Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Kerugian atas Penggunaan Barang yang Mengandung Cacat Tersembunyi ( Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen dan Kuh Perdata)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN ATAS PENGGUNAAN BARANG YANG MENGANDUNG CACAT

TERSEMBUNYI ( DITINJAU DARI UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KUH PERDATA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas Dalam Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

NOPIKA SARI ARITONANG NIM : 100200365

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN ATAS PENGGUNAAN BARANG YANG MENGANDUNG CACAT

TERSEMBUNYI ( DITINJAU DARI UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KUH PERDATA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas Dalam Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

NOPIKA SARI ARITONANG NIM : 100200365

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H.,M.Hum. NIP. 196603031985081001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Malem Ginting, S.H., M.Hum Mohammad Siddik,S.H., M.Hum


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan hormat penulis panjatkan kepada Allah Tri Tunggal yang telah memberikan pertolongan dan kemampuan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan selama kurang lebih empat tahun sampai menyelesaikan penulisan ini. Bersyukur atas setiap hikmat, semangat dan kesempatan yang Dia berikan sampai saat ini. Dialah Tuhan yang bermurah hati dan setia memberkati anak – anak-Nya.

Setiap mahasiswa yang akan mendapatkan gelar sarjana pasti memiliki kewajiban untuk menyelesaikan skripsi. Demikian dengan penulis, maka untuk memperoleh gelar sarjana maka penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul : Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Kerugian Atas Penggunaan Barang yang Mengandung Cacat Tersembunyi ( Ditinjau Dari UU Perlindungan Konsumen Dan Kuh Perdata). Dalam skripsi ini, diuraikan seperti apa perlindungan konsumen yang mengalami kerugian dalam penggunaan produk yang memiliki cacat tersembunyi.

Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan motivasi. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin, SH., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktunya untuk mengajari, membimbing dan mengarahkan penulis. Terima kasih untuk disiplin, ketelitian dan semangatnya. Sungguh sangat menginspirasi penulis selama kuliah di Fakultas Hukum USU.

7. Bapak Mohammmad Siddik, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis untuk meyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen, Staf Administrasi, Pegawai dan Abang Kakak Pegawai Perpustakaan di lingkungan Fakultas Hukum USU dan juga Perpustakaan Umum.

9. Teristimewa untuk lelaki dan wanita terhebat dan luar biasa sepanjang masa yang telah menjadi saluran berkat bagi penulis yaitu kedua orang tua penulis Bapak B. Aritonang dan Ibu L. Lumban Gaol, terima kasih untuk setiap doa, motivasi, dan berkat luar biasa yang boleh penulis rasakan. Tuhan memberkati setiap harapan kita.

10.Trima kasih untuk kakak, abang, dan adik – adik terkasih: Evo Aritonang Am.Keb., Jul Freddi S.Hut., Adelastri, Rikky, dan Tasya setiap kebersamaan dan dukungan serta doa - doa nya. Tuhan menjaga kalian, teruslah berjuang.


(5)

11.Terima kasih untuk untuk Pak Tua dan Mak Tua terkasih yang luar biasa : Drs. Pantas Purba dan Lumsi Lumban Gaol atas nasihat, doa dan juga dukungan selama perkuliahan di FH USU, semangat yang dimiliki mendidik anak sangat menginspirasi penulis. Juga buat Oppungku terkasih : J. Lumban Gaol (+) dan L. Br. Manullang, tinggal bersama membentuk saya menjadi pribadi seperti sekarang, dan saya percaya ini juga adalah doa kalian. Juga buat Tulang/ nantulang terbaik : J. Lumban Gaol/T. Purba, untuk setiap doa dan semangat yang memotivasi penulis.

12.Terima kasih juga untuk kakak dan adik – adik terkasih, yang selalu bertanya, selalu menemani di rumah : ka Ita, Roinisma, Moria, Ernita dan juga adikku yang sangat bandal : Ronsen dan Nico, sampai jumpa di barisan orang – orang hebat yang takut akan Tuhan.

13.Teristimewa buat keluarga rohani UKM KMK USU UP FH, terpujilah Dia yang menempatkan saya di antara kalian, orang – orang yang sangat luar biasa. Terkhusus untuk Kelompok Kecil Gloria ( Ka Lusy, Kastro, Advend, Togi, Yuni, Fiona) dan Agathos ( Amel, Eka, Vinamya, Sylvia, dan Arjuna) yang terus setia mendoakanku, menanyai dan memotivasi ku. Juga untuk teman – teman koordinasi : Ka Monica, Bg Marupa, dan semua Tim 18 + 1, sampai jumpa di barisan pemimpin – pemimpin yang takut akan Tuhan. “teruskanlah pelayananmu, maju dan terus maju”

14.Untuk teman – teman selama menjalani kuliah di Fakultas Hukum ,terima kasih atas semangat dan masukan – masukannya : Juliani, Syarifah SH., Yessica Tri Angeline SH., Santa, Resky, Nia dan semua teman – teman 2010.


(6)

15. Sahabat – Sahabat Penulis yang selama ini juga telah mendukung, memotivasi dan mendoakan ku. Terima kasih untuk “Dryaila” : Ida Nurlianti Purba Am.keb., Sutriyanti, Regina, Grace Samosir dan semua anak XII IPA 1 SMANSA POLLUNG.

16.Untuk teman – teman di IPPDS dan IMHU, terima kasih untuk setiap doa dan motivasinya, banyak hal dari kalian yang telah memahamkanku bagaimana hidup di perantauan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penulisan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis megharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan penulisan ke depan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi setiap pembaca.

Medan, Juli 2014 Hormat Penulis,

Nopika Sari Aritonang

 

                 


(7)

DAFTAR ISI   

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi 

ABSTRAK     BAB I PENDAHULUAN  A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode penelitian ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11 

    BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN  A. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia ... 14

B. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen dan Pelaku Usaha ... 16 

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 25 

D. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 31 

E. Prinsip Umum Perlindungan Konsumen ... 35 

  BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG BARANG CACAT TERSEMBUNYI  A. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi ... 39

B. Satandar Jaminan Produk ... 44 

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Product Liability) ... 50 

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN


(8)

A. Perlindungan Hukum dan Tanggung Jawab Pelaku UsahaTerhadap Kerugian Konsumen Berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. 

1. Menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 ... 60 2 . Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ... . 64 B. Peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam

Pengawasan Peredaran Barang yang Mengandung Cacat Tersembunyi 

1. Peran Pemerintah ... 80 2. Peran Lembaga Konsumen ... 84  C. Upaya Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen Terhadap

Penggunaan Barang yang Mengandung Cacat Tersembunyi 

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum ... 89 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 94 

 

BAB V : PENUTUP 

A. Kesimpulan ... 99 B. Saran ... 101 

   

Daftar Pustaka 

  


(9)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN ATAS PENGGUNAAN BARANG YANG MENGANDUNG CACAT TERSEMBUNYI (

DITINJAU DARI UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KUH PERDATA) Malem Ginting*

Mohammad Siddik* Nopika Sari Aritonang*

ABSTRAK

Seiring dengan semakin banyaknya variasi produk yang beredar dalam masyarakat, menjadi hal yang berdampak positif sekaligus negatif bagi konsumen Indonesia. Dalam mengawasi produk yang beredar sebenarnya pemerintah sudah membuat undang – undang yang mengatur hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Tapi, dalam kenyataanya, undang – undang tentang perlindungan konsumen tersebut belum mampu menertibkan setiap proses transaksi antara pelaku usaha dan konsumen. Pada kenyataannya masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Salah satunya yaitu masih ditemukan barang -barang yang mempunyai cacat tersembunyi yang sangat merugikan konsumen. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum konsumen menurut undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, peranan Pemerintah dan Lembaga Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang mangandung cacat tersembunyi, upaya penyelesaian sengketa konsumen atas kerugian dari penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyi.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menunjukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian untuk mendapatkan data sekunder. Pengumpulan data diambil dari berbagai sumber seperti perundang – undangan, buku – buku, dan data dari internet yang sesuai dengan pembahasan skripsi ini.

Mengenai cacat tersembunyi, undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah menegaskan dalam Pasal 11 huruf b yang melarang pelaku usaha menjual barang – barangnya yang dilakukan dengan cara obral atau lelang yang menyatakan bahwa barang atau jasa seolah – olah tidak mengandung cacat tersembunyi. Tapi dalam kenyataannya masih banyak pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dalam hal tersebut. Untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian maka Pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan kepada Konsumen dan Pelaku Usaha . Dan setiap sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha, maka undang undang juga telah mengaturnya yaitu bisa melalui pengadilan dan juga luar pengadilan.

Kata Kunci : - Perlindungan Konsumen ‐ Barang

‐ Cacat tersembunyi ______________________

* Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Mahasisiswi Fakultas Hukum Departemen Hukum Perdata BW Universitas Sumatera Utara


(10)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN ATAS PENGGUNAAN BARANG YANG MENGANDUNG CACAT TERSEMBUNYI (

DITINJAU DARI UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KUH PERDATA) Malem Ginting*

Mohammad Siddik* Nopika Sari Aritonang*

ABSTRAK

Seiring dengan semakin banyaknya variasi produk yang beredar dalam masyarakat, menjadi hal yang berdampak positif sekaligus negatif bagi konsumen Indonesia. Dalam mengawasi produk yang beredar sebenarnya pemerintah sudah membuat undang – undang yang mengatur hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Tapi, dalam kenyataanya, undang – undang tentang perlindungan konsumen tersebut belum mampu menertibkan setiap proses transaksi antara pelaku usaha dan konsumen. Pada kenyataannya masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Salah satunya yaitu masih ditemukan barang -barang yang mempunyai cacat tersembunyi yang sangat merugikan konsumen. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum konsumen menurut undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, peranan Pemerintah dan Lembaga Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang mangandung cacat tersembunyi, upaya penyelesaian sengketa konsumen atas kerugian dari penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyi.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menunjukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian untuk mendapatkan data sekunder. Pengumpulan data diambil dari berbagai sumber seperti perundang – undangan, buku – buku, dan data dari internet yang sesuai dengan pembahasan skripsi ini.

Mengenai cacat tersembunyi, undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah menegaskan dalam Pasal 11 huruf b yang melarang pelaku usaha menjual barang – barangnya yang dilakukan dengan cara obral atau lelang yang menyatakan bahwa barang atau jasa seolah – olah tidak mengandung cacat tersembunyi. Tapi dalam kenyataannya masih banyak pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dalam hal tersebut. Untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian maka Pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan kepada Konsumen dan Pelaku Usaha . Dan setiap sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha, maka undang undang juga telah mengaturnya yaitu bisa melalui pengadilan dan juga luar pengadilan.

Kata Kunci : - Perlindungan Konsumen ‐ Barang

‐ Cacat tersembunyi ______________________

* Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. *** Mahasisiswi Fakultas Hukum Departemen Hukum Perdata BW Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan dan perkembangan perekonomian khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang/atau jasa melintasi batas – batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.1 Jika tidak berhati - hati dalam memilih produk barang yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.2

Realitas tersebut menjadi tantangan positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif karena kondisi tersebut bisa memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan menentukan jenis dan kualitas barang/jasa sesuai dengan kebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lemah daripada pelaku usaha.3 Dalam hal ini, konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan

      

1 Adrian Sutedi, 

Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,   ( 

Jakarta : Ghalia Indonesia : 2006), hlm. 1  

2 

Happy Susanto, Hak – Hak Konsumen Jika Dirugikan (Jakarta : Transmedia Pustaka: 

2008) hlm. 2 

3 


(12)

yang sebesar – besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak nya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.

Kerugian – kerugian yang dialami konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hal ini apabila konsumen menerima barang yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka pelaku usaha telah melakukan wanprestasi. Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu jika terjadi perbuatan melanggar hukum yang dapat berupa adanya cacat pada barang yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu sendiri.4

Dalam menghadapi berbagai hal di atas, maka sangatlah penting perlindungan terhadap konsumen. Perlindungan konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung,

       4 

Ahmadi Miru, Prinsip – Prinsip Bagi Perlindungan Hukum Konsumen di Indonesia


(13)

konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampak paling banyak. Dengan demikan upaya upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen.5

Menimbang berbagai hal di atas, pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821 ( selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 1999). UU No. 8 Tahun 1999 ini berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, hal ini menjadi kekuatan hukum bagi konsumen dan juga pelaku usaha.

Namun dalam perkembangannya, pemberlakuan UU No. 8 Tahun 1999 ini tidak sepenuhnya maksimal terkhusus dalam hal melindungi hak – hak konsumen. Konsumen dalam banyak hal tetap di posisi lemah. Disatu sisi, keberpihakan pemerintah kepada pengusaha lebih mengedepankan pada upaya pemulihan dan penyehatan ekonomi Indonesia yang sedang tidak sehat, disisi lain, pelaku usaha nampaknya tidak peduli dengan konsumen, meskipun lebih

       5 

Celina Tri Siwi Kristyanti, Hukum Perlindungan Konsumen ,( Jakarta: Sinar Grafika: 


(14)

dari satu juta konsumen mengalami kerugian sebagai akibat dari adanya cacat barang, yang mengakibatkan kerugian materil, cacat tubuh, bahkan kematian.6

Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), ada beberapa faktor yang menyebabkan posisi konsumen lemah yaitu7:

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak – hak nya. 2. Belum terkondisikannya “masyarakat konsumen” karena memang

sebagian masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak – haknya dan kemana hak – haknya dapat disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan untuk menuntut hak – haknya.

4. Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan

Ketidakpahaman atau bahkan ketidaktahuan konsumen terhadap hak – haknya atas produk yang diperoleh, kalau dibiarkan terus – menerus terjadi di masyarakat khususnya konsumen, maka akan berdampak meniadakan hak konsumen yang sudah ditetapkan dalam perundang – undangan. Sementara sudah sangat jelas ketentuan tentang produk yang seharusnya beredar di masyarakat. Untuk produk yang diedarkan atau diperdagangkan, UU No. 8

       6 

Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm.6. 

7 Happy Susanto, 


(15)

Tahun 1999 mengatur dalam Pasal 8, barang dan/jasa yang dilarang sebagai berikut8 :

1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang - undangan;

2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;

10.tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 2 menyebutkan :

“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.”

Selanjutnya dalam UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 11 huruf b disebutkan : “bahwa pelaku usaha dilarang menjual barang – barangnya yang dilakukan dengan cara obral atau lelang yang menyatakan bahwa barang atau jasa seolah – olah tidak mengandung cacat tersembunyi.”

       8 


(16)

Selain itu, dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 mengatur hak – hak konsumen yang menyatakan:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

Berdasarkan Pasal diatas yang menjadi sorotan penulis adalah apa yang terdapat dalam Pasal 11 huruf b, Pasal 8 ayat (1d) dan Pasal 8 ayat (2) yaitu mengenai produk (barang) yang dilarang yaitu barang yang dalam keadaan cacat tersembunyi, dimana di sisi lain pihak konsumen mempunyai hak – hak yang harus dilindungi seperti di atur dalam Pasal 4 di atas khususnya Pasal 4 huruf a, b, dan e.

Cacat tersembunyi dalam hal ini artinya setiap produk yang dalam kasak mata dan dengan ketelitian pada saat perolehan produk, memang tampak seolah sudah memenuhi standar tapi dalam penggunaannya konsumen dirugikan karena tidak terpenuhinya tujuan awal dari produk tersebut. Menurut Subekti, klaim terhadap cacat tersembunyi memiliki jangka waktu. Klaim tersebut harus diajukan dalam waktu singkat, jika tidak maka dianggap meskipun ada cacat tersembunyi pembeli telah menerimanya. Dan dalam penulisan ini, penulis membatasi pembahasan yang akan dikaji di bab berikutnya yaitu mengenai produk dalam bentuk barang.


(17)

Ketidakpatuhan pelaku usaha terhadap apa yang ditetapkan dalam Pasal 11 huruf b, Pasal 8 ayat (1d) dan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999, akan merugikan masyarakat luas dan memungkinkan akan mematikan konsumen secara perlahan jika konsumen tidak tahu bagaimana kedudukan serta cara mempertahankan haknya sebagaimana yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 dan KUH Perdata, mengingat juga bahwa dalam banyak hal kedudukan konsumen pada umumnya lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha maka pembahasan tentang perlindungan konsumen tetap dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk dikaji ulang. Maka inilah yang menjadi kajian penulis dalam skripsi ini yang diberi judul “Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Kerugian Atas Penggunaan Barang Yang Mengandung Cacat Tersembunyi ( Ditinjau Dari UU Perlindungan Konsumen Dan KUH Perdata).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana perlindungan hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen berdasarkan Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ?

2. Bagaimana peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang mengandung cacat tersembunyi?

3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen terhadap penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyi?


(18)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis dalam membahas masalah perlindungan hukum konsumen terhadap kerugian atas produk barang yang mempunyai cacat tersembunyi adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen akibat menggunakan barang yang mengandung cacat tersembunyi berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 dan KUH Perdata.

2. Untuk mengetahui peranan pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang mengandung cacat tersembunyi.

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen terhadap penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyi.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca terkait aturan hukum dalam hal terjadinya kerugian akibat pemakaian produk khususnya barang yang beredar di masyarakat luas dan khususnya barang yang mempunyai cacat tersembunyi. Selain itu, juga memberikan informasi kepada masyarakat terkait hak dan kewajibannya sebagai konsumen dan pelaku usaha menurut


(19)

peraturan perundang – undangan di Indonesia. Jadi secara teoritis diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum terkait perlindungan konsumen dalam hukum perdata.

2. Secara Praktis

Ditinjau dari segi praktisnya, penulisan skripsi ini diharapkan memberikan informasi tentang bagaimana tindakan dan kebijakan dalam menyelesaikan masalah hukum terkait kerugian akibat penggunaan barang yang mempunyai cacat tersembunyi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan sebuah karya ilmiah, harus memilki sumber data yang jelas. Data – data yang diperoleh bisa dari berbagai proses pencarian sepanjang berhubungan untuk menjawab permasalahan dalam karya ilmiah tersebut, Maka dalam ini penulis pun mencari data – data untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan – putusan pengadilan serta norma – norma hukum yang ada pada masyarakat.9

2. Data

       9 

Bambang  Sunggono,  Metodologi  Penelitian  Hukum,  (Jakarta:  Raja  Grafindo 


(20)

Data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, data sekunder adalah data yang bersal dari buku – buku, buku – buku harian, surat – surat pribadi dan dokumen dari pemerintah. Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data melalui penelitian kepustakaan ( library

research). Dan data yang digunakan adalah data sekunder yang dikaji

dari10 :

a. Bahan hukum primer, merupakan data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, misalnya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila, Traktat, Yurisprudensi, Adat, dan Kebiasaan. b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan – bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis. Misalnya RUU, buku – buku para sarjana, hasil penelitian, makalah hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan – bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya koran, majalah, kliping,kamus ensiklopedia dan sebagainya.

3. Alat pengumpulan Data

F. Keaslian Penulisan

Sebelum mengerjakan penulisan skripsi ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap judul skripsi yang terdapat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum / Perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 20 Januari 2014 menyatakan bahwa ada beberapa judul skripsi yang memiliki sedikit kesamaan dengan judul skripsi ini yaitu :

       10 

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan 


(21)

1. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen terlihat dari kerugian akibat barang cacat dan berbahaya ( disusun oleh Armina Sari Hudayati/950200013)

2. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Terhadap Cacat Tersembunyi Suatu Barang ditinjau Dari Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan Undang – Undang Perlindungan Konsumen (disusun oleh Evi D.Lestari Sitepu /010222071)

Penulis menyatakan bahwa tulisan ini tidak sama dengan tulisan yang lain, dan dapat dikatakan bahwa penulisan ini adalah asli. Penulis juga melakukan penelusuran melalui media internet, dan tidak ada judul yang sama persis dengan skripsi ini. Dan sekalipun ada, hal itu di luar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan skripsi ini. Karena pembahasan yang dibuat penulis ini merupakan asli hasil olah pikir penulis sendiri dan setiap pengutipan dari berbagai referensi untuk mendukung penulisan ini pasti dicantumkan sumbernya. Oleh karena itu, keaslian penulisan ini dapat dijamin dan dipertanggungjawabkan oleh penulis.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami bagaimana arah dan isi dari penulisan skripsi ini, sehingga pembahasan dan penyajian dikatakan baik maka harus tercipta keteraturan dalam penyusunannya. Maka dari itu Penulis menyajikan skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan dan berkesinambungan.


(22)

Skripsi ini terdiri dari 5 ( lima) bab dan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Garis besar dari tiap bab adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN.

Dalam bab ini diuraikan latar belakang, yaitu apa yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul ini. Perumusan masalah yaitu hal – hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, tujuan penulisan yaitu maksud dari penulis menulis skripsi dengan judul tersebut, manfaat penulisan yaitu apa yang menjadi manfaatnya bagi penulis dan setiap pembaca, metode penelitian yaitu metode yang penulis gunakan dalam mengkaji setiap permasalahan, keaslian penulisan yaitu penegasan bahwa skripsi ini dapat dijamin keasliannya dan bukan merupakan bentuk plagiat dari penulisan lain, dan sistematika penulisan yaitu uraian ringkas dari isi skripsi ini.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN.

Dalam bab ini penulis memaparkan sejarah perlindungan konsumen di Indonesia, defenisi perlindungan konsumen, pengertian konsumen dan pelaku usaha, hak dan kewajiabn konsumen dan pelaku usaha, asas dan tujuan perlindungan konsumen serta prinsip umum perlindungan konsumen.

BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG BARANG CACAT


(23)

Dalam bab ini penulis memaparkan pengertian barang dan barang cacat tersembunyi, standar jaminan produk dan tanggung jawab pelaku usaha (product liability),

BAB IV: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KERUGIAN

KONSUMEN ATAS PENGGUNAAN BARANG CACAT

TERSEMBUNYI 

Dalam bab ini penulis memaparkan bentuk perlindungan konsumen atas kerugian dari penggunanaan barang yang mengandung cacat tersembunyi menurut UU No. 8 Tahun 1999 dan KUH Perdata, peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam mengawasi peredaran barang yang mengandung cacat tersembunyi serta upaya penyelesaian sengketa atas kerugian konsumen terhadap penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.

Dalam bab ini, penulis memaparkan bagian akhir dari penulisan skripsi ini yaitu kesimpulan dari berbagai permasalahan dibahas sebelumnya. Setelah mendapat kesimpulan, maka penulis mendapatkan dan menyajikan beberapa poin yang merupakan saran dalam permasalahan tersebut.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Di Indonesia

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang – bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen seperti yang dilakukan YLKI dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atas konsumen.11

Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota

Consumers International (CI), Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia

(YLBKI) dan perwakilan YLK di berbagai provinsi di Tanah Air.12

YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen pertama di Tanah Air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk

       11 

Happy Susanto, Op.Cit., hal.9. 

12 Celina Tri Kristiyanti, 


(25)

membantu konsumen agar hak – hak nya bisa terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.13

Gerakan konsumen Indonesia terus mengalami perkembangan, termasuk yang diprakarsai oleh YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UU No. 8 Tahun 1999 berhasil dibawa ke DPR.14 Gerakan dan perjuangan untuk mewujudkan sebuah undang – undang tentang perlindungan kosumen dilakukan selama bertahun – tahun. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU No. 8 Tahun 1999 bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai UU No. 8 Tahun 1999 . Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.15

Dan tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya yang terus – menerus dilakukan oleh YLKI, salah satu andil yang juga mendorong kehadiran UU No. 8 Tahun 1999 adalah juga karena cukup kuatnya tekanan dari dunia Internasional. Setelah pemerintah RI mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreemeent Estabilizing the world Trade Organization

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), maka ada

kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar – standar hukum yang

       13 

Happy Susanto, Op.Cit.,  hal.10. 

14 

Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit., hal.17 

15 Happy Susanto,


(26)

berlaku dan diterima luas oleh negara – negara anggota WTO. Salah satu di antaranya adalah perlunya eksistensi UU No. 8 Tahun 1999.16

B. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan Perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Menurut Pasal 1 angka 4 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang dimaksud perlindungan adalah :

“ segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pelaksana lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”

Perlindungan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 Tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah:

“suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Sedangkan pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu

      

16 Celina Tri Kristiyanti


(27)

gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.17

Menurut Az. Nasution, perlindungan hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu Az. Nasution dalam bukunya yang lain menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Jadi dibedakan pengertian antara hukum perlindungan konsumen dan hukum konsumen.

Perlindungan hukum yang penulis maksud dalam skripsi ini tentunya adalah perlindungan hukum berupa upaya – upaya yang ditetapkan dalam peraturan perundang - undangan dalam setiap proses transaksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut, dengan kata lain adalah perlindungan hukum konsumen.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999, pengertian dari perlindungan konsumen adalah :

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Dengan demikian dalam perlindungan hukum konsumen, terdapat upaya – upaya yang ditetapkan oleh perundang – undangan sebagai

       17 

“Pengertian Perlindungan Hukum” http://ntanaiu.blogspot.com/2012/09/pengertian‐


(28)

perlindungan kepada konsumen. Selain apa yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 dan KUH Perdata, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain juga yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum yaitu18 : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal

21 Juni 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 58 tahun 2001 Tanggal 21 juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

4. Keputusan Presiden RI Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdaganagan RI Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan

      

18 Happy Susanto, 


(29)

Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan Kota Medan.

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.

10.Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

2. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumers dari (Inggris – Amerika), atau consument (Belanda). Pengertian dari consumers atau consument itu tertgantung dalam posisi dimana dia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula dalam


(30)

Kamus Bahasa Inggris – Indonesia memberi arti kata consumer sebagai konsumen atau pemakai.19

Dalam naskah akademik dan/atau naskah pembahasan rancangan peraturan perundang – undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen, yaitu 20:

a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir yaitu pemakai terakhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan.

b. Batasan konsumen dari YLKI yaitu pemakai barang atau jasa yang tersedia bagi masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI yaitu setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.

Sementara A.Z. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yaitu21:

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu

       19 

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.22 

20 

Ibid., hal.23 

21 


(31)

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir, adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Dalam Pasal 1 angka (15) UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usahan Tidak Sehat, pengertian dari konsumen adalah :

“setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

Dari berbagai pengertian konsumen diatas , menunjukkan bahwa sangat beragam pengertian tentang konsumen, untuk itu kita perlu melihat yang dirumuskan dalam UU No. 8 Tahun 1999, dimana dalam Pasal 1 angka 2 yaitu :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan dalam KUH Perdata, tidak dikenal istilah consumen

atau consument . Dalam KUH Perdata kita menemukan istilah pembeli (koper, pasal 1457 – 1540), penyewa (hurder, Pasal 1548 – 1600 KUH Perdata), penitip barang (bewarrgever, Pasal 1694 – 1739 KUH Perdata), peminjam (verbruiklener, Pasal 1754 – 1769 KUH Perdata). Dan dalam KUH Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde, Pasal 246 – 308


(32)

dalam Buku I KUH Dagang), penumpang (opvarende, pasal 341 – 394 Buku II KUH Dagang).22

Jadi dalam penulisan skripsi ini, yang penulis maksud sebagai konsumen adalah pembeli (koper) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1457 – 1540 KUH Perdata. Dengan demikian bahwa konsumen yang dirugikan yang penulis maksud dalam penulisan skripsi ini adalah konsumen yang mengalami kerugian akibat dari adanya cacat tersembunyi suatu barang dari hasil jual beli.

Perjanjian jual beli adalah perjanjian yang mengikat antara pihak penjual (selanjutnya disebut pelaku usaha) berjanji menyerahkan suatu barang/benda dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli (selanjutnya disebut konsumen) mengikat diri berjanji untuk membayar harga (ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata). Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1457 KUH Perdata ini, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu sebagai berikut23 :

a. Kewajiban pihak pelaku usaha untuk menyerahkan barang yang akan dijual kepada konsumen

b. Kewajiban pihak konsumen untuk membayar harga barang yang akan dibeli kepada pelaku usaha

3. Pengertian Pelaku Usaha

       22 

Ibid., hal.62 

23 Adrian Sutedi, 


(33)

Dalam pengertian yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha.24 Istilah produsen berasal dari Bahasa Belanda yakni producent,

dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 1 butir 3 mengartikan pelaku usaha sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.” Sedangkan dalam Pasal 1 butir 5 UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan defenisi pelaku usaha sebagai berikut :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan barang tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik seandainya UU No. 8 Tahun 999 memberikan rincian sebagaimana Directive (pedoman bagi Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah untuk menentukan

      

24 N.H.T. Siahaan, 


(34)

kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.25

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk atau jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1999, sebaiknya ditentukan urutan – urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan – urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut26:

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat barang tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan

b. Apabila barang yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UU No. 8 Tahun 1999 tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu barang tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan – urutan pihak diatas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu barang mengalami cacat pada saat produksi. Urutan tersebut juga mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya dalam penulisan ini disingkat BPSK), karena siapapun yang digugat oleh konsumen,

       25 

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Nusa Media: 

2005), hal.34. 

26N.H.T. Siahaan, 


(35)

Pengadilan atau BPSK yang kompeten adalah yang mewilayahi tempat tinggal konsumen, sehingga tidak memberatkan konsumen.27

Seperti yang dijelaskan di atas, dalam penulisan skripsi ini, yang dimaksud dengan pelaku usaha yaitu penjual dalam proses jual beli. Terhadap kewajiban penjual , pengaturannya dimulai dari Pasal 1472 KUH Perdata. Pelaku usaha wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikatkan diri dalam persetujuan jual beli. Lebih lanjut Pasal tersebut memberikan suatu “interpretasi”: segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli atau mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang “merugikan” bagi pihak penjual.28

Pada dasarnya, kewajiban penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474 KUH Perdata yaitu29 :

a. Kewajiban pelaku usaha untuk menyerahkan barang yang dijual kepada konsumen

b. Kewajiban pelaku usaha untuk memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring) ; bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Hak – hak Konsumen.

UU No. 8 Tahun 1999 merumuskan sejumlah hak penting konsumen. Menurut Pasal 4, ada 9 hak dari konsumen yaitu :

      

27 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 

Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:   Raja 

Grafindo: 2004), hal.11. 

28 

Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm.44. 

29 I


(36)

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Hak – hak dalam UU No. 8 Tahun 1999 di atas merupakan penjabaran dari Pasal – Pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia.30

Sebelumnya pada tahun 1962, hak – hak konsumen pertama kalinya dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F.Kennedy di depan kongres 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas31 :

a. Hak untuk memperoleh keamanan b. Hak untuk memilih

c. Hak untuk mendapatkan informasi d. Hak untuk didengar.

2. Kewajiban Konsumen

       30 

Ibid.,hal 24. 

31 Abdul Halim Bakatullah. 


(37)

Selain hak – hak diatas, sebagai balance, konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 yaitu :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Adapun pentingnya kewajiban pada poin a di atas adalah karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namum konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.32

Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk membacanya, seperti kasus ER Squib & Sons Inc V Cox, pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika peringatannnya sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika pelaku usaha tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen

      

32 Ahmadi Miru dan Sutarman Yoda. 


(38)

tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.33

Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Kewajiban lain yaitu membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dan juga kewajiban untuk mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut tetap menjadi bagian penting yang harus dilakukan konsumen.34

3. Hak – Hak Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak – hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak.35 Sebagiamana diatur dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999, hak pelaku usaha yaitu :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak - hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdangkan,

       33 

Ibid.,hal.49. 

34 

Ibid. 

35 Abdul Halim Barkatullah. 


(39)

menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan /atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.36

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya merupakan hak – hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau BPSK/Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak – hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Kewajiban konsumen dan hak – hak pelaku usaha disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan di atas.37

4. Kewajiban Pelaku Usaha

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang dijelaskan di atas, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban – kewajiban. Sesuai dengan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999, kewajiban pelaku usaha yaitu :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

       36 

Ibid.,hal.37. 

37 I


(40)

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Jika diperhatikan, jelas bahwa kewajiban – kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha.38

Selain hak dan kewajiban pelaku usaha, dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur berbagai larangan bagi pelaku usaha, yaitu :

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

       38 I


(41)

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 ini dapat dikategorikan menjadi 2 larangan pokok, yaitu39 :

1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan akurat, yang menyesatkan konsumen.

D. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

1. Asas Perlindungan Konsumen

Sesuai dengan Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999, asas – asas perlindungan konsumen yaitu :

a. Asas Manfaat, ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi kepentingan konsumen

       39  


(42)

dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing – masing pihak, produsen dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan bangsa.40 b. Asas keadilan, ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada komsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksananakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsuimen dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, undang – undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.41

c. Asas keseimbangan, ini dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

      

40 Janus Sidabalok, 

Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:  Citra Aditya Bakti: 

2010), hal.32. 

 

41 


(43)

konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing – masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.42

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, undang – undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.43

e. Asas kepastian hukum, ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, undang – undang ini mengharapkan bahwa aturan – aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang – undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari

       42 

Ibid. 

43 


(44)

sehingga masing – masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang – undang ini sesuai dengan bunyinya.44

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Asas – asas perlindungan hukum diatas, dipadankan dengan tujuan perlindungan konsumen. Sesuai yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999, tujuannya adalah :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

       44 


(45)

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

E. Prinsip Umum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus – kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati – hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak – pihak terkait.45

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang – undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan – pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip – prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut46 :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ( liability based on fault), yaitu prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 1365,1366,dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjwaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 unsur pokok yaitu :

       45 Celina Tri S.K,  

Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika: 2008),  hal.101. 

Dalam  Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan ( Pada Umumnya) dan Tanggung jawab Produk 

atas Produk di Indonesia, hlm.92. 

46 


(46)

a. Adanya perbuatan b. Adanya unsur kesalahan c. Adanya kerugian yang diderita

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan Kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain.47

2. Prinsip Praduga untuk selalu bertanggung jawab ( Presumtion of liability pinciple). Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab( Presumtion nonliability principle). Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua di atas. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara

common sense dapat dibenarkan.

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang. Dalam

       47 


(47)

hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawaban.48

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liabity). Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha. Khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asa tanggung jawab ini dikenal dengan nama

Product Liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu49 :

a. Melanggar jaminan, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk

b. Ada unsur kelalaian, yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik

c. Menerapkan tanggung jawab mutlak.

Dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai product liability.

       48 

Ibid.   

49 


(48)

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle). Prinsip ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang – undangan yang jelas.50

       50 


(49)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG BARANG CACAT TERSEMBUNYI

A. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi

Tidak semua barang yang beredar di pasar memiliki kualitas yang prima. Ada saja barang-barang yang dipasarkan ala kadarnya, bahkan tidak memenuhi standar-standar yang telah digariskan. Oleh karena itu sebagai pembeli yang pintar harus punya kesadaran untuk selalu meneliti sebelum membeli agar tidak menyesal dikemudian hari.51

Sebelum kita membahas pengertian barang yang mengandung cacat tersembunyi, maka terlebih dahulu dijelaskan pengertian barang. Menurut Pasal 1 angka (4) UU Nomor 8 No. 1999 barang adalah:

“Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat adalah52:

a. kekurangan yg menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yg terdapat pd badan, benda, batin, atau akhlak)

b. lecet (kerusakan, noda) yg menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna)

c. cela; aib

d. tidak (kurang) sempurna

       51 

http://destikanababan.blogspot.com/ diakses pada 3 Juni 2014  

52

“ Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,” http://kbbi.web.id/, diakses tanggal 18 Juli 2014.


(50)

UU No. 8 Tahun 1999 tidak mengatur tentang pengertian barang cacat dan barang cacat tersembunyi baik dalam bab tentang ketentuan umum yang memberikan pengertian terhadap berbagai istilah maupun pada bab –bab selanjutnya, dan barang cacat bukan merupakan satu – satunya alasan dasar pertanggungjawaban pelaku usaha, karena UU No. 8 Tahun 1999 hanya menentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengomsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdangkan.53

Di Indonesia, cacat pada barang didefenisikan sebagai berikut: “setiap barang yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal – hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat – syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.54

Sedangkan pendapat lain mengatakan, yang dimaksud barang cacat adalah barang yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, karena tiga hal yaitu55 :

a. Cacat manufaktur (Manufacturing Defect)

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada dibawah tingkat harapan konsumen atau dapat

      

53 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 

Op.Cit., .hal.30. 

54 

A.Z. Nasution, “Sekilas Hukum Konsumen”. Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai 

Pengantar. Cetakan II (Yogyakarta: Diadit Media: 2001), hal. 94. 

55 Adrian Sutedi, 


(51)

pula cacat itu sedemikian rupa sehingga membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh, atau jiwa konsumen. Misalnya, saus tomat yang tidak terbuat dari tomat, tetapi terbuat dari pepaya atau labu siam atau produk air minum dalam kemasan botol yang di dalam airnya berisi butir – butir kecil. Jadi, cacat barang atau manufaktur adalah apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya barang tersebut tidak aman bagi konsumen.

b. Cacat desain

Pengertian cacat desain sama dengan pengertian cacat manufaktur, yaitu apabila bahaya dari barang tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari desain barang tersebut lebih kecil dari resikonya. c. Cacat peringatan atau instruksi

Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat barang karena jika tidak dilengkapi dengan peringatan – peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Suatu barang harus terdapat label yang memberikan kepada konsumen tentang petunjuk penggunaan pemakaian dan peringatan. Jadi Cacat peringatan adalah apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket, atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbuk dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman.


(52)

KUH Perdata juga memberikan pengertian mengenai cacat. Diartikan cacat dalam KUH Perdata sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan “berkurangnya manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya.56

KUH Perdata mengatur mengenai barang cacat dapat dilihat dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512, dikenal dengan terminologi cacat tersembunyi. Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi dalam hal demikian. Sehingga apabila pembeli mendapatkan barangnya terdapat cacat tersembunyi maka terhadapnya diberikan dua pilihan. Pilihan tersebut sesuai dengan Pasal 1507 KUH Perdata, yaitu:

a. Mengembalikan barang yang dibeli dengan menerima pengembalian harga (refund)

b. Tetap memiliki barang yang dibeli dengan menerima ganti rugi dari penjual.

Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui

       56

 http://destikanababan.blogspot.com/ diakses pada tangga l 3 Juni 2014


(53)

atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Pasal 1506 KUH Perdata menyebutkan: Ia (pelaku usaha/penjual) diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun. Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai dengan tujuan pemakaian semestinya.57

Menurut Subekti, perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut.58

Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata :

a. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga

       57

Adrian Sutedi, Op.cit., hlm.76.

58 


(54)

b. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang)

c. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen.

Dari penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan barang yang mengandung cacat tersembunyi menurut hukum adalah keadaan yang mengakibatkan barang/benda itu tidak dapat dipakai atau mengurangi daya pakainya yang bila hal ini lebih dulu diketahui maka tidak akan terjadi jual beli atau setidak – tidaknya harga pembelian berkurang. Dan barang cacat tersembunyi tidak jauh berbeda dengan barang cacat pada umumnya.

B. Standar Jaminan Produk

1. Pengertian Standar dan Standarisasi

Standar berasal dari bahasa Prancis Kuno artinya titik tempat berkumpul, dalam bahasa Inggris Kuno merupakan gabungan kata

standan artinya berdiri dan or (juga bahasa Inggris Kuno) artinya titik. Kemudian diserap dalam bahasa Inggris sebagai kata

standard.59 Sementara pengertian standar menurut KBBI adalah60 : a. ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan

       59 

“ Pengantar Standarisasi” http://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/10/23/standard‐

dan‐standardisasi‐sebuah‐pengantar‐sangat‐singkat/, diakses pada 4 Juni 2014. 


(55)

b. ukuran atau tingkat biaya hidup

c. sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai (harga)

d. baku

Dan defenisi standar dan standarisasi yang digunakan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) adalah sesuai dengan yang diatur dalam PP Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional yaitu:

“Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya”.61

Sementara pengertian standarisasi dalam Pasal 1 angka 2 PP Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional adalah sebagai berikut:

“Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak”.62

Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen. Untuk menghindari kemungkinan adanya

       61 

PP Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional Pasal 1 angka 1. 


(56)

cacat produk atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai. Usaha inilah yang disebut dengan standarisasi.63

Menurut Gandi, standarisasi adalah :

“Proses penyusunan dan peneraqpan aturan – aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman”.64

Sebagai implementasi dari standarisasi ini, maka kepada produk diberikan sertifikasi produk yang dibuat dengan standar SII atau SNI, yang dapat ditempatkan pada produk, kemasannya, atau dokumennya. Tanda ini dibubuhkan oleh pelaku usaha pada barang produknya setelah mendapat izin dari Menteri Perindustrian sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) SK Menteri Perindustrian Nomor 210 Tahun 1979. Sertifikasi ini merupakan jaminan terhadap produk tersebut sebab ia diberikan setelah diuji dan memenuhi

      

63 Janus Sidabalok, Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti: 

2010), hal.19. 

64 

Gandi, “Perlindungan Konsumen dilihat dari Sudut Pengaturan Standarisasi Hasil 

Industri,  makalah pada  Simposium  Aspek – Aspek hukum  Perlindungan Konsumen,  BPHN‐


(1)

diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha dan juga melakukan penelitian, pengujian dan/atau survei yang dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. Hasil penelitian tersebut disampaikan kepada menteri – menteri terkait.

3. Upaya penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh konsumen untuk menuntut hak atas kerugian yang dideritanya yaitu sesuai yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999. UU No. 8 Tahun 1999 memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian konsumen di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

B. Saran

1. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan yang lebih tegas terkait cacat tersembunyi. Karena UU No. 8 Tahun 1999 tidak ada menyebutkan tentang defenisi cacat tersembunyi. Sementera, melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat, sangat sering terjadi keluhan dari konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan produk yang mempunyai cacat tersembunyi. Jadi, sebaiknya UU No. 8 Tahun 1999 di revisi lagi.


(2)

2. Pemerintah dan Lembaga Konsumen sebaiknya meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap barang yang beredar di masyarakat luas, agar barang yang cacat tidak beredar dalam masyarakat luas. Dan penting juga melakukan sosialisasi tentang hak dan kewajiban konsumen, agar konsumen mengetahui hak dan kewajibannya.

3. Dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen, konsumen sebaiknya harus dipahamkan akan haknya, dan bagaimana sistem yang dapat ditempuh, sehingga konsumen tidak menjadi pihak yang lemah karena tidak tahu mempertahankan haknya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA   

A. BUKU : 

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983. KUH Perdata-Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung. 

Bakatullah, Abdul Halim, 2005. Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung. 

Djojodirdjo, M.A. Moegini, 1982. Perbuatan Melawan Hukum , Pardnya Paramita, Jakarta. 

Harahap, M. Yahya, 2009, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo. Jakarta. 

Miru, Ahmadi, 2001. Prinsip – Prinsip Bagi Perlindungan Hukum Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta.  

Nasution, AZ., 2002. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan II, Diadit Media, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1990. Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Bandung.

Siahaan, N.H.T., 2005. Hukum Konsumen, Panta Rei, Jakarta. 


(4)

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji, 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta. 

Subekti, Raden dan R. Tjitrosudibio, 2001. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pardnya Paramita, Jakarta.

Subekti, 1987. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. 

______, 1987. Hukum Pembuktian, Pardnya Paramita, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2012. Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 

Susanto, Happy, 2008. Hak – Hak Konsumen Jika Dirugikan, Transmedia Pustaka, Jakarta. 

Sutedi, Adrian, 2006. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta. 

 

B. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN 

UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 

Undang – Undang Nomor 5 Tahun1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha 

Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 Tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat 

Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.


(5)

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen

Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi  

C. WEBSITE:

“Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Terhadap Hak – Hak Konsumen” http://dhidckhi.blogspot.com/2011/06/peran-lembaga-perlindungan-konsumen.html, diakses pada Tanggal 17 Juli 2014

“Pengertian Perlindungan Hukum”

http://ntanaiu.blogspot.com/2012/09/pengertian-perlindungan-hukum-terhadap.html, diakses pada 15 Februari 2014 

“Wikipedia produk” http://id.wikipedia.org/wiki/Produk, diakses pada tanggal 2 Maret 2014 

http://kbbi.web.id/produk, diakses tanggal 3 Juni 2014 

http://destikanababan.blogspot.com/ diakses pada 3 Juni 2014  “ Pengantar Standarisasi”

http://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/10/23/standard-dan-standardisasi-sebuah-pengantar-sangat-singkat/, diakses pada 4 Juni 2014.  “Pengertian Kata Standar” http://kbbi.web.id/standar-2, diakses pada 4 Juni

2014 

“Tanggung Jawab Penjual Atas Barang yang mempunyai Caca


(6)

3b/tanggung-jawab-penjual-atas-cacat-tersembunyi-pada-barang-yang-dijual 16.49, diakses tanggal 2 Maret 2014.