BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS HILANG, MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG DI BAGASI PESAWAT UDARA 3.1. Upaya Hukum Konsumen Pengguna Bagasi Pesawat udara Udara atas Kerugian Hilang, Musnah, dan Rusaknya Barang di Bagasi Pesawat udara - PERLINDUNGAN

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ATAS HILANG, MUSNAH, DAN RUSAKNYA BARANG DI BAGASI PESAWAT UDARA

3.1. Upaya Hukum Konsumen Pengguna Bagasi Pesawat udara Udara atas Kerugian Hilang, Musnah, dan Rusaknya Barang di Bagasi Pesawat udara

  66 BAB III

  Kelalaian pelaku usaha dalam menjalankan kewajibannya yang merupakan hak konsumen seringkali menimbulkan sengketa. Begitu pula halnya dengan tidak dipenuhinya kewajiban maskapai penerbangan selaku pelaku usaha yang menyebabkan timbulnya kerugian berupa hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang selaku konsumen di bagasi pesawat udara, akan menimbulkan sengketa diantara kedua pihak tersebut.

  Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu:

  42

  1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Artinya pelaku usaha mengabaikan ketentuan undang-undang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum.

42 Janus Sidabulok, Op.Cit. h. 143

  2. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat diantara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

  Selain itu, besar ganti kerugian yang diberikan oleh maskapai penerbangan kepada penumpang pesawat udara atas kerugian hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara sering kali tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh penumpang pesawat udara. Bahkan dalam suatu kasus, maskapai penerbangan tidak mau bertanggunggugat terhadap kerugian yang dialami penumpang pesawat udara tersebut. Hal itu juga dapat mengakibatkan timbulnya sengketa antara maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat udara.

  Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan sarana bagi konsumen yang ingin mengadukan bahwa hak-haknya sebagai konsumen telah terlanggar atas perbuatan pelaku usaha.

  Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur lembaga-lembaga pengaduan konsumen yang dapat digunakan oleh konsumen untuk melaporkan pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajibannya.

  Lembaga perlindungan konsumen yang dapat dijadikan sarana oleh penumpang pesawat udara selaku konsumen untuk mengadukan pelanggaran hak nya oleh maskapai udara yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang diatur dalam pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut mengatakan bahwa pemerintah mengakui LPKSM dengan tujuan untuk LPKSM tersebut berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

  Tugas dari LPKSM ini salah satunya adalah membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen, serta melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Namun keberadaan LPKSM ini hanya untuk menerima pengaduan konsumen saja, untuk selanjutnya dapat mengajukan gugatan atas nama konsumen. Sedangkan untuk putusan penyelesaian sengketa konsumen, LPKSM tidak berhak atas hal tersebut. Yang berhak memberikan putusan atas sengketa yang diadukan ke LPKSM adalah pengadilan negeri di tempat perkara tersebut diajukan.

  Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang pertama di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI berdiri pada tanggal 11 Mei 1973. YLKI ini dapat dikatakan sebagai tolok ukur bangkitnya kesadaran perlindungan konsumen di Indonesia. Sebagai suatu lembaga perlindungan konsumen, YLKI juga memiliki fungsi yang salah satunya adalah menerima pengaduan dari konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar.

  Dalam pasal 23 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menyatakan bahwa “besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalu arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

  Dalam ketentuan tersebut memperbolehkan penumpang yang merasa tidak puas atas ganti kerugian yang tidak sebanding dengan kerugian yang dialaminya untuk menggugat maskapai penerbangan, dan penyelesaian sengketanya dapat melalui jalur litigasi maupun dapat melalui non-litigasi. Namun demikian, dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara ini tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dalam hal ini adalah kerugian atas hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara.

  Penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu terdapat dalam Pasal 45 :

  (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud ayat

  (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

  Dari ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa berdasarkan Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan dan dapat juga ditempuh diluar pengadilan. Untuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dibagi lagi menjadi dua yaitu penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha seperti yang termuat dalam pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dalam bentuk yang lainnya.

  Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang dimaksud disini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK diatur dalam pasal 49 sampai pasal 58 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

  BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan dengan cepat, sederhana, dan murah.

  43 Tugas dan wewenang BPSK seperti yang termuat dalam pasal 52 Undang-

  Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :

  a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

  c. Melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku;

  d. Melaporkan pada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap udang-undang ini; 43 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit h.126 i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

  Berdasarkan tugas dan wewenang BPSK tersebut, tugas utama dari BPSK adalah menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan melalui cara mediasi, arbitrase, atau konsiliasi. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini hanya dikenal tiga cara penyelesaian sengketa alternatif tersebut.

  Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta melibatkan pihak netral, yaitu mediator, yang memudahkan negosiasi antara para pihak atau membantu mereka dalam mencapai kompromi

  44

  atau kesepakatan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini harus dengan kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dilakukan sebelum terjadinya sengketa yaitu dengan dituangkan dalam klausula perjanjian, atau dapat juga dilakukan setelah timbulnya sengketa kemudian membuat kesepakatan untuk menyelesaikan dengan jalan medisi.

  Berikutnya adalah arbitrase, yaitu alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga dimana pihak ketiga mempunyai peranan untuk memutus suatu sengketa tersebut. Pihak ketiga ini disebut arbiter, dan arbiter dapat 44 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit h.255 berbentuk lembaga atau dapat juga orang yang ditunjuk oleh para pihak. Sama halnya dengan mediasi, maka arbitrase ini berdasarkan pada suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, artinya para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa menggunakan cara arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat dibentuk sebelum timbulnya sengketa yaitu dicantumkan dalam klausul di perjanjian pokok, dan dapat pula dibentuk setelah timbulnya sengketa untuk sepakat menyelesaikan sengketa dengan cara arbitrase.

  Sedangkan konsiliasi adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari

  45 konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase.

  Selain tugas utama BPSK menyelesaikan sengketa dengan ketiga bentuk alternatif penyelesaian sengketa tersebut, wewenang BPSK yang tak kalah pentingnya adalah dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar peraturan perundang-undangan. Dengan adanya wewenang ini, maka diharapkan penyelesaian sengketa melalui BPSK dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi konsumen.

  Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menentukan adanya pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai arbitrator, kosiliator, maupun mediator, maka setiap anggota dapat bertindak sebagai

  46 arbitrator, konsiliator, maupun mediator.

  45 46 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit h.254 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit h.257

  Dalam menyelesaikan sengketa melalui BPSK ini dibagi dalam tiga tahap. Tahap yang pertama yaitu tahap pengajuan gugatan. Gugatan ini diajukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha kepada BPSK. Jadi apabila penumpang yang dirugikan atas hilang, musnah dan/atau rusaknya barang di bagasi pesawat udara ingin menyelesaikan sengketa melalui BPSK, maka penumpang harus terlebih dahulu membuat surat gugatan terhadap maskapai penerbangan ke BPSK.

  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur mengenai persyaratan gugatan, maka berlaku ketentuan sebagimana terjadi dalam pengadilan, yaitu bahwa gugatan dapat diajukan,

  47 baik secara tertulis maupun lisan.

  Tahap yang kedua yaitu tahap pemeriksaan dan pemberian putusan oleh BPSK. Tahapan ini diatur dalam pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu. Dalam menyelesaikan sengketa, BPSK berbentuk majelis yang harus ganjil sekurang-kurang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota BPSK, dan dibantu oleh seorang panitera. Majelis berbentuk ganjil untuk menghadapi kemungkinan terjadinya deadlock selama proses penyelesaian sengketa. Setelah majelis memporeleh hasil dari musyawarah untuk menyelesaikan sengketa, maka dituangkan dalam suatu putusan, dimana putusan majelis BPSK tersebut bersifat final dan mengikat.

  Dalam penjelasan pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final dan mengikat adalah bahwa dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. 47 Janus Sidabulok, Op.Cit h. 199

  Selanjutnya dalam pasal 55 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa tahap pemeriksaan dan pemberian putusan ini berlangsung paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Artinya penyelesaian sengketa melalui BPSK ini relatif memakan waktu yang singkat jika dibandingkan dengan melalui pengadilan.

  Namun, kelemahan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah putusan yang dikeluarkan oleh BPSK tidak mempunyai kekuatan eksekutorial yang artinya tidak dapat melakukan eksekusi terhadap putusannya. Maka, setelah putusan dikeluarkan oleh BPSK lalu segera dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum dalam pasal 57 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

  Tahapan yang terakhir yaitu pelaksanaan putusan dan pengajuan upaya hukum. Walaupun putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekusi sehingga pelaksanaan eksekusi tersebut dilakukan oleh Pengadilan Negeri.

  Pelaksanaan putusan BPSK tersebut tidak lagi memiliki kekuatan yang final dan mengikat, karena dalam pasal 56 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimungkinkan bahwa pihak yang keberatan atas putusan BPSK tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dengan jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan tersebut.

  Selanjutnya diatur dalam pasal 58 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa jika salah satu atau para pihak masih menolak putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

  Jadi dalam hal ini, putusan majelis BPSK tersebut memang bersifat final dan mengikat. Tetapi untuk pelaksanaan eksekusi putusan tersebut, dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang terhadap putusannya masih dapat diajukan banding dan kasasi.

  Menurut penjelasan pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat bentuk lain dari penyelesaian sengketa diluar pengadilan selain melalui BPSK. Yang dimaksud dengan upaya penyelesaian diluar pengadilan selain melalui BPSK ini adalah melalui upaya damai antara pihak konsumen dan pelaku usaha.

  Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

  Berdasarkan pada penjelasan pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya penyelesaian di luar pengadilan secara damai sangat disarankan, yaitu tanpa melalui BPSK atau bahkan pengadilan.

  Akan tetapi, upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan selain BPSK masih tetap berlaku atau dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha jika bertolak pada pasal 45 ayat (2) dan penjelasannya. Dalam pasal ini hanya disebut penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan, tanpa menyebut bentuk dari cara penyelesaian diluar pengadilan. Demikian pula dalam penjelasan pasal 45 ayat (2) dimungkinkan mengadakan perdamaian

  48 sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK.

  Penyelesaian sengketa berikutnya yaitu melalu jalur litigasi atau dengan kata lain melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan

  49

  hanya dimungkinkan apabila:

  a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Jika melihat pada syarat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa, setelah menempuh upaya pemyelesaian sengketa di luar pengadilan sebelumnya.

  Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih disarankan untuk dilakukan

  50

  sebelum upaya hukum penyelesaian di pengadilan karena :

  1. Penyelesaian sengketa di pengadilan sangat lambat;

  2. Biaya berperkara yang mahal;

  3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif;

  4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

  48 49 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit h. 226 50 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit h. 234 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit h 237

  Dalam menempuh penyelesaian sengketa melalui pengadilan, harus diperhatikan mengenai dua kompetensi yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

  1. Kompetensi absolut yaitu kewenangan badan peradilan untuk memeriksa suatu kasus. Dalam hal sengketa konsumen ini, yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah Pengadilan Negeri.

  2. Kompetensi relatif yaitu kewenanngan mengadili / memeriksa perkara dari suatu pengadilan negeri berdasarkan pada pembagian daerah hukum. Dalam penyelesaian sengketa konsumen, Pengadilan Negeri yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah Pengadilan Negeri dimana tempat penggugat tinggal. Tetapi jika domisili tergugat terlalu jauh untuk mencapai Pengadilan Negeri tempat penggugat tinggal, maka dapat disepakati oleh kedua belah pihak untuk memilih tempat dimana pengadilan yang berhak untuk memutus sengketa tersebut.

  Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak banyak ketentuan yang memuat tentang penyelesaian sengketa di pengadilan. Hal ini dikarenakan cara sengketa melalui pengadilan ini menggunakan hukum acara yang umum yang berlaku selama ini yaitu sesuai dengan HIR/RBg.

  Semua upaya penyelesaian sengketa konsumen ini dapat ditempuh oleh penumpang yang dirugikan atas hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara. Namun penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih di sarankan untuk dilakukan. Setelah penyelesaian di luar pengadilan tersebut tidak berhasil, maka penumpang selaku konsumen dapat menggugat maskapai penerbangan melalui Pengadilan Negeri.

3.2. Dasar Gugatan Konsumen atas Kerugian Hilang, Musnah dan Rusaknya Barang di Bagasi Pesawat udara

  Dalam sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen apabila terjadi sengketa antara maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat udara mengenai ganti kerugian atas hilang, rusak, dan musnahnya barang penumpang di bagasi pesawat udara, maka selanjutnya akan diuraikan mengenai dasar gugatan yang dapat diajukan oleh penumpang pesawat udara.

  Setelah mengetahui lembaga mana yang akan dituju untuk mengajukan gugatan, selanjutnya penumpang pesawat udara selaku konsumen dapat mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi atau atas dasar perbuatan melanggar hukum.

  Gugatan atas dasar wanprestasi dapat diajukan apabila antara konsumen yang dalam hal ini penumpang pesawat udara dan maskapai penerbangan selaku pelaku usaha telah terikat dalam suatu perjanjian. Gugatan wanprestasi ini timbul karena suatu perjanjian, bukan timbul karena undang-undang. Dalam hal ini maskapai penerbangan dan penumpang pesawat udara telah terikat dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian pengangkutan penumpang dan barang yang mana perjanjian tersebut telah tertulis dan dapat dibuktikan oleh suatu tiket pesawat udara.

  Adanya suatu gugatan atas dasar wanpresatsi dari penumpang pesawat udara terhadap maskapai penerbangan ini dapat disebabkan kerena maskapai penerbangan tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian pengangkutan penumpang dan barang antara kedua belah pihak. Contohnya adalah pihak maskapai tidak menjaga barang-barang milik penumpang di bagasi sehingga barang milik penumpang pesawat udara di bagasi hilang atau rusak.

  Gugatan wanprestasi juga dapat diajukan karena keterlambatan maskapai penerbangan dalam memenuhi kewajibannya, misalnya memberi ganti kerugian atas hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara selama lebih dari waktu yang diperjanjikan. Dan dapat juga didasarkan pada pemenuhan kewajiban maskapai penerbangan, tetapi tidak seperti apa yang diperjanjikan. Misalnya saja maskapai penerbangan bersedia mengganti barang milik penumpang yang hilang, musnah, atau rusak di dalam bagasi pesawat udara, namun jumlah ganti kerugian itu sangat kecil dan tidak sesuai dengan kerugian yang nyata di derita penumpang pesawat udara.

  Gugatan dapat diajukan oleh penumpang pesawat udara terhadap maskapai penerbangan jika maskapai penerbangan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilaksanakan oleh maskapai penerbangan selaku pelaku usaha. Tidak dipenuhinya kewajiban maskapai penerbangan tersebut selanjutnya disebut dengan wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi adalah :

  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

  2. Terlambat memenuhi prestasi

  3. Memenuhi prestasi tapi tidak sebagaimana diperjanjikan

  4. Melakukan sesuatu yang dilarang / tidak seharusnya dilakukan Dalam kontrak antara maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat udara, maka ada klausula-klausula perjanjian yang didalamnya memuat tentang hak dan kewajiban para pihak, dimana salah satu kewajiban maskapai penerbangan adalah menjaga keselamatan dan keamanan penumpang dan barang selama perjalanan. Maka jika terjadi suatu kerugian atas hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara, dapat dikatakan bahwa maskapai penerbangan telah melakukan wanprestasi, sehingga penumpang pesawat udara yang dirugikan atas tidak terpenuhinya kewajiban maskapai penerbangan tersebut dapat melakukan gugatan wanprestasi.

  Macam-macam gugatan wanprestasi yang dapat diajukan adalah :

  1. Pemenuhan perikatan

  2. Pembatalan perikatan

  3. Ganti rugi

  4. Pemenuhan perikatan dan ganti rugi

  5. Pembatalan perikatan dan ganti rugi Dengan melihat macam-macam gugatan yang dapat diajukan oleh penumpang pesawat udara tersebut, maka atas hilang, musnah, dan/atau rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara, penumpang dapat mengajukan gugatan berupa ganti rugi kepada pihak maskapai. Sedangkan untuk ganti rugi yang dapat dimintakan melalui gugatan yaitu sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara yaitu dapat berupa pembayaran sejumlah uang atau penggantian barang yang sejenis dengan barang yang milik penumpang yang rusak di bagasi pesawat udara.

  Bila penumpang pesawat udara selaku konsumen akan mengajukan

  51

  gugatan atas dasar wanprestasi, maka perlu membuktikan:

  1. Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian);

  2. Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh produsen; dan

  3. Timbulnya kerugian bagian konsumen (penggungat); Selain gugatan atas dasar wanprestasi, dasar gugatan konsumen yang dalam hal ini penumpang pesawat udara selanjutnya adalah gugatan perbuatan melanggar hukum. Berbeda dengan gugatan wanprestasi yang berdasarkan pada perjanjian, maka gugatan perbuatan melanggar hukum ini dilakukan apabila ada hak dari konsumen yang terlanggar, atau pihak maskapai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan undang-undang.

  Dari pasal 1365 BW ternyata bahwa seseorang hanya bertanggung gugat

  

52

  atas kerugian orang lain, jika :

  a. Perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum (perbuatan melanggar hukum);

  b. Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal); c. Pelaku tersebut bersalah (kesalahan); dan

  d. Norma yang dilanggar mempunyai “strekking” untuk mengelakkan timbulnya kerugian (relativitas) Dari pernyataan tersebut maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur dalam perbuatan melanggar hukum adalah : 51

  1. Ada perbuatan melanggar hukum 52 Janus Sidabulok, Op.Cit. h. 152 Nieuwenhuis, Op.Cit h. 118

  2. Ada kerugian

  3. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugiannya

  4. Ada kesalahan Perbuatan melanggar hukum yang dimaksud disini bukan hanya perbuatan hukum yang melanggar undang-undang. Sejak kasus Lindebaum-Cohen tahun

  1919, maka perbuatan melanggar hukum dapat berupa :

  a. Melanggar hak orang lain;

  b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;

  c. Berlawanan dengan kesusilaan baik;

  d. Berlawanan dengan kecermatan yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

  Selanjutnya adalah adanya unsur kerugian yang dialami oleh penumpang yang harus dapat dibuktikan bahwa penumpang pesawat udara tersebut mengalami kerugian atas hilang, musnah, dan rusaknya barang milik penumpang di bagasi pesawat udara. Dan selanjutnya harus ada hubungan kausalitas yang berarti bahwa kerugian yang dialami oleh penumpang pesawat udara tersebut merupakan akibat dari kesalahan pihak maskapai penerbangan. Dan yang terakhir, unsur yang harus ada yaitu unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak maskapai penerbangan.

  Dalam hukum acara perdata yang kini masih berlaku di Indonesia, dikenal asas hakim bersifat menunggu, pasif. Artinya, bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, seseorang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (Pasal 1865 BW). Pasal ini mengandung makna :

  1. Seseorang dapat mengajukan peristiwa, dalam hal ini wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum, untuk menunjukkan haknya.

  53 2. Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.

  Namun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berlaku asas pembuktian terbalik, yaitu beban pembuktian berada pada pihak pelaku usaha, bukan pada konsumen. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi “Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur ‘kesalahan’ dalam gugatan ganti rugi sebagimana dimaksud pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”

  Yang dimaksud dengan beban pembuktian terbalik adalah dalam hal ini maskapai penerbangan selaku pelaku usaha harus bertanggung gugat atas kerugian yang dialami penumpang pesawat udara, sampai ia dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan pihak maskapai. Penumpang pesawat udara yang mengalami kerugian atas hilang, musnah, dan rusaknya barang milik penumpang di bagasi pesawat udara cukup mengajukan gugatan saja dengan menyatakan apa kerugian yang dialaminya, dan selanjutnya mengenai pembuktian kesalahan maskapai penerbangan terhadap kerugian tersebut menjadi tugas maskapai untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan pihak maskapai penerbangan.

  Pemberlakuan prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dan pembalikan beban pembuktian ini ditentukan oleh 2 faktor utama. Faktor yang pertama yaitu berdasarkan pertimbangan praktis, kebijaksanaan 53 hakim berdasar keadilan dan kepatutan dapat menyetarakan kedudukan

  Janus Sidabulok, Op.Cit h. 150 para pihak dalam sengketa dengan menentukan beban pembuktian. Kedua, prinsip tanggung gugat ini jelas sekali menentukan apa yang harus dibuktikan.

54 Prinsip pembalikan beban pembuktian tersebut sangat menguntungkan

  konsumen karena tidak perlu bersusah payah untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha. Konsumen cukup mengajukan gugatan dan sejak saat itu pelaku usaha dinyatakan bersalah, sampai pelaku usaha dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

  Namun demikian, penggugat atau konsumen yang dalam hal ini adalah penumpang pesawat udara dalam hal adanya gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum tetap diwajibkan untuk membuktikan adanya :

  1. Sifat melanggar hukum

  2. Kerugian yang di deritanya

  3. Kausalitas antara kerugian yang dialaminya dengan kesalahan pihak maskapai penerbangan

3.3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen atas Hilang, Musnah, dan Rusaknya Barang di Bagasi Pesawat udara

  Masalah yang dialami oleh penumpang terkait bagasi yang dititipkan di pesawat udara sangat sering membuat penumpang merasa kesal. Masalah-masalah yang dapat dialami oleh penumpang terkait bagasi pesawat udara tersebut antara lain adalah bagasi terlambat, bagasi tertukar dengan orang lain, bagasi terbawa ke tempat tujuan lain, bagasi rusak, sampai dengan bagasi hilang atau musnah. 54 Adrian Sutedi, Op.Cit h. 137

  Masalah-masalah dalam bagasi pesawat udara tersebut sangat bergantung pada bagaimana cara maskapai mengelola barang penumpang yang dititipkan dalam bagasi selama penumpang check-in di bandara keberangkatan, sampai diterima di bandara kedatangan. Semakin bagus sistem yang di pakai suatu maskapai dalam mengelola bagasi penumpang, maka akan semakin sedikit kerugian bagasi yang mungkin dialami penumpang.

  Dalam hal penanganan bagasi penumpang dan penyelesaian mengenai kerugian penumpang atas hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara dapat diambil contoh dari sistem penanganan bagasi serta penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh salah satu maskapai penerbangan di Indonesia, yaitu Garuda Indonesia. Garuda Indonesia merupakan perusahaan besar favorit penumpang, namun tidak jarang pula penumpang merasa kecewa atas kerugian berupa hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara Garuda Indonesia. Selanjutnya akan diuraikan sistem penanganan bagasi penumpang di Garuda Indonesia, beserta penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh maskapai Garuda Indonesia terhadap penumpangnya atas kerugian barang penumpang di bagasi pesawat udara berdasarkan cerita dari nara sumber.

  Garuda Indonesia salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang melayani rute penerbangan domestik dan internasional, sering kali dijumpai kasus bagasi bermasalah. Berikut ini adalah cara-cara maskapai Garuda Indonesia dalam mengelola barang penumpang yang dititipkan di bagasi tercatat pesawat udara

55 Garuda Indonesia :

  Penanganan bagasi keberangkatan dimulai pada saat penumpang tersebut melakukan check in di Airport. Setelah bagasi ditimbang dan dicatat lalu dimasukkan kedalam sistem. Pihak Garuda Indonesia harus menempelkan label tujuan dan nomor claim tag bagasi tersebut. Bila bagasi itu ada label lama maka pihak Garuda Indonesia harus mencabut label tersebut dan mengganti dengan label tujuan yang baru. Bagasi-bagasi tersebut setelah ditimbang dan diberi claim

  tag serta diberi label sesuai tujuannya, kemudian diserahkan kepada porter untuk diangkut ke atas baggage cart untuk menunggu saat loading.

  Penanganan bagasi pada saat kedatangan dimulai ketika pesawat udara sudah mendarat dalam posisi blok on, yaitu pesawat udara dalam keadaan tidak bergerak dan ganjalan roda (whellchocks) telah terpasang. Selain itu pintu kopartemen dapat segera dibuka dan semua barang-barang angkutan baik bagasi, kargo, atau mail segera dikeluarkan (unload) kemudian diangkut ke atas baggage cart.

  Bagasi-bagasi yang diturunkan ini setelah diangkut keatas baggage cart langsung dibawa ke bagian claim area, yaitu suatu ruangan dimana para penumpang dapat mengambil bagasinya. Penumpang yang hendak mengambil bagasi dapat menunjukkan claim tag yang dimilikinya untuk diberikan kepada petugas agar bagasinya segera diberikan.

55 Beny Gunawan, http://benygunawan.blogspot.com/2012/05/tanggung-jawab-sengketa-

  antara-ptgaruda.html. diakses terakhir tanggal 21 November 2014

  Setiap penyerahan bagasi oleh penumpang kepada petugas perusahaan penerbangan, penumpang tersebut mendapat sebuah label disebut baggage tag (label bagasi) yang menyebutkan kota tujuan dari penumpang tersebut. Baggage

  tag ini merupakan bukti bagi penumpang atas barang yang sudah diserahkan

  kepada perusahaan penerbangan sehingga tanggung jawab ada pada perusahaan sampai dengan kota tujuan terakhir.

  Jika kemudian ada barang milik penumpang di bagasi yang hilang, yang pertama dilakukan adalah dengan memeriksa kompartemen pesawat udara atau area sekitarnya, karena mungkin bagasi tersebut belum diturunkan. Bila ternyata bagasi tidak ditemukan, maka penumpang yang kehilangan bagasi itu harus memenuhi beberapa prosedur sebelum petugas melekukan pencarian atas bagasi yang hilang terebut (tracing).

  Petugas Lost and Found dalam menangani masalah ini dilihat dahulu apakah penumpang yang kehilangan bagasi itu masih berada dilokasi kedatangan atau belum keluar dari area tersebut dan petugas memeriksa dahulu arrival hall dan baggage sorting.

  Perusahaan penerbangan Garuda Indonesia menggunakan system BAHAMAS (Baggage Handling Management System) dan WTC (Wolrd Tracer) dalam proses pencarian barang yang hilang.berpusat di Atlanta (ATL).

  Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan bagian Lost and Found dalam menangani bagasi yang hilang : a. Penumpang melapor kebagian Lost and Found

  b. Mencatat nomor label bagasi

  c. Bila tidak ditemukan dibuatkan laporan hilang dengan mengisi formulir “Property Irregularity Report” (PIR) dengan mencatat : 1) Nama, alamat penumpang, bagasi dan rute perjalannya 2) Ciri-ciri bagasi

  3) Mencatat isi bagasi sesuai dengan daftar nama-nama barang yang dibawa oleh penumpang 4) Nomor bagasi yang hilang

  d. Mengirim berita kehilangan bagasi ke seluruh stasiun yang berhubungan dengan penerbangan penumpang.

  e. Menghimpun bukti-bukti berita pelacakan sampai bagasi ditemukan atau tidak ditemukan. Setelah data mengenai bagasi yang hilang sudah lengkap, petugas lost and

  found dapat memulai tracing dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Membuat AHL (Adyise Handling Lunggage), yaitu sebuah entry untuk dikirim ke beberapa bandara dimana bagasi tersebut diperkirakan berada. Entry ini berisi data-data lengkap mengenai bagasi tersebut, seperti tag number, nama pemilik, serta deskripsi fisik dari bagasi tersebut.

  2. Menunggu info dari bandara-bandara yang dikirimkan AHL.

  3. Bila ternyata ada bandara yang memberitahukan ada kelebihan bagasi ditempatnya yang sesuai dengan deskripsi AHL tadi, maka petugas dibandara yang membuat AHL segera mengirimkan pesan untuk ke bandara yang kelebihan tersebut dengan enrty ROH (Request On Hand

  Baggage).

  4. Menunggu kiriman bagasi tersebut sesuai dengan yang dijadwalkan oleh bandara yang menemukan bagasi

  5. Setelah bagasi tersebut sampai di bandara yang kehilangan bagasi dan pemilik bagasi telah menerimanya, maka petugas harus membuat sebuah entry penutup (pada sistem komputer yang dimaksud), yang disebut CAH (Close AHL File), yang menyatakan kasus tersebut telah selesai. Namun bila bagasi penumpang tersebut tetap tidak ditemukan atau dinyatakan hilang, maka penumpang dapat menuntut ganti rugi kepada pihak maskapai. Persyaratan yang harus dibawa untuk mengklaim/menuntut ganti rugi ke pihak Garuda Indonesia adalah sebagai berikut : a. Menyerahkan Property irregularity Report (PIR)

  b. Fotokopi cover tiket, boarding pass dan copy tracing

  c. Claim tag

  d. Missing baggage questionnaire (berlangsung tanya jawab kepada penumpang danpetugas yang mengisinya)

  e. Claim Correspondence

  f. Final release (surat pernyataan)

  g. Voucher pembayaran h. Claim settlement form (klaim yang harus ditanda tangani oleh Distric

  Manager atau Station Manager)

  Setelah penumpang memenuhi persyaratan diatas maka petugas mengisi formulir penyelesaian klaim (clain settlement form). Berikut ini adalah hal-hal yang tercantum dalam formulir penyelesaian klaim :

  a. Tanggal pembuatannya

  b. Nomor klaim

  c. Nama penuntut

  d. Alamat penuntut

  e. Bentuk klaim (kehilangan, keterlambatan, kerusakan, kecurian, dan keluhan) f. Merujuk nomor arsip

  g. Nomor penerbangan yang gunakan penuntut

  h. Tanggal penerbangan i. Asal keberangkatan j. Tempat tujuan k. Berat bagasi pada waktu ditimbang di tempay check-in l. Total uang klaim m. Total uang dibayar n. Konversi ke US $ o. Penjelasan tentang alasan penyelesaian klaim p. Disiapkan oleh (tanda tangan staff) q. Disetujui oleh (tanda tangan orang yang berwenang) Setelah penumpang melengkapi persyaratan yang telah ditentukan, maka penumpang membawa persyaratan tersebut ke PT Garuda Indonesia Gunung

  Sahari di bagian administrasi, disana penumpang akan memndapatkan uang ganti rugi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak Setelah mengetahui sistem penanganan bagasi tercatat di maskapai Garuda

  Indonesia yang sangat terorganisir tersebut, patutlah di duga bahwa pemberian ganti rugi atas hilang, musnah, atau rusaknya bagasi milik penumpang pasti sesuai dengan kerugian yang nyata-nyata diderita penumpang. Namun demikian, penyelesaian sengketa yang timbul antara maskapai penerbangan dengan penumpang pesawat udara seringkali berjalan tidak sesuai dengan harapan konsumen. Pada prakteknya, penyelesaian sengketa tersebut tidak berjalan seperti apa yang telah di uraikan. Seperti sebuah contoh kasus penyelesaian sengketa pemberian ganti kerugian atas rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara maskapai Garuda Indonesia beberapa waktu lalu yang menimbulkan kekecewaan penumpangnya. Berikut hasil wawancara dengan penumpang pesawat udara yang mengalami kerusakan barang di bagasi pesawat udara tersebut.

  Pada 12 September 2014, penumpang memiliki penerbangan dengan rute Surabaya-Makassar menggunakan Maskapai Garuda Indonesia. Penumpang menggunakan jasa bagasi pesawat udara dengan menitipkan 1 (satu) buah koper ke dalam bagasi tercatat pesawat udara. Sesampainya di Makassar, saat bagasi telah diambil, penumpang menemukan bagasinya dalam keadaan sudah rusak.

  Koper milik penumpang sudah dalam keadaan penyok, gagang untuk menarik koper sudah tidak berfungsi lagi, dan pada bagian bawah koper sudah robek.

  Penumpang mengatakan bahwa kerusakan yang terjadi atas kopernya sangat parah. Barang-barang yang ada di dalam koper seperti kosmetik dan perlengkapan mandi sudah dalam keadaan pecah dan isinya berantakan. Menurut penumpang, tidak mungkin kerusakan tersebut karena dibanting, dan sangat masuk akal

  56 kerusakan tersebut karena koper penumpang telah di acak-acak.

  Penumpang lalu mengadukan masalah tersebut ke Counter Garuda Indonesia Airlines yang ada di terminal Kedatangan Bandara Sultan Hasanudin di Makassar. Tanggapan dari pihak maskapai yaitu dengan langsung memfoto koper penumpang yang rusak tersebut, lalu mengatakan bahwa akan memberikan ganti 56 Hasil wawancara dengan Cintya, Mahasiswi Fakultas Kedokteran, Penumpang Pesawat

  udara Garuda Airlines. Wawancara dilakukan tanggal 21 November 2014 rugi namun baru bisa diambil 2 hari lagi saat penumpang akan kembali ke

57 Surabaya.

  Dua hari berikutnya penumpang ke bandara lagi untuk melakukan perjalanan pulang ke Surabaya, sekaligus meminta ganti rugi kepada pihak maskapai seperti apa yang telah dijanjikan sebelumnya. Namun penumpang sangat kaget dan kesal karena ternyata atas kerusakan parah tersebut penumpang hanya di beri ganti rugi sebesar Rp 150.000,-. Penumpang merasa tidak terima atas ganti rugi tersebut, lalu penumpang melakukan protes lagi ke pihak maskapai.

  Kali ini petugas yang berbeda dari petugas yang menangani claim sebelumnya, mengatakan bahwa foto koper yang diambil beberapa hari yang lalu tidak jelas dan tidak terlihat rusak parah. Atas dasar itu maka pihak maskapai memberikan

  

58

ganti rugi sebesar Rp 150.000,- saja.

  Penumpang ingin menuntut lebih banyak lagi, namun pihak maskapai tetap bersikeras bahwa itu karena kesalahan bukti foto yang tidak jelas. Akhirnya karena penumpang juga diburu waktu dengan penerbangan ke Surabaya, akhirnya penumpang menerima ganti rugi sebesar Rp 150.000,- tersebut dan memilih untuk tidak berdebat dengan petugas lagi. Atas kejadian tersebut, penumpang menyatakan tidak puas dengan ganti kerugian yang diterimanya yang dirasa tidak sebanding dengan kerusakan kopernya dan penumpang juga kecewa atas tanggapan pihak maskapai yang terkesan mengulu-ngulur waktu serta tidak mau disalahkan. Penumpang membutuhkan waktu 1 jam untuk menunggu complain tersebut ditanggapi, dan menunggu 2 hari untuk pemberian ganti rugi, yang pada 57 58 Ibid ibid akhirnya tidak sesuai. Namun penumpang tidak terbesit pikiran untuk mengadukan peristiwa tersebut ke Lembaga Perlindiungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang ada, ataupun ke Pengadilan, karena penumpang tidak punya banyak waktu luang dan merasa malas untuk memperpanjang urusan, mengingat sikap pihak maskapai yang sangat tidak menghargai. Jadi penumpang memilih

  59 menerima ganti rugi tersebut walau sebenarnya penumpang tidak puas.

  Dari hasil wawancara tersebut, terlihat bahwa pihak maskapai penerbangan mengulur-ulur waktu dalam melaksanakan ganti kerugiannya, dan seolah-olah tidak mau disalahkan atas kerugian yang telah dialami penumpang dalam hal kerusakan barangnya di bagasi pesawat udara. Dan penumpang pesawat udara yang dirugikan memilih untuk tidak menyelesaikan sengketa tersebut melalui lembaga-lembaga yang telah disediakan oleh Negara ataupun melalui Pengadilan karena penumpang tidak mau berurusan dengan lembaga-lembaga teresebut yang menurut penumpang hanya akan memperumit masalah, sedangkan penumpang tidak memiliki cukup banyak waktu untuk mengurus masalah tersebut.

  Penyelesaian sengketa secara damai pasti yang dipilih oleh pihak maskapai panerbangan sebagai upaya penyelesaian sengketa yang pertama kali dilakukan, seperti halnya yang termuat dalam wawancara pada penumpang pesawat udara Garuda Indonesia tersebut. Namun tak jarang bahwa jalan damai tersebut membuat penumpang selaku konsumen berada pada posisi yang di rugikan. 59 Ibid

  Di Indonesia sendiri, budaya penyelesaian sengketa damai memang menjadi pilihan. Bahkan pihak konsumen pun lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa secara damai tanpa harus menindaklajuti kasus yang merugikannya tersebut. Budaya ‘menghindari konflik’ yang dianut oleh konsumen ini menyebabkan sedikitnya kasus mengenai kerugian atas hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara yang di adukan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ataupun ke Pengadilan, padahal di Indonesia banyak sekali terjadi kerugian atas hilang, musnah, dan rusaknya barang penumpang di bagasi pesawat udara.