BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Saluran Kemih - ADZKIE MUHAMMAD BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Saluran Kemih

  1. Pengertian Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter,buli-buli, ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin (Sukandar, 2004). Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria): bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105

  colony forming unit (CFU/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna

  mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai persentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna asimtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil > 10 per lapangan pandang (Sukandar, 2004).

  2. Klasifikasi Infeksi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi di dalam saluran kemih. Akan tetapi karena adanya hubungan satu lokasi dengan lokasi lain sering didapatkan bakteri di dua lokasi yang berbeda. Klasifikasi diagnosis Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria yang dimodifikasikan dari panduan European Association of Urology (EAU) dan Infectious Disease Society of America (IDSA) terbagi kepada ISK non komplikata akut pada wanita, pielonefritis non komplikata akut, ISK komplikata, bakteriuri asimtomatik, ISK rekurens, uretritis dan urosepsis (Naber et al., 2001). Pielonefritis akut (PNA) adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis (PNK) mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonifritis kronik yang spesifik. (Sukandar, 2004) a) Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah

  Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender. Pada perempuan, terdapat dua jenis ISK bawah pada perempuan yaitu sistitis dan sindrom uretra akut. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna. Sindrom Uretra Akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini SUA disebabkan mikroorganisme anaerob. Pada pria, presentasi klinis ISK bawah mungkin sistitis, prostatitis, epidimidis, dan uretritis.

  b) Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas 1) Pielonefritis akut (PNA). Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri.

  2) Pielonefritis kronik (PNK). Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil.

  Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik pada orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal.

  3. Epidemiologi Epidemiologi ISK dibagi menjadi 2 kategori yaitu infeksi yang berhubungan dengan kateter (infeksi nosokomial) dan infeksi yang tidak berhubungan dengan kateter (acquired infections). Agen penyebab ISK tidak hanya dapat menyerang laki-laki, namun dapat juga menyerang wanita dalam bermacam umur, remaja maupun orang tua. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun, perempuan cenderung menderita ISK dibanding laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor pencetus.

  Selain itu, ISK juga dinyatakan sebagai ISK uncomplicated (simple) dan ISK complicated. ISK simple adalah infeksi yang terjadi pada insan sehat dan tidak menyebar ke tempat tubuh yang lain. ISK simple ini biasanya sembuh sempurna sesuai dengan pemberian obat. Sementara ISK complicated adalah infeksi yang disebabkan oleh kelainan anatomis pada seluran kemih, menyebar ke bagian tubuh yang lain, bertambah berat dengan underlying disease, ataupun bersifat resisten terhadap pengobatan. Berbanding dengan yang simple, ISK complicated lebih sukar diobati.

  4. Etiologi Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. E. Coli merupakan penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria seperti Proteus mirabilis (30% dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki tetapi kurang dari 5% pada anak perempuan), Klebsiella pneumonia dan

  

Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram

  positif seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus

  

epidermidis dan Streptococcus viridans jarang ditemukan. Pada uropati

  obstruktif dan kelainan struktur saluran kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada ISK nosokomial atau ISK kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan Pseudomonas (Lumbanbatu, 2003).

  5. Patofisilogi Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Utero distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious Gram-positive dan gram negative.(Sukandar, 2004).

  Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini, dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkit akibat lanjut dari bakteriema. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokkokus aureus) dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen. (Sukandar, 2004).

  Distribusi bakteri penyebab ISK pada perempuan yaitu E. Coli 27,2%, A. Anitratus 5,2%, dan K. pneumoniae 6,9%.

B. Antibiotik

  1. Definisi Antibiotik Antibiotika ( anti = lawan, bios = hidup ) adalah zat

  • – zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat
  • – zat ini yanf dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri.

  2. Mekanisme Antibiotik Berdasarkan sifatnya antibiotik dibagi menjadi dua:

  a. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri.

  b. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri.

  Antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal membunuh bakteri target dan cenderung lebih efektif serta tidak perlu menggantungkan pada sistem imun manusia. Sangat perlu digunakan pada pasien dengan penurunan sistem imun. Yang termasuk baterisidal adalah β-laktam, aminoglikoside, dan kuinolon.

  Bakteriostatik justru bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat memanfaatkan sistem imun inang, obat bakteriostatik yang khas adalah tetrasiklin, sulfonamid, dan klindamisin (Jawetz, 2001).

  3. Antibiotik yang digunakan pada ISK Pada pasien rawat di RSUD Prof. Dr Margono Soekarjo Purwokerto ada beberapa antibiotik yang digunakan untuk ISK yaitu a. Asam Pipemidat

  Fluoroquinolon efektif untuk infeksi saluran kemih dengan atau tanpa penyulit termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P. Aeruginosa. Fluoroquinolon merupakan agen yang efektif untuk infeksi saluran kemih walaupun infeksi infeksi itu disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap banyak obat seperti

  pseudomonas (Katzung., 2004). Asam pipemidat merupakan antibiotika

  golongan kuinolon yang bekerja dengan cara menghambat enzim DNA girase bakteri dan biasanya bersifat bakterisid terhadap kebanyakan kuman penyebab infeksi saluran kemih. Obat ini menghambat E.coli, Proteus sp., Klebsiella sp dan kuman Koliform lainnya.

  Spektrum Bakteri kuinolon yang lama aktif dalam beberapa kuman Gram-negatif, antara lain E. Coli, proteus, klebsiella dan Enterobacter. Kuinolon bekerja dengan menghambat subunit A dan enzim DNA girase kuman. Akibatnya replikasi DNA berhenti. Fluorokuinolon lama (siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, dan lain-lain) mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. Coli, Klebsiella, Enterobacter,

  proteus, H. influenzae, providencia, serratia, salmonella, N Meningitis, N. Gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia enterocolitic

  a. Terhadap kuman Gram-positif, daya antibakterinya kurang baik. Mekanisme resistensi melalui plasmid yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun resistensi pada kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu: Pertama Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNA girase kuman berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi. Kedua, perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke dalam sel,dan ketiga Peningkatan mekanisme pemomopaan obat keluar sel. Ini merupakan mekanisme penting yang menyebabkan resistensi S. pneumoniae terhadap fluorokuinolon.

  b. Cefixime Cefixime adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang stabil terhadap enzim β-Lactamase yang diproduksi oleh organisme seperti strain Streptococcus, Haemophillus influenzae, Neisseria gonorrhoeae dan mayoritas Enterobakteriaceae. Antibiotik ini bersifat bakterisidae dengan spectrum luas terhadap bakterim gram positif (Streptococcus sp,

  Streptococcus pneumonia ) dan gram negatif (E. coli, Proteus sp, Haemophillus influenzae ). Cefixime menghambat sintesis dinding sel

  mikroorganisme. Cefixime memiliki afinitas yang tinggi untuk pembentukan protein penicillin, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung pada organismenya. Aktivitas cefixime menurun terhadap

  Staphylococcus aureus, Enterococci, Listeria monocytogenes, dan Pseudomonas sp. Insiden bakteri yang resisten cefixime dilaporkan sangat

  rendah.

C. Resistensi Antibiotik

  Resistensi antibiotik adalah tidak efektifnya penggunaan antibiotik yang digunakan untuk bakteri jenis tertentu. Menurut Setyabudi (2007), secara garis besar, mikroba dapat menjadi resisten terhadap suatu antibiotik melalui tiga mekanisme, yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerja aktif dalam sel mikroba, inaktivasi obat, dan mekanisme mikroba merubah ikatan (binding site). Penyebaran resistensi pada mikroba dapat terjadi secara vertikal (diturunkan dari generasi ke generasi) atau secara horizontal dari suatu sel donor. Resistensi dipindahkan dengan empat cara, yaitu: mutasi, transduksi, transformasi, dan konjugasi.

  1. Macam-macam resistensi:

  a. Resistensi kromosomal Resistensi kuman terhadap antibiotik yang mempunyai sebab genetik kromosomal terjadi misalnya karena terjadinya mutasi spontan pada lokus DNA yang mengontrol susceptibility terhadap obat tertentu (Anonim, 1994).

  b. Resistensi ekstrakromosomal Bakteri mengandung unsur-unsur genetik ekstrakromosomal yang dinamakan plasmid. Faktor Resistensi adalah kelompok plasmid yang membawa gen resistensi terhadap satu atau beberapa obat antimikrobia dan logam berat. Gen plasmid untuk resistensi antimikrobia mengontrol pembentukan enzim yang mampu merusak antimikrobia (Jawetz et al., 2001).

  c. Resistensi silang Suatu populasi kuman yang resisten terhadap suatu obat tertentu dapat pula resisten terhadap obat yang lain yang dapat mempunyai mekanisme kerja obat yang mirip satu sama lain. Hal ini misalnya terjadi pada obat-obatan yang komposisi kimianya hampir sama misalnya antara polimiksin B dengan kolistin, eritromisin dengan oleandromisin, meskipun demikian adakalanya terjadi pula resistensi silang pada dua obat yang berlainan struktur kimianya sama sekali, misalnya eritromisin dengan linkomisin (Anonim, 1994).

  Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik diantaranya melalui mekanisme mikroorganisme menghasilkan enzim dan merusak obat yang aktif, mikroorganisme merubah permeabilitasnya terhadap obat, mikroorganisme mengubah struktur target untuk obat, mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme baru menghindari jalur yang biasa dihambat oleh obat, dan mikroorganisme mengembangkan enzim baru yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tapi sedikit dipengaruhi oleh obat (Jawetz et al., 2001).

D. Uji Sensitivitas Terhadap Antibiotik

  Keterbatasan antibiotik untuk menimbulkan efek pada hospes, mendorong untuk dilakukan uji sensitivitas dari galur bakteri yang di isolasi dari hewan sakit untuk menentukan jenis antibiotik yang tepat. Uji ini dikembangkan untuk menemukan kemampuan menghambat beberapa galur bakteri dengan satu jenis antibiotik. Ada dua macam metode untuk uji sensitivitas yaitu metode dilusi dan metode difusi.

  1. Dilusi Pada prinsipnya antibiotik diencerkan hingga diperoleh beberapa konsentrasi. Metode yang dipakai ada dua macam, yaitu metode dilusi kaldu disebut juga dengan dilusi cair dan metode dilusi agar atau dilusi padat. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi obat ditambah suspensi kuman atau bakteri dalam media. Sedangkan dalam dilusi padat, tiap konsentrasi obat dicampur dengan media agar, lalu ditanami bakteri. Pertumbuhan bakteri ditandai oleh adanya kekeruhan setelah 16-20 jam diinkubasi. Konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan, dan disebut dengan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Masing-masing konsentrasi antibiotik yang menunjukkan hambatan pertumbuhan ditanam pada agar padat media pertumbuhan bakteri dan diinkubasi. Konsentrasi terendah dari antibiotik yang membunuh 99,9% inokulum bakteri disebut Konsentrasi Bakterisid Minimal (Jawetz et al., 2001).

  2. Difusi Media difusi menggunakan kertas disk yang berisi antibiotik dan telah diketahui konsentrasinya. Pada metode difusi, media yang dipakai adalah agar

  Mueller Hinton. Ada beberapa cara pada metode difusi ini, yaitu :

  a. Cara Kirby-Bauer Cara Kirby-Bauer merupakan suatu metode uji sensitivitas bakteri yang dilakukan dengan membuat suspensi bakteri pada media Brain Heart

  

Infusion (BHI) cair dari koloni pertumbuhan kuman 24 jam, selanjutnya

disuspensikan dalam 0,5 ml BHI cair (diinkubasi 4-8 jam pada suhu 37°C).

  Hasil inkubasi bakteri diencerkan sampai sesuai dengan standar konsentrasi kuman 108 CFU/ml (CFU : Coloni Forming Unit). Suspensi bakteri diuji sensitivitas dengan meratakan suspensi bakteri tersebut pada permukaan media agar. Disk antibiotik diletakkan di atas media tersebut dan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 19-24 jam. Dibaca hasilnya : 1) Zona radical

  Suatu daerah disekitar disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibiotik diukur dengan mengukur diameter dari zona radical. 2) Zona iradical

  Suatu daerah disekitar disk yang menunjukkan pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibiotik tersebut, tapi tidak dimatikan. Disini akan terlihat adanya pertumbuhan yang kurang subur atau lebih jarang dibanding dengan daerah diluar pengaruh antibiotik tersebut (Jawetz

  et al ., 2001).

  b. Cara sumuran Suspensi bakteri 108CFU/ml diratakan pada media agar, kemudian agar tersebut dibuat sumuran dengan garis tengah tertentu menurut kebutuhan. Larutan antibiotik yang digunakan diteteskan kedalam sumuran. Diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Dibaca hasilnya, seperti pada cara Kirby-Bauer (Jawetz et al., 2001).

  c. Cara Pour Plate Setelah dibuat suspensi kuman dengan larutan BHI sampai konsentrasi standar (108cfu/ml), lalu diambil satu mata ose dan dimasukkan kedalam 4ml agar base 1,5% dengan temperatur 50 ⁰C. Suspensi kuman tersebut dibuat homogen dan dituang pada media agar Mueller Hinton. Setelah beku, kemudian dipasang disk antibiotik (diinkubasi 15-20 jam pada suhu 37

  ⁰C) dibaca dan disesuaikan dengan standar masing-masing antibiotik (Jawetz et al., 2001).