BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Perawat - Hajar Rinowati BAB II

  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Perawat a. Definisi Perawat Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 pada Pasal 1, perawat adalah seseorang

  yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.

  Sedangkan menurut International Council of Nurses yang selanjutnya disingkat ICN tahun 1965, perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.

  9 b.

  Peran Perawat Menurut Dermawan (2012), peran adalah tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat stabil.

  Menurut Kozier Barbara (dalam Dermawan, 2012), peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu. Peran perawat menurut Hasil Lokakarya Keperawatan Tahun 1983 adalah :

  1) Perawat sebagai pelaksana pelayanan keperawatan

  2) Perawat sebagai pengelola pelayanan dan institusi keperawatan

  3) Perawat sebagai pendidik dalam keperawatan

  4) Perawat sebagai peneliti dan pengembang pelayanan keperawatan

  5) Perawat kesehatan masyarakat

  Berdasarkan Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989 peran perawat terdiri dari : 1)

  Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks. 2)

  Advokat klien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

  3) Edukator

  Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

  4) Koordinator

  Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuan klien.

  5) Kolaborator

  Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain- lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. 6)

  Konsultan Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

  7) Peneliti / Pembaharu

  Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

  c.

  Fungsi Perawat Dalam menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya:

  1) Fungsi independent

  Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktifitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan, pemenuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.

  2) Fungsi dependen

  Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatan atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagian tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. 3)

  Fungsi interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun yang lainnya. d.

  Tugas Perawat Tugas perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilaksanakan sesuai dengan tahapan dalam proses keperawatan. Tugas perawat ini disepakati dalam lokakarya tahun 1983 yang berdasarkan fungsi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan adalah:

  1) Mengumpulkan data

  2) Menganalisis dan menginterpretasi data

  3) Mengembangkan rencana tindakan keperawatan

  4) Menggunakan dan menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu perilaku, sosial budaya, ilmu biomedik dalam melaksanakan asuhan keperawatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia

  5) Menentukan kriteria yang dapat diukur dalam menilai rencana keperawatan

  6) Menilai tingkat pencapaian tujuan

  7) Mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan

  8) Mengevaluasi data permasalahan keperawatan

  9) Mencatat data dalam proses keperawatan

  10) Menggunakan catatan klien untuk memonitor kualitas asuhan keperawatan

  11) Mengidentifikasi masalah-masalah penelitian dalam bidang keperawatan

  12) Membuat usulan rencana penelitian keperawatan

  13) Menerapkan hasil penelitian dalam praktek keperawatan

  14) Mengidentifikasi kebutuhan pendidikan kesehatan

  15) Membuat rencana penyuluhan kesehatan

  16) Melaksanakan penyuluhan kesehatan

  17) Mengevaluasi penyuluhan kesehatan

  18) Berperan serta dalam pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat

  19) Menciptakan komunikasi yang efektif baik dengan tim keperawatan maupun tim kesehatan lain

2. Puskesmas a.

  Konsep Dasar Puskesmas Menurut Dermawan (2012), Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD), Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.

  Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah Kabupaten/Kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan Puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (Desa/Kelurahan atau RW). Masing-masing Puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

  b.

  Visi dan Misi Puskesmas 1)

  Visi Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

  Puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyakarat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

  Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama yakni : a)

  Lingkungan sehat

  b) Perilaku sehat

  c) Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu

d) Derajat kesehatan penduduk kecamatan.

  Rumusan visi untuk masing-masing Puskesmas harus mengacu pada visi pembangunan kesehatan Puskesmas di atas yakni terwujudnya Kecamatan Sehat, yang harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta wilayah kecamatan setempat.

  2) Misi

  Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah : a)

  Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

  Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak- tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat. b) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.

  Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

  c) Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

  Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

  d) Memelihara dan menigkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.

  Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan Puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan. c.

  Tujuan Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

  Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2020.

  d.

  Fungsi 1)

  Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektoral termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan.

  Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. 2)

  Pusat pemberdayaan masyarakat Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.

  Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat. 3)

  Pusat Pelayanan kesehatan strata pertama Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama di Puskesmas meliputi:

  a) Pelayanan kesehatan perorangan

  Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan dan pencegahan penyakit.

  b) Pelayanan kesehatan masyarakat

  Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

  Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.

  e.

  Organisasi Struktur organisasi Puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-masing Puskesmas. Penyusunan struktur organisasi

  Puskesmas di satu Kabupaten/Kota dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan peraturan daerah. Sebagai acuan dapat digunakan pola struktur organisasi Puskesmas sebagai berikut : 1)

  Kepala Puskesmas 2)

  Unit tata usaha yang bertanggungjawab membantu Kepala Puskesmas dalam pengelolaan : a)

  Data dan informasi

  b) Perencanaan dan penilaian

  c) Keuangan

  d) Umum dan pengawasan

  3) Unit pelaksana teknis fungsional Puskesmas

  a) Upaya kesehatan masyarakat, termasuk pembinaan terhadap

  UKBM

  b) Upaya kesehatan perorangan

  4) Jaringan pelayanan Puskesmas

  a) Unit Puskesmas pembantu

  b) Unit Puskesmas keliling

  c) Unit bidan di desa/komunitas f.

  Upaya Penyelenggaraan Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas yakni terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat, Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat yang dikelompokkan menjadi dua yakni : 1)

  Upaya Kesehatan Wajib Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap

  Puskesmas, antara lain :

  a) Upaya Promosi Kesehatan

  b) Upaya Kesehatan Lingkungan

  c) Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana

  d) Upaya Perbaikan Gizi

  e) Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

  f) Upaya Pengobatan

  2) Upaya Kesehatan Pengembangan

  Upaya kesehatan pengembangan Puskesmas adalah yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan dimasyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas, antara lain :

  a) Upaya Kesehatan Sekolah

  b) Upaya kesehatan Olah Raga

  c) Upaya Perawatan KesehatanMasyarakat

  d) Upaya Kesehatan Kerja

  e) Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut

  f) Upaya Kesehatan Jiwa

  g) Upaya Kesehatan Mata

  h) Upaya Kesehatan Usia Lanjut

  3) Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional

  Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan masyarakat serta upaya pencatatan dan pelaporan tidak termasuk pilihan karena ketiga upaya ini merupakan pelayanan penunjang dari setiap upaya wajib dan upaya pengembangan Puskesmas.

  Perawatan kesehatan masyarakat merupakan pelayanan penunjang, baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan. Apabila perawatan kesehatan masyarakat menjadi permasalahan spesifik di daerah tersebut, maka dapat dijadikan sebagai salah satu upaya kesehatan pengembangan.

  Upaya kesehatan pengembangan Puskesmas dapat pula bersifat upaya inovasi, yakni upaya lain di luar upaya Puskesmas tersebut di atas yang sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovasi ini adalah dalam rangka mempercepat tercapainya visi Puskesmas.

3. Kepuasan Kerja a.

  Definisi Ada beberapa devinisi kepuasan kerja menurut para pakar, hal ini diuraikan sebagai berikut :

  1) Kepuasan menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, dapat diartikan sebagai perasaan puas, rasa senang dan kelegaan serta kenyamanan dalam melakukan tindakan.

  2) Luthans (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.

  3) Wijono (2010) menyatakan bahwa kepuasan adalah suatu perasaan menyenangkan merupakan hasil dari persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilai-nilai kerja yang penting bagi dirinya.

  4) Kepuasan atau ketidakpuasan seseorang dengan pekerjaan merupakan keadaan yang sifatnya subyektif, yang merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan mengenai apa yang secara nyata diterima oleh pegawai dari pekerjaannya dibandingkan dengan apa yang diharapkan, diinginkan dan dipikirkannya sebagai hal yang pantas, atau berhak baginya (Gomes, 2003).

  Dari beberapa definisi tentang kepuasan kerja di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kepuasan kerja adalah respon emosional yang positif dari pekerja terhadap pekerjaanya.

  b.

  Teori-Teori tentang Kepuasan Kerja Teori tentang kepuasan kerja dalam Wijono (2010) :

  1) Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory)

  Menurut Locke teori ketidaksesuaian mengungkapkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dari beberapa aspek pekerjaan menggunakan dasar pertimbangan dua nilai (values), yaitu ketidaksesuaian yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dia terima dalam kenyataannya dan apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu tersebut.

  2) Model dari kepuasan Bidang/Bagian (Face Satisfaction)

  Kepuasan bidang menurut model Lawler (1977) mempunyai kaitan erat dengan teori keadilan J. Adams. Model Lawler mengatakan bahwa individu akan merasa puas terhadap bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya, hubungan antara rekan kerja, atasan dan bawahan, dan/atau gaji). 3) Teori Proses Bertentangan (Opponent-Process Theory) Dalam teori proses-bertentangan Landy (dalam Munandar,

  2001) memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara dasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini memberikan tekanan bahwa individu ingin mempertahankan keseimbangan emosional (emotional equilibrium).

  Selain teori-teori diatas, terdapat teori kepuasan kerja menurut Herzberg (dalam Manullang, 2001) yaitu “ Two-Factor Theory” atau teori dua faktor dimana terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu : 1)

  Dissatisfier atau hygiene factors yang meliputi faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber kepuasan, terdiri dari gaji, insentif, pengawasan, beban kerja, rekan kerja, kondisi kerja dan status. 2)

  Satisfier atau motivators yang meliputi faktor-faktor atau situasi sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggungjawab dan promosi.

  c.

  Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja 1)

  Produktifitas atau kinerja (unjuk kerja) Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa ganjaran instrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik yang berasosiasi dengan unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam kepuasan kerja (As’ad, 2008).

  2) Ketidakhadiran dan Turn Over

  Porter & Steers (dalam As’ad, 2008) mengatakan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih bersifat spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaan, lebih besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.

  d.

  Empat cara mengungkapkan ketidakpuasan karyawan: 1)

  Keluar (Exit) Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.

  2) Menyuarakan (Voice)

  Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya. 3) Mengabaikan (Neglect) Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau datang terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak.

  4) Kesetiaan (Loyalty)

  Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi. 5)

  Kesehatan Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif.

  e.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan Lima dimensi kepuasan kerja menurut Luthans (2006) adalah sebagai berikut :

  1) Pekerjaan itu sendiri

  Dalam hal pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. 2)

  Gaji Gaji adalah sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. 3)

  Kesempatan promosi Kesempatan promosi adalah kesempatan untuk maju dalam organisasi.

  4) Pengawasan

  Kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku.

  5) Rekan kerja

  Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.

  Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, menurut Levi (2002), lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja yaitu : 1)

  Pekerjaan itu sendiri (Work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar atau tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 2)

  Atasan (Supervision) Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah atau ibu atau teman dan sekaligus atasannya. 3)

  Teman sekerja (Wokers) Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. 4)

  Promosi (Promotion) Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja.

  5) Gaji atau upah (Pay)

  Merupakan faktor pemenuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.

  f.

  Pengukuran kepuasan kerja Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket ataupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya, maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain adalah dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (As’ad, 2008).

  Dalam pengukuran kepuasan kerja, metode yang digunakan adalah dengan membuat kuesioner yang berhubungan dengan masalah kepuasan kerja yang meliputi faktor finansial, faktor fisik, faktor sosial dan faktor psikologi, yang kemudian disebar pada responden untuk dijawab atau diisi sesuai keadaan yang sebenarnya.

  Dalam penelitian ini faktor insentif, rekan kerja dan beban kerja adalah faktor yang akan diteliti pengaruhnya terhadap kepuasan kerja.

  1) Insentif

  Insentif adalah bayaran yang diterima berdasarkan hasil atau kualitas (Luthans, 2006). Insentif terdiri dari dua yaitu : a)

  Insentif individu Insentif individu disebut dengan bonus.

  b) Insentif kelompok Insentif kelompok yaitu pembagian hasil (gain-sharing).

  Suatu organisasi semakin menyadari bahwa tim atau kerja tim dapat menghasilkan produktivitas lebih tinggi dan kualitas lebih baik daripada pekerjaan individu.

  Selain pembagian hasil juga bisa dari pembagian keuntungan (profit-sharing) dan Employee Stock Ownership Plan (ESOP). Metode pembagian keuntungan dapat dalam bentuk berbeda-beda, tetapi umumnya beberapa bagian perusahaan dialokasikan ke dalam pembagian keuntungan, dan kemudian didistribusikan kepada semua karyawan. Kadang-kadang keuntungan itu langsung diberikan kepada mereka saat itu juga atau pada akhir tahun. Sedangkan untuk ESOP memungkinkan karyawan secara bertahap menambah saham kepemilikan perusahaan.

  Proses umumnya mencakup perusahaan mengambil pinjaman untuk membeli bagian sahamnya di pasar terbuka. Setelah itu, keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membayar pinjaman. Sementara itu, karyawan, berdasarkan senioritas dan atau kinerja, diberi saham. Akibatnya, mereka akhirnya menjadi pemilik perusahaan.

  Insentif pada penelitian ini yaitu berupa tambahan penghasilan atau bonus dari suatu pekerjaan.

  2) Rekan kerja

  Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial (Luthans, 2006). Sifat alami dari kelompok atau tim dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu.

  Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, menurut Levi (2002), rekan kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. 3)

  Beban kerja

  a) Pengertian

  Dalam Prawitasari (2009) dijelaskan beberapa definisi tentang beban kerja, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Beban kerja perawat (nursing workload/nursing intensity) didefinisikan sebagai jumlah dari perawatan dan kerumitan perawatan yang diperlukan oleh pasien yang dirawat di rumah sakit (Huber, 2006).

  2. Menurut Marquis dan Huston (2001) mendefinisikan beban kerja dalam bidang keperawatan sebagai jumlah hari pasien (patient days), dalam istilah lain unit beban kerja dikaitkan dengan jumlah prosedur, pemeriksaan, kunjungan pasien, injeksi, dan tindakan lainnya yang diberikan kepada pasien.

  Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa beban kerja perawat adalah jumlah perawatan pasien atau tugas pokok perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. b) Komponen beban kerja

  Menurut Gillies (dalam Prawitasari 2009) menyatakan bahwa dalam melakukan perhitungan tenaga dalam keperawatan, seorang manajer keperawatan perlu memperhatikan komponen- komponen seperti:

  1. Jumlah pasien yang dirawat per hari, per bulan, per tahun.

  2. Jenis perawatan yang dibutuhkan (penyakit dalam atau bedah) serta kapasitas tempat tidur.

  3. Diagnosa medis dan tingkat akuitas pasien yang akan dirawat.

  4. Rata-rata hari rawat untuk setiap jenis perawatan pasien.

  5. Penghitungan perawatan langsung dan tak langsung yang akan diberikan kepada masing-masing jenis perawatan pasien.

  6. Kekerapan setiap tindakan yang akan diberikan.

  7. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tindakan keperawatan langsung maupun tak langsung.

  c) Dimensi beban kerja

  Menurut Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari 2009) beban kerja perawat mempunyai 6 dimensi yaitu :

1. Beban kerja fisik (physical workload)

  Beban kerja fisik yang dilakukan oleh perawat bukan hanya terdiri dari tindakan keperawatan langsung seperti mengangkat, memindahkan, dan memandikan pasien, tetapi juga tindakan keperawatan tak langsung seperti mengambil dan mengirim alat-alat medis ke bagian lain, repetisi perjalanan ke unit lain akibat adanya peralatan yang hilang atau tidak berfungsi, atau bahkan perjalanan ke bagian yang sangat jauh dari unit tempat ia bekerja (seperti pusat sterilisasi alat medis atau ruang rawat lain) yang mana halini meningkatkan aktifitas berjalan (fisik) dari perawat.

  Selain itu, tatanan ruang secara ergonomik dan fisik dari ruang seringkali menambah beban kerja perawat.

  Keterbatasan luas ruang rawat dan tempat penyimpanan alat seringkali menimbulkan masalah. Kesibukan dan keterbatasan waktu menyebabkan banyak perawat lebih memilih untuk melakukan pekerjaan tersebut sendirian dari pada meminta bantuan kepada perawat atau tenaga lain.

2. Beban kerja kognitif (cognitive workload)

  Beban kerja kognitif berhubungan dengan kebutuhan para perawat untuk memproses informasi yang seringkali terjadi dalam waktusingkat.

  Banyak situasi tertentu yang mengharuskan perawat mengambil keputusan secara cepat yang mana ini berarti perawat harus memproses informasi dalam waktu singkat. Perawat harus secara cepat pula melakukan penyesuaian kognitif terhadap pasien sepanjang klien dirawat, baik yang terencana (misal. Perubahan jadual dinas) maupun yang tidak terencana (perubahan kondisi klien secara tiba- tiba).Selain itu perawat secara terus menerus tetap melakukan tugas-tugas kognitifnya selama melakukan kegiatan lainnya (misal. pemberian obat, mengambil alat- alat yang diperlukan oleh pasien).

  3. Tekanan waktu (time pressure) Tekanan waktu berhubungan dengan hal-hal yang harus dilakukan secara cepat dan dalam waktu yang sangat terbatas. Tugas yang dilakukan oleh para perawat sangat banyak, yang dilakukan sesuai dengan waktu yang bersifat regular atau kekerapannya (misal. memberikan obat, mengkaji, mengukur hasil, mendokumentasikan). Adanya gangguan pada tugas yang telah terpola ini menimbulkan peningkatan tekanan terhadap waktu yang ada.

  4. Beban kerja emosional (emotional workload) Beban kerja emosional lazim terjadi pada lingkungan kerja. Terkadang, persepsi antara perawat dengan keluarga seringkali tidak sama yang mana hal ini menimbulkan konflik dan masalah.

  5. Beban kerja kuantitatif (quantitative workload) dan beban kerja kualitatif (qualitative workload) Beban kerja dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja kuantitatif didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan; sedangkan beban kerja kualitatif dinyatakan sebagai tingkat kesulitan dari pekerjaan yang dilakukan. Beban kerja kuantitatif perawat dapat diukur dengan menggunakan alat pengukur beban kerja berdasarkan kepada tingkat ketergantungan pasien yang mengukur jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh perawat. Sedangkan beban kerja kualitatif berhubungan dengan jam kerja (work

  hours ) yaitu jumlah peningkatan pekerjaan yang dilakukan perawat sesuai dengan peningkatan jumlah jam kerja.

6. Variasi beban kerja (workload variability)

  Yang dimaksud dengan variasi beban kerja adalah perubahan beban kerja yang berkesinambungan pada waktu tertentu. Situasi genting adalah contoh lain dari variasi beban kerja dimana pada keadaan ini tiba-tiba beban kerja meningkat sebagai konsekuensi adanya situasi gawat pada pasien, sehingga mereka harus lebih berkonsentrasi menghadapi kondisi pasien yang tidak stabil.

  Keenam dimensi di atas tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan, dimana dimensi yang satu mempengaruhi dimensi lainnya.

  d) Sumber-sumber beban kerja

  Menurut Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari 2009) model sistem kerja yang dapat digunakan dalam menjelaskan sumber-sumber beban kerja dan keterikatan antar dimensi dalam beban kerja. Adapun sistem kerja tersebut terdiri dari 5 elemen, antara lain: 1)

  Individu perawat 2)

  Variasi tugas yang harus dilaksanakan (perawatan langsung, tak langsung, tugas-tugas lain, karakteristik perawatan yang diberikan). 3) Penggunaan alat-alat dan teknologi yang bervariasi. 4) Lingkungan fisik (ruangan pasien dan ruang perawat).

  5) Kondisi khusus organisasi (jadual dinas, manajemen keperawatan, kerja tim, komunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya).

  Carayon dan Alvarado (dalam Prawitasari 2009) menyatakan beban kerja fisik biasanya akan berhubungan dengan tugas-tugas dan karakteristik fisik dari tugas. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor organisasi dan aspek lingkungan kerja lainnya dapat mempengaruhi beban kerja perawat.

  e) Pengukuran beban kerja

  Pengukuran beban kerja merupakan suatu proses kuantifikasi sejumlah waktu perawatan langsung dan tidak langsung yang dibutuhkan oleh pasien/klien pada jam kerja di unit tertentu, program atau fasilitas (RNAO dalam Prawitasari, 2009). Pengukuran beban kerja perlu dilakukan agar manajer keperawatan dapat menentukan jumlah tenaga keperawatan yang diperlukan dalamperawatan pasien.

  Pengukuran beban kerja perawat tidak hanya dilakukan dengan perhitungan sensus pasien, namun juga meliputi diagnosa medis pasien, tingkat keparahan penyakit, kompleksitas perawatan yang dibutuhkan, kondisi fisik klien secara umum, dan perubahan status sosial psikologis klien.

  Menurut Gillies (dalam Prawitasari 2009), tahap dan keparahan penyakit menentukan kerumitan asuhan keperawatan yang harus diberikan. Selain itu usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, kepribadian, dan status kesehatan sebelum sakit mempengaruhi respon individu terhadap perawatan dan tindakan yang akan diberikan. Dalam melakukan prediksi beban kerja perawat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar antara beban kerja dan jumlah pasien seimbang, antara lain : 1)

  Sensus pasien Sensus pasien dapat dilakukan secara harian, bulanan atau tahunan untuk memprediksi jumlah beban kerja perawat dan kebutuhan perawatan pasien. Adanya variasi dalam penerimaan pasien dan lama hari rawat dapat meningkatkan volume beban kerja walaupun jumlah pasien relatif sama. Misal, perubahan populasi pada pasien bedah regular ke ruang bedah ambulatori di unit bedah akan meningkatkan beban kerja, walaupun jumlah pasien tidak berubah.

  Interaksi antara perawat dengan sejumlah pasien dalam waktu singkat juga akan meningkatkan beban kerja psikologis. Selain itu peningkatan volume beban kerja musiman juga perlu diantisipasi. Oleh karena itu seorang perawat manajer perlu memperhatikan hal ini saat menghitung volume beban kerja.

  2) Kebutuhan perawatan pasien

  Dalam memprediksi beban kerja perawat, bukan hanya sensus pasien yang harus dihitung, namun juga proporsi dari setiap kategori pasien (pasien mandiri, perawatan minimal, perawatan penuh, perawatan intensif) karena kebutuhan perawatan yang berbeda untuk setiap kategori pasien. Agar dapat dihitung, maka beban kerja harus dikuantifikasikan.

  3) Perawatan langsung

  Perawatan langsung merupakan perawatan yang diberikan kepada pasien saat perawat bekerja memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan fisiologis dan psikologis.

  Terdapat dua cara dalam mengkuantifikasi aktivitas perawatan langsung yaitu laporan oleh diri perawat sendiri (self reported) dan observasi oleh orang lain setelah dilatih. Pelaporan oleh diri perawat sendiri lebih murah karena laporan dilakukan sendiri oleh personel perawat.

  Kerugiannya adalah sulit bagi para perawat untuk dapat melaporkan aktivitas akuratnya secara obyektif dan waktu yang tepat.

  Observasi dengan menggunakan orang lain yang telah terlatih lebih menghasilkan data yang obyektif dari segi jenis dan waktu kegiatan sehingga resiko bisa lebih kecil. 4)

  Perawatan tak langsung Perawatan tak langsung merupakan perawatan yang diberikan kepada pasien, namun keberadaan pasien jauh dari perawat. Contohnya antara lain perawat merencanakan perawatan yang dibutuhkan pasien, mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan pasien, konsultasi dengan tim kesehatan lain, menulis dan membaca laporan pasien, membuat rencana pulang, dan lain-lain.

  5) Pengajaran kepada pasien

  Pengukuran terakhir yang diperlu dilakukan dalam menghitung kebutuhan perawatan harian pasien adalah waktu pemberian pengajaran. Metode yang digunakan dalam pengukuran ini untuk setiap rumah sakit berbeda sehingga tidak ada waktu yang baku. Gillies (dalam Prawitasari 2009) menyatakan bahwa waktu rata-ratayang dibutuhkan dalam pemberian pengajaran sebanyak 14,5 menit perhari pasien.

B. Kerangka Teori

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja :

1. Pekerjaan itu sendiri 2.

  Gaji 3. Kesempatan promosi 4. Pengawasan

  Kepuasan 5.

  Rekan kerja

  kerja 6.

  Atasan (supervision) 7. Teman sekerja (wokers) 8. Promosi (promotion) 9. Insentif 10.

  Beban kerja 11. Kondisi kerja 12. Status 13. Prestasi 14. Pengakuan 15. Wewenang 16. Tanggungjawab

  Gambar 1. Kerangka Teori Menurut Luthans (2005), Levi (2002) dan Herzberg (dalam Manullang, 2001) C.

  Kerangka Konsep

  Gambaran : Kepuasan kerja 1.

  Insentif 2. Rekan kerja 3. Beban kerja

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja :

1. Pekerjaan itu sendiri 2.

  Gaji 3. Kesempatan promosi 4. Pengawasan 5. Atasan (supervision) 6. Teman sekerja (wokers) 7. Promosi (promotion) 8. Kondisi kerja 9. Status 10.

  Prestasi 11. Pengakuan 12. Wewenang 13. Tanggungjawab

  Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti

  Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

  Menurut Fatonah (2010:39) hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

  1) Ada hubungan antara insentif dengan kepuasan kerja tenaga perawat Puskesmas wilayah eks-Kotip Purwokerto .

  2) Ada hubungan antara rekan kerja dengan kepuasan kerja tenaga perawat Puskesmas wilayah eks-Kotip Purwokerto.

  3) Ada hubungan antara beban kerja dengan kepuasan kerja tenaga perawat Puskesmas wilayah eks-Kotip Purwokerto.

  Penarikan kesimpulan/generalisasi terhadap hipotesis penelitian di atas, didasarkan pada hasil analisa data, yaitu dengan membandingkan nilai p value dengan signifikansi (

  ɑ). Bila nilai p value < ɑ maka hipotesis diterima dan sebaliknya bila nilai p value > ɑ maka hipotesis ditolak dengan nilai ɑ adalah 0,05.