuan, N Koperatif = 17 orang dan N Konvensional = 13 orang, sehingga jumlah untuk siswa perempuan adalah 30 orang.


(2)

Tabel 4.2. Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi Kelompok Data

Descriptive Statistics

Dependent Variable:posttest

gender model Mean Std. Deviation N

d i me n s io n 1 1 di m en s io n 2

2 37,2667 7,76868 15

1 41,9091 6,05730 11

Total 39,2308 7,34470 26

2 d i me n s io n 2

2 35,3846 8,44135 13

1 42,2941 5,72019 17

Total 39,3000 7,72435 30

Total di m e n si o n2

2 36,3929 7,99231 28

1 42,1429 5,74594 28

Total 39,2679 7,48208 56

Untuk lebih memudahkan dalam menginterpretasikan data tabel di atas dapat disederhanakan dengan membaca tabel 4.3. di bawah ini :

Tabel 4.3. Nilai Rata-Rata Kelompok Data Berdasarkan Pada Desain Faktorial 2x2

GENDER

L P

MODEL

KOPERATIF 41,9 42,29

KONVENSIONAL 37,26 35,38

Berdasarkan pada tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata pada kelas eksperimen kelompok laki-laki adalah 41,90, sedangkan untuk kelompok perempuan adalah 42,29. Untuk kelas konvensional rata-rata untuk kelompok laki-laki adalah 37,26 sedangkan untuk kelompok perempuan adalah 35,38. Sehingga dapat kita ambil kesimpulan bahwa rata-rata pada kelas eksperimen lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kelas konvensional. Berdasarkan pada nilai rata-rata setiap kelompok, dapat diketahui bahwa model pembelajaran koperatif berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan sosial siswa, baik untuk kelompok siswa laki-laki ataupun perempuan. Namun model pembelajaran


(3)

koperatif cenderung memberikan hasil yang lebih baik pada kelompok siswa perempuan. Untuk model pembelajaran konvensional didapatkan hasil bahwa model pembelajaran konvensional berpengaruh akan tetapi tidak signifikan terhadap keterampilan sosial siswa. Namun model pembelajaran konvensional cenderung memberikan hasil yang lebih baik pada kelompok siswa laki-laki.

2. Uji Asumsi Statistik

Uji asumsi statistik yang dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian yakni uji normalitas dan uji homogenitas data. Uji normalitas dilakukan pada data pretest dan posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak, sehingga penggunaan analisis statistik dapat ditentukan. Apakah menggunakan statistik parametrik (data normal) atau non parametrik (tidak normal). Selanjutnya uji homogenitas dilakukan terhadap data pretest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah kedua kelompok tersebut berasal dari variansi yang sama atau tidak. Apabila kedua kelompok berasal dari variansi yang berbeda, maka kedua kelompok tersebut tidak bisa dibandingkan.

a. Uji Normalitas

Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov pada tingkat kepercayaan 95%. Pedoman untuk pengambilan keputusan adalah :

 Bila Sig. atau nilai probabilitas p > 0,05 (data berdistribusi normal), tetapi

 Bila Sig. atau nilai probabilitas p < 0,05 (data berdistribusi tidak normal) Dalam penelitian ini, pengujian normalitas dan homogenitas delapan kelompok data dibagi menjadi dua kelompok yakni untuk pretest dan posttest.


(4)

Tabel 4.4. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Pretest Tests of Normality

kode Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statis

tic df Sig. Statistic df Sig.

skor x l pre ,154 11 ,200* ,975 11 ,930

x p pre ,144 17 ,200* ,967 17 ,773

y l pre ,189 15 ,154 ,911 15 ,139

y p pre ,174 13 ,200* ,897 13 ,121

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance. Keterangan : x l = kelompok eksperimen laki-laki x p = kelompok eksperimen perempuan y l = kelompok konvensional laki-laki y p = kelompok konvensional perempuan

Dari hasil uji normalitas pada tabel menunjukkan bahwa nilai sig. dalam kolom Kolmogorov-Smirnov untuk pretest semua kelompok > 0,05.

 Untuk kelompok pretest eksperimen laki-laki nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.

 Untuk kelompok pretest eksperimen perempuan nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.

 Untuk kelompok pretest konvensional laki-laki nilai sig. (0,154) > 0,05, jadi data berditribusi normal.

 Untuk kelompok pretest konvensional laki-laki nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.


(5)

Gambar 4.2. Plot Kelompok Pretest Eksperimen Perempuan

Gambar 4.3. Plot Kelompok Pretest Konvensional Laki-Laki


(6)

Berikut pengujian normalitas data untuk posttest untuk keempat kelompok data :

Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Posttest Tests of Normality

kode Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

skor x l post ,163 11 ,200* ,943 11 ,560

x p post ,126 17 ,200* ,952 17 ,495

y l post ,165 15 ,200* ,888 15 ,062

y p post ,169 12 ,200* ,913 12 ,230

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance. Keterangan : x l = kelompok eksperimen laki-laki X p = kelompok eksperimen perempuan Y l = kelompok konvensional laki-laki Y p = kelompok konvensional perempuan

Dari hasil uji normalitas pada tabel menunjukkan bahwa nilai sig. dalam kolom Kolmogorov-Smirnov untuk pretest semua kelompok > 0,05. Untuk lebih jelasnya yakni :

 Untuk kelompok posttest eksperimen laki-laki nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.

 Untuk kelompok posttest eksperimen perempuan nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.

 Untuk kelompok posttest konvensional laki-laki nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.

 Untuk kelompok posttest konvensional laki-laki nilai sig. (0,200) > 0,05, jadi data berditribusi normal.


(7)

Gambar 4.5. Plot Kelompok Posttest Eksperimen Laki-Laki

Gambar 4.6. Plot Kelompok Posttest Eksperimen Perempuan


(8)

Gambar 4.8. Plot Kelompok Posttest Konvensional Perempuan

b. Uji Homogenitas

Pengujian kesamaan ragam (Homogenity of variances) dengan menggunakan Lavene Tes. Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

 Bila sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas > 0,05, data yang berasal dari populasi memiliki varians sama (homogen)

 Bila sig. atau signifikansi atau nilai probabilitas < 0,05, data yang berasal dari populasi memiliki varians tidak sama ( tidak homogen)

Tabel 4.6. Hasil Uji Homogenitas Data Pretest Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

skor Based on Mean ,221 3 52 ,882

Based on Median ,207 3 52 ,891

Based on Median and with adjusted df

,207 3 49,698 ,891


(9)

Tabel. 4.7. Hasil Uji Homogenitas Data Posttest Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

skor Based on Mean 1,158 3 51 ,335

Based on Median ,657 3 51 ,582

Based on Median and with adjusted df

,657 3 38,523 ,584

Based on trimmed mean 1,044 3 51 ,381

Interpretasi dilakukan dengan memilih salah satu statistik, yaitu statistik yang didasarkan pada rata-rata (Based on Mean). Berdasarkan pada tabel 4.5 dan 4.6 didapat nilai sig. Based on Mean untuk pretest sebesar 0,882. Dan nilai sig.

Based on Mean untuk posttest adalah 0,335. Bila nilai-nilai tersebut dibandingkan

dengan  0,05, maka 0,882 > 0,05. Dan 0,335 > 0,05. Oleh karena itu data pretest dan posttest memiliki varians yang sama atau homogen. Dari hasil uji asumsi statistik yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa data berdistribusi normal dan homogen, sehingga pengujian dilakukan dengan analisis statistik parametrik.

3. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis ANCOVA Faktorial. Dalam pengujian dengan ANCOVA Faktorial, skor pretest dijadikan sebagai covariate karena pretest merupakan variabel berskala kuantitatif, sedangkan skor posttest dijadikan sebagai dependent variabel. Nilai ini menunjukkan berapa besar pengaruh covariate terhadap variabel dependen. Signifikan < 0,05 berarti pengaruh signifikan. Model pembelajaran dan gender merupakan variabel berskala kualitatif, maka ia menjadi peubah bebas atau disebut juga fixed factor. Nilai ini menunjukkan berapa besar pengaruh peubah bebas terhadap variabel dependen. Signifikan < 0,05 berarti pengaruh signifikan. Berikut adalah hasil uji data penelitian :


(10)

Tabel 4.8. Hasil Uji ANCOVA Faktorial Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:posttest

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1845,816a 4 461,454 19,084 ,000

Intercept 82,532 1 82,532 3,413 ,070

pretest 1357,283 1 1357,283 56,133 ,000

gender 78,141 1 78,141 3,232 ,078

model 195,428 1 195,428 8,082 ,006

gender * model 35,549 1 35,549 1,470 ,231

Error 1233,166 51 24,180

Total 89429,000 56

Corrected Total 3078,982 55

a. R Squared = ,599 (Adjusted R Squared = ,568)

Tabel 4.9. Uji Homogenitas

Dari tabel 4.8 di atas dapat kita ketahui beberapa hasil, antara lain:

 Nilai Sig. pretest sebesar 0,000. < 0,05. Artinya, pretest berpengaruh signifikan terhadap posttest.

 Gender : Diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05.

 Model : Diketahui nilai Sig. model 0,006 < 0,05.

 Gender*model : Diketahui bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05.

Dengan demikian sesuai dengan rumusan masalah penelitian, didapatkan hasil antara lain :

1. Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa?

Hipotesis :

H0 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable:posttest

F df1 df2 Sig.

1,699 3 52 ,179

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept + pretest + gender + model + gender * model


(11)

H1 : Terdapat pengaruh signifikan antara model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa

Dengan kriteria apabila sig. < 0,05, maka H0 ditolak, dan apabila sig. >0,05 maka H0 diterima.

Berdasarkan pada tabel 4.8., Diketahui nilai Sig. model 0,006 < 0,05. maka H0 ditolak sehingga H1 diterima, artinya model pembelajaran berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.

2. Apakah terdapat pengaruh gender terhadap keterampilan sosial siswa?

Hipotesis :

H0 : Tidak terdapat pengaruh signifikan antara gender terhadap keterampilan sosial siswa

H1 : Terdapat pengaruh signifikan antara gender terhadap keterampilan sosial siswa

Dengan kriteria apabila sig. < 0,05, maka H0 ditolak, dan apabila sig. > 0,05 maka H0 diterima.

Dari tabel 4.8., diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05. maka H0 diterima. Artinya, gender (jenis kelamin) tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial ?

Hipotesis :

H0 : Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender terhadap keterampilan sosial siswa

H1 : Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender terhadap keterampilan sosial siswa

Dengan kriteria apabila sig. < 0,05, maka H0 ditolak, dan apabila sig. > 0,05 maka H0 diterima.

Dari tabel 4.8. diketahui bahwa nilai bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05. maka H0 diterima. Artinya, tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gender (jenis kelamin) terhadap keterampilan sosial. Hal ini berarti peningkatan keterampilan sosial dalam kelompok eksperimen hanya dipengaruhi oleh model


(12)

pembelajaran pada pendidikan jasmani, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin siswa.

Gambar 4. 9. Plot Interaksi Model Pembelajaran dan Jenis Kelamin Keterangan : Model 1 = Model Koperatif

Model 2 = model Konvensional Gender 1 = Laki-Laki

Gender 2 = Perempuan

B. Pembahasan Hasil

1. Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial ?

Berdasarkan pada hasil uji analisis yang dilakukan diketahui nilai Sig. model 0,006 < 0,05., maka H0 ditolak sehingga H1 diterima, artinya model pembelajaran berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan merupakan salah satu media untuk membentuk siswa menjadi individu yang siap untuk hidup bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan formal membentuk siswa tidak hanya cerdas secara akal tetapi cerdas secara emosi dan hati dan berkembang secara menyeluruh (Suherman, 2009, hlm. 3). Dalam upaya


(13)

membentuk pribadi berkarakter tersebut, lingkungan pendidikan formal atau sekolah dikondisikan seperti tatanan kehidupan dalam masyarakat dimana saling menghormati dan saling menghargai menjadi nilai yang harus terus tercermin dan dikembangkan sehingga siswa akan bisa berkembang tidak hanya menjadi individu yang berkarakter akan tetapi menjadi anggota dari masyarakat yang mampu memberikan peranan dan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya. Pendidikan yang ada di sekolah pada dasarnya berfungsi sebagai alat tranformasi nilai.

Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah dijelaskan tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting dalam perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan menghasilkan individu-individu yang berkualitas, yang bertanggungjawab, menghormati, menghargai dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai dan menghormati sesama.

Pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan menyeluruh memiliki potensi untuk bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam perkembangan anak. Bailey (2006, hlm. 397) mengungkapkan bahwa hasil dari pendidikan jasmani dapat dipahami dalam 5 domain perkembangan anak yakni : (1) fisik, (2) gaya hidup, (3) afektif, (4) sosial, (5) kognitif. Pendidikan jasmani merupakan waktu pembelajaran yang menyenangkan setelah para siswa berkutat dengan pelajaran teori di dalam kelas.

Dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak model pembelajaran yang biasa digunakan salah satunya adalah model cooperative learning. Cooperative

learning merupakan model pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai pusat

pembelajaran, yang mendorong siswa untuk tidak hanya fokus terhadap dirinya sendiri tetapi juga membantu temannya dalam proses pembelajaran (Dyson (2005) dalam Casey dkk, 2009, hlm. 409). Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang terstruktur heterogen berdasarkan pada tingkat keterampilan, ras, sosial ekonomi dan jenis kelamin. Dalam model pembelajaran ini siswa harus bekerja sama dalam


(14)

kelompok untuk bisa melaksanakan tugas dan mencapai tujuan bersama (Wang, 2012, hlm. 109). Dengan demikian akan terjalin komunikasi interpersonal termasuk ke dalamnya adalah kemauan untuk mendengarkan orang lain, bertanggung jawab terhadap tugas, belajar untuk memberi dan menerima umpan balik, dan kemampuan untuk saling menolong satu sama lain antara anggota kelompok (Polvi & Telama, 2000, hlm. 106). Siswa diberi kesempatan untuk bisa mengatasi permasalahan yang dihadapinya dengan cara dialog dan diskusi kelompok.

TGT merupakan salah satu model cooperative learning yang telah dikembangkan oleh Slavin. Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012). Aktivitas belajar yang di dalamnya berisikan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan. Di samping menyenangkan, hal itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. TGT merupakan model cooperative learning yang menekankan pada pembelajaran dalam kelompok-kelompok. Oleh karena dalam TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan dalam pembelajaran, sehingga sebagian besar guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya (Slavin, 2005, hlm. 14).

Dalam cooperative learning tipe TGT, kompetisi terjadi tidak hanya anggota dalam satu kelompok akan tetapi terjadi secara eksternal antar tim. (Slavin, 2005, hlm. 166; Suherman, 2009, hlm. 29). Dalam TGT, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan untuk bisa sukses. Setiap komponen dalam pembelajaran tipe TGT saling terkait dan bersinergi dalam proses pembentukan interaksi di antara siswa. Slavin (2005, hlm. 166) menjelaskan komponen-komponen TGT, antara lain : presentasi di kelas, tim, game, turnamen dan rekognisi tim.


(15)

Presentasi di kelas. Menurut Slavin, presentasi di kelas akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyadari bahwa mereka harus memperhatikan materi yang akan dipelajari dalam pertemuan itu karena dengan demikian mereka akan sangat membantu mereka dalam proses pembelajaran selanjutnya.

Tim. Pembelajaran dalam TGT terjadi dalam kelompok yang terdiri dari latar belakang yang berbeda (heterogen). Mereka harus belajara dalam kelompok. Siswa harus bisa membangun kondisi lingkungan belajar yang kondusif guna mencapai tujuan pembelajaran.

Game. Model TGT memberikan kesempatan kepada anak untuk bisa mengembangkan beberapa keterampilan dan sifat positif melalui permainan (game). Sifat menyenangkan dari permainan menjadi kelebihan karena anak merasa senang dan ketika mereka sudah merasa senang, maka mereka akan terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Melalui permainan pula, anak akan belajar bagaimana berusaha maksimal untuk menang, menerima kekalahan, sportif, bertanggung jawab dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri mereka.

Turnamen. Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Kompetisi yang seimbang akan memungkinkan para siswa untuk berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik. Siswa akan termotivasi untuk berusaha semaksimal mungkin, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk timnya. Mereka akan belajar bersama dan bekerja sama untuk kemenangan timnya sehingga komunikasi, saling menghormati dan menghargai akan terjalin secara intens.

Rekognisi tim. Komponen terakhir dari TGT adalah rekognisi tim. Tahapan ini merupakan pemberian penghargaan terhadap kelompok pemenang. Rekognisi tim merupakan bukti dari hasil kerjasama tim.

Model cooperative learning TGT memberikan kesempatan yang sama kepada anak untuk bisa berpartisipasi dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Memberikan mereka kesempatan untuk berkomunikasi dengan anggota kelompoknya agar menjadi kelompok yang menang dalam kompetisi. Dengan adanya interaksi dan komunikasi yang intens dengan anggota kelompoknya, maka keterampilan sosial siswa meningkat. Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan


(16)

tersebut dapat disimpulkan bahwa model cooperative learning tipe TGT memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan interpesonalnya dengan cara interaksi dengan teman dalam kelompok belajarnya. Selain itu, model TGT memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari solusi untuk menghadapi setiap masalah yang dihadapinya. Siswa menyadari akan peranan dan kontribusinya terhadap kemajuan kelompok sehingga mereka akan bekerja sama, saling menghormati dan menghargai peranan dan keberadaan orang lain. Dengan demikian, model TGT memberikan pengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

2. Apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa ?

Dari tabel 4.8., diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05. maka H0 diterima. Artinya, gender (jenis kelamin) tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa.

Keterampilan sosial sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Namun dalam tahapan perkembangannya, keterampilan sosial dipelajari oleh anak dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. Artinya, perkembangan keterampilan sosial anak tidak hanya terbentuk di lingkungan sekolah saja, tetapi di semua lingkungan tempat dia hidup sebagai media dan sarana pembelajaran. Dalam perkembangannya, keterampilan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah (Muzaiyin, 2013) :

a. Kondisi anak

Beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak antara lain adalah temperamen anak, regulasi emosi dan kemampuan sosial kognitif. Anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsif terhadap lingkungan sosial. Selain itu anak dengan temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya. Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan


(17)

teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.

Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.

Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan.

b. Usia

Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan untuk mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang lain. Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.

c. Interaksi anak dengan lingkungan

Lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial anak mulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara umum, pola interaksi anak dengan orang tua, kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.


(18)

d. Jenis kelamin

Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek tertentu juga berbeda.

e. Keadaan sosial ekonomi

Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan yang baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.

f. Pendidikan orang tua

Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan dan pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak dan memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.

g. Jumlah saudara

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.

h. Pekerjaan orang tua

Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

Pada penelitian ini diketahui hasil bahwa model pembelajaran memberikan pengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial sedangkan jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa. Hal ini terjadi mungkin karena siswa memang lebih tertarik pada model pembelajaran dalam pendidikan jasmani baik itu untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal ini terjadi karena model pembelajaran yang diberikan pada kelas eksperimen yakni model TGT merupakan model pembelajaran yang jarang mereka dapatkan dalam pembelajaran penjas sebelumnya. Sehingga, baik siswa laki-laki dan


(19)

perempuan menunjukkan ketertarikannya dalam pembelajaran penjas dengan partisipasi aktif mereka.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterampilan sosial dalam perkembangan anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Siswa di SMP Percontohan Labschool UPI berasal dari latar belakang yang berbeda, seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tuanya serta keadaan sosial ekonomi keluarga. Frekuensi mata pelajaran penjas yang hanya diberikan selama satu kali dalam satu minggu memberikan indikasi bahwa anak lebih banyak berinteraksi di luar dari pelajaran penjas bahkan di luar lingkungan sekolah. Interaksi anak di luar lingkungan sekolah tidak bisa terkontrol. Dalam penelitian ini, hanya faktor jenis kelamin yang dijadikan variabel penelitian sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial lainnya tidak menjadi variabel dalam penelitian ini. Oleh karena itu, untuk penelitian lebih lanjut perlu menjadikan faktor lainnya seperti faktor status ekonomi keluarga, pendidikan dan pekerjaan orang tua dan jumlah saudara menjadi variabel penelitian sehingga faktor-faktor tersebut bisa lebih terkontrol.

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial ?

Dari tabel 4.8. diketahui bahwa nilai bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05. maka H0 diterima. Artinya, tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan

gender (jenis kelamin) terhadap keterampilan sosial. Hal ini berarti peningkatan

keterampilan sosial dalam kelompok eksperimen hanya dipengaruhi oleh model pembelajaran pada pendidikan jasmani, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin siswa.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan dan dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa model pembelajaran memberikan pengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial sedangkan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial. Hal ini terjadi mungkin karena siswa memang lebih tertarik pada model pembelajaran dalam pendidikan jasmani baik itu untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal ini terjadi karena model pembelajaran yang diberikan pada kelas eksperimen yakni model TGT merupakan model


(20)

pembelajaran yang jarang mereka dapatkan dalam pembelajaran penjas sebelumnya. Sehingga, baik siswa laki-laki dan perempuan menunjukkan ketertarikannya dalam pembelajaran penjas dengan partisipasi aktif mereka. Proses pembelajaran dalam model TGT lebih menarik untuk siswa karena melibatkan permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012). Proses pembelajaran merupakan salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa (Sudrajat, 2010, hlm. 163; Rohmah, 2010, hlm. 120).

Dari gambar 4. 9. Plot Interaksi Model Pembelajaran dan Jenis Kelamin, diketahui bahwa tidak terdapat pertemuan garis antara model pembelajaran dan jenis kelamin, sehingga diketahui bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa. Hal ini bisa dikarenakan pada hasil penelitian yang kedua yakni tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterampilan sosial sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Namun dalam tahapan perkembangannya, keterampilan sosial dipelajari oleh anak dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. Artinya, perkembangan keterampilan sosial anak tidak hanya terbentuk di lingkungan sekolah saja, tetapi di semua lingkungan tempat dia hidup sebagai media dan sarana pembelajaran. Dalam perkembangannya, keterampilan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah (Muzaiyin, 2013) : 1). kondisi anak, 2). Usia, 3). Interaksi anak dengan lingkungan, 4). Jenis Kelamin, 5). Keadaan sosial ekonomi, 6). Pendidikan orang tua, 7). Jumlah saudara, dan 8). Pekerjaan orang tua.

Namun jika kita tarik garis putus-putus dari kedua garis, baik untuk garis model pembelajaran dan garis jenis kelamin maka terdapat pertemuan antara kedua garis tersebut. Hal ini mengindikasikan kecenderungan adanya interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial.

Jika waktu penelitian dilakukan lebih lama, jumlah sampel penelitian yang digunakan ditambah, kecenderungan adanya interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial bisa saja terjadi. Oleh karena itu,


(21)

untuk penelitian lebih lanjut, jumlah pertemuan dan jumlah sampel penelitian ditambah sehingga hasil penelitian menjadi semakin kuat dan tidak bias.


(1)

tersebut dapat disimpulkan bahwa model cooperative learning tipe TGT memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan interpesonalnya dengan cara interaksi dengan teman dalam kelompok belajarnya. Selain itu, model TGT memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari solusi untuk menghadapi setiap masalah yang dihadapinya. Siswa menyadari akan peranan dan kontribusinya terhadap kemajuan kelompok sehingga mereka akan bekerja sama, saling menghormati dan menghargai peranan dan keberadaan orang lain. Dengan demikian, model TGT memberikan pengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

2. Apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa ?

Dari tabel 4.8., diketahui bahwa nilai Sig. gender adalah 0,078 > 0,05. maka H0 diterima. Artinya, gender (jenis kelamin) tidak berpengaruh signifikan

terhadap keterampilan sosial siswa.

Keterampilan sosial sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Namun dalam tahapan perkembangannya, keterampilan sosial dipelajari oleh anak dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. Artinya, perkembangan keterampilan sosial anak tidak hanya terbentuk di lingkungan sekolah saja, tetapi di semua lingkungan tempat dia hidup sebagai media dan sarana pembelajaran. Dalam perkembangannya, keterampilan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah (Muzaiyin, 2013) :

a. Kondisi anak

Beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak antara lain adalah temperamen anak, regulasi emosi dan kemampuan sosial kognitif. Anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsif terhadap lingkungan sosial. Selain itu anak dengan temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya. Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan


(2)

teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.

Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.

Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan.

b. Usia

Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan untuk mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang lain. Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.

c. Interaksi anak dengan lingkungan

Lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial anak mulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara umum, pola interaksi anak dengan orang tua, kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.


(3)

d. Jenis kelamin

Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek tertentu juga berbeda.

e. Keadaan sosial ekonomi

Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan yang baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.

f. Pendidikan orang tua

Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan dan pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak dan memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.

g. Jumlah saudara

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.

h. Pekerjaan orang tua

Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

Pada penelitian ini diketahui hasil bahwa model pembelajaran memberikan pengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial sedangkan jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial siswa. Hal ini terjadi mungkin karena siswa memang lebih tertarik pada model pembelajaran dalam pendidikan jasmani baik itu untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal ini terjadi karena model pembelajaran yang diberikan pada kelas eksperimen yakni model TGT merupakan model pembelajaran yang jarang mereka dapatkan dalam pembelajaran penjas sebelumnya. Sehingga, baik siswa laki-laki dan


(4)

perempuan menunjukkan ketertarikannya dalam pembelajaran penjas dengan partisipasi aktif mereka.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterampilan sosial dalam perkembangan anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Siswa di SMP Percontohan Labschool UPI berasal dari latar belakang yang berbeda, seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tuanya serta keadaan sosial ekonomi keluarga. Frekuensi mata pelajaran penjas yang hanya diberikan selama satu kali dalam satu minggu memberikan indikasi bahwa anak lebih banyak berinteraksi di luar dari pelajaran penjas bahkan di luar lingkungan sekolah. Interaksi anak di luar lingkungan sekolah tidak bisa terkontrol. Dalam penelitian ini, hanya faktor jenis kelamin yang dijadikan variabel penelitian sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial lainnya tidak menjadi variabel dalam penelitian ini. Oleh karena itu, untuk penelitian lebih lanjut perlu menjadikan faktor lainnya seperti faktor status ekonomi keluarga, pendidikan dan pekerjaan orang tua dan jumlah saudara menjadi variabel penelitian sehingga faktor-faktor tersebut bisa lebih terkontrol.

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial ?

Dari tabel 4.8. diketahui bahwa nilai bahwa nilai sig. 0,231 > 0,05. maka H0 diterima. Artinya, tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan

gender (jenis kelamin) terhadap keterampilan sosial. Hal ini berarti peningkatan

keterampilan sosial dalam kelompok eksperimen hanya dipengaruhi oleh model pembelajaran pada pendidikan jasmani, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin siswa.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan dan dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa model pembelajaran memberikan pengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial sedangkan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan sosial. Hal ini terjadi mungkin karena siswa memang lebih tertarik pada model pembelajaran dalam pendidikan jasmani baik itu untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal ini terjadi karena model pembelajaran yang diberikan pada kelas eksperimen yakni model TGT merupakan model


(5)

pembelajaran yang jarang mereka dapatkan dalam pembelajaran penjas sebelumnya. Sehingga, baik siswa laki-laki dan perempuan menunjukkan ketertarikannya dalam pembelajaran penjas dengan partisipasi aktif mereka. Proses pembelajaran dalam model TGT lebih menarik untuk siswa karena melibatkan permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012). Proses pembelajaran merupakan salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa (Sudrajat, 2010, hlm. 163; Rohmah, 2010, hlm. 120).

Dari gambar 4. 9. Plot Interaksi Model Pembelajaran dan Jenis Kelamin, diketahui bahwa tidak terdapat pertemuan garis antara model pembelajaran dan jenis kelamin, sehingga diketahui bahwa tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa. Hal ini bisa dikarenakan pada hasil penelitian yang kedua yakni tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keterampilan sosial sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Namun dalam tahapan perkembangannya, keterampilan sosial dipelajari oleh anak dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. Artinya, perkembangan keterampilan sosial anak tidak hanya terbentuk di lingkungan sekolah saja, tetapi di semua lingkungan tempat dia hidup sebagai media dan sarana pembelajaran. Dalam perkembangannya, keterampilan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah (Muzaiyin, 2013) : 1). kondisi anak, 2). Usia, 3). Interaksi anak dengan lingkungan, 4). Jenis Kelamin, 5). Keadaan sosial ekonomi, 6). Pendidikan orang tua, 7). Jumlah saudara, dan 8). Pekerjaan orang tua.

Namun jika kita tarik garis putus-putus dari kedua garis, baik untuk garis model pembelajaran dan garis jenis kelamin maka terdapat pertemuan antara kedua garis tersebut. Hal ini mengindikasikan kecenderungan adanya interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial.

Jika waktu penelitian dilakukan lebih lama, jumlah sampel penelitian yang digunakan ditambah, kecenderungan adanya interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial bisa saja terjadi. Oleh karena itu,


(6)

untuk penelitian lebih lanjut, jumlah pertemuan dan jumlah sampel penelitian ditambah sehingga hasil penelitian menjadi semakin kuat dan tidak bias.