ASPEK CHIRALITY DI DALAM FARMAKOLOGI SUATU TANTANGAN FARMAKOTERAPI DI MASA DEPAN

  ASPEK CHIRALITY DI DALAM FARMAKOLOGI SUATU TANTANGAN FARMAKOTERAPI DI MASA DEPAN UNIVERSITAS AIRLANGGA PERGURUAN TINGGI NEGERI – BADAN HUKUM

  Pidato Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Farmakologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya pada Hari Sabtu, Tanggal 22 September 2012

  Oleh

ACHMAD BASORI

  Buku ini khusus dicetak dan diperbanyak untuk acara Pengukuhan Guru Besar di Universitas Airlangga Tanggal 22 September 2012

  Dicetak: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP) Isi di luar tanggung jawab Pencetak

  

Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,

baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Quran Surah Yaasin 36: 36)

  Dan segala sesuatu yang kami ciptakan berpasang-pasang (Quran Surah Adz-Dzaariyaat: 49) ”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Quran Surah Az-Zumar: 9)

  ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang yang berilmu” (Quran Surah Al-Faathir: 28) Kupersembahkan untuk:

  Almarhum Orang Tuaku Istri dan Anak-anakku Cucu-cucuku Almamater Universitas Airlangga

  Bangsa dan Negara Republik Indonbesia

  Bismillahirrahmannirahim Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua Yang terhormat,

  Ketua, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga, Ketua, Sekretaris, dan Para Ketua Komisi berserta Anggota Senat

  Akademik Universitas Airlangga, Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Airlangga, Para Guru Besar Universitas Airlangga dan Guru Besar Tamu, Para Direktur di Lingkungan Universitas Airlangga, Dekan Fakultas Kedokteran dan Para Dekan di Lingkungan

  Universitas Airlangga, Para Ketua Lembaga di Lingkungan Universitas Airlangga, Para Teman Sejawat dan segenap Civitas Academica Universitas

  Airlangga, Seluruh Staf Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran

  Universitas Airlangga, Dan Para Undangan sekalian.

  Undangan dan Hadirin yang saya hormati,

  Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rakhmat, taufik, hidayah, dan karuniah-Nya kepada kita semua. Serta shalawat dan salam semoga Allah mencurahkannya kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw beserta keluarga dan sahabat-Nya. Sehingga kita semua mendapatkan nikmat kesehatan dan pada pagi hari ini kita dapat bersama-sama menghadiri rapat Terbuka Senat Akademik Universitas Airlangga dalam acara pengukuhan penerimaan jabatan saya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jabatan akademik ini merupakan anugerah dari

  Allah swt dan merupakan amanah yang harus terus dijalankan dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Mudah mudahan amanah yang telah diberikan Alllah swt ini bisa memajukan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Pada kesempatan ini sesuai dengan keilmuan saya, perkenankan saya menyampaikan pidato ilmiah yang berjudul:

  

ASPEK CHIRALITY DI DALAM FARMAKOLOGI

SUATU TANTANGAN FARMAKOTERAPI

DI MASA DEPAN

Hadirin yang saya hormati,

  Sebelum suatu obat memberikan efek terapi, ada 4 fase yang harus dilalui yaitu Fase Farmasetik, Fase Farmakokinetik, Fase Farmakodinamik, dan Fase Farmakoterapi. Fase Farmasetik meliputi proses desintegrasi bentuk sediaan dan disolusi obat ke dalam medium pengabsorpsian. Fase Farmakokinetik meliputi proses Absorpsi, Distribusi, Biotransformasi dan Eliminasi obat. Fase Farmakodinamik merupakan fase interaksi obat dengan reseptor di jaringan target. Interaksi antara obat dengan reseptor menghasilkan perubahan transduksi sinyal pada tingkat molekuler, seluler, organ dan jaringan. Fase Farmakoterapi merupakan fase transformasi dari efek farmakologi menjadi efek klinik (Gambar 1). Salah satu faktor yang sangat memengaruhi fase farmasetik, farmakokinetik, farmakodinamik, dan fase farmakoterapi obat adalah chirality. Adanya chirality ini menyebabkan perbedaan efek farmakologi, efek terapetik, efek samping dan efek toksik dari obat-obat chiral. Pada pidato pengukuhan ini saya mau mengupas aspek chirality di dalam farmakologi yang merupakan suatu tantangan farmakoterapi di masa mendatang.

  Konsep chirality yang awalnya ditemukan pada senyawa alam (misalnya, Asam tartrate, asam amino) telah berkembang luas ke arah konsep efikasi, keamanan obat, bioavailabilitas dan bioekivalensi, farmakoterapi dan disain obat-obat baru yang lebih poten, serta mempunyai efek samping dan efek toksik yang minimal. Di Amerika Serikat, obat-obat yang diijinkan beredar oleh FDA sejak tahun 1992, pada umumnya antara 60–70% adalah merupakan senyawa chiral. Dan kira kira 90% dari obat-obat chiral tersebut adalah dalam bentuk racemat (Tabel 1). Dari segi farmako ekonomi, konsep chirality ini menyebabkan perkembangan produksi obat- obat enantiomer tunggal yang membutuhkan dana triliunan dolar Amerika tiap tahunnya. Konsep chirality ini mencuat setelah terjadinya tragedi teratogenik terbesar di Eropah pada tahun 1960, yaitu berupa terjadinya kelainan bawaan phocomelia pada lebih dari 10.000 bayi bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang selama kehamilan minum Thalidomide (Anti muntah dan sedatif). Di dalam cairan tubuh, Thalidomide adalah merupakan obat racemat, yang terdiri dari 50% R -Thalidomide dan 50% S-Thalidomide. Kemajuan di bidang sintesa asimetrik berhasil memisahkan R-Thalidomide dan S-Thalidomide. Penelitian farmakologi eksperimental membuktikan bahwa S-Thalidomide merupakan teratogen yang sangat toksik dan mematikan. Sedangkan bentuk R-Thalidome terbukti tidak toksik dan mempunyai efek anticemas, sedatip, menghambat TNF-alpha, imunomodulator, menghambat angiogenesis, serta menghambat karsinogenesis. Pada saat ini R-Thalidomide memasuki uji klinik fase III pada manusia sebagai obat antikanker yang sangat poten (Lenz W, 1962; Tseng S et al, 1996; Stirling D, 2000; www. Clinical Trial.org). Hal ini membuktikan bahwa bentuk racemat (campuran 50% dari masing-masing enantiomer) mempunyai efek terapi yang tidak spesifik dan sangat berpotensi menimbulkan berbagai efek samping dan efek toksik. Bagi penyakit dengan risiko tinggi (misalnya, infark miokard, stroke, dan TIA), atau tindakan intervensi koroner perkutan pada bidang kardiologi dan neurologi, maka pemberian obat racemat yang mengandung enantiomer toksik dan tidak aktif, akan menyebabkan terjadinya efek samping yang

berpotensi berakibat fatal. Misalnya, pemberian Obat Antithombotic racemat pada penderita pascapemasangan stent, dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya stent thromobosis.

  Phases of Drug Activity Desintegration and dissolution Abs, Distrib, Metab, Elim

PHARMACEUTICAL PHASE PHARMACOKINETICS PHARMACODYNAMIC PHASE PHARMACOTHERAPY PHASE

  Drug–receptor Therapeutic Effects

  

Side Effects

Toxic Effects

  

Chirality

Administered dose Clinical effects Molecular effects Cellular effects Tissues effects Organ effects

  

Chirality

Chirality

Gambar 1. Pengaruh Chirality terhadap proses aktivitas obat Tabel 1. Obat-obat Chiral dari berbagai kelompok terapetik

  No Kelompok Obat Obat-obat

  1 Antiarrhytmics Propafenon, Tocainide, Quinidine

  2 Antibiotics Ofloxacin, Mosolactam

  3 Antihrombotic Warfarin, Clopidogrel

  

4 ACE-inhibitor Captopril, Enalapril, Ramipril, Lisinopril,

Benazepril, Fosinopril, Perindopril

  5 Antihipertensi Sentral Methyldopa

  6 Anesthetics Prilocaine, Ketamine, Pentobarbital

  7 Antiemetics Ondansetron

  8 Antihistamine Terfenadine, Loratadine

  9 Antihiperlipidemic Atorvastatin, Simvastatin, Pravastatin, Lovastatin, Rosuvastatin

  No Kelompok Obat Obat-obat

  10 Antineoplastics Cyclophosphamide, Iphosphamide

  11 Antimalarials Chloroquine, halofantrine, Mefloquine

  12 Muscle relaxants Methocarbamol, Baclofen

  13 NSAIDS Ibuprofen, Ketorolac

  14 Beta - Blocker Propanolol, Metoprolol

  15 Beta - Adrenergic Salbutamol, Terbutaline Agonist

  16 Calcium Channel Verapamil, Nimodipine, Amlodipine Blocker

  17 Opiate Analgesic Methadone, Pentazocine

  18 Proton Pump Inhibitor Omeprazole, pantoprazole, lanzoprazole

Diambil dari: Davies, NM and Teng XW (2004), Hutt, AJ (2006), Ngu Yen, LA., Hua

He dan Huy, CP (2006), Liu, Y dan Hui, X (2011), King, M (2012)

KONSEP CHIRALITY OBAT

  Konsep chirality obat bermula dari penemuan Louis Pasteur pada tahun 1848–1853, yang membuktikan bahwa Asam Tartrat mempunyai dua bentuk kristal berbeda, tetapi sifat fisika dan kimia sama. Dua bentuk kristal tersebut masing-masing memutar bidang cahaya terpolarisasi berbeda. Satu kristal memutar ke arah berlawanan dengan arah jarum jam (ditandai dengan l = laevo atau –) dan satu kristal memutar searah dengan arah jarum jam (ditandai d = dextro atau +). Dengan demikian molekul Asam Tartrat merupakan suatu stereoisomer, yaitu senyawa dengan rumus kimia sama, tetapi konfigurasi stereometrik tiga dimensi berbeda (+ tartrate dan – tartrate). Isomer yang aktif memutar bidang cahaya terpolarisasi ini bersifat optical activity (optic active

  

isomer). Seiring dengan penemuan Kekule pada tahun 1858 bahwa

  atom Carbon mempunyai valensi 4, maka Vant Hoff dan Le Bel (1874), membuktikan bahwa ada 4 grup molekul berbeda yang dapat terikat dengan atom Carbon membentuk susunan tetrahedron. Atom C yang demikian dikenal sebagai atom C asymmetric (stereogenic centre, chiral centre). Menurut Pasteur (1857) adanya atom C asimetrik ini menyebabkan Asam Tartrate mempunyai 2 isomer, di mana satu isomer merupakan bayangan kaca dari isomer yang lain (Mirror image). Molekul obat yang mempunyai isomer bayangan kaca dan bersifat ” not superimposable” dinamakan molekul Chiral. Chiral berasal dari bahasa Yunani yang artinya ”Kheir” atau tangan. Tangan kiri kita adalah merupakan bayangan kaca dari tangan kanan kita, tetapi tidak bersifat ”superimposable” satu sama lain. Sebaliknya molekul achiral adalah molekul yang terdiri dari isomer bayangan kaca dan bersifat superimposable (identik) satu sama lain (lihat gambar 2). Dua isomer yang merupakan bayangan kaca satu sama lain (mirror image) dan bersifat ”not superimposable” ini dikenal sebagai enantiomer (optical isomer atau optical antipode). Sedangkan dua isomer yang bersifat ”superimposable” dikenal sebagai diastereoisomer. Diastereoisomer mempunyai sifat fisika dan kimia berbeda. Sistem penamaan konfigurasi molekul chiral yang digunakan untuk menjelaskan chirality di dalam farmakologi adalah sistem penamaan menurut ”Cahn-Ingold-Prelog (CIP) system” atau dikenal sebagai sistem (R) dan (S). Menurut cara CIP ini, grup yang berikatan dengan chiral centre (atom C asymmetric) ditandai dengan angka 1–4 berdasarkan prioritas. Angka 1 prioritas nomer atom tertinggi dan angka 4 mendapatkan prioritas nomer atom yang paling rendah. Molekul cenderung bergerak dari nomer atom paling tinggi menuju nomer atom paling rendah. Berdasarkan metode CIP ini, bagi molekul chiral berputar searah dengan arah jarum jam diberi nama bentuk R (rectus = kanan) dan molekul yang berputar melawan arah jarum jam diberi nama bentuk S (sinister = kiri). (lihat Gambar 3). Bentuk S dan R adalah merupakan pasangan enantiomer, dan senyawa yang mengandung 50% R dan 50% S (tidak optik aktif) dikenal sebagai senyawa racemat. Obat racemat dinamai dengan simbol RS atau SR. Bila jumlah atom C asymmeric hanya 1, maka banyaknya enantiomer adalah hanya 2 (S dan R). Bila atom C asimetrik jumlahnya 2, maka jumlah enantiomer adalah 4 (RS, SR, RR, SS) dan seterusnya. Misalnya, Clopidogrel (Anti Platelet)

mempunyai 1 atom C asimetrik, maka mempunyai 2 enantiomer yaitu S-Clopidogrel dan R-Clopidogrel). Sedangkan Labetalol nonsuperimposable mirror images

  

Gambar 2. Molekul enantiomer dari Obat Chiral yang bersifat

  ”not super imposable”

  1 counter

  2

  2 clockwise 1 clockwise C C

  4

  4

  3

  3 view with substituent of lowest priority in (rectus) (sinister) R S back

Gambar 3. Sistem penamaan molekul Chiral menurut cara Cahn-

  Inglod- Prelog (CIP)

  (Penghambat reseptor beta) mempunyai 2 atom C asimetrik, maka mempunyai 4 enantiomer yaitu: RR-Labetalol, SR-Labetalol, SS- Labetalol, RS-Labetalol. Proses perubahan enantiomer menuju racemat dikenal sebagai ”racemization”, dan perubahan bentuk antar enantiomer dikenal sebagai ”chiral inversion”. Perubahan ini bisa terjadi invitro dan invivo di dalam cairan tubuh. Sedangkan proses perubahan racemate menjadi senyawa enantiomer tunggal (single enantiomer) dikenal sebagai Chirality switch (USAN Program, 1999).

  CHIRALITY DAN INTERAKSI OBAT - RESEPTOR

  Berbagai senyawa yang ada di alam, antara lain, DNA, RNA, asam amino, karbohidrat, nucleoside, alkaloid, hormon, neurohormone, neurotransmiter, cotransmiter, molekul transporter, protein, enzim, molekul adesif, reseptor obat dan lain-lainnya, pada dasarnya adalah merupakan senyawa chiral yang mempunyai konfigurasi stereometrik tiga dimensi. Semua sistem reseptor biologik (antara lain, reseptor obat, reseptor neurotransmiter, reseptor sitokin dan reseptor hormon) adalah mempunyai struktur molekul tersier, konfigurasi helix, dan bersifat chiral ( handedness).

  Hal ini menyebabkan interaksi antara molekul obat dengan reseptor bersifat sangat stereo selektif dan bersifat ”chiral discrimination”. Pada tahun 1858 Louis Pateur membuktikan bahwa dextro dan laevo Ammonium Tartrate dimetabolisme oleh jamur Penicillium glaucum dengan kecepatan yang berbeda. Abderhalde dan Muller pada tahun 1908 membuktikan adanya perbedaan efek antihipertensi antara (+) dan (–) Epinephrine. Cushny juga membuktikan adanya perbedaan efek Anticholinergik antara (–) Hyosciamine, Atropine (racemat), dan (+) Hyosciamine. Menurut Easson dan Stedman (1933) bahwa ikatan antara enantiomer dengan reseptor obat, molekul transporter, enzim atau saluran ion, memerlukan konfigurasi stereometrik tiga dimensi, dan merupakan proses yang bersifat sangat enantio selektif dan ”chiral discrimination”. Di mana satu enantiomer berikatan dengan seluruh titik tangkap molekuler pada reseptor, sedangkan enantiomer lainnya tidak. Model ini dikenal dengan Three Point Interaction Model (TPIM) (Nerkar, GA et al, 2011, Peepliwala et al, 2010). Perkembangan dekade terakhir di bidang receptology, membuktikan bahwa berbagai reseptor obat di dalam tubuh pada dasarnya merupakan suatu susunan molekul chiral yang bersifat ”supra molecular complex”. Di mana reseptor merupakan susunan dari berbagai sub unit protein globular yang merupakan tempat ikatan ( receptive site) dari berbagai molekul obat dan bersifat chiral (misalnya komplek reseptor Cholinergic tipe Nicotinic, komplek reseptor GABA, dan komplek reseptor NMDA). Gambaran skematik reseptor Cholinergic tipe Nicotinic yang bersifat chiral dapat dilihat pada gambar 5. Obat yang mampu berikatan dengan reseptor (mempunyai afinitas) dan merangsang transduksi sinyal (mempunyai aktivitas intrinsik) disebut agonist. Sedangkan antagonist adalah molekul obat yang mampu berikatan dengan reseptor tetapi tidak dapat merangsang transduksi sinyal. Bagi molekul chiral, enantiomer yang mempunyai afinitas besar dan dan mempunyai aktivitas intrinsik disebut ”Eutomer”. Sedangkan antagonist yang tidak aktif disebut ”distomer”. Efek farmakologi (efikasi dan keamanan) suatu enantiomer ditentukan oleh harga ”eudismic ratio” yaitu, perbandingan komposisi eutomer dengan distomer. Senyawa racemate yang mengandung enantiomer S dan R, aktivitas farmakologinya ditentukan besarnya harga eudismic ratio. Makin tinggi harga eudismic ratio suatu enantiomer, makin spesifik efek farmakologi dan efek terapetik suatu obat. Misalnya, R-Butaclamol suatu antipsikotik yang sangat poten. Sedangkan S-Butaclamol tidak aktif. Eudismic ratio dari R-Butaclamol/ S-Butaclamol = 1250 × terhadap reseptor D2, 160 × terhadap reseptor D1, 73 × terhadap reseptor alpha1, dan reseptor serotonin, serta 0,8 × terhadap reseptor Muscarinic.

  

Gambar 4. Model interaksi antara enantiomer dengan reseptor

biologik yang bersifat enantioselektif.

  Chiral molecule Chiral Molecule Chiral Molecule

Gambar 5. Chirality dari reseptor Chlinergik tipe Nikotinik yang

  merupakan komplek supra molekul dengan berbagai tempat ikatan dari berbagai agonist dan antagonist.

CHIRALITY DAN FARMASETIK OBAT

  Pada fase Farmasetik terjadi proses desintegrasi bentuk sediaan obat dan disolusi molekul obat menuju medium pengabsorpsian. Enantiomer tunggal mempunyai sifat fisika kimia berbeda dengan racemat, kelarutan, disolusi, kompaktibilitas dan stabilitas lebih baik dari pada racemat. Pada senyawa racemat terjadi kekuatan tarik menarik yang kuat antar molekul enantiomer sehingga akan memperlambat proses disolusi dan kelarutan. Di samping itu akan terjadi interaksi antara tiap enantiomer dengan bahan pembantu formulasi chiral (mis, turunan cellulose) membentuk senyawa diastereoisomer yang berbeda sifat fisika-kimia dan menyebabkan perbedaan pelepasan, disolusi, absorpsi dan bioavailabilitas obat chiral. Yang selanjutnya akan memengaruhi efek farmakologi dan efek terapetik pada penderita. Enantiomer tunggal lebih mudah teknik formulasinya, lebih mudah ditolerir, dan menghasilkan sediaan obat dengan efikasi sangat baik pada penderita, jika dibandingkan terhadap senyawa racemat.

  CHIRALITY DAN FARMAKOKINETIK OBAT Farmakokinetik adalah merupakan efek tubuh terhadap obat.

  Proses farmakokinetik meliputi dua aspek, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Aspek kualitatif meliputi mekanisme proses, titik tangkap proses dan faktor-faktor yang memengaruhi proses Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi obat (ADME) di dalam tubuh. Aspek kuantitatif meliputi kuantifikasi matematik dari proses ADME yaitu pengukuran parameter farmakokinetik primer dan sekunder misalnya, t½, Clearance, AUC (Area Under the Curve), volume distribusi (Vd), konstante distribusi antar kompartemen tubuh. Perbedaan proses ADME dari enantiomer menyebabkan perbedaan parameter farmakokinetik antar enantiomer, dan menyebabkan perbedaan mula kerja, lama kerja, intensitas efek, terjadinya efek samping maupun efek toksik obat-obat chiral. Perbedaan enantiomer pada proses farmakokinetik terjadi pada fase interaksi antara obat dengan molekul transporter, molekul anti transporter, protein plasma, protein jaringan dan cyt P450.

CHIRALITY DAN ABSORPSI OBAT DI DALAM TUBUH

  Pada pemberian obat secara intravaskuler (i.v, intra arterial) tidak terjadi absorpsi. Sedangkan pada cara pemberian ekstravaskuler (p.o, im, sc), absorpsi merupakan proses yang harus dilalui obat sebelum memasuki sirkulasi sistemik. Obat- obat chiral diabsorpsi secara difusi pasif, transport aktif, dan mengalami proses anti transport. Difusi pasif hanya tergantung pada faktor fisika-kimia (a.l, Berat Molekul, lipofilisiti, pKa obat, ionisasi, ukuran molekul dan pH tempat pengabsorpsian). Karena enantiomer mempunyai sifat fisika kimia sama, maka bagi obat- obat chiral proses difusi ini tidak bersifat enantioselektif. Bagi obat chiral, transport aktif dan anti transport adalah bersifat sangat enantioselektif, dan menyebabkan perbedaan kecepatan absorpsi dan jumlah obat yang menuju sirkulasi sistemik antar enantiomer. Absorpsi melalui saluran cerna dari L-Dopa (Antiparkinson), L-Penicillamine (Antiinflamasi), dan L-Methotrexate (Antikanker) terjadi sangat cepat dan spesifik jika dibandingkan terhadap bentuk D-nya, karena bentuk L mempunyai afinitas sangat tinggi terhadap molekul transporter dari pada bentuk L. Pemberian L-MTX sebagai anti kanker secara p.o menghasilkan jumlah obat dalam tubuh (AUC) dan kadar obat maksimum dalam darah (Cmax) = 40 × lebih besar dari D-MTX. Hal ini karena L-MTX mempunyai afinitas 60 × lebih kuat terhadap sistem transporter folat di mukosa usus dibandingkan terhadap D-MTX. Transport enantioselektif juga terjadi pada eflux obat oleh anti-transporter P-glycoprotein (ABCB1) di saluran cerna. Misalnya, S-Talinolol (penghambat reseptor beta) adalah merupakan substrat bagi P-glycoprotein. Sedangkan R-Talinolol bukan merupakan substrat bagi P-glycoprotein. Akibatnya kadar R-Talinolol dalam darah dan jumlah R-Talinolol dalam tubuh (AUC) jauh lebih tinggi dari S-Talinolol. Perbedaan absorpsi juga terjadi bila tiap enantiomer mempunyai efek yang berbeda terhadap pembuluh darah lokal. Misalnya, pemberian injeksi intradermal dari S-Bupivacaine (Lokal anestetik) memberikan efek yang lebih lama jika dibandingkan terhadap R-Bupivacaine, karena S-Bupivacaine mempunyai efek vasokonstriktor pada pembuluh darah, sedangkan R-Bupivacaine tidak mempunyai efek vasokonstriktor.

CHIRALITY DAN DISTRIBUSI OBAT DI DALAM TUBUH

  Enantioselektivitas dari distribusi obat di dalam tubuh terjadi pada fase ikatan obat dengan protein plasma dan protein jaringan, uptake oleh jaringan tubuh, dan mekanisme akumulasi dalam jaringan tubuh. Tiap enantiomer mempunyai afinitas yang berbeda di dalam mengadakan ikatan dengan protein plasma, protein jaringan, dan molekul transporter. Obat-obat di dalam plasma berikatan dengan albumin (HSA = Human Serum Albumin) dan Alpa1-acid glycoprotein (AGP). Obat-obat chiral yang bersifat asam terikat dengan HSA. Sifat enantioselektif dari ikatan obat dengan HSA terutama terjadi pada tempat ikatan II (Benzodiazepine Binding Site) dan tidak terjadi pada ikatan I (Warfarin Binding Site). Obat chiral yang bersifat basa terikat dengan AGP. Obat yang terikat protein plasma (HSA dan AGP) merupakan bentuk obat tidak aktif. Hanya bentuk obat bebas yang mempunyai derajad larut lipid tinggi, mampu menembus membran dan berikatan dengan reseptor. Obat-obat chiral mengadakan ikatan dengan protein plasma sangat bervariasi. Misalnya, S-Oxazepam hemisuccinate berikatan dengan HSA 40 kali lebih kuat dari pada R-Oxazepam hemisuccinate. Enantiomer mempunyai selektivitas yang berbeda terhadap HSA dan AGP. R-Propanolol terikat secara enantioselektif dengan HSA, sedangkan S-Propanolol terikat secara enantioselektif dengan AGP.

  Di dalam plasma ikatan yang paling kuat dan dominan adalah antara S-Propanolol dengan AGP. Sehingga di dalam plasma fraksi obat bebas dari R-Propanolol jauh lebih tinggi dari S-Propanolol. Akibatnya, efek penghambat reseptor beta dari R-Propanolol jauh lebih kuat dari S-Propanolol. Karena ikatan antara obat dengan protein plasma berbanding linier dengan banyaknya obat bebas yang difiltrasi di glomerulus, maka adanya enantioselektifitas ikatan antara obat chiral dengan HSA dan AGP, akan memengaruhi kliren obat, eliminasi obat, lama kerja obat dan efek terapi dari obat chiral. Distribusi enantioselektif juga terjadi pada proses interaksi antara obat chiral dengan molekul transporter pada proses distribusi menuju jaringan tubuh. Misalnya:

  • – Efek anti rheumatic dari S-Ibuprofen lebih poten dari

  R-Ibuprofen, karena S-Ibuprofen mengalami distribusi menuju cairan synovial lebih besar jika dibandingkan terhadap R-Ibuprofen,

  • – R-Baclofen (Anti spastisitas) mempunyai afinitas terhadap reseptor GABA-B = 100 kali lebih kuat dari pada S-Baclofen, karena R-Baclofen mengalami transport aktif menuju sawar darah – otak, sedangkan S-Baclofen tidak mengalami transport aktif dan tidak aktif,
  • – S-Leuvocorin mempunyai efek anti tumor, karena mengalami transport dan akumulasi di dalam jaringan sel tumor, sedangkan R-Leucovorin tidak aktif, karena tidak dapat menembus jaringan sel tumor
  • – Hanya bentuk L-Dopa (Antiparkinson) yang bisa menembus sawar darah–otak menuju jaringan syaraf dan dirubah menjadi Dopamine. Sedangkan D-Dopa tidak bisa menembus sawar darah-otak dan tidak aktif.

CHIRALITY DAN METABOLISME OBAT DI DALAM TUBUH

  Metabolisme obat pada prinsipnya merubah senyawa induk (Parent drug) yang bersifat lipofilik (larut lipid) menjadi metabolit yang bersifat hidrofilik (larut air). Metabolisme obat chiral sebagian besar terjadi di hepar. Proses metabolisme obat dihepar terdiri dari fase I (fungsionalisasi) dan fase II (konyugasi). Fase I merupakan modifikasi struktur obat secara oksidasi, reduksi dan hidrolisa. Sebagian besar metabolisme obat pada fase I dilakukan oleh sistem enzim CYP450 menjadi metabolit. Fase II merupakan reaksi konyugasi obat atau metabolit dengan berbagai konyugat endogen (glukoronid, gluthation, sulfat, dll). Karena reaksi pada fase I dan fase II merupakan interaksi antara obat chiral dengan reseptor CYP450 dan enzim konyugat yang bersifat chiral, maka reaksi yang terjadi adalah bersifat enantioselektif dan ”chiral discrimination” (Tabel 2). Adanya SNP (Single Nucleotide Polymorphism) dari gene

  

CYP450 menyebabkan terjadinya ekspresi enzim CYP450 yang

  bervariasi, dalam bentuk famili, sub-famili, isoform dan alele mutan dengan berbagai sifat dari aktivitas metabolisme normal, aktivitas menurun, in aktif dan hiperaktif. Adanya sifat enantio selektif dan polimorfisme dari CYP450 ini menyebabkan perbedaan afinitas dari tiap enantiomer terhadap berbagai jenis CYP450 dan enzim-enzim konyugasi fase II yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan proses metabolisme (a.l, jalur metabolisme, pembentukan metabolit, kecepatan metabolisme, dan ekskresi metabolit dari enantiomer) dan jenis reaksi metabolisme (a.l, pro-chiral menjadi chiral, chiral menjadi chiral lainnya, chiral menjadi diastereoisomer, chiral menjadi achiral, dan chiral inversion). Hal ini dapat berdampak pada perbedaan farmakokinetik, farmakodinamik, efek farmakologi, efek terapetik, efek samping dan efek toksik tiap enantiomer di dalam obat chiral. Misalnya, Clopidogrel (anti-platelet) merupakan suatu pro-drug yang hanya aktif di dalam tubuh setelah melalui metabolisme oleh CYP2C19. Hanya bentuk S-Clopidogrel yang mengalami aktivasi menjadi metabolit aktif sebagai Antiplatelet. Sedangkan R-Clopidogrel tidak mengalami aktivasi dan tidak aktif. Contoh lainnya, adalah Warfarin (Antikoagulan). S-Warfarin mempunyai efek antikoagulan 4 kali lebih poten dari R-Warfarin.

  Di dalam tubuh S-Warfarin terutama dimetabolisme oleh CYP2C9. Sedangkan R-Warfarin dimetabolisme oleh CYP1A2 dan CYP3A4. Pemakaian kombinasi antara Warfarin dengan suatu induser atau inhibitor CYP2C9 hanya memengaruhi kadar S-Warfarin, tanpa berpengaruh pada R-Warfarin.

  

Tabel 2. Enantioselektivitas dari metabolisme obat chiral oleh

  CYP450 di hepar

  Obat Jalur Metabolisme Enzim CYP450 Selektivitas Disopyramide Mono-N-Dealkylation CYP3A3 S/R = 1.4 CYP3A4 S/R = 2.2 Fluoxetine N-Dealkylation CYP2C9 R/S = 5 CYP2D6 R/S = 1.3 Omeprazole Hydroxylation CYP2C19 R/S= 20 Sulfone formation CYP3A4 S/R = 10

  5-O-demethylation CYP2C19 S/R = 11 Warfarin 7-hydroxylation CYP2C9 S >>> R 6-hydroxylation CYP1A2 R >>> S 8-hydroxylation CYP1A2 R >>> S 10-hydroxylation CyP3A4 R >>> S Clopidogrel Two step oxydation CYP2C19 S/R = 100

  

Diambil dari: Francotte, E and Lindner,W (2006), Liu, Y and Hui Gu, X (2006) Hutt,

AJ (2006), Nerkar, GA (2011)

  Di antara jenis reaksi metabolisme, maka chiral inversion adalah fenomena metabolisme yang merubah satu jenis enantiomer menjadi jenis enantiomer lain, tanpa diikuti oleh perubahan strukturnya. Misalnya obat-obat yang mengalami chiral inversion adalah Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID) misalnya, Ibuprofen, Fenoprofen, Flurbiprofen, Ketoprofen. Pada golongan NSAID ini reaksi chiral inversion bersifat stereoselektif dan membentuk senyawa inaktif atau kurang akti. Adanya chiral inversion ini sering menyulitkan di dalam pengukuran bioavailabilitas dan bioekivalen.

CHIRALITY DAN ELIMINASI OBAT DARI TUBUH

  Ekskresi obat-obat chiral terutama terjadi melalui ginjal, hanya dalam jumlah kecil melalui air susu, keringat, udara pernapasan, dan saliva. Ekskresi lewat ginjal dapat terjadi melalui beberapa proses antara lain, filtrasi glomerulus, sekresi aktif dan pasif, serta reabsorpsi aktif. Filtrasi glomerulus merupakan suatu proses filtrasi sederhana dari bentuk obat dan metabolit yang tidak terikat protein plasma ( unbound). Jumlah obat yang dieksresi melalui filtrasi tergantung pada aliran darah menuju ginjal. Meskipun proses ini bersifat non enantioselektif, tetapi enantiomer mempunyai kecepatan filtrasi yang berbeda, karena perbedaan afinitas terhadap ikatannya dengan protein plasma (HSA dan AGP). Proses reabsorpsi pasif di tubulus adalah merupakan proses reabsorpsi dari fraksi obat tak terionkan di dalam plasma yang mengikuti teori partisi dan tidak bersifat enantio selektif. Proses enantioselektif pada umumnya terjadi pada obat chiral yang mengalami sekresi aktif di tubulus proksimalis. Karena proses tersebut, merupakan proses interaksi enantioselektif antara obat chiral dengan makromolekul P-glycoprotein, multidrug resistance-associated protein, transporter anion, kation, dan senyawa netral. Misalnya, S-Oxprenolol mempunyai efek penghambat reseptor beta-1 di otot jantung = 30 × lebih poten dari R-Oxprenolol. Kliren ginjal dari R-Oxprenolol dan R-Oxprenolol-glucoronide jauh lebih besar dari S-Oxprenolol dan S-Oxprenolol-glucoronide, maka S-Oxprenolol mempunyai lama kerja yang lebih panjang dan intensitas penghambat reseptor beta-1 lebih poten dari R-Oxprenolol.

CHIRALITY DAN PARAMETER FARMAKOKINETIK

  Parameter farmakokinetik adalah merupakan indikator kuantitatif dari ADME obat di dalam tubuh, yang meliputi kecepatan absorpsi, mula kerja, lama kerja, jumlah obat di dalam tubuh, kadar terapetik dalam darah, intensitas efek farmakologi dan indeks terapetik dari obat chiral. Indikator ini menggambarkan profil klinik, efikasi dan keamanan obat chiral. Parameter farmakokinetik ini menggambarkan proses di dalam sirkulasi (misalnya, systemic

  

clearance, volume of distribution, elimination half life), di dalam

  sistem organ (misalnya, hepatic clearance, renal clearance), dan di dalam sistem makromolekuler (misalnya, Intrinsic metabolic

  

clearane). Parameter farmakokinetik ini menggambarkan interaksi

  yang bersifat enantioselektif antara molekul chiral dengan makromolekul reseptor, enzim, dan molekul transporter yang bersifat chiral. Pada beberapa obat chiral, perbedaan parameter farmakokinetik di dalam sirkulasi tubuh tidak begitu terlihat, meskipun perbedaan parameter farmakokinetik pada tingkat organ atau makromolekul berbeda sangat bermakna. Misalnya Verapamil, rasio t½ dari enantiomer S/R = 1.2, rasio volume distribusi dari S/R = 2.34, rasio kliren S/R = 1.77. Akan tetapi rasio kliren metabolisme demetilasi dari S/R = 33. Dalam hal ini parameter kliren metabolisme demetilasi dari Verapamil merupakan indikator perbedaan efek terapi antara S-Verapamil dan R-Verapamil sebagai penghambat saluran ion Calcium.

  Aplikasi parameter farmakokinetik untuk melakukan Monitoring Kadar Terapetik Obat (TDM = Therapeutic Drug Monitoring) harus berdasarkan kadar enantiomer aktif dalam darah. Pengukuran kadar enantiomer aktif lebih menggambarkan kadar obat aktif pada reseptor, dan efek terapetik dari pada pengukuran kadar obat total (S dan R). Misalnya, Tocainide (Antiaritmia) merupakan senyawa racemat. Bentuk R-Tocainide merupakan enantiomer aktif, dan bentuk S-Tocaionide tidak aktif. Waktu paruh (t½) dari R-Tocainide = 10 jam, dan waktu paruh S-Tocainide = 17 jam.

  Pada pemberian infus, rasio kadar obat dalam darah S/R = 1 setelah 1 jam dan 1.7 setelah 48 jam. Dalam hal ini kadar obat total (S dan R) meningkat tajam searah dengan lama infus, dan perbedaan efek terapetik kelihatannya tidak bermakna. Perbedaan efek terapetik akan terlihat bermakna, bila pengukuran kadar obat dalam darah berdasarkan kadar enantiomer aktif R-Tocainide. Parameter farmakokinetik tiap enantiomer dari beberapa obat chiral dapat dilihat pada tabel 3.

  

Tabel 3. Parameter Farmakokinetik dari beberapa enantiomer dari

  62

  83

  9.3 S 6.3 134

  1.1

  91

  I.V R 11.1 136

  8.2 Tocainide

  2

  

0.80

  

11.7

  7.9 S

  0.95

  65

  2

  

12.4

  17.1 Verapamil

  2.74

  obat chiral

  0.47

  Akibat adanya pengaruh chirality pada fase farmakokinetik akan menyebabkan terjadinya perbedaan kecepatan metabolisme dan pembentukan metabolit, besarnya kadar enantiomer aktif dalam darah yang mencapai reseptor, yang diakhiri dengan terjadinya efek farmakologi dan efek terapetik. Meskipun enantiomer mempunyai reaktivitas yang sama terhadap senyawa achiral, tetapi akan berbeda reaktivitasnya terhadap reseptor obat. Perbedaan reaktivitas enantiomer terhadap reseptor sangat bermakna dan rasio eudismik

  4.3 Diambil dari: Francotte, E and Lindner, W. (2006), Dong, H et al (2011)

  0.85

  1.6

  6.6 S 288

  1.8

  0.21

  6.4

  

22

  4.8 Etodolac p.o R

  11

  6.42

  

1.4

  4.1 S

  1.7

  50.5 Sotalol p.o R

  53

  3.1 S 1.5 105

  0.9

  9.1 S

  1.4

  19.8

  6.6

  

8.6

  24.4 Mexiletine p.o p.o R

  70.5

  7.3

  

2

  47.1 S

  0.7

  1.2

  Warfarin p.o R 1.9 129

   Obat Rute Pemberian

Enantiomer Clerance Vd

Protein binding Half Life % unbound Ratio (S/R)

  

8.1

  28.3

  0.8

  2.6 Carvedilol p.o R 0.87 302

  66

  5.1 Mephobar- bitone p.o R 170 716

  0.63

  5.3 S 1.26 487

  1.4

  0.45

  4.5

  11 Buvipacaine Iv R

  54

  

0.32

  3.5 S

  0.68

  6.6

  84

  

0.40

I.V R

CHIRALITY DAN FARMAKODINAMIK

  dapat mencapai 100 sampai 1000 kali. Hal ini berarti satu enantiomer merupakan agonist dan menyebabkan efek farmakologi, sedangkan enantiomer lain merupakan antagonist,,tidak mengadakan ikatan dengan reseptor atau ikatannya sangat lemah sekali. Karena perbedaan afinitas dan aktivitas intrinsik dari tiap enantiomer dalam senyawa racemat, maka obat-obat chiral (racemat) mempunyai profil farmakologi sebagai berikut:

  1. Obat chiral dengan satu enantiomer (eutomer) mempunyai efek teraputik yang utama, sedangkan enantiomer lainnya (distomer) tidak aktif. Dalam hal ini eutomer berikatan dengan reseptor obat, sedangkan distomer tidak berikatan atau sangat lemah sekali.

  2. Obat chiral di mana satu enantiomer di dalam tubuh mengalami perubahan menjadi enantiomer lainnya (chiral inversion). Efek farmakologi terletak pada enantiomer kedua Dalam hal ini enantiomer pertama merupakan pro-drug, yaitu aktif hanya setelah mengalami perubahan di dalam tubuh.

  3. Obat chiral yang mempunyai enantiomer dengan efek farmakologi yang berbeda satu sama lain. Satu enantiomer mempunyai efek farmakologi yang diharapkan, sedangkan enantiomer lainnya mempunyai efek farmakologi yang berbeda. Dalam hal ini enantiomer lain tersebut kemungkinan mengadakan ikatan dengan reseptor yang berbeda.

  4. Obat chiral di mana satu enantiomer bersifat antagonisme terhadap terhadap reseptor bagi enantiomer lainnya.

  Untuk mengadakan interaksi dengan reseptor, molekul obat harus mempunyai persyaratan konfigurasi stereometrik tertentu misalnya, chirality dari molekul. Karena reseptor obat adalah merupakan makromolekul yang bersifat chiral dan memerlukan konfigurasi stereometrik tiga dimensi, maka hanya satu enantiomer yang berikatan dengan reseptor untuk memberikan efek farmakologi dan efek terapi yang optimal pada penderita. Ikatan obat reseptor ini mengikuti teori interaksi obat-reseptor yang berupa ”Three Point Interaction Model” atau teori ”key and lock hypotheses”. Dalam hal ini obat (Key) harus mempunyai sifat chirality yang sangat spesifik untuk mengadakan ikatan dengan reseptor (Lock). Ikatan antara obat dengan tempat ikatan di dalam molekul reseptor ( binding site) adalah merupakan tahapan yang sangat penting ( critical factor) untuk menyebabkan terjadinya sinyal transduksi, efek farmakologi dan efek terapi. Seperti telah diketahui bahwa 90% obat-obat yang beredar sampai saat ini adalah merupakan obat-obat dalam bentuk racemat yang terdiri dari campuran enantiomer (50% R dan 50% S) dengan efek farmakologi yang berbeda. Misalnya, Clopidogrel (Obat Anti Agregasi Platelet) merupakan molekul chiral. Di dalam satu molekul Clopidogrel terdiri dari enantiomer S-Clopidogrel dan R-Clopidogrel. Di mana S-Clopidogrel mempunyai afinitas dan aktivitas intrinsik terhadap reseptor P2Y12 pada permukaan platelet. Sedangkan R-Clopidogrel tidak mempunyai afinitas dan aktivitas intrisik terhadap reseptor P1Y12, sehingga tidak mempunyai efek anti agregasi platelet. Dalam hal ini molekul Clopidogrel merupakan molekul yang bersifat ”Jackel and Hyde Molecule”. Satu molekul merupakan molekul baik ( good molecule) dan satu molekul merupakan molekul jelek ( bad molecule). Begitu juga obat chiral lainnya yang bersifat racemat, maka tiap enantiomer dari racemat, dapat dipertimbangkan sebagai individu obat dengan efek farmakologi yang berbeda. Adanya kontaminasi dari enantiomer tidak aktif, enantiomer yang merupakan antagonist dan enantiomer toksik ini menyebabkan efikasi, potensi, toksisitas dan keamanan obat racemat akan berbeda dengan obat enantiomer tunggal (Single enantiomer). Perbedaan efek farmakologi dan efek toksik dari enantiomer obat chiral dapat dilihat pada tabel 4.

CHIRALITY DAN INTERAKSI OBAT-OBAT

  Interaksi obat-obat dapat terjadi pada fase absorpsi, distribusi, metabolisme, eliminasi dan interaksi antara obat dengan reseptor.

  Adanya interaksi obat-obat ini dapat meningkatkan dan menurunkan efek terapetik serta menyebabkan terjadinya efek samping dan efek toksik dari obat. Interaksi obat-obat dapat terjadi akibat interaksi antar enantiomer di dalam obat chiral dan antara enantiomer di dalam obat chiral dengan obat lain. Titik tangkap interaksi obat- obat dapat terjadi pada proses interaksi dengan molekul transporter di dalam fase absorpsi, ikatan dengan protein plasma, interaksi dengan enzim pemetabolisme obat (CYP450 dan konyugat endogen), dan interaksi dengan molekul transporter pada fase ekskresi lewat ginjal. Bagi obat chiral khususnya, adanya interaksi obat-obat ini dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan kadar enantio aktif di dalam darah, yang berakibat menurunnya efikasi dan potensi obat, ataupun terjadinya efek samping dan efek toksis.

  

Tabel 4. Perbedaan Efek Farmakologi dan Efek toksik dari

  enantiomer beberapa obat chiral

  No Klas Farmakologi Obat Chiral Efek Farmakologi

  1 Bronchodilator Salbutamol R-(–)-Salbutamol: bronchodilator S-(+)-Salbutamol: tidak aktif, pro-inflammatory, meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada penderita asma

  

2 Ace-inhibitor Imidapril S-Imidapril: 1000.000× lebih

poten dari R-Imidapril Captopril (S,S)-Captopril: 100× lebih poten dari (R,R)-Captopril

  3 Antiplatelet Clopidogrel S-Clopidogrel: aktif R-Clopidogrelk: tidak aktif dan neurotoksik

  4 Anti-urinary Terodiline R-Terodiline: Perpanjangan incontinence interval QTc dan QRS, Proarrhythmic, Cardiac arrest S-Terodiline: Tidak toksik dan aman

  No Klas Farmakologi Obat Chiral Efek Farmakologi

  5 Antihistamine Sopromidine R-Sopromidine: Antagonist reseptor H2 S-Sopromidine: Agonist reseptor H2

  

6 NSAID Benoxaprofen R-Benoxaprofen: Aktif, tidak

toksik S-Benoxaprofen: Gagal ginjal dan hepar

  

7 Anesthetic Ketamine R-Ketamine: Aktif dan tidak

toksik S-Ketamine: Hallucinogenic, Agitation

  8 Antituberculotic Ethambutol S,S-Ethambutol: efek anti Mycobacterium 500× lebih poten dari R,R-Ethambutol RR-Ethambutol: Tidak aktif, Optical neuritis dan Kebutaan permanen

  9 Cardiotonic Dobutamine (+)-Dobutamine: agonist reseptor beta1 & beta2, antagonist alpha-1sangat lemah (–)-Dobutamine: reseptor alpha1 sangat kuat

  10 Sedatif/Anti Thalidomide S-Thalidomide: Teratogen Muntah R-Thalidomide: Sedatif

  11 Antirheumatic Penicillamine S-Penicillamine: Antiarthritic R-Penicillamine: Mutagenik

  12 Anti Parkinson Dopa L-Dopa: Antiparkinson D-Dopa: tidak aktif dan toksik

Diambil dari: Nguyen, LA et al (2006); Liu, Y dan Hui Gu, X (2011); Nerkar, GA

(2011); Guang, Y and Hai, ZB (2011); Mitra, P and Chopra, P (2011);

  Qiang Lin, G et al (2011); Sunnic, V and Pharnham, MJ (2011)

  Di bawah ini beberapa contoh interaksi antara enantiomer dengan obat lain ataupun antar enantiomer di dalam campuran racemat. Misalnya pemberian Warfarin (Antikoagulan) yang dikombinasi dengan Cimetidine dan Sulfinpyrazone. Efek antikoagulan dari

  S-Warfarin kekuatannya 4 kali dari R-Warfarin. R-Warfarin dimetabolisme hidroksilasi oleh CYP1A2, sedangkan S-Warfarin dimetabolisme oleh CYP2C9. Pemberian Warfarin bersama dengan Cimetidine (inhibitor CYP1A2) akan meningkatkan AUC dan t½ dari R-Warfarin. Cimetidine tidak memengaruhi metabolisme S-Warfarin. Sedangkan pemberian bersama dengan Sulfinpyrazone (inhibitor CYP2C9) akan meningkatkan AUC, t½ dan menghambat kliren dari S-Warfarin dan menyebabkan terjadinya efek samping hypoprothrombinemia. (...). Interaksi yang bersifat enantioselektif pada eskresi pada ginjal juga terjadi antara obat penghambat sekresi tubulus (Misalnya, Probenecide) dengan obat-obat chiral. Dalam hal interaksi antar enantiomer, maka pemberian suatu obat chiral yang bersifat racemat, dapat dianggap pemberian dua macam obat pada waktu bersamaan. Misalnya Ofloxacin (Antibiotik). S-Ofloxacin mempunyai aktivitas antimikroba dan R-ofloxacin tidak aktif. R-ofloxacin akan menurunkan kliran total dan kliren ginjal dari S-ofloxacin karena R-ofloxacin menghambat sekresi aktif dari S-ofloxacin pada sistem transport kation aktif di tubulus proksimalis (...). Adanya selektifitas di dalam proses sekresi aktif ini menyebabkan tiap enantiomer di dalam campuran racemat, mempunyai kecepatan ekskresi yang berbeda. Sebagai akibatnya, akan memengaruhi lama kerja obat, intensitas efek farmakologi, efek terapi,efek samping dan efek toksik. Interaksi antar enantiomer di dalam satu senyawa racemat ini dapat memberikan perubahan efek farmakologi dan efek tarapi yang sangat bermakna.

CHIRALITY, BIOAVAILABILITAS, DAN BIOEKIVALENSI

  Obat-obat paten adalah obat dengan zat aktif pertama kali yang ditemukan oleh suatu industri farmasi (Innovator). Obat ini dilindungi oleh hak patent sampai masa patennya habis. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Setelah paten habis maka obat paten dapat disubstitusi oleh obat generik. Depkes RI (1988) meluncurkan konsep obat generik (bermerk dan berlogo). Obat generik bermerk (obat branded) adalah obat dengan kandungan zat aktif yang sama dengan produk innovator, dengan catatan obat innovator telah habis masa patennya.

  29 Maret 2005, Pedoman Uji BE dan Peraturan Kepala BPOM-RI,

  18 Juli 2005 tentang tata laksana Uji Bioekivalensi, mewajibkan uji bioavailabilitas dan bioekivalensi terhadap obat copy yang beredar (obat generik, me-too drugs). Obat-obat generik yang dimaksud adalah yang bersifat ekivalensi farmasetik (mengandung jumlah dan jenis obat yang sama). Berbagai otoritas regulasi dan perijinan obat di seluruh dunia, misalnya FDA di Amerika, EMEA di Eropah telah memberikan panduan pengujian Bioavailabilitas obat yang diuraikan pada berbagai petunjuk uji Bioavailabilitas (Bioavailability Guideline).

  Bioavailabilitas adalah kecepatan (rate) dan jumlah obat aktif yang menuju sirkulasi (AUC) setelah pemberian. Bila dua produk mempunyai bioavailabilitas yang sama, maka diharapkan memberikan ekivalen terapetik (Bioekivalen) pada penderita meskipun hal ini tentunya memerlukan uji klinik terlebih dahulu. Bagi obat-obat achiral, penentuan bioavailabilitas obat dengan pembanding bentuk sediaan obat ”innovator” merupakan pengujian rutin dan tidak memberikan banyak permasalahan. Akan tetapi bagi obat-obat chiral, maka hal ini sangatlah berbeda. Regulasi bioavailabilitas obat chiral pertama kali dilakukan oleh pemerintah Swedia pada tahun 1991, dengan memberikan ketentuan, antara lain:

  • – Bila tidak ada informasi atau tidak diketahui efek farmakologi masing-masing enantiomer, maka bioavailabilitas harus ditentukan untuk masing-masing enantiomer.
  • – Bila efek farmakologi hanya dimiliki oleh salah satu enantiomer, maka bioavailabilitas harus diukur berdasarkan kadar eutomer (enantiomer aktif) dalam darah.

  • – Bila kedua enantiomer mempunyai efek farmakologi, maka bioavailabilitas harus berdasarkan kadar tiap enantiomer dalam darah.
  • – Bila efek satu enantiomer meningkatkan atau menurunkan efek farmakologi lainnya (mis, chiral inversion), maka bioavailabilitas harus diukur berdasarkan kadar kedua enantiomer dalam darah. Prinsip ini yang digunakan sebagai pijakan oleh EMA (Europian