BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Bahan Ajar - PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERMAIN DRAMA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, DAN INTELEKTUAL) PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN PEMBELAJARAN

  9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Bahan Ajar

  a. Pengertian Bahan Ajar Menurut Sanjaya (141:2008) bahan ajar adalah segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka pencapaian standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan tertentu. Menurut Winkel (330:2004) Bahan ajar adalah bahan yang digunakan untuk belajar dan yang membantu untuk mencapai tujuan instruksional. Demikian pula Menurut Hamalik (139:2002) Bahan Ajar merupakan bagian yang penting dalam proses belajar mengajar yang menempati kedudukan yang menentukan keberhasilan belajar mengajar yang berkaitan dengan ketercapaian tujuan pembelajaran serta menentukan kegiatan-kegiatan belajar mengajar.

  Karena itu bahan pengajaran perlu mendapat pertimbangan secara cermat.

  Bahan ajar atau Materi pembelajaran (instructional material) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Bahan ajar merupakan salah satu bagian penting dalam proses pembelajaran. Sebagaimana Mulyasa (2006:96) mengemukakan bahwa bahan ajar merupakan salah satu bagian dari sumber ajar yang dapat diartikan sesuatu yang mengandung pesan pembelajaran, baik yang

  

9 bersifat khusus maupun yang bersifat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran.

  Dick, Carey, dan Carey (2009:230) menambahkan bahwa:

  

“instructional material contain the conten either written, mediated, or facilitated

by an instructor that a student as use to achieve the objective also include

information thet the learners will use to guide the progress” .

  Berdasarkan ungkapan Dick, Carey, dan Carey dapat diketahui bahwa bahan ajar berisi konten yang perlu dipelajari oleh siswa baik berbentuk cetak atau yang difasilitasi oleh pengajar untuk mencapai tujuan tertentu.

  Berdasarkan kajian di atas, istilah bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu bahan/ materi pelajaran yang disusun secara sistematis yang digunakan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMP untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

  b. Karakteristik Bahan Ajar Ada beberapa karakteristik bahan ajar, antara lain yaitu :

  1) Harus mampu membelajarkan sendiri para siswa (self instructional) artinya bahan ajar mempunyai kemampuan menjelaskan yang sejelas-jelasnya untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran, baik dalam bimbingan guru maupun secara mandiri;

  2) Bersifat lengkap (self contained), artinya memuat hal-hal yang sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Hal-hal tersebut adalah tujuan pembelajaran/kompetensi prasyarat yaitu materi-materi pelajaran yang mendukung atau perlu dipelajari terlebih dahulu sebelumnya, prosedur pembelajaran, materi pembelajaran yang tersusun sistematis, latihan atau tugas- tugas, soal-soal evaluasi beserta kunci jawaban dan tindak lanjut yang harus dikerjakan oleh siswa; 3) Mampu membelajarkan peserta didik (self instruction material) artinya dalam bahan pelajaran cetak harus mampu memicu siswa untuk aktif dalam proses belajarnya bahkan membelajarkan siswa untuk dapat menilai kemampuan belajarnya sendiri;

  4) Mampu menunjang motivasi siswa antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari; 5) Mampu membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan.

  c. Jenis-Jenis Bahan Ajar Secara umum bahan ajar dapat dibedakan ke dalam bahan ajar cetak dan noncetak. Bahan ajar cetak dapat berupa, handout, buku, modul, brosur, dan lembar kerja siswa. Sedangkan bahan ajar non cetak meliputi, bahan ajar audio seperti, kaset, radio, piringan hitam, dan compact disc audio. Bahan ajar audio

  

visual seperti, CAI (Computer Assisted Instruction), dan bahan ajar berbasis web

  (web based learning materials) ( Lestari, 2013:5). Lebih lanjut Mulyasa (2006:96) menambahkan bahwa bentuk bahan ajar atau materi pembelajaran antara lain adalah bahan cetak (hand out, buku, modul, LKS, brosur, dan leaflet), audio (radio, kaset, cd audio), visual (foto atau gambar), audio visual (seperti; video/ film atau VCD) dan multi media (seperti : CD interaktif; computer based; dan internet). 16 Bahan ajar yang dimaksud dalam kajian ini lebih ke bahan ajar cetak berupa buku teks. Hal ini dikarenakan, buku teks sangat erat kaitannya dengan kurikulum, silabus, standard kompetensi, dan kompetensi dasar.

  Susilana (2007:14) mengungkapkan bahwa buku teks adalah buku tentang suatu bidang studi atau ilmu tertentu yang disusun untuk memudahkan para guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Buku teks mempunyai peran penting dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Hutchinson & Torres dalam Litz, (2012:5) mengungkapkan bahwa :

“The textbook is an almost universal element of [English language] teaching.

  

Millions of copies are sold every year, and numerous aid projects have been set

up to produce them in [various] countries…No teaching-learning situation, it

seems, is complete until it has its relevant textbook” .

  Buku teks merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan dalam pengajaran. Buku teks dapat juga menjadi wadah untuk menuliskan ide-ide terkait kebudayaan nasional suatu bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan Pingel (2009:7) bahwa:

  

“Textbooks are one of the most important educational inputs: texts reflect basic

ideas about a national culture, and are often a flashpoint of cultural struggle and

controversy”.

  d. Fungsi Bahan Ajar Secara garis besar, bahan ajar memiliki fungsi yang berbeda baik untuk guru maupun siswa. Adapun fungsi bahan ajar untuk guru yaitu;

  1) untuk mengarahkan semua aktivitas guru dalam proses pembelajaran sekaligus merupakan subtansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa; dan 2) sebagai alat evaluasi pencapaian hasil pembelajaran. Dalam bahan ajar akan selalu dilengkapi dengan sebuah evaluasi guna mengukur penguasaan kompetensi per tujuan pembelajaran.

  Sedangkan fungsi bahan ajar bagi siswa yakni, sebagai pedoman dalam proses pembelajaran dan merupakan subtansi kompetensi yang harus dipelajari.

  Adanya bahan ajar siswa akan lebih tahu kompetensi apa saja yang harus dikuasai selama program pembelajaran berlangsung. Siswa jadi memiliki gambaran skenario pembelajaran lewat bahan ajar.

  Modul adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka, agar mereka dapat belajar sendiri (mandiri) dengan bantuan atau bimbingan yang minimal (Prastowo, 2014:106).

  Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar (DEPDIKNAS, 2004) modul diartikan sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru.

  Ismawati (2012:141) mengartikan modul adalah materi pelajaran yang disusun dan disajikan secara tertulis sedemikian rupa sehingga pembacanya (siswa) diharapkan dapat menyerap sendiri materi di dalaamnya, tanpa atau sesedikit mungkin membutuhkan bantuan orang lain.

  Berbagai definisi modul, dapat disimpulkan bahwa modul merupakan bahan ajar terprogram yang disusun secara sistematis, dan terperinci, serta menarik dengan tujuan siswa mudah memahami materi ajar dengan bantuan atau bimbingan yang minimal, bahkan tanpa guru. a. Karakteristik Modul Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis yang di dalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Karakteristik yang diperlukan oleh sebuah modul (DIKMENJUR, 2004) antara lain : 1) Self Instruction

  Karakter modul yang self instruction memungkinkan seseorang belajar secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain.

  a) Memuat tujuan pembelajaran yang jelas dan dapat menggambarkan pencapaian standar kompetensi serta kompetensi dasar.

  b) Memuat materi pembelajaran yang dikemas dalam unit-unit kegiatan yang kecil (spesifik) sehingga memudahkan dipelajari secara tuntas.

  c) Tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi pembelajaran.

  d) Terdapat soal-soal latihan, tugas, dan sejenisnya yang memungkinkan untuk mengukur penguasaan peserta didik.

  e) Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana, tugas atau konteks kegiatan dan lingkungan peserta didik.

  f) Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif.

  g) Terdapat rangkuman materi pembelajaran.

  h) Terdapat instrumen penilaian yang memungkinkan peserta didik melakukan penilaian mandiri (self assessment). i) Terdapat umpan balik atas penilaian peserta didik, sehingga peserta didik mengetahui tingkat penguasaan materi.

  2) Self Contained Modul dikatakan self contained bila seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempatan peserta didik mempelajari materi pembelajaran secara tuntas karena materi belajar dikemas ke dalam satu kesatuan yang utuh.

  3) Stand Alone Stand alone atau berdiri sendiri merupakan karakteristik modul yang tidak tergantung pada bahan ajar/media lain, atau tidak harus digunakan bersama- sama dengan bahan ajar/media lain. Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta didik masih menggunakan dan bergantung pada bahan ajar lain selain modul yang digunakan, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan sebagai modul yang berdiri sendiri. 4) Adaptive

  Modul dikatakan adaptive jika modul tersebut dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel/luwes digunakan di berbagai perangkat keras (hardware). 5) User Friendly

  Modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau bersahabat akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon dan mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan, merupakan beberapa bentuk user friendly.

  b. Komponen-komponen modul untuk menghasilkan modul pembelajaran yang mampu memerankan fungsi dan perannya dalam pembelajaran yang efektif, maka modul harus berkualitas. Kualitas modul dinilai dari empat aspek, yaitu: aspek-aspek yang didasarkan pada standar penilaian bahan ajar oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) yang antara lain adalah aspek kelayakan isi, kelayakan bahasa, kelayakan penyajian dan kelayakan kegrafikaan.

  1) Aspek kelayakan isi aspek kelayakan isi mencakup :

  a) kesesuaian uraian materi dengan SK dan KD;

  b) keakuratan materi;

  c) kemutakhiran materi; d) mendorong keingintahuan.

  2) Aspek kelayakan bahasa aspek kelayakan bahasa mencakup :

  a) lugas;

  b) komunikatif;

  c) dialogis dan interaktif;

  d) kesesuaian dengan perkembangan peserta didik; 3) Aspek kelayakan penyajian aspek kelayakan penyajian mencakup :

  a) teknik penyajian;

  b) pendukung penyajian; c) penyajian pembelajaran;

  d) koherensi dan keruntutan alur pikir; 4) Aspek kelayakan kegrafikaan aspek kelayakan kegrafikaan mencakup :

  a) ukuran modul;

  b) desain kulit modul;

  c) desain isi modul empat aspek kelayakan tersebut, kemudian dijadikan dasar para ahli untuk menilai modul; aspek kelayakan isi dan penyajian dinilai oleh ahli materi; aspek kelayakan bahasa dinilai oleh ahli bahasa; sedangkan aspek kelayakan kegrafikaan akan dinilai oleh ahli desain modul.

  Hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan modul adalah penyusunan struktur atau kerangka modul. DEPDIKNAS (2008) menyebutkan bahwa modul berisi paling tidak :

  a) petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru),

  b) kompetensi yang akan dicapai;

  c) content atau isi materi;

  d) informasi pendukung;

  e) latihan-latihan;

  f) petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja (LK);

  g) evaluasi; h) balikan terhadap evaluasi.

  Dengan demikian sebuah modul dapat dikatakan baik secara sistematis jika disusun dengan memperhatikan langkah-langkah penyusunan modul seperti yang dijelaskan di atas. a. Pengertian Drama Drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan, beraksi, atau action

  (Waluyo, 2001:2). Menurut Ferdinant Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Belthazar Vertagen, drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak (Harymawan, 1993:1). Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas (Waluyo, 2001:1). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa drama adalah sebuah rangkaian cerita yang berisi konflik manusia, berbentuk dialog, yang diekspresikan melalui pentas dpertunjukan dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan para penonton.

  Dewasa ini pengertian drama sering disamkaan dengan teater. Menurut santoso dalam Suwarni (2003:10) teater adalah istilah lain dari drama, tetapi mempunyai arti yang lebih luas dari pada drama yaitu merupakan proses dari pementasan yang meliputi proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman dan penikmatan publik. Drama belum mencapai kesempurnaan apabila belum ke tahap teater dalam bentuk pementasan sebagai perwujudanya.

  Drama mempunyai arti yang sangat luas. Perkataan ”drama” berasal dari bahaswa Yunani ”draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi.

  Drama berarti perbuatan tindakan atau reaksi. Drama berarti perbuatan tindakan action (Waluyo 2002:2). Berbagai macam pendapat para pakar, ahli, maupun ilmuan mengenai pengertian drama yang meninjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Pemikiran dan temuan itu menghasilkan beragam simpulan tentang pengertian drama, yang pada hakikatnya adalah saling melengkapi pendapat satu sama lain. Dalam Dictiobary of World Literature, drama berarti segala pertunjukan yang memakai mimik (any kind of mimetic performance). Dalam pemakaian sehari-hari arti drama sangatlah luas sekali, pengertian yang timbul dari kata ”drama” terutama ialah: pertunjukan, dan adanya lakon yang dibawakan dalam pertunjukan itu (Purwanto 1968:51).

  Menurut Waluyo (2002:1) drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat. Kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri. Drama adalah potret kehidupan manusia potret suka duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia. Menurut Suharianto (2005:58) drama semula berasal dari Yunani yang berarti perbuatan atau pertunjukan. Berbeda sekali dari Suharianto, Wiyanto (2005:126) yang memandang drama dari seni sastra, berpendapat bahwa drama jika dipandang dari seni sastra merupakan naskah drama karya sastrawan yang kebanyakan berupa percakapan, yaitu percakapan antar pelaku. Hal ini berbeda sekali dengan pendadapat-pendapat yang sudah terdahulu.

  Pengertian drama yang sudah dikenal selama ini hanya diarahkan kepada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon, ternyata memberikan citra yang kurang baik terhadap drama, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Konsepsi drama adalah peniruan atau tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura diatas pentas, menghasilkan idiom-idiom yang menunjukkan bahwa drama bukanlah dianggap ”serius dan berwibawa” (Hasanuddin 1996:3). Adapun jenis drama dapat di golongkan dari berbagai macam tinjauan para ahli maupun sastrawan. Sama halnya dengan pengertian drama diatas, beberapa tinjauan mengenai jenis drama bersifat saling melengkapi satu sama lain. Jenis drama dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu drama senagai sastra (naskah drama) dan drama sebagai tontonan (drama pentas).

  Bentuk karya sastra drama dapat dipandang sebagai seni sastra, namun juga dapat dipandang sebagai seni tersendiri, yaitu seni drama. Yang dimaksud drama dalam seni sastra tidak lain adalah naskah drama karya sastrawan, yang umumnya berupa percakapan, yakni percakapan antar pelaku (Wiyanto 2005:126-127).

  Selain percakapan para pelaku, naskah drama juga berisi penjelasan mengenai gerak-gerik dan tindakan yang dilaksanakan oleh pelaku. Naskah drama juga dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur (Waluyo 2003:6).

  Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu jenis sastra atau drama sebagai sebuah kesenian yang mandiri. Naskah drama merupakan salah satu jenis sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa, sedangkan pementasan drama adalah salah satu jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekorasi dan panggung), seni kostum, seni rias, seni tari, dan lain sebagainya.

  Dalam kaitannya dengan pendidikan watak, drama juga dapat membantu mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam diri peserta didik, memeperkenalkan kehidupan manusia dari kebahagiaan, keberhasilan, kepuasan, kegembiraan, cinta, kesakitan, keputusasaan, acuh tak acuh, benci dan kematian. Drama juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kepribadian yang kompleks, misalnya ketegaran hati, imajinasi, dan kreativitas (Endraswara, 2005:192).

  b. Klasifikasi Drama Klasifikasi drama dapat digolongkan dari berbagai tinjauan. Sama halnya dengan pengertian drama, beberapa tinjauan tentang klasifikasi drama bersifat saling melengkapi. Pembahasan tentang bermain drama dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP merancukan antara drama naskah dan drama pentas.

  Menurut Waluyo (2003:2) drama naskah disebut juga sastra lakon. Drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna).

  Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog atau ragam tutur. Drama pentas adalah kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung, seni kostum, seni rias, dan sebagainya). Klasifikasi drama didasarkan atas jenis streotip manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Menurut Waluyo (2003:38) berbagai jenis drama dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut. 1) Tragedi (Drama Duka atau Duka Cerita)

  Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar. Dengan kisah tentang bencana ini, penulis naskah mengharapkan agar penontonnya memandang kehidupan secara optimis. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidaksempurnaan manusia. Cerita yang dilukiskan romantis atau idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang sempurna.

  2) Melodrama Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Alur dan penokohan seringkali dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan penonton. 3) Komedi (Drama Ria)

  Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang. 4) Dagelan (Farce)

  Dagelan disebut juga banyolan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembangan cerita sang tokoh. Isi cerita dagelan biasanya kasar, lentur, dan vulgar. Alurnya longgar dan struktur dramatiknya bersifat lemah. c. Drama sebagai Sastra (Naskah Drama) Seni sastra (naskah drama) akan menjadi seni drama (tontonan drama) jika naskah tersebut dimainkan. Tontonan drama amat unik, karena bukan hanya melibatkan aktor saja, melainkan melibatkan berbagai seniman. Sedangkan gedung pementasan drama sebenarnya tempat berkumpulnya para seniman: sastrawan, aktor, komponis, pelukis, dan lain-lain (Wiyanto 2005:129). Para seniman itu bekerjasama sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk mewujudkan seni drama yang akan dinikmati keindahanya oleh penonton. Selain melibatkan banyak seniman, tontonan drama juga mengandung banyak unsur- unsur yang tidak dapat dipisahkan dari keutuhan pementasan drama.

  Beragam pendapat menurut sastrawan menyebutkan seni pentas dalam kesastraan di Indonesia bermacam-macam. Diantaranya adalah seni drama (tontonan drama), teater, bermain drama, bahkan bermain drama. Kesemua ini memiliki maksud dan tujuan yang sama. Pertunjukkan atau tontonan tersebut dalam realitanya memiliki unsur yang mendukung secara bersama-sama. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari unsur-unsur yang terdapat didalamnya seperti adanya; teks atau naskah yang dipentaskan, laku pentas dengan sarana pendukungnya, dan adanya penonton. Kesemuannya itu menjawab kesamaan istilah atau nama dalam menyebutkan suatu seni pertunjukkan (seni pentas) adalah sama maksud dan sama arti.

  d. Unsur-Unsur Pembangun Drama Pentas Adapun unsur-unsur pembangun drama dalam sebuah pagelaran drama/teater yang penting dan berkorelasi. Penjabaran teori unsur-unsur yang terdapat dalam pementasan drama menurut para dramawan sangat luas sekali. Dalam hal ini Suharianto (2005:59) menggolongkan ada empat unsur pembangun drama sebagai berikut.

  1) Tata Pentas dan Dekorasi Tata pentas atau dekorasi dalarn pertunjukkan drama biasanya disesuaikan dengan kebutuhan penonton dan lakonya untuk memberikan kenyamanan penonton dan juga dapat membantu memudahkan pengimajinasian seorang aktor sekalipun.

  2) Lakon atau Cerita Lakon atau cerita merupakan unsur yang esensial dalam sebuah drama.

  Berangkat dari lakon/cerita inilah para pelaku menampilkan diri di depan penonton, baik dengan geraknya (acting) maupun lawan katanya (dialog).

  Selanjutnya dari perpaduan antara lakon, gerak dan lawan katanya itulah kita sebagai penikmatnya dapat menyaksikan sebuah drama.

  Dalam sebuah drama, secara struktural lakon atau cerita terdiri atas lima bagian, yaitu: 1) pemaparan atau eksposisi → penjelasan situasi awal suatu cerita; 2) pengawatan atau kompilasi → bagian yang menunjukkan konflik yang sebenarnya; 3) puncak atau klimaks

  → puncak ketegangan cerita, titik perselisihan tertinggi protagonis dan antagonis; 4) peleraian atau anti klimaks → bagian pengarang mengetengahkan pemecahan konflik; dan 5) penyelesaian atau kongkulasi

  → bagian cerita yang berfungsi mengembalikan lakon pada kondisi awal (Suharianto, 2005:59).

  3) Pemain Pemain atau pemeran adalah orang-orang yang harus menerjemahkan dan sekaligus menghidupkan setiap kata dari sebuah naskah drama. Pemain berfungsi sebagai alat pernyataan watak dan penunjang tumbuhnya alur cerita. Dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pemain adalah setiap orang yang terlibat dalam sebuah pagelaran, misalnya sutradara, aktor/ aktris, dan staf artistik (Suharianto, 2005:61). Pemain (aktor) bertugas menghafalkan percakapan yang tertulis dalam naskah drama. Seorang aktor juga harus menafsirkan watak tokoh yang diperankan, seraya mencoba memeragakan gerak-geriknya. Pemain atau aktor harus berlatih berulang-ulang supaya peragaan yang dibawakanya benar-benar sesuai dengan yang dikehendaki naskah drama. 4) Tempat

  Tempat dalam drama adalah gedung, lapangan, atau arena lain yang dipergunakan sebagai tempat pertunjukan. Dalam hal ini, tempat tidak hanya dibutuhkan oleh para pemain, namun juga oleh para menonton. Oleh karena itu, tempat yang memenuhi syarat akan sangat mendukung terjadinya sebuah pagelaran yang baik (Suharianto, 2005:62). 5) Penonton atau Publik

  Penonton atau publik adalah bagian yang sempurna, lengkap di dalam sebuah pagelaran drama pertunjukan dengan lakon itu sendiri. Sebab, tanpa adanya penonton tidak pernah akan ada drama dalam arti yang sesungguhnya. Banyak sedikitnya penonton menjadi sebuah ukuran keberhasilan pertunjukan drama.

  Jika penonton merasa puas, maka pertunjukan drama tersebut bisa diartikan sukses besar. Sebaliknya, bila penontonya sedikit dan umumnya penonton kecewa dengan pertunjukan yang di pentaskan, maka pertunujukan itu dapat dikategorikan gagal total.

  Menurut Suharianto (1982:62) pagelaran drama pada hakikatnya adalah sebuah proses berkomunikasi antara peneliti naskah (sebagai komunikator), penonton/

  

publik/audience (sebagai komunikan), dan pemain (sebagai mediator). Dengan

  demikian, unsur penonton merupakan unsur yang sangat penting keberadaannya, agar proses berkomunikasi dapat berlangsung sempurna.

  Proses berkomunikasi yang interaktif membutuhkan komunikan (penonton) yang aktif. Dengan demikian, penonton drama yang baik adalah penonton yang aktif dan bisa bersikap apresiasi yang positif. 6) Tata Rias dan Busana

  Untuk menciptakan peran sesuai dengan tuntutan lakon yang akan dibawakan, tata rias atau seni menggunakan kosmetik sangatlah diperlukan. Adapun fungsi pokok rias adalah untuk membantu seorang tokoh dalam mengubah watak baik dari segi fisik, psikis, dan sosial. Tujuan utama fungsi bantuan rias adalah untuk memberikan tekanan terhadap peran yang akan dibawakan oleh seorang aktor. Seperti halnya rias, tata busana juga akan membantu seorang aktor dalam membawakan peran sesuai dengan tuntutan lakon melalui latihan penyesuaian diri dengan rias dan kostum yang dipakainya.

  7) Tata Lampu Tata lampu bertujuan untuk memberikan pengaruh psikoiogis seorang aktor dan sekaligus berfungsi sebagai ilustrasi (hiasan) serta sebagai penunjuk waktu suasana pentas yang berlansung. 8) Ilustrasi Musik dan Tata Suara

  Ilustrasi musik dalam sebuah pertunjukkan dapat juga menjadi bagian dari lakon, akan tetapi yang paling banyak adalah sebagai ilustrasi atau sebagai pembuka. Sedangkan tata suara berfungsi untuk memberikan efek suara yang akan membantu seorang aktor untuk menguatkan penghayatan peran. Suara yang jelas dalam pengucapan dialog akan membuat penonton dapat menangkap jalan cerita drama yang dipertunjukkan. Adapun ucapan yang jelas adalah ucapan yang bisa terdengar setiap suku katan-nya.

  e. Keterampilan Bermain Drama Drama naskah belum lengkap jika belum diperankan atau dipentaskan.

  Berperan adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama (Waluyo, 2007:114). Sejauh mana keterampilan seorang aktor dalam berperan, baru dapat dilihat setelah ia memerankan dan mengekspresikan tokoh yang dibawakannya.

  Keterampilan bermain drama adalah keterampilan seseorang dalam memerankan suatu peran atau karakter tokoh yang ada di dalam drama. Kemampuan memerankan karakter tokoh dalam bermain drama tidak terlepas dari dialog dan gerakan, karena inti dari sebuah drama adalah pada kedua aspek tersebut.

  Manusia sebagai makhluk sosial, pada umumnya menyukai hal-hal yang berbau imitasi, artinya suka meniru-niru apa yang dilihatnya dalam pergaulan. Imitasi ini bisa meniru kebiasaan orang lain, penampilan orang lain, cara berbicara orang lain dan sebagainya. Dalam hal ini berarti seseorang sudah mulai melakukan kegiatan meniru. Sebagai contoh dapat dilihat ketika seorang anak bermain pasar-pasaran dengan teman-temannya.

  Disadari atau tidak, anak tersebut sudah melakukan permainan drama. Ketika anak-anak bermain pasar-pasaran, seorang anak memerankan karakter tokoh penjual yang mempunyai keterampilan untuk merayu pembeli, ada seorang anak yang memerankan pembeli, memerankan tukang masak dan sebagainya (Harymawan, 1993:44). Seorang aktor dapat menggambarkan karakter seorang tokoh secara maksimal. Harymawan (1993:45) menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh seorang aktor ketika memerankan sebuah karakter tokoh. Ketiga hal tersebut adalah mimik, gestur, dan diksi.

  1) Mimik. Mimik adalah pernyataan atau perubahan muka: mata, mulut, bibir, hidung, kening. Mimik juga dapat diartikan sebagai ekspresi wajah. Tanpa mimik atau ekspresi, permainan drama akan terasa kurang lengkap. Meskipun bermacam-macam gerakan sudah bagus, suara telah jadi jaminan, dan diksi juga mengena, tetapi ekspresi mata kosong saja, maka dialog yang diucapkan kurang meyakinkan penonton, karena itu, permainannya menjadi hambar atau datar saja. 2) Gestur. Gestur atau plastik merupakan cara bersikap dan gerakan-gerakan anggota badan. Gestur juga dapat diartikan sebagai sikap. Gestur atau plastik juga dapat diartikan sebagai gerakan tubuh. Sikap dan gerak dengan sendirinya akan terpengaruh oleh mimik dan pada umumnya bergantung juga pada tanda yang sama, tak setegas dan seprinsipil mimik.

  3) Diksi. Yang dimaksud diksi di sini merupakan cara penggunaan suara atau ucapan. Diksi memberikan kebebasan pada aktor untuk menghidupkan individualitasnya dalam peranan, karena diksi tidak ditentukan oleh pengarang naskah drama. Diksi ditentukan oleh aktor itu sendiri. Oleh karena itu, diksi dapat mempengaruhi arti dari suatu kalimat (Harymawan, 1993:46).

  f. Teknik Bermain Drama Teknik bermain drama adalah cara atau metode yang digunakan agar pemeran dapat menyatukan dan mendayagunakan secara professional segala peralatan ekspresi yang dimiliki oleh pemeran (Achmad, 1990:61). Menurut Rendra (1976:8) bahwa dalam bermain drama ada dua hal yang mendasarinya, yaitu teknik dan bakat. Bermain drama tanpa teknik hanya akan menjadi gairah yang asyik tapi tidak komunikatif, sedangkan bermain drama tanpa bakat tidak akan menjadi suatu permainan yang memiliki keindahan. Oleh karena itu, teknik dan bakat haruslah dimiliki oleh seorang aktor agar permainan menjadi komunikatif.

  Berikut ini adalah teknik dasar yang perlu dipelajari dalam bermain drama (Rendra, 1976:12) : 1) teknik muncul; 2) teknik memberi isi; 3) teknik pengembangan; 4) teknik membina puncak-puncak; 5) teknik timing; 6) teknik penonjolan; 7) keseimbangan peran; 8) pengaturan tempo permainan; 9) latihan sikap badan dan gerak yakin; 10) teknik ucapan; dan 11) latihan menanggapi atau mendengarkan. Selain teknik yang dikemukakan oleh Rendra, ada beberapa teknik yang dikemukakan oleh Leksono (2007:29) mengenai teknik bermain drama yaitu

  : 1) teknik muncul; 2) teknik moving; 3) teknik crossing; 4) blocking; 5) keseimbangan; 6) respon; dan 7) permainan tempo.

  Dalam sebuah pementasan, untuk seorang pemeran (actor) yang masih baru pasti akan mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan segala teknik bermain drama. Namun secara perlahan, jika teknik itu dipelajari secara terus menerus maka akan memudahkan seorang aktor dalam bermain drama. Oleh karena itu, perlu adanya kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang aktor ketika bermain drama. Boleslavky mengemukakan bahwa kemampuan yang harus dipelajari seorang aktor ketika bermain drama adalah sebagai berikut. 1) Konsentrasi, adalah pemusatan perhatian pada berbagai aspek dalam mendukung kegiatan seni perannya. Pemusatan perhatian ini amat perlu dilakukan, karena jika tidak, pemain akan tetap hadir sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai tokoh yang diperankannya.

  2) Kemampuan mendayagunakan kemampuan emosional, yaitu kemampuan seorang pemain untuk menumbuhkan bermacam-macam bentuk emosional dengan kemampuan dan kualitas yang sama baiknya, di dalam berbagai situasi. 3) Kemampuan laku dramatik, yaitu kesanggupan pemain di dalam melakukan sikap, tindakan, serta perilaku yang merupakan ekspresi dari tuntutan emosi.

  4) Kemampuan membangun karakter, yaitu kesanggupan pemain drama untuk lebur ke dalam suatu pribadi lain dan keluar dari dirinya sendiri selama bermain drama.

  5) Kemampuan melakukan observasi, yaitu kesanggupan pemain drama untuk melakukan pengamatan terhadap sikap aktivitas manusia di dalam kehidupan sehari-hari. 6) Kemampuan menguasai irama, yaitu kesanggupan pemain untuk menguasai tempo permainan, sehingga pementasan memberikan suspence kepada penonton (dalam Hasanuddin, 1996:175).

  g. Langkah-Langkah Bermain Drama Untuk menampilkan sebuah pagelaran drama, ada beberapa hal penting yang harus di perhatikan berkaitan dengan sukses dan tidaknya sebuah pagelaran drama yang baik. Untuk mewujudkan sebuah pementasan drama yang baik hendaknya melakukan persiapan-persiapan dari pra pementasan, saat pementasan, dan sesudah pementasan. Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain drama yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran.

  1) Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternatif pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain drama dan paling menentukan keberhasilan. Bermain drama akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.

  2) Memilih partisipan/peran. Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu. 3) Menyusun tahap-tahap peran. Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya.

  Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.

  4) Menyiapkan pengamat. Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat ini dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan? 5) Pemeranan. Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain drama tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama.

  Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain drama sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain drama dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.

  6) Diskusi dan evaluasi. Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain drama, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

  7) Pemeranan ulang. Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya. 8) Diskusi dan evaluasi tahap dua. Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi masalah kehidupan. 9) Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain drama ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya. Mareka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain drama ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain drama, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

  Pada usia beranjak remaja, anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menurut kemampuan intelektual atau kemampuan atau kemampuan kognitif. Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris(mau memperhatikan kepentingan orang lain). Usia peserta didik SMP merupakan usia yang efektif dalam pembentukan watak dan emosi. Dengan model pembelajaran bermain drama dapat membantu peserta didik untuk membentuk watak dan pola pikir yang maju. Selain itu, pembelajaran drama dapat membantu peserta didik untuk dapat bekerjasama dengan peserta didik lain.

  Shaffel dan Shaffel (dalam Waluyo, 2003:189) mengemukakan sembilan tahapan dalam bermain drama yang dapat dijadikan pedoman dalam pengajaran : 1) memotivasi kelompok; 2) memilih pemeran (casting); 3) menyiapkan pengamat; 4) menyiapkan tahap-tahap peran; 5) pemeranan (pentas di depan kelas); 6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas); 7) pemeranan ulang, 8) diskusi dan evaluasi II; 9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan. Jadi, berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan tahapan dalam bermain drama sama dengan tahapan bermain drama.

  Seorang pemain harus bisa menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh itu sebagai jiwanya sendiri, sehingga penonton yakin bahwa yang ada di pentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan. Untuk menjadi pemain yang baik memerlukan proses latihan yang cukup matang. Oscar Brocket dalam Waluyo (2003:116) mengemukakan beberapa latihan yang harus dilakukan sebelum bermain drama, yaitu: 1) latihan tubuh; 2) latihan suara; 3) observasi dan imajinasi; 4) latihan konsentrasi; 5) latihan teknik; 6) latihan sistem akting; dan 7) latihan untuk memperlentur keterampilan. Latihan-latihan dasar tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seoarng pemain dalam memerankan sebuah drama.

  Untuk menjadi seorang pemain yang baik, tidak hanya latihan dasar yang harus dikuasai oleh seorang pemain tetapi ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memaksimalkan seorang pemain ketika bermain drama. Djaja Kusuma dalam Tarigan (1985:98) mengemukakan langkah-langkah bermain drama terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) tahap persiapan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu memilih cerita, mempelajari naskah, memilh pemain, dan sebagainya; 2) tahap latihan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu latihan membaca, latihan blocking, latihan karya, latihan umum; 3) malam perdana, yaitu pada saat pementasan.

  Rendra juga mengemukakan teori acting (bermain drama), yang disebut dengan teori jembatan keledai, yang meliputi 11 langkah, yang disebutnya sebagai teknik menciptakan peran. Sebelas langkah tersebut adalah sebagai berikut.

  1) Mengumpulkan tindakan-tindakan pokok yang harus dilakukan oleh sang peran dalam drama itu.

  2) Mengumpulkan sifat-sifat watak sang peran, kemudian dicoba dihubungkan dengan tindakan-tindakan pokok yang harus dikerjaknnya, kemudian ditinjau, manakah yang harus ditonjolkan sebagai alasan untuk tindakan tersebut. 3) Mencari dalam naskah, pada bagian mana sifat-sifat pemeran itu harus ditonjolkan.

  4) Mencari dalam naskah, ucapan-ucapan yang hanya memiliki makna tersirat untuk diberi tekanan lebih jelas, hingga maknanya lebih tersembul keluar.

  5) Menciptakan gerakan-gerakan air muka, sikap, dan langkah yang dapat mengekspresikan watak tersebut di atas.

  6) Menciptakan timing atau aturan ketepatan waktu dengan sempurna, agar gerakan-gerakan dan air muka sesuai dengan ucapan yang dinyatakan.

  7) Memperhitungkan teknik, yaitu penonjolan ucapan, serta penekanannya, pada watak-watak sang peran itu.

  8) Merancang garis permainan yang sedemikian rupa, sehingga gambaran tiap perincian watak-watak itu, disajikan dalam tangga menuju puncak, dan tindakan yang terkuat dihubungkan dengan watak yang terkuat pula. 9) Mengusahakan supaya perencanaan tersebut tidak berbenturan dengan rencana atau konsep penyutradaraan.

  10)Menetapkan bussiness dan blocking yang sudah ditetapkan bagi sang peran dan diusahakan dihapal agar menjadi kebiasaan oleh sang peran.

  11)Menghayati dan menghidupkan perannya dengan imajinasi melalui jalan pemusatan perhatian pada pikiran dan perasaan peran yang dibawakan. Proses ini, boleh dikatakan proses meleburkan diri, encounter, di mana terjadi penjiwaan mantap (Rendra, 1976:69).

  Dari beberapa langkah tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemain harus menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan sehingga penonton yakin bahwa yang dipentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan.

  Agar drama bersifat komunikatif dibutuhkan aktor yang mempunyai kepekaan-kepekaan tersebut. Pembawaan peran harus tepat agar penonton ikut terlibat dalam suasana pentas. Penonton tidak akan merasa bahwa lakonnya itu dibuat-buat. Keseluruhan lakon harus ditampilkan. Pemain diharapkan mampu menentukan mana yang harus dilakukan didalam pentas dengan baik. Djajakusumah (dalam Tarigan, 1985:98) menyebutkan tiga tahapan utama dalam bermain drama, yaitu tahap persiapan, tahap latihan, dan malam perdana. Dalam bermain drama setiap orang harus memperhatikan langkah-langkah dalam bermain drama.

  Menurut Djajakusumah (dalam Tarigan, 1985:98) langkah-langkah bermain drama secara umum memiliki tiga tahapan yaitu, (1) tahap persiapan, (2) tahap latihan, (3) malam perdana. Dalam pembelajaran drama bagi peserta didik, ketiga tahapan tersebut dapat ditambahkan dengan pasca pementasan. Secara rinci keempat tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Dokumen yang terkait

ENERAPAN PENDEKATAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, DAN INTELEKTUAL) DENGAN AUTHENTIC ASSESMENT DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR TEOREMA PYTHAGORAS DI KELAS VIII SEMESTER GANJIL SMP NEGERI 1 JENGGAWAH

0 15 19

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN SPORT EDUKATIF DALAM PEMBELAJARAN ATLETIK DI SMP NEGERI 2 PRINGSEWU

1 72 127

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KEBUGARAN JASMANI DENGAN PENDEKATAN BERMAIN UNTUK SISWA SMP KELAS VII DI PESAWARAN

2 56 184

PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR MENULIS BERITA BERBASIS KORAN LINGGAU POS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI SUMBER REJO Sugi Murniasih

0 1 20

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK DALAM PEMBELAJARAN SASTRA PADA SISWA KELAS VIII SMP SEKABUPATEN CIREBON

0 0 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Model Pembelajaran a. Definisi Model Pembelajaran - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL

1 1 38

EFEKTIVITAS PENDEKATAN SAVI (SOMATIC, AUDITORY, VISUAL, INTELEKTUAL) TERHADAP PENINGKATAN KREATIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SMP NEGERI 13 MAKASSAR - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 2 101

ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN PESERTA DIDIK DENGAN PENDEKATAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, INTELEKTUAL) PADA KELAS VII SMP NEGERI 2 BARRU KABUPATEN BARRU

0 1 160

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bahan Ajar dan Pengembangannya - MODEL PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PAI TERINTEGRASI PADA PENDIDIKAN KARAKTER, LINGKUNGAN DAN SOFT SKILLS UNTUK SISWA SMK. ( STUDI ANALISIS SMK DI KECAMATAN MAYONG, PECANGAAN DAN

0 1 48

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Aktivitas Belajar - PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E BERBASIS INKUIRI SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VIII F SMP NEGERI 14 SUR

0 0 25