Fenomena Aktualisasi Nilai Nilai Demokra

Fenomena Aktualisasi Nilai-Nilai Demokrasi dan HAM
Dilihat dari Konsep Demokrasi dan HAM
Menurut Ajaran Islam
Ekspose aib (kesalahan) seseorang melalui media

Oleh
Nama : Tediansyah
NIM : 021341103

Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Islam

Jauh sebelum adanya Declaration of Human Right yang ditetapkan oleh PBB sebagai
dasar bersama penghormatan manusia, Islam sejak 15 abad yang lalu telah memuat nilai-nilai
kemanusiaan universal baik yang tertera dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah Rosul.
Nilai-nilai universal kemanusiaan, secara tegas dinyatakan dalam pidato Rosululloh yang
terkenal ketika beliau melakukan haji wada. Beliau berpesan mengenai hak hidup, hak
perlindungan harta, dan hak kehormatan. Di depan umat Islam, beliau menyatakan:
“Sesungguhnya darahmu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti
sucinya hari (hajimu) ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tahun
suci) ini sampai tibanya hari kamu sekalian bertemu dengan Dia (Allah).”
Masih banyak sabda-sabda Rosululloh yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam adalah agama yang sangat menghormati nilai-nilai
kemanusiaan. Islam menegaskan bahwa sebagai manusia tidak dilihat ras, etnis, bahasa, dan
lain-lain melainkan dilihat dari ketakwaannya. Karena itulah Islam adalah rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Karena tingginya penghormatan Islam terhadap nilainilai kemanusiaan, maka hak-hak dasar manusia yang suci dilindungi oleh Islam. Hak-hak
tersebut: hak hidup, hak milik, hak kehormatan, hak persamaan, dan hak kebebasan.
Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi SAW pada tahun 622 M merupakan
konstitusi yang menjunjung hak asasi manusia. Bahkan menurut sosiolog Amerika Robert N.
Bellah, konstitusi itu sangat modern. Konstitusi yang berisi 47 pasal itu secara tegas melarang
adanya diskriminasi dan penindasan serta memberi kebebasan dalam melaksanakan
agamanya masing-masing.
HAM menurut Islam berprinsip menjunjung tinggi martabat manusia. Di samping itu
HAM menurut Islam juga menghendaki adanya persamaan, kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan beragam, dan jaminan sosial. Manusia bebas berbicara dan berprilaku sesuai
dengan ajaran Allah. Kebebasan menyatakan pendapat merupakan perwujudan dari instruksi
Allah. Prinsip hak atas jaminan sosial dalam prinsip ini ditegaskan bahwa pada harta orang
kaya terdapat hak fakir miskin. Oleh karena itu, orang islam diharuskan membayar zakat.
Selain itu, hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata menekankan pada hak asasi
manusia saja, tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada
Allah sebagai penciptanya.
Demokrasi dan HAM adalah dua hal yang berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan.

Dapat dikatakan bahwa demokrasi tidak mungkin ada tanpa HAM, sebaliknya HAM sulit
ditegakan tanpa demokrasi. Implementasi nilai demokrasi dapat digali dari sumber islam
yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi seperti dikemukakan oleh Huwaydi dan

Mohammad Dhiya al-Din Rais yaitu: (1) keadilan dan musyawarah, (2) kekuasaan dipegang
penuh oleh rakyat, (3) kebebasan adalah hak penuh bagi semua warga negara, (4) persamaan
diantara sesama manusia khususnya persamaan di depan hukum, (5) keadilan untuk
kelompok minoritas, (6) undang-undang diatas segalanya, dan (7) pertanggung jawaban
penguasa kepada rakyat.
Demokrasi Islam meyakini bahwa kedaulatan Allah menjadi intidari demokrasi. Teori yang
menyangkut definsi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada
kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah terkandung
dalam demokrasi Islam. Demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan
perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam
dianggap sebagai sistem yang mengkukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama
berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretatif yang
mandiri (ijtihat).
Ekspose Aib
Bagi kebanyakan kaum wanita, bergunjing atau membicarakan aib orang lain
merupakan hal yang umum dijumpai di masyarakat. Banyak wanita memandang perbuatan

tersebut remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Tidak hanya kaum wanita,
bahkan sekarang kaum lelaki pun dapat dijumpai tengah bergunjing.
Aib pada diri seseorang dibagi menjadi dua kategori. Pertama, aib yang sifatnya
khalqiyah, yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Aib
seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan, baik
secara terang-terangan atau dengan gunjingan, karena perbuatan tersebut adalah dosa besar
menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak
memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti
menghina Penciptanya. Kedua, aib berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Pandangan HAM dan Demokrasi Islam terhadap Perbuatan Ekspose Aib Melalui
Media
Pada dasarnya diharamkan bagi seorang muslim mengungkapkan aib saudaranya
karena ini termasuk kedalam perbuatan ghibah, yaitu mengungkapkan aib saudaranya sesama
muslim pada saat orang itu tidak ada dihadapannya dan saudaranya itu tidak menyukainya
jika berita tersebut sampai kepadanya tanpa adanya suatu keperluan. Ghibah adalah
menggunjing, menceritakan kejelekan seseorang saat orang yang dimaksud tidak ada
dihadapannya. Ghibah dapat berbentuk ucapan, isyarat, kedipan mata, maupun tulisan yang

mengandung makna penghinaan terhadap seseorang. Sesuai hadist Nabi SAW ketika ditanya

tentang ghibah:
“(ghibah adalah) engkau menyebut sesuatu yang berkenaan dengan saudaramu,
yang jika ia mendengarnya ia tidak suka”, lalu seseorang bertanya “wahai Rasulullah,
bagaimana jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada saudaraku tersebur?”, beliau
menjawab, “jika apa yang kau bicarakan benar-benar ada/nyata pada diri saudaramu,
engkau telah mengghibahnya, tetapi bila tidak, berarti kau telah menuduhnya”. (HR Muslim
dan Tirmidzi)
Mengekspose aib orang lain melalui media sama halnya dengan ghibah. Bahkan
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut akan lebih buruk. Seperti yang kita tahu
bahwa media mampu menyebarkan informasi dengan begitu cepat. Jika aib sudah menyebar
di seluruh masyarakat maka kehidupan mereka tidak akan tenang, karena satu dengan yang
lainya sudah saling mencurigai dan membicarakan kejelekannya masing-masing. Hubungan
antara anggota masyarakat tentunya terganggu dan pada akhirnya terjadi tindakan anarkis,
keji, biadab dimana-mana, kemudian hancurlah masyarakat tersebut. Padahal, demokrasi
dalam Islam bertujuan untuk menyelenggarakan kebaikan dan mencegah keburukan
dengan senantiasa menjunjung nilai-nilai dasar kemanusiaan. Salah satu kasus yang
baru-baru ini terjadi adalah Cita Citata yang menghina fisik orang papua yang terekspose
melalui TV. Kasus tersebut berujung pada pelaporan ke KOMNAS HAM. Pelaporan kasus
tersebut merupakan salah satu wujud aktualisasi nilai-nilai demokrasi dan HAM yang sesuai
dengan ajaran Islam. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa menghina organ

tubuh berarti menghina penciptaNya. Meskipun HAM dalam Islam menjamin hak
kebebasan untuk berekspresi serta kebebasan berpikir dan menyalurkan pendapat –
bagian dari hak kebebasan- mengekspose aib orang lain yang menimbulkan hal negatif
tentu tidak dibenarkan karena akan menimbulkan perpecahan serta merugikan.
Rasulullah menegaskan bahwa menutupi aib dan menjaga rahasia merupakan
keutamaan. Nabi SAW menganjurkan agar umatnya senantiasa saling memelihara rahasia dan
menutupi aib saudaranya agar dapat hidup bermasyarakat dalam ketenangan, kedamaian, juah
dari keresahan, kedengkian, serta balas dendam.
Jika seorang muslim mendapati saudaranya melakukan perbuatan maksiat yang hanya
merusak hubungannya secara pribadi dengan Allah seperti minum khamr, berzina dll,.
hendaklah ia tidak menyebarluaskan hal tersebut, namun dia tetap memiliki kewajiban untuk
melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang menasehati
saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaannya berarti dia benar-benar menasehatinya

dan memperbaikinya. Sedang yang menasehati tanpa menjaga kerahasiaannya, berarti telah
mengekspos aibnya dan mengkhianatinya." (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi). Jika
perbuatan maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain seperti
mencuri, korupsi dan lain sebagainya. Maka perbuatan seperti ini diperbolehkan untuk
diselidiki dan diungkap, karena hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan, karena akan lebih
banyak lagi merugikan orang lain. Hal ini berarti bahwa mengekspose aib yang berupa

perbuatan maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain, memang
boleh dilakukan., misalnya pemberitaan di TV mengenai kasus begal yang akhir-akhir tengah
mencuat. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak kasus begal yang telah merenggut nyawa
manusia. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan penegakan HAM. Hak hidup –salah
satu hak-hak dasar manusia yang dilindungi dalam Islam- merupakan anugerah dari
Allah yang diberikan kepada manusia. Tidak ada yang berhak mencabut hak tersebut
kecuali Allah. Oleh karena itu, usaha-usaha yang bisa mencabut hidup seseorang
merupakan pelanggaran. Dengan adanya pemberitaan kasus begal di TV maka masyarakat
akan lebih berhati-hati dalam bepergian sehingga meskipun ada usaha-usaha orang yang ingin
menghilangkan hak hidup orang lain dapat diantisipasi.
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin
menyatakan bahwa ghibah yang hanya diperbolehkan untuk tujuan syara’ disebabkan oleh
enam hal, yaitu:
1. Orang yang mazhlum (teraniaya)
Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang
menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang
memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam AlQur'an surat An-Nisa ayat 148:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nisa’:148)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan

orang yang menzaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada
seseorang

yang

mempunyai

kekuasaan,

kekuatan,

dan

wewenang

untuk

menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan
mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.
2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat

kembali ke jalan yang benar.

Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan
mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan
kewajiban manusia untuk beramar ma'ruf nahi munkar.
3. Istifta’ (meminta fatwa) akan sesuatu hal
Walaupun diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk
lebih berhati-hati, ada baiknya hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin
diadukan, tidak lebih.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari berbagai kejahatan, seperti:
a.

Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya,
menurut ijma' ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin.
Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibahdengan tujuan seperti ini jelas
diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadis. Apalagi hadis merupakan

sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.
b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa
sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri,

peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini dilakukan untuk
memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti
c.

salah satu pihak.
Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau
ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib
menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk
kebaikan semata.

5.

Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid'ah seperti:
minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkaraperkara bathil lainnya. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambahnambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.

6. Untuk mengenal kepada orang yang memiliki julukan sehingga lebih mudah.
Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau
sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung
mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai
nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.

Kesimpulan
Islam melarang keras aib seseorang diceritakan, dan tidak boleh sekali-kali
menyebarkan tentang apa atau bagaimana kondisi yang tidak baik tentang seseorang, bahkan

islam mengajarkan untuk menutupinya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah
Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke
dalam hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencaricari/mengintai aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin,
Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya
Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).”
(HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”)
Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim.
Mengeskpose aib orang lain tanpa ada kemaslahatan dan justru menghilangkan
kehormatan orang lain merupakan pelanggaran hak kehormatan. Siapa yang menutup
aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah SWT akan menutup aibnya di dunia
dan kelak di akhirat. Namun, bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju
dan bila menutup aib seseorang hanya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan
wajib menyampaikan aib orang tersebut. Manusia adalah makhluk mulia. Secara fitrah ia
harus dihormati dan dihargai. Allah melarang manusia saling menghina, mencela, dan

mencaci maki yang akan mencederai kehormatannya. Manusia harus saling menghormati dan
menghargai.