BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Asma Bronkhial - Yuniati BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Asma Bronkhial

  a. Pengertian Asma Bronkhial

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya ―terengah- engah‖ dan berarti serangan nafas pendek (Price, 2005). Nelson

  mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan (Nelson, 2006).

  Asma adalah penyakit yang memiliki karakteristik dengan sesak napas dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap orang berbeda. Kondisi ini akibat kelainan inflamasi dari jalan napas di paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas saraf pada jalan napas sehingga mudah teriritasi. Pada saat serangan, alur jalan napas membengkak karena penyempitan jalan napas dan pengurangan aliran udara yang masuk ke paru-paru (WHO, 2011).

  11 Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis dari saluran pernapasan dengan banyak elemen sel dan selular yang memegang peran. Inflamasi kronik yang terjadi dihubungkan dengan hiperresponsif dari saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya episode wheezing yang rekuren, sesak napas, dada seperti terikat, dan batuk terutama pada malam hari atau pada pagi hari. Episode ini biasanya dihubungkan dengan adanya obstruksi dari aliran udara pernapasan pada paru yang biasanya reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan (Eric, 2010).

  Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Kepmenkes, 2009).

  Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi pernapasan diantara dua interval asimtomatik (Djojodibroto, 2009). b. Epidemiologi Asma Bronkhial Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun (Sundaru, 2006). Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman.

  Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari.

  Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di Australia prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992 (Richman (1997).

  Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi antara 3%- 8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8% (Naning, 2011).

  Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa tempat di Indonesia, antara lain: di Palembang, dimana prevalensi asma sebesar 7,4%; di Jakarta prevalensi asma sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun tampak terjadinya penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak (Hadibroto, 2005).

  c. Etiologi Asma Bronkhial Sampai saat ini etiologi dari asma bronkhial belum diketahui.

  Berbagai teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik) (Mangunnegoro, 2006).

  Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu (Sundaru, 2006). Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi peptida intestinal

  

vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi

peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan yang

  dilibatkan pada terbukanya jalan nafas.

  Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.

  Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat- sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya.

  d. Patofisiologi Asma Bronkhial Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.

  Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstitial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Iris, 2008).

  Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan rekasi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO . Pada keadaaan tersebut

  2

  reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP).

  Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik (Iris, 2008).

  Triger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas yang atau bronkhospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya. Mekanisme terbatasan aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan alergen akan memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat dari pelepasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiperresponsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkho kontriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan. Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulkecil moner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal napas yang merupakan konsekuensi. insufisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan.

  Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory

  flow rate (PEFR) dan FEV 1 (Forced expiration volume). Ketika

  terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil utnuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena itu dapat pula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru (Bambang; 2009).

  e. Tanda dan Gejala Asma Bronkhial Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang jauh lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat memunculkan gejala: 1) Sesak napas/sulit pernapas 2) Sesak dada 3) Mengi/napas berbunyi (wheezing) 4) Batuk (lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa

  Tidak semua orang akan mengalami gejala tersebut. Beberapa orang dapat mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainnya selalu mengalaminya sepanjang hidupnya. Gejala asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak dengan pemicu asma (Azis, 2009).

  f. Klasifikasi Asma Bronkhial Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi

  β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya. Klasifikasi asma menurut Hartantyo (2007) yaitu:

  1) Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat. 2) Asma intrinsik

  Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kondisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan.

  Pedoman pelayanan medik dalam konsensus nasional membagi asma anak menjadi tiga tingkatan berdasarkan kriteria dalam tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Pembagian Derajat Klinis Asma Pada Anak

  Parameter klinis kebutuhan obat dan faal paru

  Asma episodik jarang (asma ringan)

  Asma episodik sering (asma sedang)

  Asma persisten (asma berat)

  Frekuensi Serangan < dari 1x/bulan > dari 1x/bulan Sering Lama Serangan Beberapa hari Seminggu atau lebih

  Sering Intensitas Serangan Ringan Sedang Berat Diantara Serangan Tanpa gejala Ada gejala Gejala siang dan malam Tidur dan Aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu Pemeriksaan Fisik Luar Serangan

  Normal Mungkin terganggu Tidak pernah normal Obat Pengendali Tidak perlu Perlu non steroid Perlu steroid Parameter klinis Asma episodik Asma episodik Asma persisten kebutuhan obat dan jarang sering (asma berat) faal paru (asma ringan) (asma sedang)

  Faal Paru diluar PEF/PEVI>80% PEF/PEVI 60-80% PEV/FEVI<60% Serangan

  Variabilitas 20- 30%

  Faal Paru saat Variabilitas Variabilitas 20- Variabilitas 50% Serangan

  30% Sumber: Konsensus Nasional Penangan Asma Pada Anak (1994).

  Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2006) penggolongan asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu: 1) Asma Intermiten (asma jarang)

  a) Gejala kurang dari seminggu

  b) Serangan singkat

  c) gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan

  d) FEV 1 atau PEV > 80%

  e) PEF atau FEV 1 variabilitas 20%

  • – 30% 2) Asma mild persistent (asma persisten ringan)

  a) Gejala lebih dari sekali seminggu

  b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

  c) Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

  d) FEV 1 atau PEV > 80%

  e) PEF atau FEV 1 variabilitas < 20%

  • – 30% 3) Asma moderate persistent (asma persisten sedang)

  a) Gejala setiap hari b) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

  c) Gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu

  d) FEV 1 tau PEV 60%

  • – 80%

  e) PEF atau FEV 1 variabilitas > 30% 4) Asma severe persistent (asma persisten berat)

  a) Gejala setiap hari

  b) Serangan terus menerus

  c) Gejala pada malam hari setiap hari

  d) Terjadi pembatasan aktivitas fisik

  e) FEV 1 atau PEF = 60%

  f) PEF atau FEV variabilitas > 30% Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma yaitu:

  1) Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi. 2) Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi.

  3) Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop.

  4) Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi.

  Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan kematian (GINA, 2006).

  g. Diagnosis Asma Bronkhial Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda- tanda klinik dan pemeriksaan tambahan (Ramailah, 2006).

  1) Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak dada, kesulitan bernafas.

  2) Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran nafas, alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan alergen. 3) Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi torak.

  4) Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma.

  Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif (Dahlan, 2008).

  h. Penatalaksanaan Asma Bronkhial 1) Anamnese

  Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (Kepmenkes, 2008; Mangunnegoro, 2006).

  2) Pemerikaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (Iris, 2010; Mangunnegoro, 2006).

  Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat serangan : (Kepmenkes, 2008).

  a) Inspeksi (1) Pasien terlihat gelisah, (2) Sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal) (3) Sianosis

  b) Palpasi (1) Biasanya tidak ditemukan kelainan (2) Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus

  c) Perkusi Biasanya tidak ditemukan kelainan

  d) Auskultasi (1) Ekspirasi memanjang (2) Mengi (3) Suara lendir

  3) Pemeriksaan penunjang

  a) Faal paru Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai (Iris, 2008). Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

  b) Spirometri Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama

  (VEP 1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan

  . Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio

  acceptable

  VEP

  1 / KVP < 75% atau VEP 1 < 80% nilai prediksi (Iris, 2008).

  c) Arus Puncak Ekspirasi (APE) Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya.

  APE malam

  Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas (Iris, 2008). Cara pemeriksaan variabiliti APE harian. Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara : a) Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

  • – APE pagi Variabiliti harian =

  ———————————– x 100 % (APE malam + APE pagi)

  b) Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).

  4) Pemeriksaan lain untuk Diagnosis

  a) Uji Provokasi Bronkus Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik (Iris, 2008).

  b) Pengukuran Status Alergi Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.

  Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi (Iris, 2008). 5) Senam Asma

  Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain manfaaat lain pada olahraga umumnya. Manfaat senam asma telah diteliti baik manfaat subyektif (kuesioner) maupun obyektif (faal paru); didapatkan manfaat yang bermakna setelah melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3-6 bulan, terutama manfaat subjektif dan peningkatan VO2max (Mangunnegoro, 2006).

  Senam asma adalah senam yang diciptakan khusus untuk penderita asma yang gerakan-gerakannya disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan penderita berdasarkan berat atau ringannya penyakit asma. Senam asma dimulai sejak tahun 1980an (Supriyantoro, 2004).

  a) Tujuan Senam Asma Tujuan senam asma menurut Supriyantoro (2006) adalah :

  (1) Meningkatkan kemampuan otot yang berkaitan dengan mekanisme pernapasan.

  (2) Meningkatkan kapasitas serta efisiensi dalam proses pernapasan (respirasi).

  (3) Mencegah, mengurangi kelainan bentuk/sikap postur tubuh. (4) Meningkatkan kebugaran jasmani/kemampuan fisik (physical fitness).

  (5) Meningkatkan kepercayaan diri bahwa penderita asma mampu melakukan aktivitas yang sama seperti orang sehat lainnya, sehingga mencapai nilai produktivitas kerja yang tinggi atau bahkan berprestasi.

  Sedangkan manfaat senam asma adalah : (1) Melatih cara bernapas yang benar.

  (2) Melenturkan dan memperkuat otot pernapasan. (3) Melatih ekspektorasi yang efektif. (4) Meningkatkan sirkulasi.

  b) Waktu Pelaksanaan Senam Asma Latihan senam asma dilaksanakan pada : (1) Frekuensi latihan 3

  • – 5 kali seminggu (2) Lama latihan 30
  • – 45 menit. Bila kondisi fisik belum memungkinkan dapat dimulai secara bertahap sesuai kemampuan. Latihan dapat dilakukan juga 1 kali seminggu dengan durasi latihan 60 menit.

  • – (3) Intensitas dimulai dari intensitas rendah. Target zone 60

  65% dari denyut nadi maksimal (DNM) (Supriyantoro, 2004).

  c) Persiapan Senam Asma Persiapan sebelum mengikuti senam asma khususnya bagi penderita asma adalah: (1) Melakukan pemeriksaan ke dokter khususnya untuk mengetahui derajat (berat/ringan) penyakit asmanya, mengetahui ada/tidaknya penyakit lain yang menyertai (misalnya penyakit jantung)

  (2) Latihan sebaiknya dilakukan pada suhu yang agak panas dan lembab, bukan pada suhu dingin atau kering.

  (3) Harus selalu membawa obat bronchodilator (khususnya dalam bentuk inhaler).

  (4) Bagi penderita asma tipe exercise Induced Asthma harus memperhatikan beberapa hal yaitu : intensitas latihan jangan terlalu melelahkan (misalnya setiap 6 menit latihan diselingi istirahat kurang lebih 1menit kemudian latihan lagi), sebelum senam gunakan obat bronchodilator inhaler (Supriyantoro, 2004).

  d) Tahapan Senam Asma Tahapan senam asma selalu diawali dan diakhiri dengan berdoa, adapun tahapan senam asma adalah :

  (1) Pemanasan dan Peregangan Gerakan pemanasan dan peregangan ditujukan untuk mempersiapkan otot sendi, jantung dan paru-paru, sehingga tubuh dalam keadaan siap untuk melakukan latihan. Gerakan pemanasan dan peregangan pada prinsipnya melibatkan seluruh persendian dan dimulai dari bagian atas ke arah bawah. (2) Gerakan inti A

  Pada setiap gerakan inti A selalu diikuti dengan menarik nafas (inspirasi) dan mengeluarkan nafas (ekspirasi), dimana pada pernapasan yang ideal/normal perbandingan waktu inspirasi dan ekspirasi 1 : 2, oleh karena itu pada gerakan ini dirancang menjadi 4 hitungan yaitu : hitungan 1 inspirasi/ tarik nafas, hitungan 2 tahan nafas, hitungan 3 dan 4 hembuskan nafas (ekspirasi). Agar gerakan dan pernapasan dapat terkontrol dengan baik dan teratur, maka irama musik pada tahap ini menggunakan ketukan 50

  • – 60 kali/menit. Total waktu gerakan dan pernapasan ini tidak lebih dari 8 menit, karena jika lebih dapat memicu timbulnya sesak nafas.

  (3) Gerakan inti B Pada gerakan inti B ditujukan pada seluruh tubuh tetapi tetap juga melibatkan otot pernapasan pada setiap gerakannya. Maksud gerakan pada tahap ini adalah, melicinkan gerak sendi diseluruh tubuh sehingga mampu melakukan aktifitas maksimal, melibatkan kontraksi otot yang teratur dengan irama yang ritmis sehingga otot-otot akan menjadi relaks, sebagai latihan pra aerobic karena gerakan-gerakan yang teratur dan cukup lama, sehingga dapat menambah kemampuan daya tahan tubuh. Musik yang dipakai mengiringi lebih cepat dengan ketukan 80-90 kali/menit. (4) Aerobik

  Latihan aerobic merupakan tahap latihan yang umumnya hanya dapat diikuti penderita asma ringan dan orang sehat.

  Di sini para peserta dicoba untuk melakukan aktifitas yang lebih keras dan kontinyu untuk melatih percaya diri bahwa mereka boleh atau mampu melakukan aktifitas tertentu. Pada gerakan ini pelatih harus jeli memperhatikan peserta yang mungkin terlalu lelah dan tidak bosan-bosan untuk selalu menganjurkan kepada pasien agar tidak memaksakan mengikuti gerakan, tetapi semampunya saja, ukur dan kenali diri sendiri. Pada aerobic ini musik yang dipakai

  • – untuk mengiringi lebih cepat yaitu dengan ketukan 100 120 kali/menit.

  (6) Evaluasi Evaluasi yang dilakukan untuk menilai efek dari senam asma terhadap fungsi paru dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan spirometri setiap 3

  (5) Pendinginan Pada tahap pendinginan baban latihan secara berangsur kembali diturunkan sehingga denyut nadi dan frekuensi pernapasan menjadi normal, setelah mengalami peningkatan pada saat latihan.

  • – 6 bulan. Pemeriksaan Peak Flow Rate (PFR) dengan alat mini Peak Flowmeter pada saat sebelum dan sesudah latihan (Supriyantoro, 2004).

  a. Genetik Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma.

  Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya (Eric, 2010).

  Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, labilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot. Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. R.I Ehlich menginformasikan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang bermakna (OR 2,77: 95% CI=1,11-2,48). b. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-

  10%), yaitu umur 5

  • – 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy

  

Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh

Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada

  kelompok umur 18

  • – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8,8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009).

  c. Obesitas Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas (BMI >30 kg / m2) dan pada individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol.

  Asma pada pasien dengan obesitas memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan morbiditas biasanya lebih meningkat pada pasien dengan obesitas daripada pasien asma dengan berat badan normal. penggunaan glukokortikosteroid sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat mengakibatkan obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas menyebabkan terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma masih belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa faktor.

  Telah diteliti bahwa obesitas dapat mempengaruhi fungsi dari jalan napas dan efeknya mempengaruhi mekanisme dari paru itu sendiri, berkembangnya pro-inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan pengaruh dari hormon atau neurogenik. Sehingga pada pasien obesitas terjadi penurunan volume ekspirasi, perubahan pola pernapasan ini dapat menyebabkan perubahan dari elastisitas dan fungsi dari otot polos saluran pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator inflamasi melalui adiposit seperti interleukin-6, (TNF)-

  ά, eotaxin, dan leptin, kombinasi dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana mekanisme sehingga mempengaruhi saluran napas (Eric, 2010 & Mangunnegoro, 2006).

  d. Sex (jenis kelamin) Jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko asma pada anak-anak. Terutama pada usia 14 tahun, prevalensi asma hampir dua kali lebih besar pada remaja laki dan perempuan. Ketika anak beranjak dewasa perbedaan prevalensi antara keduanya semakin tajam dimana pada dewasa lebih banyak terjadi pada wanita. Alasan faktor risiko ini tidak sepenuhnya dapat dimengerti, namun ukuran paru pada laki-laki lebih kecil daripada perempuan pada saat kelahiran tetapi menjadi lebih besar pada saat dewasa (Eric, 2010).

  Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki- laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak.

  Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).

  Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Amu, 2006).

  Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas. Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.

  Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada perempuan.

  e. Alergen Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen

  • – alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel
  • – partikel besar Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk sari, spora jamur) dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan khususnya dalam perkembangan asma masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan (Iris, 2008).

  Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe

  I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vita, 2005). Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama (Danusaputro, 2007).

  f. Infeksi Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan fenotip asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus memproduksi pola gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan asma pada masa kanak-kanak. Beberapa studi prospektif pada anak dengan RSV menunjukkan bahwa 40 % akan berlanjut menjadi wheezing atau memiliki asma pada masa anak- anak nantinya. Namun pada penelitian lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi yang jelas.

  Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi infeksi dari cacing tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan selanjutnya (Iris, 2008).

  g. Bahan di Lingkungan Kerja Lebih dari 300 substansi telah dihubungkan dengan asma akibat kerja. Yang diartikan sebagai asma yang disebabkan oleh paparan dari agen yang ada dilingkungan kerja. Substansi ini termasuk molekul kecil dengan reaktivitas tinggi seperti isocyanate, iritan yang dapat menyebabkan respon dari saluran napas, imunogen seperti garam platinum, dan tumbuhan dan produk biologi hewan yang menstimulasi di produksinya IgE. Pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi untuk terjadi asma termasuk pertanian dan agrikultur, mengecat (termasuk cat semprot), bersih-bersih, dan pabrik plastik. Kebanyakan asma akibat kerja memiliki periode laten dari bulan hingga tahunan setelah onset terpapar (Eric, 2010).

  Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic

  1

  2

  2

coumpounds (VOC), combustion products (CO , NO , SO ) yang

  biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan

  VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih kosmetik,

  

Hairspray , deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang

  disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner.

  Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet. Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru. h. Asap Rokok.

  Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi paru pada individu dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif terhadap pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi terkontrolnya gejala asma.

  Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun setelah melahirkan meningkatkan perkembangan terjadinya asma pada usia dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit alergi masih belum jelas. Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan gejala wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok (perokok pasif) meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi dan usia dini (Anthony, 2008).

  Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (Soeparman, 2006).

  Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma (Venable, 2007).

  Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41- 5,74) Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja. Namun hanya sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor risiko berkembangnya asma secara umum. i. Makanan