PERKEMBANGAN KOMUNITAS JAWA DI KECAMATAN BIES KABUPATEN ACEH TENGAH (1931-2015) Ihwanto

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  

PERKEMBANGAN KOMUNITAS JAWA DI KECAMATAN BIES KABUPATEN

ACEH TENGAH (1931-2015)

  1

  

2

  3 Ihwanto , Husaini , Anwar Yoesoef

Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Universitas Syiah Kuala

  

Email: ihwanto94@yahoo.com

husibram@gmail.com

anwaryoesoef.sjh@fkip.unsyiah.ac.id

  

ABSTRACT

Appointed as the title is "The development of the Java community in the district of Central Aceh

district Bies (1931-2015)", the purpose of this study were (1) to describe the Java community in

the district of Central Aceh district Bies (1931 to 2015) in terms of demography and (2) to

describe the development of the Java community in the district of Central Aceh district Bies

(1931 to 2015) in terms of the interaction process. Writing this thesis uses a quantitative

approach and methods of historical research, which consists of five working procedures,

namely, the choice of theme, heuristics, Verification, Interpretation) and Historiography. Data

collection is done by interview and documentation study. From the results of the study showed

that: (1) the arrival of the Javanese community in District Bies began century 20th century

precisely when programmed by the Dutch ethical politics. Java community continues to

experience growth since 1931-2015. Based on the data found in 1998 the population of Java in

the district Bies has reached 25 families or 100 people. That number continues to rise even in

2003 there were 50 families or 200 persons in the District Javanese Bies, in 2008 the number

of households has reached 68 families or 272 people, in the year 2009 to 2012 the population

of Javanese in District Bies back up to 94 families or 376 soul and even that amount to 2015

has reached 125 families or 500 people, and (2) the development of the Javanese in terms of

interaction with the local population since 1931-2015 seen in many areas of life such as the

field of marriage, livelihood, religion, language, gotong -royong, education, and infrastructure

life (equipment, art and food).

  Keywords: Development, Community, Javanese

ABSTRAK

  Sesuai dengan judul yang diangkat yaitu “Perkembangan Komunitas Jawa di Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah (1931-2015)”, maka tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan komunitas Jawa di kecamatan Bies kabupaten Aceh Tengah (1931-2015) ditinjau dari aspek demografi dan (2) untuk mendeskripsikan perkembangan komunitas Jawa di kecamatan Bies kabupaten Aceh Tengah (1931-2015) ditinjau dari proses interaksi. Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan metode penelitian sejarah, yang terdiri dari 1 lima prosedur kerja yaitu, pemilihan tema, heuristik, Verifikasi, Interpretasi) dan Historiografi. 2 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah. 3 Dosen Pembimbing I.

  Dosen Pembimbing II.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  Pengumpulan data dilakukan cara wawancara dan studi dokumentasi. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa: (1) kedatangan komunitas Jawa di Kecamatan Bies dimulai abad abad ke-20 tepatnya saat diprogramkan politik etis oleh oleh Belanda. Komunitas Jawa terus mengalami perkembangan sejak 1931-2015. Berdasarkan data yang ditemukan tahun 1998 jumlah penduduk Jawa di Kecamatan Bies sudah mencapai 25 KK atau 100 jiwa. Jumlah itu terus naik bahkan di tahun 2003 terdapat 50 KK atau 200 jiwa etnis Jawa di Kecamatan Bies, di tahun 2008 jumlah KK sudah mencapai 68 KK atau 272 jiwa, ditahun 2009-2012 jumlah penduduk etnis Jawa di Kecamatan Bies kembali naik hingga 94 KK atau 376 jiwa dan bahkan jumlah itu sampai 2015 sudah mencapai 125 KK atau 500 jiwa, dan (2) perkembangan etnis Jawa di segi interaksi dengan penduduk setempat sejak 1931-2015 terlihat dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang perkawinan, mata pencaharian, agama, bahasa, gotong- royong, pendidikan, dan sarana prasarana kehidupan (peralatan, kesenian dan makanan).

  Kata Kunci: Perkembangan, Komunitas, Etnis Jawa PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

  Pada permulaan abad ke-20 Pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari bahwa kemiskinan sedang meningkat di Pulau Jawa. Salah satu alasan adalah kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Pada tahun 1900 jumlah penduduk Jawa 28,7 juta jiwa, sedangkan menurut perhitungan Raffles pada tahun 1815 terdapat hanya 4,6 juta jiwa. Sensus yang dilaksanakan pada tahun 1905 menunjukkan bahwa 30,1 juta orang tinggal di Pulau Jawa dan hanya 7,5 juta tinggal di pulau-pulau lain.Peningkatankepadatanmerupakansalahs atualasanterjadinyakemelaratandipedesaanJ awa.Perubahan- perubahanyangterjadipadaekonomipedesaan sebagaiakibatdarikegiatan- kegiatanperusahaanasinyang bekerja dibidang produksi dan ekspor tanaman dagang seperti tembakau dan juga gula, telah membawa akibat yang buruk pada penduduk Pulau Jawa. Meskipun perusahaan-perusahaan perkebunan telah mulai mengubah fokus kegiatannya ke Pulau Sumatera setelah tahun 1900 keadaan sosio-ekonomi di pedesaan Jawa tetap suram (Nurul Fitri, 2014:1). Dalamusahauntukmemperbaikikondisirakya tpedesaandiJawa,PemerintahKolonialmemp erkenalkankebijakanbaruyangdisebutethisce

  politiek. VanDeventer,yangterkenalkarenaan

  caman-ancamannyaterhadapkebijaksanaan- kebijaksanaanPemerintahBelandadiKepulau anIndonesia,pernahmenyarankanbahwapen didikan,irigasidanemigrasidapatmemperbai kikeadaansosio- ekonomidiJawa.PemerintahKolonialkemudi anmulaimemikirkankemungkinanterlaksana nyakolonialisas,yaitupenempatan petani- petani dari daerah yang padat penduduknya di Jawa di desa-desa yang baru disebut

  “koloni”

  di daerah-daerah kosong di luar Jawa sebagai salah satu jalan untuk memecahkan masalah kemiskinan.

  Pemindahan petani-petani dari Jawa keluar Pulau Jawa sebagai dampak dari permasalahan sosio-ekonomi tersebut dan disertai kebijakan baru oleh Pemerintah Kolonial mengenai Ethisce Politiek menjadi awal bagi sejarah transmigrasi di Indonesia (Nurul Fitri, 2014:1-2).

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  Provinsi Aceh adalah termasuk salah satu daerah yang penduduknya jarang, ditambah dengan penyebaran yang tidak merata serta perbandingannya belum seimbang dengan luas wilayah. Sebagian besar penduduknya mendiami bagian-bagian daerah landai terutama pada bagian pesisir Utara dan Timur, sedangkan bagian Tengah, Barat dan Selatan adalah daerah-daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang lebih baik namun berpenduduk jarang. Dengan demikian banyak sumber daya alam yang belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, sehingga untuk mengelola sumber daya alam tersebut, pemerintah mengalami kesulitan dalam bidang ketenagakerjaan. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Aceh adalah dengan ikut berpartisipasi dalam program transmigrasi untuk menerima kedatangan para transmigran dari Jawa yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membuka suatu daerah baru, perluasan pemenuhan kebutuhan akan tenaga kerja, perluasan areal pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengembangan sosial ekonomi sehingga akan mempercepat pengembangan wilayah. Sebagai wilayah yang berada di dataran tertinggi di Provinsi Aceh dan letak geografisnya memadai untuk kegiatan pertanian, Pemerintah Belanda mendatangkan buruh perkebunan dari Pulau Jawa yang dipusatkan di Kampung Belang Gele Kabupaten Aceh Tengah yang persebarannya masuk kedalam wilayah Kecamatan Bies. Tujuan Pemerintah Belanda adalah untuk dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan, untuk satu wilayah perkebunan para pekerja terdiri atas ratusan buruh dan memiliki fungsi masing-masing, ada yang ditempatkan sebagai mandor atau pengawas perkebunan dan sebagai pekerja (buruh) perkebunan (Nurul Fitri, 2014:1-3). Sejak awal kedatangan suku Jawa hingga saat ini, tentunya suku tersebut memiliki problema-problema yang harus dijalaninya salah satunya adalah masalah sosial ekonomi. Bagaimana suku Jawa beradaptasi di daerah yang sebelumnya belum pernah mereka tempati, bagaimana adat istiadat dan budaya mereka, bagaimana keadaaan ekonomi mereka apakah mereka diterima oleh masyarakat setempat hal ini tentunya sebuah hal yang menarik untuk dikaji dan dituangkan ke dalam sebuah tulisan yang bersifat ilmiah. Apa lagi suku Jawa adalah suku terbesar di Republik ini dan hamper di setiap daerah suku Jawa ada, dalam hal ini suku Jawa tentunya memiliki peran dalam beberapa bidang di daerah yang mereka tempati (Observasi, 12 Oktober 2016).

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah disini adalah “bagaimana perkembangan Komunitas Jawa di Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah (1931-2015) ditinjau dari aspek demografi dan proses interaksi ?

  Tujuan Penelitian

  Berdasarkanrumusanmasalahdiatasy angmenjaditujuanpenulisdalampenelitianini adalah“untukmendeskripsikanKomunitas JawadiKecamatanBiesKabupatenAcehTeng ah(1931- 2015)ditinjaudariaspekdemografidanprosesi nteraksi.

  Anggapan Dasar

  Kecamatan Bies merupakan salah satu wilayah penempatan masyarakat yang

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah. Waktu penelitian adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan bulan Juli 2016 hingga bulan sepetember 2016.

  Teknik Analisis Data

  4. Studi Kepustakaan

  3. Observasi

  2. Wawancara

  1. Dokumentasi

  Teknik Pengumpulan Data

  TempatdanWaktuPenelitian

  berasal dari pulau Jawa sejak masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1931- 2015.

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Maleong, 2007:06). Karena penelitian ini bertujuan merekonstruksi masa lalu, maka metode yang digunakan metode sejarah. Gilbert J. Garragahan dalam Dudung Abdurrahman (1999:43) mengemukakan bahwa metodesejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sistesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk yang tertulis.

  Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Penelitian ini merupakan kajian historis yaitu kajian tentang perkembangan komunitas Jawa di Kecamatan Bies selama periode 1931-2016. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bies, Kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini menggunakan sumber berupa arsip dan dokumentasi, wawancara dan observasi.

  Ruang Lingkup Penelitian

  Perkembangan demografi dan bentuk interaksi antara komunitas Jawa dan etnis setempat di Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah mengalami dinamika sesuai dengan situasi politik di Aceh.

  Hipotesis Penelitian

  Untuk mengolah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti melakukan teknik metode penelitian sejarah. Setelah data terkumpul baik dari data Kecamatan Bies seperti hasil wawancara, serta data Dinas Tenaga kerja Kabupaten Aceh Tengah peneliti melakukan kritik sumber baik internal maupun eksternal tentang keaslian sumber. Setelah mendapatkan data peneliti melakukan kritik sumber dengan hanya mengambil keterangan yang benar-benar terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.Langkah selanjutnya adalah menganalisis dan menginter-pretasikan data. Analisis data menunjuk pada kegiatan mengorganisasikan data ke dalam susunan sajian data yang dibutuhkan untuk

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  menjawab masing-masing masalah atau hipotesis dalam penelitian ini. Hal ini, guna memperoleh sejumlah fakta yang terkandung dalam sumber yang telah didapat dan akhirnya diinterpretasikan atau disimpulkan. Kemudian fakta tersebut dirangkai dalam satu kesatuan yang serasi dan logis sehingga menghasilkan karya sejarah ilmiah yang mudah dipahami dan menarik untuk dibaca.

  HASIL DAN PEMBHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian

  Secara geografis Kabupaten Aceh Tengah berada pada ketinggian ratarata 100 sampai 2.600 mdpl. Kabupaten Aceh Tengah (Ibukotanya Takengon) memiliki luas 4.318 km² terdiri atas 14 Kecamatan dan 295 Desa Kabupaten ini didominasi oleh kondisi topografi wilayah yang berbukit-bukit (53,12 persen), kelerengan lahan yang ada beranekaragam mulai dari 0 sampai 65 persen, keadaan tanah yang subur serta cuaca dingin dengan curah hujan ratarata setiap tahunnya sebesar 1.624 mm. Adapun musim penghujan berlangsung dari bulan September sampai Desember, sedangkan musim kemarau dari bulan Januari sampai Agustus. Temperatur maksimum sebesar 26 C dan minimum 15

  C. Kecamatan Bies mempunyai luas wilayah 28,86 km2 dan terletak pada ketinggian 1.250 meter diatas pemukaan laut. Ibukota Kecamatan Bies adalah Atang Jungket. Wilayah Kecamatan Bies memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

  Niken dan Karang Bayur (Khaira Fitri, 2015: 47-51).

  Perkembangan Jumlah Penduduk Komunitas Jawa di Kecamatan Bies 1931-2015

  Perkembangan etnis Jawa di Kecamatan Bies sejak masa kolonial semakin bertambah hal ini dapat dilihat dari jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan itu sendiri yang hingga sekarang sudah mencapai 1.099 jiwa. Penulisperlumempertegasketeranganbahwa data terkaitkependudukankhususnyaetnisJawa di Aceh Tengah padaumumnyadanKecamatanBiespadakhus usnyaadalah data yang diperolehberdasarkanobservasidanwawanca ra di lapanganterutamadenganmengumpulkanbeb erapaKartuKeluarga (KK) dari para responden. Adapun perkembangan jumlah etnis Jawa sebagai etnis terbanyak ke dua di Kecamatan Bies dapat dilihat pada tabel berikut:

  • Sebelah Utara : Kecamatan Bebesan - Sebelah Timur : Kecamatan Pegasing - Sebelah Selatan : Kecamatan Pegasing - Sebelah Barat : Kecamatan Silih Nara Secara administrasi Kecamatan Bies terdiri dari 12 desa, masing-masing desa dibawahi oleh seorang Kepala Desa dan Sekretaris Desa atau di daerah Aceh Tengah lebih dikenal dengan istilah Reje dan Banta. Kecamatan Bies terdiri dari 12 (dua belas) Kampung yaitu : Atang Jungket, Tebes, Bies Mulie, Lenga, Bies Baru, Lukub Badak, Pucuk Deku, Bies Penantanan, Uning Pegantungen, Arul Latong, Uning

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  Tabel 4. Perkembangan Jumlah Penduduk Etnis Jawa Berdasarkan KK di Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah, 1931 – 2015. NO Tahun Jumlah Etnis Jawa/KK 1 1931 – 1935 ± 100 jiwa 2 1936 – 1941 120 jiwa 3 1942 – 1945 140 jiwa 4 1946 – 1950 90 – 100 jiwa 5 1951 – 1955 100 – 110 jiwa 6 1956 – 1960 120 7 1961 – 1965 140 8 1966 – 1970 160 9 1971 – 1975 170 10 1976 – 1980 200 11 1981 – 1985 250 12 1986 – 1990 190 13 1991 – 1995 170 14 1996 – 1998 150 1 1998 100 jiwa 2 1999 144 jiwa 3 2000 176 jiwa 4 2001 188 jiwa 5 2002 200 jiwa 6 2003 200 jiwa 7 2004 212 jiwa 8 2005 236 jiwa 9 2006 248 jiwa 10 2007 248 jiwa 11 2008 272 jiwa 12 2009 280 jiwa 13 2010 300 jiwa 14 2011 320 jiwa 15 2012 376 jiwa 16 2013 400 jiwa 17 2014 450 jiwa 18 2015 500 jiwa

  Sumber: BPS Aceh Tengah Dalam Angka danHasilWawancara 2016.

  Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat jelas bahwa jumlah penduduk Kecamatan Bies yang beretnis Jawa dari tahunke tahun terus mengalami perkembangan, sekalipun tidak secara drastis.Hasilwawancaradengantokohmasyar akat yang beretnisJawa yang telahberumur 90 tahundikatakanbahwaKedatangan kaum kolonial Hindia Belanda jauhsebelumtahun 1931 atautepatnyasekitar tahun 1904atauempattahunpascapencananganpolit iketisolehpemerintahanHindiaBelanda, tidak terlepas dari potensi perkebunan di kawasantersebutyang sangat cocok untuk budidaya kopi arabika, tembakau dan damar. Pada periode itu wilayah Kabupaten

  Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling

  Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai

  ibukotanya. Dalam masa kolonial Hindia Belanda tersebut di kawasan Takengon didirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Sejak saat itu pula kawasan Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi, khususnya sayuran dan kopi. Untukmemenuhikebutuhantenagakerja di perkebunan, makapemerintahanBelandamengadakankebi jakanemigrasidenganmemasukkanpenduduk dariluar Aceh salahsatunyaialahetnisJawa (Wawancara: Harjo, 1 Oktober 2016).

  Keteranganinformanmenyebutkanba hwaawalkedatangansukaJawake Aceh Tengah khusunyakekawasanKecamatanBies 1931- 1935 berkisar ± 100 jiwa, yang terdiridari para pekerjalaki- lakidanhanyasendikitburuhperempuan. Padaperkembanganberikutnyasejak 1936- 1941 jumlah it uterus naik, namuntidakbegitupesat. Hal inidikarenakan para imigranJawatidakbanyakmembawaistridank eluargamereka. Merekahanyadijadikansebagaiburuh yang digajidenganmuraholehBelanda.

  Di tahun 1942 – 1945 dunia dilandaolehPerang Dunia kedua. Semasaberjalannyaperang yang melibatkanJepangsebagaisalahsatufronterku atdalamperangitu, Indonesia khusunya Aceh jatuhketanganpenjajahanJepang. MenurutPoniranpada masa pendudukanJepang di Aceh khusunya Aceh Tengah sebutan Onder Afdeeling Takengon di era Hindia Belanda, berubah menjadi

  Gun pada masa pendudukan Jepang (1942-

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  1945). Gun dipimpin oleh

  Gunco .JumlahkomunitasJawa di

  KawasanBieskhusunya, umumnya Aceh Tengah berkisar 140 jiwa. Perkembangan yang tidak drastic inidikarenakanpada masa pendudukanJepanghampirtidakadakebijaka nemigrasipendudukkarenaJepanglebihmem okuskanpendudukpribumipadabagiankemili teran agar bisamembantuJepangdalammemenangiPera ng Dunia ke-2 melawanSekutu (Wawanca: Poniran, 30 Agustus 2016).

  Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi kabupaten. Aceh Tengah berdiri sebagai satuan administratif pada tanggal

  14 April 1948 berdasarkan Undang- UndangNomor 10 Tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-Undang Nomor 7 (Darurat) Tahun 1956. Wilayahnya meliputi tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Takengon, Kewedanaan Gayo Lues, dan Kewedanaan Tanah Alas.Pascakemerdekaandalamperiode 1946

  1970-an inijumlahpendudukjawasudahmencapai ± jiwa yang terdiridaripenduduklaki- lakidanperempuan. Menurutlaporansensuskependudukan Aceh tahun 1977 dikatakanbahwadenganadanya program transmigrasiolehpemerintahanOrdeBaruteru tamasejak 1977 – 1981, penduduketnisJawabahkanpenduduketnis lain seperti Madura banyakdidatangkanke Aceh, salahsatukawasanpenempatannyaialahkawa saBies yang berada di Aceh Tengah diperkirakanjumlahpenduduketnisJawasuda hberjumlah 250 jiwa di tahun 1981 (Wawancara: Girah, 26 Agustus 2016).

  Tahun 1981 terbentuklahKecamatanPengasingandansala hsatukawasan yang termasukdalamkawasaniniialahKecamatanB ies yang belumdimekarkan. Dalamrentetaninimerurutpengakuanrespond enjumlahetnisJawakembalimengalamipenur unanhingga 1998 atautepatnyaberakhirnyaRezimOrdeBaru. PenurunanjumlahkomunitasJawa di kawasanBiesinidisebabkankarenadalamrent etan 1981-1998 digiatkanperaturanpenggunaanKeluargaBer encana (KB) olehpemerintah, sehinggatingkatkelahiranpendudukmenurun tidakhanyakomunitasJawamelainkan juga komunitas lain (Wawancara: Muslim, 4 Oktober 2016). Penulisperlumenegaskanbahwa data yang terdapat di ataskhusunyaperiode 1931-1998 diperolehdarihasilwawancaradenganbebera paresponden yang memilikipengetahuankuattentangkomunitas Jawa. Dalamperkembanganselanjutnyaperjalanane

  • – 1950 terjadipenurunanjumlahetnisJawa di kawasanBiesmenjadi 90-100 jiwa, halinidisebabkanbanyaknyaetnisJawa yang kembalikenegeriasalnyakarenasudahbebasd ariikatanpenjajahan, namunsebagianmerekatetapmendiamikawas anBiesbahkanada yang menikahipenduduksetempat. Mereka yang kembalikepulauJawabanyak yang tidakkembalike Aceh Tengah. Hinggatahun 1970-an saatOrdeBaruberkuasajumlahinibaruterlihat meningkatkembalikarenaadanya program tranmigrasiolehpemerintahhinggatahun

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  tnisJawa di KecamatanBiesberdasarkan data di lapangan di tahun 1998 julah penduduk Kecamatan Bies sudah mencapai

  25 KK. Secara rata-rata berdasarkan pengamatan di lapangan, satu berjumlah 4 orang anggota keluarga. Jika dikalikan 25 KK maka ditahun 1998 jumlah penduduk Kecamatan Bies dari etnis jawa berjumlah 100 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya hingga tahun 2003 jumlah KK penduduk etnis Jawa di Kecamatan Bies berjumlah 50 KK atau 200 jiwa yang terdiri dari orang dewasa, remaja dan anak-anak. Jumlah ini terus meningkat hinggaterbentuknyaKecamatanBies tahun 2006 sebagaikecamatan yang berdirisendirilepasdarikecamatanPengasing an di tahun 2006 inijumlah KK etnisJawasudahmencapai 62 KKdanjumlah KK initerus naik di tahun 2008 sudah mencapai 68 KK atau 272 jiwa. Ditahun 2009-2012 jumlah penduduk etnis Jawa di Kecamatan Bies kembali naik hingga 94 KK atau 376 jiwa dan bahkan jumlah itu sampai 2015 sudah mencapai 125 KK atau 500 jiwa. Jumlah ini jika diperhatikan jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Bies 7.166 maka, etnis Jawa di Kecamatan ini menjadi masyarakat yang mayoritas.

  Perkembangan Komunitas Jawa di Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah (1931-2015) Ditinjau dari Proses Interaksi Bidang Agama

  Masyarakat Kecamatan Bies baik yang berasal dari etnis Jawa maupun etnis Gayo dan Aceh dan lainnya manyoritas semuanya beragama Islam. Mereka sangat setuju apabila dalam pelaksanaan struktur kepengurusan dalam bidang agama dari etnis yang berbeda, dan kedua etnis tersebut mengatakan setuju apabila mendapatkan imam shalat dari etnis yang berbeda. Sebagai realisasi kehidupan beragama ini terlihat jika melaksanakan kegiatan ibadah di mesjid-mesjid atau mussalla tidak ada pandangan-pandangan yang berbeda terkait ajaran agama. Pelaksanaan ibadah berjama’ah misanya yang menjadi imam tidak hanya suku Gayo atau Aceh, tetapi juga suku Jawa yang dianggap memiliki kealiman di antara mereka (Wawancara: Tgk. Salim, 24 Agustus 2016).

  Selain itu interaksi antara etnis Gayo dan Aceh sebagai penduduk setempat dengan etnis Jawa sebagai pendatang dalam bidang ibadah juga terlihat struktur pengurus meunasah dan masjid di Kecamatan Bies menunjukkan bahwa kebersamaan etnis Jawa dan etnis Gayo dan Aceh dalam bidang agama sudah tidak ada lagi perbedaan antara etnis Jawa dan etnis Aceh salah satunya dapat dilihat dari kebersamaan mereka dalam tugas kepengurusan Masjid.

  Dalam hal lain terkait interaksi yang harmonis anatar kedua etnis tersebut dapat dilihat dari kebersamaan dan partisipasi sosial apabila ada orang yang meninggal. Jika ada musibah kematian, baik penduduk etnis Aceh, Gayo dan Jawa saling bekerjasama dalam menyelesaikan fardzu kifayah bagi sang mayat. Dalam kegiatan membuat kerenda dan penggalian kubur misalnya, etnis Jawa turut ikut serta jiwa yang meninggal itu penduduk asli (Gayo, Aceh), begitu juga sebaliknya jika yang dilanda musibah penduduk etnis Jawa maka etnis Aceh dan Gayo juga ikut mengambil alih pekerjaan.

  Begitu pula dalam kegiatan kenduri duka cita keluarga yang kenak musibah,

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  pada malam harinya etnis Jawa dan etnis Gayo Aceh datang ke tempat yang terkena musibah untuk mengirim do’a disebut Samadiah atau menurut orang Jawa “Tahlil”. Kebersamaan seperti inilah yang membuat hubungan antara kedua etnis semakin akrab. Dalam upacara kenduri seperti pernikahan, kematian atau sunatan proses pelaksanaannya dikerjakan oleh kedua kelompok etnis Jawa dan etnis Aceh.

  Mereka tidak lagi merasakan adanya rasa kesukuan dalam proses sosial sehari-hari karena baik etnis Jawa maupun etnis Aceh sudah menganggap sebagai bagian dari etnis mereka sendiri (Wawancara: Wasun, 24 Agustus 2016).

  Bidang Bahasa

  Bahasa yang digunakan di dalam percakapan sehari-hari antara etnis Jawa dengan etnis Gayo dan Aceh di Kecamatan Bies adalah Gayo, Aceh dan kebanyakan menggunakan bahasaIndonesia jika antara ketiga etnis ini berinteraksi. Meskipun demikian, di antara etnis setempat dengan pendatang etnis Jawa telah terjadi interaksi yang kuat. Hal ini terlihat dengan sudah banyak di antara mereka yang saling memahami dan mempergunakan bahasa Gayo, Aceh dan Jawa. Tetapi, umumnya apabila orang-orang Jawa yang sudah bisa berbahasa Aceh mereka menggunakan bahasa Aceh dalam interaksinya dengan etnis Aceh. Kelompok orang Jawa dan kelompok orang Aceh umumnya terbuka untuk mempelajari bahasa baik bahasa Aceh, Gayo maupun bahasa Jawa untuk mempermudah hubungan mereka dalam kegiatan sehari-hari.

  Agus Budi Wibowo, dkk (2012:105- 106), menyatakan bahwa interaksi dalam bidang bahasa bisa terjadi karena dua kelompok bergaul secara intensif . Proses seperti itu juga terjadi antara etnis Jawa dengan etnis Aceh. Di antara mereka berupaya untuk saling menyesuaikan dan melengkapi diri berbagai persamaan dan perbedaan. Bahkan etnis Jawa menginginkan agar pelajaran bahasa Aceh diajarkan di sekolah dasar, sehingga anak- anaknya tidak susah berinteraksi dengan etnis Aceh. Interaksi dalam bidang bahasa daerah pada kalangan anak-anak secara alamiah terjadi di tempat-tempat pengajian dan pada saat bermain, sehingga dari proses intraksi tersebut anak-anak pribumi setempat dapat memahami baik bahasa Jawa maupun bahasa Aceh, walaupun demikian mereka sebagian tetap menggunakan bahasa sendiri apabila berkomunikasi dengan sesama etnis.

  Bidang Gotong Royong

  Dalam masyarakat Kecamatan Bies yang beragam etnis ini kegiatan gotong- royong biasa dilakukan disaat menyambut hari-hari besar. Seperti menyambut bulan suci Ramadhan dan menjelang hari Raya Idul Fitri/Idul Adha. Selain hari-hari itu rutinitas bergotong-royong juga dilaksanakan disetiap hari jum’at/jum’at bersih pagi hingga jam 10:30. Aktivitas gotong-royong dilakukan untuk mengerjakan berbagai sarana umum pedesaan, seperti mebersihkan perkarangan tempat ibadah dan halaman rumah serta membersihkan sampah di pinggir jalan umum yang sering mereka lalaui. Keberlansungan gotong-royong tidak hanya dilakukan oleh etnis Gayo dan Aceh saja, tetapi terjadi kerjasama yang harmonis di antara etnis Jawa dengan etnis setempat dan sama sekali tidak terlihat deskriminasi

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  seperti pembagian jadwal dan area yang harus mereka bersihkan.

  Kerjasama yang harmonis di antara suku pendatang Jawa dengan suku Aceh dan Gayo sebagai suku asli juga terlihat dalam menyelesaikan acara-acara besar seperti kenduri pernikahan, magang menjelang puasa dan lebaran dan lain-lain. Dalam acara pernikahan misalnya penduduk suku Jawa di Kecamatan Bies juga berperan serta dalam mengerjakan hal- hal yang dilakukan oleh suku Gayo dan Aceh, seperti memotong daging, memasak nasi serta memasang teratak dan keperluas acara lainnya. Hal ini sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Kecamatan Bies untuk saling membantu baik yang mengadakan acara itu masyarakat yang berasal dari Suku Aceh dan Gayo maupun sebaliknya.

  Sebagaimana tradisi masyarakat Aceh di daerah lain, masyarakat Kecamatan Bies juga sering mengadakan gotong- royong secara massal, gotong royong ini dilakukan dalam mengerjakan sarana desa dan tempat ibadah. Untuk mengerjakan sarana ibadah masyarakat bergotong royong secara bersama-sama dan segala kalangan, mulai dari remaja, dewasa dan orang tua. Perilaku gotong royong ini berlaku pada setiap kegiatan untuk keperluan umum atau sarana publik pedesaan.

  Berdasarkan pengamatan penulis selama penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan gotong royong dalam kehidupan masyarakat di Kecamatan Bies berlangsung dengan baik dan harmonis. Hal ini didorong oleh nilai dan semangat gotong royong yang dimiliki oleh etnis Jawa, etnis Gayo dan etnis Aceh. Sebagaimana kita ketaahui bahwa dalam kehidupan etnis Jawa, gotong royong merupakan hal yang sangat pentig, kerja saling tolong menolong antar sesamanya berjalan sangat baik. Perilaku gotong royong dan saling membantu dalam masyarakat Jawa berjalan secara langsung tanpa perencanaan, ketika seseorang dari orang Jawa melihat saudaranya sedang melakukan pekerjaan yang berat maka orang Jawa yang lain yang sedang tidak bekerja langsung datang membantu walaupun tidak diminta dan tanpa diberi upah.

  Dalam kehidupan etnis Aceh di Kecamatan Bis juga berlaku perilaku gotong royong bergantian (ganti hari), maksudnya apabila salah satu dari masyarakat akan melakukan panen besar kopinyaatau mengerjakan lahan perkebunan yang sangat luas, maka orang tersebut mengajak beberapa orang masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaannya yang nantinya orang tersebut akan membantu orang-orang yang ikut menyelesaikan pekerjaannya pada hari yang lain.Adapun kebiasaan yang terjadi pada masyarakat Aceh atau Gayo dalam mengajak para pekerja ini biasanya dipanggil ialah mereka yang beretnis Jawa dan sangat jarang sesama etnis sendiri. Hal ini dikarenakan cara kerja etnis Jawa lebih disiplin dan teratur jika dibandingkan dengan etnis Aceh atau Gayo dan lain-lain (Wawancara: Suwandi, 26 Agustus 2016).

  Dalam kehidupan masyarakat, anatar etnis Jawa dan etnis Aceh bahu membahu menjaga dan membangun desa mereka secara bersama-sama, mereka tidak membedakan antara etnis Jawa dengan etnis Aceh, bahkan masyarakat desa ada yang memilih kepala desa mereka dari warga yang beretnis Jawa walaupun penduduknya manyoritas etnis Aceh, begitu pula sebaliknya masyarakat memilih kepala desa etnis Aceh walaupun penduduknya

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  manyoritas Etnis Jawa (Observasi: 26 Agustus 2016).

  Bidang Pendidikan

  Interaksi antara etnis Jawa dengan etnis Aceh dan Gayo dalam bidang pendidikan sudah berlangsung lama. Pendidikan di antara berbagai etnis di Kecamatan Bies pada awalnya terpisah, artinya pada awal-awak kedatangan etnis Jawa ke Kecamatan Bies pendidikan yang mereka utamakan ialah pendidikan keahlian secara turun temurun. Namun keberlansungan hidup bertetangga ini membuat etnis pendatang dalam proses sosialnya di Kecamatan Bies telah mengalami perubahan pola pikir terhadap pendidikan hal ini baru terlihat sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Mereka sudah menganggap bahwa selain pendidikan keluarga secara turun temurun sangat penting, namun pendidikan formal jauh lebih penting karena dapat mengangkat derajat sosial mereka dari kaum wong cilik (orang kecil) menjadi golongan priyayi (pegawai,kaum intelektual).

  Tidak hanya masyarakat etnis Jawa yang menyadari betapa pentingnya pendidikan formal, namun masyarakat etnis Gayo dan Aceh yang pada awalnya juga mengutamakan pendidikan keluarga untuk menurunkan keahlian yang mereka miliki seperti cara berpakaian, mengembangkan tradisi kesenian dan bekerja dengan keahlian masing-masing. Sejak interaksi sosial yang berlangsung lama ini etnis Aceh juga memandang pendidikan keluarga untuk menurunkan keahlian yang dimiliki orang tuanya sangat penting, namun pendidikan formal dianggap jauh lebih penting. Perbedaan pandangan kedua etnis ini tentang pendidikan formal ialah, jika orang Jawa mengangap pendidikan formal dapat meningkatkan status sosial mereka, namun, masyarakat etnis Gayo dan Aceh yang tinggal baru naiknya status seseorang melalui pendidikan formal apabila seseorang sudah memperoleh pekerjaan dan mendapat gaji di setiap bulannya. Seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi baru dikatakan berhasil setelah orang tersebut mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang keilmuannya, sebelum orang tersebut pekerjaan maka orang tersebut dianggap sarjana yang belum sempurna. Selain dari itu ada juga yang berpandangan bahwa sesukar apapun seorang sarjana mendapatkan pekerjaan pendidikan formal haruslah diutamakan disamping pendidikan non formal (Wawancara: Muslim,

  13 Agustus 2016). Selain pendidikan formal yang telah melibatkan ketiga etnis di Kecamatan Bies ini, dalam masyarakat di Kecamatan Bies sebagaimana di wilayah Aceh lainnya juga terdapat lembaga yang menyelenggarakan pendidikan agama seperti TPA untuk generasi penerus mereka terutama mereka yang beragama Islam. Baik masyarakat etnis Jawa maupun etnis Gayo dan Aceh memberikan dukungan terhadap lembaga pendidikan agama ini hal ini dibuktikan dengan memasuki anak-anak mereka untuk belajar ilmu agama. Biasanya aktivitas ini dilaksanakan sekita pukul 16:00-18:00 di mesjid-mesjid dan tempat-tempat yang telah disediakan. Menariknya hubungan sosial yang harmonis ini juga dilihat tidak sedikinya para orang tua anak baik dari etnis Jawa maupun Aceh dan Gayo yang mendatangkan guru pengajian ke rumah mereka untuk memberikan pelajaran tambahan bagi anak mereka. Dengan

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  adanya interkasi tersebut hampir tidak ada lagi masyarakat yang putus sekolah karena cara pandang mereka terhadap pendidikan. Sebagian besar dari masyarakat usia sekolah lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, dan tidak ada lagi warga desa yang bersuku Jawa menikah pada usia sekolah, mereka lebih memilih melanjutkan pendidikan atau merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan.

  KESIMPULAN

  Kecamatan Bies merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah kabupaten Aceh Tengah yang bersifat multikultur yang didiami oleh beberapa etnis, baik penduduk asli maupun pendatang. Etnis yang bukan etnis Gayo dan etnis Aceh telah menetap dalam waktu yang cukup lama, sejak zaman penjajahan Belanda hingga saat penelitian ini berlangsung. Salah satu etnis pendatang yang tinggal di Kecamatan Bies ini adalah etnis Jawa. Terjadinya migrasi etnis Jawa ke Kecamatan Bies tersebut dilatarbelakangi oleh faktor politik, yaitu kebijakan kaum liberal Belanda yang terkenal dengan politik etis yang salah satu isinya ialah emigrasi. Faktor politik diakibatkan oleh adaya politik etis kolonial Belanda. Sementara alasan ekonomi adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik dari etnis Jawa. Perkembangan jumlah penduduk etnis Jawa di Kecamata ini dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan. Berdasarkan data yang penulis peroleh di lapangan di tahun 1998 jumlah penduduk etnis Jawa di Kecamatan Bies berjumlah 25 KK dan jumlah ini terus naik dari tahun ke tahun hingga tahun 2015 jumlah penduduk etnis Jawa sudah mencapai 125 KK atau hampir 80% penduduk Kecamatan Bies tersebut.

  Dengan datangnya etnis Jawa di Kecamatan Bies menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat dan pendatang. Akibat adanya interaksi antar etnis secara terus menerus telah menyebabkan adanya saluran untuk memudahkan terjadinya proses integrasi, sehingga melahirkan bentuk dan sistem nilai budaya yang baru tanpa menghilangkan bentuk dan sistem nilai budaya yang telah dibawa dari daerah asalnya. Interaksi antara penduduk setempat dengan dengan etnis Jawa dapat terlihat dari segi tradisi perkawinan, mata pencaharian hidup, bidang agama, bahasa, gotong- royong, pendidikan sarana dan prasarana hidup seperti peralatan, prasarana kesenia dan makanan.

  Saran

  BagiPemerintah, disarankan agar berusahameningkatkankeharmonisanantarsu kuetnis di KecamatanBies, supayakehidupanberbangsadanbernegarabis aterjagadenganutuhsesuaiamanat UUD 1945 dan Pancasila.

  Bagipembaca, disarankan agar mengadakanpenelitiankedepanterkaitperke mbangankomunitasJawa di KecamatanBiesinidenganlebihobjektifberda sarkan data yang ada di lapangan.

  Bagi Masyarakat, diharapkan agar terusmeningkatkankerjasamasekalipunberbe dasukudalammenjalankanaktivitassehari- hari. Serta menghindariterjadinyakonflikantarsuku yang berbeda.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106. DAFTAR PUSTAKA

  Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1981.

  Depok: Universitas Gunadarma. Wibowo, Agus Budi (2012). Akulturasi

  Subki Maula Fatah (2015). KonflikEtnis Aceh Dan EtnisJawa.Makalah.

  PerkembanganDesaTransmigrasiJa nthoBaru, Kabupaten Aceh Besar, 1984-2014. Skripsi. Banda Aceh: UniversitasSyiah Kuala. http://www.artikelsiana.com/2015/08/ pengertian-individu-populasi- komunitas.html diakses pada hari senin 21 Desember pukul 11:58).

  TM. Ramadhani (2014).

  Sosial . Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

  Purwadarminta (2012) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: ISBN. Taher, Alamsyah (2009). Metode Penelitian

  Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

  Jakarta: PT. Bumi Aksara. Pranoto, Suhartono. (2006). Teori

  Bandung: RemajaRosdaKarya. Soemanto, Wasty (2004). Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Karya Ilmiah) .

  MetodologiPenelitianKualitatif.

  Lembaga Demografi Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia. Maleong, Laxy (2007).

  Dasar-dasar demografi. Jakarta:

  PerkembanganPemukimanTransmi grasi di KecamatanJagongJeget, Kabupaten Aceh Tengah, 1982- 2014.Skripsi. Banda Aceh: UniversitasSyiah Kuala.

  Abdurrahman, Dudung. (1999). Metode

  Medan: Universitas Sumatera Utara. Fitri, Nurul (2014).

  Sebagai Sektor BasisTerhadap Pengembangan WilayahDi Kabupaten Aceh Tengah.Tesis.

  Benteng Budaya. Fitri, Khaira (2015). Peran Komoditas Kopi

  Pengantar Ilmu Sejarah . Yogyakarta: Yayasan

  Kuntowijiyo. 2003.

  Penelitian Masyarakat . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

  Koentjaraningrat (1997). Metode-Metode

  PedomanPenulisanSkripsi . Banda Aceh: UniversitasSyiah Kuala.

  Djufri, dkk (2016).

  Rineka Cipta. BPS (2014). Kecamatan Bies Dalam Angka , 2014. Aceh Tengah.

  Rajawali. Basrowi & Suwandi, (2008:21). Memahami Penelitian Kualitatif . Jakarta: PT.

  Bert F. Hoselitz, ed. 1988. Panduan Dasar Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: CV.

  Penelitian Sejarah . Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

  Budaya Aceh Pada Masyarakat

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 93 – 106.

  Jawa di Kota Langsa. Banda

  Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.