BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANISA YUNDANITA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Ika Susanti (2013) merupakan penelitian medication error

  secara prospektif melibatkan 325 resep pasien rawat inap penyakit dalam dari periode Mei hingga Juni 2013, menunjukan hasil bahwa terjadi kesalahan pengobatan atau medication error pada fase prescribing karena resep tidak terbaca 0.3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis pemberian 39%, tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai 34%, tidak menuliskan satuan dosis 59%, tidak ada betuk sedian 84%, tidak ada rute pemberian 49%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%, tidak ada nomor rekam medik 62%, usia 87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%, jenis kelamin 76%, dan nomor kamar pasien 77%. Pada fase transcribing potensi kesalahan dapat terjadi karena tidak ada dosis pemberian obat 89%, tidak ada rute pemberian 21%, tidak ada bentuk sediaan 14%. Sedangkan kesalahan pada fase dispensing yaitu pemberian etiket yang tidak lengkap 61%.

  Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Ika Susanti dengan penelitian

ini adalah lokasi penelitian dan subjek penelitian. Penelitian yang dilakukan

oleh Ika Susanti (2013) dilaksanakan di Depo Farmasi rawat inap penyakit

dalam gedung teratai, instalasi farmasi RSUP Fatmawati periode 2013 dengan

resep pasien rawat inap penyakit dalam di gedung teratai rumah sakit tersebut

adalah subjek penelitiannya. Sedangkan pada penelitian ini dilaksanakan di

Puskesmas Kabupaten Banyumas Wilayah Timur dengan resep racikan

sebagai subjeknya

B. Landasan Teori 1. Medication Error a. Definisi Medication Error

  Error terjadi bila faktor manusia dan sistem berinteraksi dalam

  serangkaian peristiwa yang biasanya kompleks, yang mengakibatkan luaran yang tidak diinginkan (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

  Medication error adalah patient safety incident yang melibatkan obat, yang dapat terjadi di semua sistem pelayanan kesehatan.

  Kesalahan yang serius bisa membahayakan pasien dan membuat tenaga profesional kesehatan dalam ancaman tuntutan kriminal (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

  Medication error adalah kesalahan yang terjadi pada pasien selama

  berada dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebenarnya dapat dihindari (WHO, 2017).

  Medication error adalah kejadian yang dapat dicegah karena

  kesalahan atau ketidaktepatan penggunaan obat yang dapat merugikan pasien ketika pengobatan tersebut masih di control oleh tenaga kesahatan (Ministry of Health Malaysia, 2009).

b. Klasifikasi Medication Error

  Klasifikasi medication error menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008, yaitu : 1) Katagori A yaitu kondisi atau peristiwa yang mempunyai kapasitas untuk menyebabkan error.

  2) Katagori B yaitu telah terjadi kesalahan, tetapi tidak mencapai pasien. 3) Katagori C yaitu telah terjadi kesalahan dan obat sudah diminum/digunakan pasien, tetapi tidak menyebabkan bahaya pada pasien. 4) Katagori D yaitu telah terjadi kesalahan dan membutuhkan monitoring yang ketat untuk memastikan bahwa kesalahan tersebut tidak menimbulkan bahaya pada pasien dan/atau memerlukan adanya intervensi untuk menghindarkan dari bahaya. 5) Katagori E yaitu telah terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek yang buruk tetapi bersifat sementara pada pasien sehingga memerlukan intervensi lanjut.

  6) Katagori F yaitu telah terjadi kesalahan yang memberikan efek yang buruk yang sifatnya sementara tetapi mengakibatkan pasien memerlukan rawat inap lama. 7) Katagori G yaitu telah terjadi kesalahan yang mengakibatkan efek buruk permanen bagi pasien. 8) Katagori H yaitu telah terjadi kesalahan yang mengakibatkan pasien hampir terenggut nyawanya sehingga memerlukan intervensi untuk mempertahankan hidup

  9) Katagori I yaitu telah terjadi kesalahan yang mengakibatkan kematian pada pasien.

c. Faktor-faktor Penyebab Medication Error

  Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 Faktor-faktor yang berkontribusi pada medication error antara lain: 1) Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi)

  Komunikasi yang baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidaklengkapan informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkat dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai. 2) Kondisi Lingkungan

  Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan dengan kondisi lingkungan, area dispensing harus di desain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu, area kerja harus bersih, dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat yang disediakan untuk pasien harus disediakan nampan yang terpisah. 3) Gangguan atau interupsi pada saat bekerja

  Gangguan atau interupsi harus seminimal mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun melalui telepon.

  4) Beban Kerja Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup tinggi untuk mengurangi stress dan beban kerja yang berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan. 5) Edukasi Staff

  Meskipun edukasi staff merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan insiden atau kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam sistem menurunkan insiden atau kesalahan.

d. Medication Error pada Fase Prescibing

  Prescribing error adalah terjadinya kesalahan dalam peresepan

  atau proses penulisan resep. Penyebab prescribing error adalah:

  1) Kurangnya pengetahuan atau informasi tentang pasien 2)

  Kurangnya pengetahuan dan informasi tentang obat

  3) Error

  dalam penghitungan dosis

  4) Tidak memahami bentuk sediaan obat 5)

  Salah penggunaan angka nol dan posisi koma pada angka desimal

  6) Penggunaan cara pemberian obat yang tidak biasa 7) Rejimen dosis yang tidak biasa digunakan 8)

  Rejimen dosis yang rumit (Kementerian Kesehatan RI, 2011) e.

   Medication Error pada Fase Transcribing

  Kesalahan penerjemahan resep atau transcribing error didefinisikan sebagai ketidaksesuaian pengobatan yang ditulis dalam resep (Ernawati et al, 2014). Kesalahan ini terjadi pada saat pembacaan resep untuk dispensing, seperti tulisan tidak jelas, informasi tidak jelas, atau penggunaan singkatan yang tidak tepat.

  Dalam analisis dan interpretasi resep, transcriber membaca dan mengartikan tulisan dalam resep yaitu nama obat, aturan pakai, cara pembuatan dan singkatan-sigkatan dalam resep, kemudian memastikan bahwa dosis yang ditulis sesuai dengan keadaan/kondisi pasien (jenis kelamin, umur dan berat badan), dan menghubungi dokter apabila ada instruksi dalam resep yang tidak jelas (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

f. Medication Error pada Fase Dispensing

  Dispensing adalah proses pemberian obat yang menyangkut

  kegiatan penyiapan dan penyerahan obat kepada pasien berdasarkan resep yang di tulis oleh dokter. Kegiatan ini meliputi interpretasi yang tepat dari resep serta pemberian etiket dan label obat sesuai dengan yang tertulis pada resep (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

  Dispensing error terjadi lebih jarang daripada prescribing error,

  tetapi bisa menyebabkan bahaya yang serius pada pasien. Dispensing

  

error bisa terjadi dalam bentuk salah obat, salah besar sediaan, salah

  jumlah obat, salah petunjuk pemberian obat, salah nama/detail obat pada label, salah besar sediaan pada label, salah bentuk sediaan, salah nama pasien pada label, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

  Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2008) kategori kesalahan dalam pemberian obat adalah : 1) Pasien mengalami reaksi alergi.

  2) Kontraindikasi. 3) Obat kadaluwarsa. 4) Bentuk sediaan yang salah. 5) Frekuensi pemberian yang salah. 6) Label obat salah / tidak ada / tidak jelas. 7) Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas. 8) Obat diberikan pada pasien yang salah. 9) Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah. 10) Jumlah obat yang tidak sesuai. 11) ADR (jika digunakan berulang). 12) Rute pemberian yang salah.

  13) Cara penyiapan yang salah. 14) Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah.

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

  74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian yang bertujuan untuk : 1) Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan. 2) Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

g. Upaya Pencegahan Terjadinya Medication Error

  Intervensi pelatihan penggunaan obat yang rasional yang lebih berfokus pada farmakoterapi berbasis bukti serta memberi pemahaman

  di

  mengenai resiko medication error Puskesmas. Namun demikian tetap diperlukan upaya lanjutan yang lebih sistematik dan berkesinambungan agar pelayanan kesehatan bebas dari resiko terjadinya error (Dwiprahasto, 2006).

  Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam Modul Penggunaan Obat Rasional tahun 2011, ada beberapa cara untuk mencegah terjadinya medication error yaitu : 1) Menyampaikan informasi adekuat tentang obat dan terapetik

  Informasi tentang obat yang tidak memadai adalah salah satu penyebab tersering medication error, dengan menyampaikan informasi penggunaan obat yang benar kepada pasien, maka dapat mencegah terjadinya medication error. 2) Menetapkan guideline.

  Membuat guideline yang memuat dosis, kontraindikasi, tindakan pencegahan dan informasi penting lainnya untuk obat-obat yang sering digunakan. Rujuk ke panduan nasional, label paket produk obat, dan sumber tentang obat lainnya untuk menciptakan

  guideline yang akan mudah diikuti oleh anggota staff.

  3) Identifikasi obat-obat high-alert.

  Mengidentifikasi daftar obat high-alert yang memerlukan kehatian- hatian ekstra saat memberikan, meresepkan, dan menyerahkan obat. Obat-obat high-alert adalah obat yang mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan bahaya serius pada pasien saat digunakan secara salah, misalnya warfarin, LMWH, insulin, obat antidiabetik oral, opiat, dan metotreksat. Upaya menurunkan medication error berdasarkan urutan dampak efektivitas terbesar menurut DEPKES RI 2008 adalah :

  1) Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function & contrains) merupakan suatu upaya mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik, contoh : sediaan potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% NaCl 0.9% karena sediaan di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada tempat injeksi)

  2) Otomasi dan computer (computerized prescribing order entry), yaitu dengan membuat statis/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti tanda “ atau tanda peringatan jika di luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin 0.5g)

  3) Standar dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi apoteker dalam panitia farmasi dan terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting. 4) Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang setiap langkah kritis dalam pelayanan.

  Untuk mendukung efektivitas sistem ini, diperlukan pemetaan analisis titik krisis dalam sistem. 5) Peraturan dan kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien. contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervise apoteker. 6) Pendidikan dan informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi. 7) Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.

2. Resep

  Kelengkapan resep merupakan aspek yang sangat penting dalam peresepan karena dapat membantu mengurangi terjadinya medication

  error .

a. Definisi Resep

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Nomor 73 tahun 2016 resep merupakan permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper atau elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Permenkes RI, 2016)

  Resep yang benar adalah ditulis secara jelas, dapat dibaca, lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku. Resep harus ditulis jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, Apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep (Moh.Anief, 2012).

  Resep terdiri dari 6 bagian, yaitu: 1) Inscriptio, terdiri dari nama dokter, nomor SIP, alamat dokter, nomor telepon/HP/kota/tempat, tanggal penulisan resep.

  2) Invocatio, terdiri dari permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = recipe” artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan apoteker di apotek. 3) Prescriptio / Ordonatio, terdiri dari nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan yang diinginkan. 4) Signatura, yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan jarak waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan keberhasilan terapi. 5) Subscrioptio, yaitu tanda tangan atau paraf dokter penulis resep berguna sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.

6) Pro (diperuntukkan), dicantumkan nama dan umur pasien. Untuk

  obat narkotika juga harus dicantumkan alamat pasien (untuk pelaporan ke Dinas Kesehatan setempat).

b. Jenis-jenis Resep

  Resep dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Resep Standar (resep Officinalis/Pre Compounded)

  Merupakan resep dengan komposisi yang telah dibakukan dan dituangkan kedalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Resep standar menuliskan obat jadi (campuran dari zat aktif) yang dibuat oleh pabrik farmasi dengan merk dagang dalam sediaan standar atau nama generik.

2) Resep Magistrales (Resep Polifarmasi/Compounded)

  Merupakan resep yang telah dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang menulis resep sendiri. Resep ini dapat berupa campuran atau obat tunggal yang diencerkan dan dalam pelayanan perlu diracik terlebih dahulu (Jas, 2009).

c. Pengkajian dan Pelayanan Resep

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

74 Tahun 2016 tentang Standar Kefarmasian di Puskesmas, k egiatan

  pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi: 1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien. 2) Nama, dan paraf dokter. 3) Tanggal resep. 4) Ruangan/unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi: 1) Bentuk dan kekuatan sediaan. 2) Dosis dan jumlah obat. 3) Stabilitas dan ketersediaan. 4) Aturan dan cara penggunaan. 5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat). Persyaratan Klinis meliputi : 1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat. 2) Duplikasi pengobatan 3) Alergi, interaksi, dan efek samping obat 4) Kontraindikasi 5) Efek adiktif

3. Puskesmas

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang menyelenggarakan upaya kesehatan seperti pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas yaitu pelayanan kefarmasian.

  Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan di Puskesmas secara garis besar terdiri dari pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik.

  Pengelolaan sediaan farmasi dan bahas medis habis pakai meliputi perencanaan kebutuhan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan serta pemantauan dan evaluasi pengelolaan. Sedangkan pada pelayanan farmasi klinik meliputi:

  a. Pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian informasi obat

  b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

  c. Konseling

  d. Ronde/visite pasien (khusus puskesmas rawat inap)

  e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat

  f. Pemantauan terapi Obat g. Evaluasi penggunaan Obat.

  Kegiatan pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan medis habis pakai dengan tujuan mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik yang utama adalah pengkajian resep. Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Pengkajian resep ini menjadi hal yang utama karena dengan adanya pengkajian resep yang benar dapat mencegah terjadinya masalah pengobatan yaitu medication

  error .