BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Pantai - Keragaman Epibentik Di Rataan Terumbu Karang Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Perairan Pantai

  Pantai memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Pantai dapat didefenisikan sebagai daerah pertemuan antara laut dengan daratan serta udara, dimana interaksi ketiga komponen tersebut menjadikan wilayah pantai sangat dinamis, sehingga menyebabkan daerah pantai sangat rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi. Daerah pantai juga dipengaruhi oleh fenomena sedimentasi dan menyebabkan banyaknya bentuk-bentuk sedimentasi yang terbentuk. Berbagai bentuk sedimen inilah terdapat keanekaragaman organisme, khususnya makrozoobentos infauna ataupun epifauna (Muhaimin, 2013).

  Pada daerah tropis, sedimen yang ada di pantai biasanya berasal dari hancuran atau pecahan biota laut yang hidup disekitarnya, antara lain hancuran kerang-kerangan, hancuran karang, dan hancuran biota laut lainnya. Sementara daerah pantai yang letaknya dekat dengan aliran sungai akan menerima sedimen yang berasal dari sungai itu sendiri, antara lain lumpur, pasir, dan batu kerikil hingga batuan berukuran besar. Bentuk dan tipe pantai seperti ini banyak dijumpai kegiatan pariwisata, terutama jika terdapat ekosistem terumbu karang dibagian depan pantai. Jenis material yang mendominasi pantai dapat berasal dari daratan, jika letak pantai tersebut dekat dengan sungai, atau didominasi oleh material yang berasal dari laut lainnya (Anonim, 2002).

  2.2 Epibentik

  Epibentik merupakan salah satu kelompok bentos yang penting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya di dalam suatu perairan. Selain itu tingkat keanekaragaman makrozoobentos di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran baik yang inbentik maupun epibentik karena hewan-hewan ini hidup menetap (sesile) dan daya adaptasinya bervariasi terhadap kondisi lingkungan (Rosenberg, 1993 dalam Muhaimin, 2013).

  Organisme yang menempati suatu dasar perairan, yang bersifat sesil maupun vigil termasuk dalam kategori bentos. Berdasarkan sifat hidupnya dibedakan antara organisme bentos yang bersifat tumbuhan dan zoobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat hewan. Kelompok ini masih dibedakan menjadi epifauna, yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna, yaitu bentos yang hidupnya terbenam di dalam substrat perairan.

  Menurut Handayani et all (2008), pada suatu ekosistem aquatik, baik air tawar atau laut, bentos merupakan bagian dari rantai makanan yang keberadaannya bergantung pada populasi organisme yang tingkatnya lebih rendah sebagai sumber pakan (misalnya ganggang) dan hewan predator yang tingkat trofiknya lebih tinggi. Hewan bentos yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan baik sesil, merayap maupun menggali lubang yang mempunyai peranan dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik di dalam perairan.

  Menurut Barnes (1978) dalam Wijayanti (2007), epibentik berdasarkan pola makannya dibedakan menjadi tiga macan yaitu: a.

  Suspensio feeder adalah epibentik yang memperoleh makanannya dengan cara menyaring partikel-partikel melayang di perairan b.

  Deposit feeder adalah epibentik yang mencari makanan pada sedimen dan mengasimilasikan material organik yang dapat dicerna dari sedimen, material organik dalam sedimen biasanya disebut detritus.

  c.

  Detritus feeder tersebut khusus hanya makan detritus saja Lokasi pengambilan contoh epibentik yaitu bagian reef crest yang merupakan bagian terdangkal dari habitat terumbu karang yang dihuni oleh keanekaragaman dan kelimpahan fauna yang sangat ekstrem. Umumnya kedalaman reef crest hanya kurang dari 10 m (Wulansari, 2012).

2.3 Jenis-Jenis Epibentik di Rataan Terumbu Karang

  Menurut Pratiwi (1992), epibentik merupakan hewan yang hidup di atas sedimen yang bergerak, merayap dan berjalan di atas sedimen seperti:

  2.3.1 Crustasea

  Menurut Kordi (2010), crustasea laut itu terdiri dari udang, kepiting, rajungan, lobster (udang barong), dan kelomang. Dari kelompok crustasea tersebut, lobster atau udang barong merupakan biota terumbu karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

  Menurut Romimohtarto & Juwana (2007), crustaceae merupakan Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan bernafas dengan insang. Tubuhnya terbagi dalam kepala (chepalin), dada (thorax), dan abdomen. Kepala dan dada bergabung membentuk membentuk kepala dada (cephaloorax; Y:

  

cephale = kepala; thorax = bagian tengah tubuh atau dada). Kepalanya biasanya

  terdiri atas lima ruas yang tergabung menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena, sepasang mandible atau rahang dan dua pasang maxilla. Dada mempunyai embelan dada yang bentuknya berbeda-beda. Beberapa diantaranya digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dari lebih mudah bergerak daripada kepala dan dada. Ruas-ruas tersebut mempunyai embelan yang ukurannya sering mengecil.

  2.3.2 Echinodermata

Ekosistem terumbu karang merupakan habitat dari berbagai jenis fauna invertebrata,

salah satunya adalah fauna laut yaitu Echinodermata yang merupakan biota penghuni

laut khususnya terumbu karang yang cukup menonjol. Biota ini dapat hidup

menempati berbagai macam zona seperti zona rataan terumbu, daerah pertumbuhan

alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati dan beting karang ( Clark

& birkeland,1971 dalam Yusron, 2010).

  Echinodermata berasal dari bahasa Yunani Echinus berarti landak, dan

  

derma berarti kulit. Semua jenis echinodermata hidup dilaut, mulai dari daerah

  litoral sampai kedalaman 6.000 m. Termasuk dalam filum Echinodermata antara lain bintang laut, bulu babi, teripang dan lain-lain (Brotowidjoyo, 1994). Echinodermata adalah hewan yang kulitnya berduri, yang terbagi atas teripang (Holothuroide), bintang laut (Asteroidea), bintang laut mengular (Ophiuroidea), bulu babi (Echinoidea), dan lili laut (Crinoidea). Hewan tersebut umumnya banyak dijumpai di daerah pantai umumnya pada terumbu karang. Echinodermata spesies yang telah terindefikasi, dan di Indonesia diketahui terdapat 295 spesies (Nontji, 1993).

  Kehadiran dan peranan fauna Echinodermata di ekosistem terumbu karang sangat banyak, mempunyai peranan sebagai jaringan makanan dan juga sebagai herbivora, karnivora, omnivora ataupun sebagai pemakan detritus. Salah satu contonya adalah beberapa jenis teripang dan bulu babi merupakan sumber pakan untuk berbagai jenis ikan karang dan apabila terjadi peningkatan kelimpahan bisa membawa perubahan besar dalam struktur komunitas koral (Clark & Rowe 1971, dalam Hutauruk, 2009).

2.3.3 Molusca

  Salah satu kelompok hewan tak bertulang belakang (invertebrata) yang populasinya terbesar adalah filum moluska. Hewan ini hidup menyebar diberbagai habitat, dari dataran tinggi sampai pada kedalaman tertentu di dasar laut (Mudjiono, 2009).

  Molusca merupakan salah satu komunitas fauna yang dominan di daerah rataan terumbu (reef flat). Molusca dapat hidup diberbagai habitat seperti terumbu karang, rataan pasir, pertumbuhan alga/lamun dan juga di daerah yang berdasar lumpur (Nybakken, 1982 dalam Mudjiono, 2009). Secara ekologis keberadaan molusca dapat menggambarkan baik dan buruknya kondisi suatu lingkungan tertentu.

2.4 Faktor Fisika dan Kimia Pada Ekosistem Air

a. Suhu

  Suhu perairan merupakan salah satu faktor penting dalam metabolisme dan distribusi organisme perairan. Suhu perairan berpengaruh sangat kompleks terhadap hewan bentos baik yang epifauna maupun infauna, baik secara langsung maupun melalui interaksi dengan faktor kualitas air lainnya (Hawkes, 1978 dalam Ruswahyuni, 2010).

  Menurut Sukarno (1981) dalam Wijayanti (2007), bahwa suhu perairan merupakan parameter fisika yang sangat mempengruhi pola kehidupan biota akuatik seperti penyebaran, kelimpahan dan mortalitas, suhu dapat membatasi sebaran hewan epibentik secara geografik dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan epibentik berkisar antara 25 - 31°C.

  b. pH (Derajat Keasaman)

  Nilai pH perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi (Pescod, 1973 dalam Wijayanti, 2007)

  Setiap spesies organisme perairan memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7 - 8,5. Menurut Nybakken (1992) kadar pH di lingkungan laut umumnya relatif stabil dengan kisaran 7,5-8,4. Nilai pH yang rendah menunjukkan adanya reaksi kimiawi dalam suasana basa. Umumnya kematian organisme lebih banyak diakibatkan oleh pH yang rendah dibandingkan dengan pH yang tinggi.

  c. Salinitas

  Perairan laut tropis memiliki kisaran nilai 34‰ - 35‰ untuk salinitas (Nontji, 1993). Menurut Nybakken (1992), perubahan salinitas pada zona intertidal akan menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang kebanyakan menunjukan toleransi yang terbatas terhadap perubahan salinitas. Kisaran yang masih dapat ditolerir oleh hewan epibentik adalah 15‰ - 30‰.

  Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal. Menurut Barnes (1980) pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi dalam suatu ekosistem.

  d. Arus

  Secara umum kecepatan arus, langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keadaan substrat dasar yang merupakan faktor yang sangat menentukan komposisi hewan bentik, gerakan ombak akan menambah jumlah oksigen dalam air dan mempengaruhi partikel penyusun substrat dasar yang merupakan faktor yang menentukan komunitas bentos yang umumnya hidup pada substrat dasar perairan (Hawkes, 1978 dalam Ruswahyuni, 2010).

  Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan dalam densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan gelombang (Nontji, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pada dasar perairan dangkal, dimana terdapat arus yang tinggi, hewan yang mampu hidup adalah organisme periphitik atau bentos.

  e. DO (Disolved Oksigen)

  Oksigen merupakan faktor penting dalam lingkungan bentik. Hampir semua sedimen laut memiliki lapisan oksik pada permukaan, sedangkan bagian bawahnya merupakan lapisan anoksik yang bebas oksigen dengan komposisi kimiawi yang berbeda. Secara umum, fauna bentik akan terganggu aktivitanya apabila kandungan oksigen terlarut di dalam air kurang dari 2mg/L (Lasmana, 2004).

  Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota. Daya larut oksigen dapat berkurang disebabkan naiknya suhu air dan meningkatnya salinitas. Konsentrasi oksigen terlarut dipengaruhi oleh proses respirasi biota air dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Pengaruh ekologi lain yang menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menurun adalah penambahan zat organik (buangan organik) (Connel & Miller, 1995).

  f. Kecerahan

  Kecerahan merupakan parameter untuk menyatakan sebagian dari cahaya matahari yang menembus ke dalam air. Kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Secara langsung, kekeruhan akan mempengaruhi komunitas hewan epibentik pada perairan tersebut (Hawkes, 1978 dalam Ruswahyuni, 2010). Menurut Giere et all., (1988) dalam Trisnawati (2012), kecerahan merupakan salah satu peranan penting dalam produktivitas perairan karena berkaitan langsung dengan paparan cahaya matahari yang menembus lapisan perairan.

h. Substrat Dasar

  Ukuran partikel substrat merupakan salah satu faktor ekologis utama dalam mempengaruhi struktur komunitas makrobentik seperti kandungan bahan organik substrat. Penyebaran epibentik dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Epibentik yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi (Nybakken, 1988). Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos, bahwa jenis substrat dasar merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme epibenttik.

i. TSS (Total Suspended Solid)

  Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel- partikel anorganik. Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna (Edward, 2003).

  TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan dan kecerahan di dalam suatu perairan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya masuk dalam air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis dan komunitas biota perairan seperti : bentos, ikan, dan fitoplankton (Effendi, 2003).

Dokumen yang terkait

IV. DAFTAR KEGIATAN PRIORITAS (NBKL) - Formulir 1.2

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Pengawas Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional Bpjs Kesehatan

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penetapan Kadar Kalium, Kalsium, Natrium, dan Magnesium Pada Buah Pare Putih (Momordica charantia L.) Segar dan Direbus Secara Spektrofotometri Serapan Atom

1 6 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian Hukum Kontrak - Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

0 0 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

0 1 11

Analisis Faktor Untuk Mengetahui Alasan Ibu Memilih Persalinan Di Rumah Oleh Bidan Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Jambi Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Tahun 2015

0 0 18

BAB II PROFIL BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAERAH KOTA MEDAN A.Sejarah Perusahaan 1. Gambaran Umum Kota Medan a. Gambaran Umum - Sistem Dan Prosedur Penyusunan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pada Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Med

0 0 31

1. Pengadaan alat tulis - Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 35

CHAPTER II REVIEW OF LITERATURE 2.1 Sociolinguistics

0 0 12

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional

0 0 27